Senin, 25 Desember 2017

NASI RAMES DARI DUA RUMAH MAKAN HEBAT


Keterangan Foto: Menemani istri makan siang di Kampung Coklat, destinasi wisata edukasi di kota Blitar. Aku menikmati segelas coklat panas sambil melihat pemandangan sekelilingku.


PEKAN lalu aku mengunjungi dua kota istimewa --Blitar dan Malang. Aku sebut istimewa karena di kedua kota ini ada rumah makan yang tersohor. Secara tak sengaja aku sempat mampir untuk makan siang dan makan malam. Kocaknya, menunya sama, yakni nasi campur.

Begini kisah lengkapnya. Setelah aku menurunkan istri di rumah kediaman Walikota Blitar --dia ada acara dinas di sana-- aku mencari makan siang. Agak tergesa karena jelang shalat Jumat. Jadi cari rumah makan seadanya karena terus terang aku buta akan kota ini.

Baru belok di sebuah tikungan, aku lihat tulisan Ramayana. Langsung aku perintah sopir menepi ke kiri. Beruntung Ramayana itu restoran, buka  toko onderdil. Dan tadi aku spontan karena tiba-tiba ingat nama rumah makan kondang asal Blitar.

Di Surabaya, rumah makan itu buka dua cabang. Satu di Darmo Park, Jl. Mayjen Soengkono, satunya lagi di Jl. Kalimantan dekat kantor sekuritas tempat aku trading saham. Kedua tempat ini menjadi langgananku. Menu favoritku Kamar Bola dan nasi Cap Jay Merah.

Kamar Bola itu bukan tempat biliar, kawan! Itu nama makanan yang pernah populer tahun '60-'70-an. Hampir mirip Cap Jay Merah, tapi variasi isinya lebih banyak. Mungkin saat ini hanya Ramayana yang menyediakan menu Kamar Bola.

Ketika aku masuk, interiornya khas Ramayana. Tersedia meja bundar untuk makan rame-rame, namun ada pula meja segi empat kecil untuk makan berempat. Aku memilih tempat jauh ke dalam agar tak terlalu bising dengan suara TV yang tidak bisa dikecilkan volumenya karena remote-nya ketelingsut.

Saat buku menu disodorkan, aku pilih yang praktis dan cepat saji: nasi campur. Maklum, aku hanya punya waktu setengah jam saja. Lauknya dua potong daging ayam yang dimasak bumbu rujak, telor rebus separo yang diolesi bumbu, bakmi goreng, dan beberapa sayur lainnya.

Semuanya terasa sedap dengan bumbu yang merasuk. Terutama ayam bumbu rujaknya, sangat empuk dan mudah memisahkannya dari tulang belulang. Aku beri bintang sembilan dari totalan angka sepuluh!

Saat membayar di kasir, sempat ngobrol ama emak-emak pemilik Ramayana. Seolah kenalan lama, ia menawarkan es lilin Blitar yang memang kegemaranku. Kalau sedang kangen, aku mampir membelinya di Ramayana Surabaya. Tapi kali ini aku tidak ada waktu menikmatinya, jadi terima kasih saja.

Sebelum aku pindah ke cerita Malang, sedikit catatan tentang Ramayana. Rumah makan ini terkenal dengan chinese food-nya. Menjadi langganan kaum konservatif yang sudah mengenalnya sejak awal. Dengan menyebut namanya, sudah terbayang kelezatan sajiannya. Dia punya kelas tersendiri.

MENUNGGU LAMA

Nah, sekarang cerita Malang ya. Sejak di Karangkates, kendaraan merambat. Betul-betul menjemukan. Magrib baru saja usai, jalanan makin menyemut di kegelapan malam. Aku sudah merasa lapar, padahal cita-cita makan malam di Taman Dayu.

Karena tidak tahu posisi, maka aku membuka aplikasi. Aku segera mengenali lokasi yang tertera di peta. Beberapa meter ke depan ada belokan ke kiri, dan setelah itu terdapat rumah makan yang tak kalah bekend dengan Ramayana. Bahkan konon terkenal hingga ke luar negeri.

Istriku setuju kita mempercepat makan malam. Segera aku perintah sopir minggir. Di dalam padat pengunjung, beruntung kami masih dapat tempat duduk di tepi ruangan. Aku memesan nasi Bakmoi --supaya cepat sajilah pikirku.

Namun kata pelayan, pesanan itu agak lama karena banyak yang minta Bakmoi. Aku berpindah pilihan, Sop Buntut. Lagi-lagi si pelayan bilang lama sebab harus merebus dulu. Duh geregetan juga sampai aku bilang "buntutnya masih harus beli di pasar ya?"

Waktu aku tanya apa yang bisa cepat, dia bilang nasi rames. Hadeuuw... nasi rames nasi rames lagi, pikirku. Tapi apa boleh buat, telanjur duduk, dan aku pikir rumah makan ini jaminan mutu (maaf ya... aku ngga sebut namanya).

Setelah lama menunggu, akhirnya nasi campur keluar juga. Berikut gado-gado pesanan istriku. Tapi aku kupas nasi campurnya aja ya, kan ada pembanding dengan yang aku makan siang tadi.

Ada sepotong ayam masak opor dan sekerat daging sapi entah dimasak apa --mungkin semur. Lalu ada abon, telor rebus separo, sepotong timun, dan lainnya ngga ingat. Daging sapinya sulit dikunyah sebab mengandung kotot. Dipotong pakai sendokpun susah banget.

Ketika aku berpindah ke opor ayam... hampir sama. Cuma masih bisa dikunyah dikit-dikit. Namun tak semua daging bisa dilepas dari tulang, dan untuk ngrokoti (aku ngga menemukan bahasa Indonesianya), tak eloklah kalau itu dilakukan di tempat umum.

Kami segera menyudahi makan malam ini dan segera pergi. Padahal sejatinya, masih ingin ngopi-ngopi dulu sambil menikmati suasana serta semilir hawa sejuk Malang yang menerobos lewat jendela.

Berapa bintang yang harus aku berikan? Dengan menyesal, hanya lima dari angka teratas sepuluh! Kok pelit? Kayaknya, taste di rumah makan ini bukan seperti yang dahulu lagi. Atau karena kesal dapat pelayanan menjengkelkan? Ah... swear, tidak! Aku betul-betul membandingkan dengan nasi campur makan siangku. (26:12:17)


*

Jumat, 22 Desember 2017

KALAU IBU SEDANG SAKIT...




SEORANG ibu selalu peduli jika ada anggota keluarga yang sakit --terutama anak-anak, bahkan suaminya.

Namun ketika ibu yang sedang sakit, adakah yang peduli? Anak-anak sibuk sekolah, si suami tak bisa meninggalkan kantor. Syukur kalau tetangga datang membantu.

Beruntung ibu yang sakit ini, si anak mengantarnya ke rumah sakit, walau harus tertidur-tidur menunggu pelayanan.

Jangan abaikan ibu karena jasanya teramat banyak... Selamat hari ibu ya, salam seger waras selalu (22:12:2017)

Minggu, 03 Desember 2017

DR. ARIJANTO JONOSEWOJO


                           IN MEMORIAM

ARI yang aku kenal, dia orangnya baik... sangat baik. Kalau kebetulan Anda mengenalnya, boleh jadi setuju dengan pendapatku.

Ketika masih duduk di bangku SMPN 1 Pacar, Surabaya, dia suka bercanda, periang. Sejak kelas dua aku tak lagi bertemu dengannya, dan baru jumpa lagi tahun '70-an di rumah keluarga Tante Tumpuk (Raya Ketabang 3).

Dia lebih humble, serius bicara, dan penuh perhatian pada orang lain. Setelah masa itu --karena kesibukan masing-masing-- kami jarang bertemu.

Baru pada tahun 2000-an bertemu lagi --setelah aku pulang dari merantau--, dan aku baru tahu dia menikah dengan Eriana, temanku di SR Ambengan.

Hubungan kami sejak itu sangat dekat. Dia bercerita tentang proyek tanaman herbalnya. Malah kita bicara bagaimana kemungkinan mendokumentasikannya.

Suatu ketika, aku sakit demam berdarah dengan trombosit hanya 25.000! Ari yang menangani. Esoknya, trombositku tinggal 14.000 (normal 150.000-450.000).

Ari bicara dengan istriku. Dia katakan, tindakan kedokteran dalam kasus seperti ini lazimnya melalui transfusi. Namun dia kurang sreg. Ia khawatir muncul akibat negatif dari transfusi itu.

"Aku takut demam berdarahnya sembuh, tapi justru terkena penyakit lainnya sebagai efek samping dari transfusi itu," ujar Ari kepada Nunung, istriku.

Akhirnya mereka sepakat melakukan peningkatan trombosit melalui obat-obatan saja. Tentu istriku berperan pula melalui doa-doanya. Alhamdulillah... trombositku naik, dan aku selamat.

Yang aku hargai, Ari sebagai teman memberikan pilihan terbaik. Dan selama aku opname, Ari selalu nyambangi. Demikian pula Nana, istrinya. Aku merasa nyaman bersama mereka.

Pada saat Ari sakit dan opname di RS Premier, aku juga datang menjenguk. Aku senang melihat keadaan Ari ketika itu, sebab dia masih penuh semangat.

Namun aku prihatin ketika mendengar kondisi Ari yang sebenarnya dari seorang koleganya. Aku berdoa dia mendapatkan yang terbaik dari situasi tersebut.

Aku tidak menyangka, begitu cepat Ari pulang. Mungkin itu sudah takdirnya, semoga husnul khatimah dan ia mendapat tempat layak di sisi-Nya. Amin ya rabbal alamin.

Kisah terbaik ini aku sampaikan sebagai kenangan akan teman kita tercinta dr. Arijanto Jonosewojo, Sp.PD.

Selamat jalan kawan, suatu saat kamipun akan pulang ke Rahmatullah (03:12:17)

Rabu, 29 November 2017

KOPI ICE CREAM ALA 'KEPUHUNAN'


Keterangan foto: Quality time bersama istri dan anak sulung yang sedang nengok kami di Surabaya


"LHO... kok dicampur," ujar seorang pemuda ke teman di sebelahnya. Si teman yang merasa ujaran itu mencampuri urusan orang, langsung mengatakan, "Itu style seseorang... kamu juga boleh punya gaya sendiri..."

Pemuda yang pertama tetap terheran-heran. Temannya dengan sabar menunggu orang yang dibicarakan menyelesaikan urusannya. Kebetulan... orang itu aku! Ya... aku yang nulis kisah ini.

Saat itu aku membawa secangkir kopi panas. Tidak benar-benar secangkir, tapi separonya saja. Kami sedang di depan bar ice cream. Ada macam-macam ice cream, di antaranya durian, kelapa muda, strowberry, coklat, mocca, dan beberapa lainnya.

Aku sedang menyendok ice cream coklat dan memasukkan ke dalam cangkir kopi. Karena sendoknya hanya satu, maka dua pemuda itu menunggu giliran. Dan muncullah percakapan tadi di antara keduanya.

Ketika aku berlalu, pemuda pertama menatap wajahku penuh keheranan. Aku cuek aja. Benar kata temannya, it's my style. Dan aku kembali ke meja untuk nyeruput kopi panas ice creamku.

Menu barukah? Oh... no. Ini cara agar tidak "kepuhunan". Orang Samarinda percaya, kalau ditawari sesuatu dan menolak, nanti di rumah bisa kepuhunan. Orang jawa bilang "ketok-ketok'en". Entahlah bahasa Indonesianya... (Sebangsa penasaran, menyesal --yang sangat-- karena tadi kok ngga mencicipi).

Nah... istriku sebelumnya nawari ice cream setelah lihat orang meja sebelah mengambil cukup menggiurkan. Padahal, aku batuk dan memang sejak beberapa waktu lalu menghindari yang dingin-dingin.

Toh aku ingat temanku, seorang barista yang memperkenalkan menu barunya: coffee ice cream. Cuma kopinya expresso, baru kemudian ditimpa ice cream. Look nice, tapi aku ngga sempat mencicipi karena waktu itu batuk akut.

Nah, malam itu tak ada rotan akarpun okay. Yang tersedia cuma kopi tubruk yang aku bisa membuatnya sendiri. Dari baunya, kopinya cukup berkelas. Secangkir kopi tanpa gula inilah yang kemudian aku campur ice cream.

Well... rasanya sangat okay. Aku benar-benar menikmati. Ice creamnya tak terlalu dingin karena aku menyuapnya dengan kopi panas. Nano-nano, hangat dingin gitu loh. Sendok demi sendok aku rasakan sampai sendokan terakhir.

"Enak Pa?" tanya anakku antusias. Aku mengangguk dan mempersilakan ia mengikuti langkahku. Rupanya ia juga enjoy dengan eksperimen itu. Buktinya, isi cangkirnya ludes. Bagiku, sungguh nikmat style-ku, dan aku pulang tanpa takut kepuhunan... (29:11:17)

Senin, 27 November 2017

ESSAI: BAYANG KERINDUAN



PETANG ini aku sendirian di rumah. Hujan baru saja reda meninggalkan dingin yang membuat tubuhku menggigil.

Tiba-tiba aku merindukan Marce Marconna. Gadis berambut lurus tebal dengan panjang sedikit melebihi bahu itu, beberapa kali masuk dalam kehidupanku.

Kenapa lagi kau Marce? Aku sadar dia ada di alam khayalku. Tapi setiap kali gadis cantik setinggi 174 cm itu muncul, aku menganggap ia berada di alam nyataku.

Aku ingat malam itu ia berjalan menuju Cafe Medina. Hanya karena ia ingin mencicipi masakan Timur Tengah. Senyampang berada di negeri itu, mengapa tak mencoba sesuatu yang lokal, pikirnya.

Ia menikmati "Mediterranean Frittata" yang konon menu favorit di resto itu. Bahan utamanya daging cacah, irisan tipis bacon, kentang, tomat dan telur. Sedang bahan tambahannya bawang merah, bawang putih, bubuk basil dan buah zaitun hitam. Cara memasaknya dengan dipanggang menggunakan minyak zaitun.

Marce yang selama di Madinah selalu makan masakan Indonesia, malam itu benar-benar menikmati masakan yang terhidang di hadapannya. Terlebih makanan pembuka tak kalah lezatnya.

Mereka menamai "watercress and orange salad." Selada air yang dirajang, apokad dipotong kotak-kotak, jeruk manis yang sudah terkupas rapi, tomat cherry yang dipotong separo, sedikit lombok merah, dan daging cincang. Dressing-nya adonan beraroma jeruk orange. Sesuatu banget...

Marce Marconna tak bisa melupakan malam indah itu. Ia baru pulang saat waktu menjelang dini hari. Maunya sih, ia berlama-lama ngobrol di situ sambil mendengar alunan sitar yang dimainkan perlahan.

Duh Marce... kisahmu ini pelepas rinduku. Sungguh aku rasakan getaran jiwamu. Kendati kau merasa senang malam itu, ada secercah sedih di relung terdalam hatimu. Kutahu kau tak ingin semua orang tahu. Mungkin itulah yang membuat kau mengundangku dalam kehidupan khayalmu. (27:11:17)

Rabu, 22 November 2017

MANGGA APOKAD, JUALNYA PUN ONLINE




Keterangan foto: Orang kota jauh-jauh ke kebun mangga. Senang petiknya, juga selfienya...


BRANDING!
Ternyata mangga pun perlu branding. Apalagi kalau pamornya tersaingi kualitas rendah yang diobral 10K per kilogram. Malah bisa lebih murah lagi untuk kualitas buruk. Toh namanya tetap saja, mangga.

Probolinggo yang selama ini terkenal sebagai penghasil mangga Gadung, mulai kewalahan menghadapi pesaing yang datang dari pelosok Jawa Timur. Hampir semua orang menanam mangga Gadung. Tapi konon, Gadung Probolinggo masih paling okay.

Pasuruan tetangganya, tak mau kalah. Petani setempat mengembangkan mangga Arumanis (ada yg menyebut Harum Manis). Sosoknya mirip-mirip Gadung. Soal rasa, tanyakan ahlinya. Aku sendiri punya pohon Gadung dan Arumanis, tapi ngga bisa bedakan rasa di antara keduanya.

Nah sekarang... muncul Mangga Apokad. Dikembangkan di kawasan Rembang, Pasuruan. Pemkab setempat ikut mendukung program perkebunan mangga tersebut. Benar-benar kebun mangga, bukan tanaman di sela rumah penduduk.

Dengan ketinggian pohon sekitar tiga meter, berbuah lebat, bahkan ada yang nyaris menyentuh tanah. Dengan demikian memudahkan petani tahu mana buah yang sudah matang. Dari warna dan baunya.

Pengunjung boleh petik sendiri seberapa dia mau. Namun sebelum berlalu, harus ditimbang dan jangan lupa bayar. Harganya terbilang miring, 20K per kilonya (untuk ukuran tanggung, sekilo dapat dua buah).

Lalu... bagaimana rasa mangga apokad? Ya rasa mangga lah, blas ngga ada rasa apokadnya. Masih cenderung ke rasa Gadung, cuma dagingnya terasa lebih padat. Manis tentunya... Oya, kulitnya pun sedikit lebih tebal.

Tentu Anda bertanya, mengapa disebut mangga apokad? Cara makannya saja gaya apokad. Dibelah, diputar, ditarik. Setelah terpisah menjadi dua bagian, makanlah pakai sendok.

Sayangnya, hanya satu bagian yang bisa diperlakukan seperti apokad. Bagian yang lain, terhalang bijinya. Tidak bisa seperti biji apokad yang bisa dengan mudah dikeluarkan. Namanya juga mangga...

Toh... mangga apokad bisa mengindonesia. Namanya menjadi bahan pembicaraan. Penasaran, macam apa tuh buah. Orang pun makin mudah mendapatkan melalui pembelian online. Itulah manfaat dari branding, dan berhasil... (22:11:17)


Selasa, 21 November 2017

KENAL KORUPSI SEJAK SEKOLAH RAKYAT



PELAJARAN Pengetahuan Umum. Rupanya Bu Guru hendak menggelar suatu percobaan. Ia minta kami masing-masing membawa segenggam kacang tanah. Esok harus dikumpulkan di meja guru.

Ada yang bawa sebungkus. Ada yang sekitar satu ons. Ada yang sedikit lebih banyak. Tapi tidak ada yang benar-benar bawa segenggam, apalagi kurang dari segenggam. Aku sendiri stor secangkir --yang aku ambil dari stok Mak Ten, pembantu kami.

Besoknya lagi, Bu Guru membagikan kertas minyak ukuran 10 X 10 cm. Lalu ia keliling membawa setoples kacang tanah yang sudah digoreng. Dengan menggunakan sendok, ia taruh kacang goreng secukupnya di atas kertas kami masing-masing.

Setelah itu ia memberi tugas untuk menulis proses apa yang terjadi pada kertas yang diberi kacang goreng. Sesaat gaduh dengan argumentasi. Tak lama kemudian teman-teman mulai menulis, tentu dengan tekun...

Sementara aku? Justru lebih tertarik mengalkulasi berapa "nilai susut" yang terjadi --dari kacang tanah kemarin yang terkumpul, ke setoples kacang goreng. Hampir separonya! Lalu, kacang goreng yang tersisa di toples masih separo dari nilai awal.

Kesimpulanku: Pandai nian nih Bu Guru! Kita disuruh kumpulkan segenggam --yang tentu tak satupun yang benar-benar bawa segenggam. Hasilnya hampir dua toples. Satu toples digoreng, separonya yang dibagi. Dhus... setidaknya ia dapat 1,5 toples kacang gratis!

Itulah yang aku pikir dan alami saat masih duduk di bangku kelas 5 Sekolah Rakyat (1964). Aku belum tahu apa istilahnya, cuma sadar kalau kami diakali Bu Guru.

Aku tahu itu tindak "nakalan" (curang). Namun aku tidak berani mendiskusikan dengan teman-temanku yang saat itu sibuk mempelajari proses kacang membasahi kertas minyak.

Baru beberapa dekade kemudian aku tahu bahwa Bu Guru melakukan korupsi. Ia ambil keuntungan dari kami, murid-muridnya. Aku tidak dendam, malah berterima kasih. Paling tidak, sejak saat itu aku tahu apa itu korupsi! (21:11:17)

Senin, 20 November 2017

LEBIH PAHAM ARTI SEMANGAT HIDUP



Myrna Sawitri*: MENGGAPAI SURGA

Mama tahu aku suka banget baca... Di setiap ada kesempatan, selalu kumanfaatkan untuk baca buku...  Anykind of books.   😊

That's why...  Sekitar 2  bulan yang lalu,  mama memberikan novel "Menggapai Surga", karya oom Yuleng Ben Tallar, padaku...

Tapi karena kesibukanku, yang  cukup menyita waktu,  novel ini  belum sempat kusentuh..

Mama yang juga punya novel ini,  sudah melahap habis, dan mulai ngomporin aku untuk segera baca...  "Mbak, ayo cepetan dibaca... Ceritanya bagus banget lho..."

Makin penasaran dengan cerita yang ditulis oleh oom Yuleng... Sebagai mantan jurnalis, aku yakin banget, pasti gaya penulisan beliau mantap.

Soo... Minggu lalu, aku mulai buka dan baca halaman demi halaman  Novel ini...  Benar saja,  aku langsung hanyut dalam kisah Marce Marconna... Dan, rasanya ga bisa lepaskan novel ini,  nagih banget...

Gaya penulisan bertutur, penyampaian cukup detail, tapi tidak membosankan...

Membaca novel ini, rasanya aku juga ada di sana,  turut mengikuti  perjalanan Marce Marconna menuju tanah suci, untuk menunaikan ibadah umroh, dan menggapai surga-Nya...

Alur ceritanya, surprising banget...  Karakter peran digambarkan cukup kuat...  Setting tempat, dilukiskan dengan sempurna...

Penasaran?
Ceritanya tentang apa?
Wah, ga bisa kuceritakan disini...
Sebaiknya baca dan rasakan langsung sensasinya... 😉

Yang pasti,  setelah baca Novel ini,  aku menjadi lebih paham akan arti semangat hidup... Juga, makin mengerti, kalau semua kejadian yang ada di dunia ini, tidak ada yang tidak mungkin, asal kita yakin dan tentunya atas Ridho Allah SWT...

Matur nuwun Oom Yuleng...
Saya sudah tidak sabar menantikan kehadiran Novel Ngaruawahia,  yang rencana akan terbit di bulan Desember 2017... 😊😊

* Myrna Sawitri adalah putri dari teman baik saya, Waty Noer, cucu dari alm Moch. Noer, gubernur Jawa Timur.

Kamis, 16 November 2017

HOTEL GAYA AIRPORT, NO GRAB!


Keterangan Foto: Gayaku ketika terima telepon... serius banget ich


ANEH! Ketika setting undang Grab di lobi hotel, alamat tujuanku tak bisa muncul! Aku akan move on ke Dynasty Resort Hotel. Aku coba tempat-tempat di dekatnya, juga tak bisa. Bahkan Discovery yang begitu kondang, sama saja... tak muncul di searching tujuan.

Padahal tadi semasih di kamar, dengan mudah aku mendapatkan alamat tujuan. Tapi itu tiga jam lampau ketika aku iseng mencoba apakah application Grab berfungsi di sini. Sekarang nyaris now way.

Untung aku cepat berpikir. Dugaanku, ada yang ngerjain sistem. Entah bagaimana caranya, buktinya aku tidak bisa mendapatkan alamat tujuan manapun di Bali. Dan sudah dicoba berkali-kali. Kalau ini kerjaan manusia, pasti ada celah yang mereka lupa. Akupun coba ikut ngerjain...

Aku searching untuk kolom PENJEMPUTAN: Dynasty. Baru deh muncul. Segera aku pasang "bintang", artinya tersimpan dalam memori. Baru aku kembali ke setting undang Grab seperti langkah semula. Aku dengan mudah menemukan Dynasty pada memori dan memasangnya ke kolom TUJUAN. Bingo! Sistem bekerja.

Beberapa menit kemudian, driver telepon. "Tolong Bapak siap di lobby, dan nanti kalau ditanya, bapak bilang dijemput saudara." Segera makfum, maka aku jawab, nanti Anda langsung salami saya. Pokoknya kita seolah sudah kenal lama...

Toh aku penasaran juga, cukup lama mobil tak segera muncul. Dari layar monitor, kendaraan itu berhenti di entrance hotel. Saya menghindari menatap layar lama-lama, khawatir petugas hotel curiga. Makanya foto-fotoan ama wifi eh wife...

Tadi salah satu di antara mereka menawarkan taksi (hotel), dan dengan halus kutolak. Kini mereka berlima siap menunggu kendaraan yang akan menjemputku. Setelah cukup lama, barulah Avanza Silver tampak mendaki dari kejauhan. Kami pun bersiap.

Seorang petugas hotel segera mengambil alih koperku, lainnya bersiap-siap membukakan pintu. Seorang pemuda turun dari balik kemudi dan membuka pintu bagasi. Sebelum pintu itu benar-benar terbuka, aku sudah mengulurkan tangan. Dia tersenyum lebar menyambut salamku.

Kemudian istriku --yang pemain watak juga rupanya-- mengulurkan tangannya. Kami sempat chas chis chus sambil masuk mobil. Aku tengok sejenak para petugas hotel kembali ke tempatnya semula.

Well... apa yang terjadi? "Maaf, Pak... tadi lama di gate masuk. Satpam tanya macam-macam. Bahkan mereka minta tunjukkan HP dan memeriksanya. Untung saya ada dua, yang saya berikan yang tidak ada aplikasi Grab..."

Wah... ngga ada etika itu, ujarku. Walaupun saya bisa naik taksi hotel, tidak baik menghalangi rezeki orang. Toh mereka sudah dapat sangat banyak dari pembayaran sewa kamar, hormatilah tamu yang akan memilih tumpangannya. Aku ikut uring-uringan, dan istriku mencoba meredakan dengan mengelus punggungku...

"Tidak semua hotel seperti ini, Pak," ujar Arief, anak Magelang yang baru dua tahun ngegrab di Bali. "Dynasty Resort aman-aman saja walau mereka juga punya taksi hotel," tambahnya.

"Kami biasanya mengaku dari travel, dan saya beruntung dapat tamu seperti Bapak yang mengerti persoalan sehingga tadi di lobby semuanya lancar. Kalau mereka curiga, di gate bisa-bisa dihentikan dan diusut lagi."

SEWA 25 JUTA/TAHUN

Dari Arief aku dapat banyak cerita tentang liku-liku Kuta sekarang. Sebenarnya, dusun bekas kampung nelayan yang miskin dan gersang ini (1969) sudah sejak lama aku kuasai seluk beluknya.

Aku nongkrong di Warung Made (1980) hampir setiap malam minggu. Juga jalan-jalan ke gang-gang kecil di belakangnya. Hafal banget bau asap "The Green", atau makfum jika orang menyebut mushrooms. Masih ketemu fleamarket, dan menginap di homestay pakai kipas angin. Yang AC-an cuma Inna hotel di tepi pantai sana.

Sekarang, kata Arief, ada kios yang disewakan 25 juta per tahun. Padahal ukurannya cuma 1 X 1 meter! Orang Madura pemiliknya, Pak. Mereka pintar cari uang...

Tanpa terasa mobil sudah belok kanan meninggalkan main road Kuta. Kami menelusuri jalan kecil menuju Dynasty Resort. Rasanya belum cukup tadi kami mengobrol.

Maka saat akan berpisah, aku bilang, "Bung Arief, besok siang kita ke Jimbaran ya. Saya ingin beli ikan segar, dan minta dimasakkan di sana. Nanti kamu ikut makan bersama kami," ujarku.

"Siap Ndan!" ujarnya tegas. Petugas hotel sampai ikut-ikutan, "Boleh saya bawakan kopernya, Ndan... Silahkan..." (16:11:71)


Kamis, 09 November 2017

HANYA TUJUH DETIK!



BISA Anda bayangkan, hanya dalam hitungan detik abai memperhatikan lalu lintas di depan, bisa berakibat fatal! Mencelakai orang lain, termasuk merugikan diri sendiri.

Rekaman video yang beredar di media sosial ini menggambarkan sedan putih sudah pindah jalur tujuh detik sebelum menabrak dari belakang sejumlah pengendara motor di depannya.

Kita berbaik sangka, pengemudi sedan ini mengalami serangan jantung. Atau mengantuk. Namun sangat disayangkan kalau mabuk. Lebih memprihatinkan lagi jika membaca/mengirim pesan singkat.

Kita serahkan saja pada penyelidikan pihak yang berwajib. Saya hanya ingin mengingatkan, betapa berbahayanya jika kita sekejab saja tidak melihat jalanan di depan kita.

Kondisi lalu lintas tahun 70-an tentu berbeda dengan 17-an. Kalau dulu kita bisa mengemudi sambil melihat kanan kiri menyaksikan keindahan kota, saat ini jangankan meleng tujuh detik. Kurang dari itupun sudah bisa mengundang celaka.

Apakah karena kendaraan di depan berhenti mendadak, ada seseorang menyeberang, pesepedamotor memotong, atau sebab lainnya. Lalu lintas saat ini semakin padat. Sopir tak bisa lagi tengok kanan kiri, apalagi membaca pesan singkat di telepon pintar.

Jadi benar adanya peraturan pemerintah yang melarang keras mengemudi sambil menulis/membaca pesan singkat. Ancaman dendanya pun cukup tinggi.

Dan jangan marah dong kalau kendaraan di belakang terpaksa bunyikan klakson karena kalian baca SMS. Pengemudi handal tahu kok kalau kalian tidak konsentrasi. Biasanya jalan perlahan, tidak pada jalur, atau mengangkangi marka jalan.

Kalau terpaksa harus membaca pesan penting, berhentilah sejenak. Lima menit menepi tak merugikan dibanding lima detik yang bisa menimbulkan mala petaka. Mari kita tertib berlalu lintas, keselamatan orang lain adalah keselamatanmu juga. (09:11:17)

Minggu, 05 November 2017

ISTRIKU NYARIS AKU TURUNKAN



Keterangan foto: Picantoku yang lebih rendah dari orisinalnya. Kaca gelap tidak jaminan tak terlihat dari luar.



MALAM Minggu, di jantung kota, lalu lintas padat. Aku baru saja melewati simpang empat dengan traffic light.

Ada polisi ikut atur lalu lintas. Lalu ada satu lagi temannya, sekitar 20 meter di depan. Ia membawa tongkat lampu menyala merah, dan melambai ke arahku.

"Papa ngga pakai lampu kah?" tanya istriku. "Pakai kok...," jawabku sambil menepi. Aku nyalakan lampu hazard, dan membuka jendela.

"Malam...," ujarku tegas menjawab sapaan hormat polisi lalu lintas yang berdiri membungkuk di samping mobilku. Maklum, ia berdiri di trotoar, sementara Picantoku terbilang rendah sekali.

"Hendak ke mana Pak?" tanyanya dengan sopan. Persis aku tidak bisa menahan batuk, aku menjawab sambil terbatuk-batuk... "Berobat Mas..."

"Ibu tidak memakai sabuk keselamatan Pak...," ujarnya masih dengan nada sopan. Buru-buru istriku menjawab, "O... maaf, lupa Mas. Maklum lansia..." Tentu dengan mesam-mesem sambil memasang sabuk pengaman.

"Lain kali jangan lupa, Bu... Bapak, ada surat-suratnya?" ujarnya masih dengan ramah. Aku buru-buru mengambil tas di samping kursi, tapi kemudian polisi itu mengatakan, "baik Pak... saya percaya. Silakan melanjutkan perjalanan, selamat bermalam Minggu..."

Aku sempat terkagum sejenak, dan aku genggam lengan polisi muda itu sambil mengucapkan terima kasih. "Selamat bertugas, Mas," ujarku mengakhiri pertemuan.

"Kok dia bisa lihat ya," ujar istriku beberapa saat kemudian. Pertanyaan yang wajar sebab kaca mobil pakai peredup sinar 70%, termasuk kaca depan.

"Faktor kebetulan," ujarku seasalnya. "Tapi untung ngga ditilang, sebab kalau ditilang kamu aku turunkan...," ujarku disambut tawa istriku.

Sampai segitunya aku? Dengar dulu. Sejak 1975 aku selalu pakai sabuk pengaman. Sejak itu pula "perseteruan" selalu terjadi. Dia baru pakai kalau aku ingatkan.

Kadang dengan kata mesra. Tapi kalau sudah bosan, ya dengan sedikit keras. Aku sadar manfaat sabuk pengaman sementara dia tersiksa dengannya. Sampai aku bertanya di dalam hati, apakah semua wanita begini?

Sampai suatu ketika kami sepakat. Kalau ada apa-apa, tanggunglah sendiri. Termasuk jika ditangkap polisi.

Dan sejak saat itu kami suka-suka. Dia bebas ngga pakai, aku juga ngga lagi ingatkan kecuali satu: Kalau ketilang dia mesti turun!

Jadi kalau dia tertawa malam itu, rupanya yakin aku tak akan menurunkan walau dia melakukan kesalahan! Dasar wanita... ha-ha-ha...

FITNAH KEJAM

Yang kami kagumi, sopan santun polisi tadi. Pada pekan operasi Zebra, yang konon tiada maaf bagi si pelanggar. Toh dia bisa mengerti kondisi kami.

Hal begini banyak yang tidak mengerti. Bahkan menuduh polisi mencari-cari. Kalau kami bebas, jangan-jangan sudah memberi uang. Apalagi aku tadi menggenggam lengan Mas polisi.

Fitnah-fitnah kejam kerap tertuju kepada mereka. Padahal para polisi sudah berkorban di tepian jalan, malam panjang, meninggalkan keluarga.

Kalau ada oknum yang nakal, janganlah semua dianggap sama saja. Masih banyak polisi jujur. Bukan mencari-cari kesalahan, namun mengingatkan demi keselamatan pengguna jalan.

Kami sepakat, sesuatu yang positif layak diceritakan. Jangan hanya berita buruk-buruk saja, seperti yang ditulis koran kuning.

Melanjutkan malam panjang, kami pun melaju menuju resto langganan. Lho... bukannya berobat? Tentu pertanyaannya begitu kan...

Yah... aku butuh makan daging sebanyak kemampuanku. Pekan lalu, beratku naik satu kilogram setelah banyak makan daging bakar di situ. Aku harus mencapai berat ideal 65kg dari 58 yang sekarang.

Makanya aku bersemangat pergi ke sana lagi. Dengan berat ideal, harapanku sistem tubuhku mampu ikut mengatasi penyakit paruku. Tentu obat dokter tetap aku minum.

Jadi tadi waktu aku terbatuk-batuk sambil mengatakan hendak berobat, bukanlah alasan yang aku cari-cari. Dan mungkin karena itu Mas polisi menaruh kasihan pada pria tua ini... mana aku tahu?  (05:11:17)

Kamis, 02 November 2017

KALAU ADA MURAH KENAPA BELI YANG MAHAL



Keterangan foto: Arlojiku, dengan baterai bekas di sisi kanannya. Kepikir enggak, barang sekecil ini dihargai Rp 450 ribu?
Oya... sekadar informasi, arloji ini diambil close up menggunakan smartphone...


JUM'AT yang lalu aku jalan ke mall. Kebetulan lihat gerai arloji, dan pas pula arlojiku mati sejak sepekan sebelumnya. Aku yakin, pasti baterainya habis.

Maka iseng-iseng mampir dan menanyakan berapa biaya ganti baterai plus ongkos pasang.

Setelah menanyakan kepada seseorang di ruang belakang, gadis  penjaga toko itu dengan lincah menjawab: baterainya Rp 450 ribu, ongkos gantinya untuk Bapak kita kasih gratis.

Hah... ujarku. Ngga salah hitung? Si gadis menggeleng. "Ini baterai khusus untuk Tag Heuer. Asli Swiss, Pak..." tuturnya ceriwis.

"Kasih aja yang buatan Cina... paling ngga sampai separonya," ujarku. Gadis itu tersenyum, dan ada saja jawabannya: Jangan Pak... sayang. Buatan Cina gampang rusak...

Aku pikir, kalau aku terus-teruskan, aku bakalan kalah berdebat. Apalagi gadis ini mengumbar senyumannya. Alamak!

"Enggak deh, nanti aku tambahin dikit uang, bisa beli accu untuk strum arloji ini," ujarku sambil mengambil arlojiku siap-siap berlalu.

Benar... Gadis ini bengong sesaat. Ketika aku sudah empat langkah menjauh, setengah berteriak ia mengatakan, "Bapak nih... ada-ada saja..."

Ibu-ibu yang kebetulan lewat di depan gerai itu sampai menoleh. Jangan-jangan terbersit di pikirannya, nah ini aki-aki genit ya...

Dan baru kemarin aku sempat mampir ke tukang arloji di Jalan Kedungsroko. Aku serahkan kepada gadis berhijab penunggu kios sambil mengatakan "ganti baterai".

Dengan cekatan ia mengerjakan, dan tak sampai 10 menit kemudian menyerahkan kembali sambil mengatakan, "Rp 35.000,- Pak".

Tuh kan apa aku bilang... Sama-sama gadisnya, cuma beda tempat usaha... Selisih harga bisa demikian tinggi.

Jarum arlojiku kembali bergerak, aku tak peduli baterai itu buatan Swiss atau Cina. Dan orang pun tak akan bertanya pakai baterai apa? Hari gini harus berpikir smart ya... (02:11:17)

Senin, 30 Oktober 2017

KAMI (KETURUNAN) PETANI




KELUARGA petani. Ngga anak, bapak dan emak, berperan sebagai petani dalam pemotretan di tempat berbeda. Si anak di Bogor sana, sementara bapak dan emak di Hotel Hyatt.

Kami memang keturunan petani. Kakek nenek kami petani sejati yang jauh-jauh menyeberang ke Jawa untuk membabat alas. Cukup luas, bahkan tetap luas walau Belanda membelinya sebagian.

Jadi jangan heran kalau hati kita selalu tergerak ketika melihat sawah, alat-alat pertanian, hasil bumi, dan sebangsanya. Termasuk alat peraga yang bisa kami pergunakan untuk berfoto.

Aku sampaikan salam petani dari desaku... "Tetaplah beli hasil kami sebab kalau kalian beli eks impor, kemana lagi kami akan menjual hasil panenan..." (30:10:17)

Sabtu, 28 Oktober 2017

KOLOM: TEMPE ATAU TÈMPÈ?



AKU pernah mengalami pemakaian huruf è tatkala duduk di bangku Sekolah Rakyat. Entah bagaimana ceritanya, huruf itu dihapus dari khasanah bahasa Indonesia. Pernah suatu ketika aku tanyakan kepada guru bahasa, jawabnya "pelajari yang diajarkan saja..." Nadanya ngga enak oleh sebab itu aku lupakan saja si huruf è ini.

Satu dekade mendatang, tidak ada masalah. Demikian pula dekade kedua. Ketika itu TVRI masih menjadi pemain tunggal. Ada Jus Badudu yang tampil di layar gelas mengawal bahasa Indonesia. Pun para pewartanya clear-clear saja mengucapkan kata-kata dengan benar.

Bahkan Anita Rahman, pembawa berita yang cukup kondang ketika itu, nyaris tanpa salah mengucapkan kata demi kata. Konon ia selalu check and recheck jika menemukan kata yang ia ragu dalam pengucapannya. Termasuk nama-nama tokoh dunia, yang kadang yang tertulis berbeda dengan yang terucap.

Beruntunglah mereka yang sekarang berusia 60 tahun ke atas. Lansia ini tidak ada masalah dalam mengucapkan kata dengan huruf e atau huruf è. Misalnya, "tèmpè". Berbeda dengan orang muda zaman sekarang. Kita mengelus dada ketika ada pewarta tv atau radio yang dengan lantang menyebut "tempe".

Padahal, kata benda itu setiap hari berhubungan erat dengan lauk pauk masyarakat kebanyakan. Seharusnya, tidak boleh salah. Apalagi dalam sejarah, kita hafal sekali Bung Karno mengatakan, "Kita jangan jadi bangsa tèmpè..."

Belum lagi dengan kata-kata yang jarang diujarkan. Misalnya "ketepèl", "perkedèl", "tempèlèng", dan masih banyak lagi contoh lainnya. Memang kita bisa merujuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia. Itu bagi yang rajin dan merasa keren jika berbahasa dengan benar.

Tapi dengar saja yang terujar dari pewarta tv maupun radio. Tidak terbatas soal pemakaian huruf e dan è. Juga penyebutan lainnya. Kuping kita gatal ketika ada yang menyebut nama kota Bojonegoro dengan bunyi "o" yang seragam. Padahal, bunyi dua o yang di depan berbeda dengan dua yang di belakang.

Yang sedihnya lagi, pengucapan salah ini dengan cepat menyebar ke berbagai lapisan masyarakat. Mereka merasa tidak salah ucap, sementara yang mendengar menirukan begitu saja. Maka salahnya berantai, makin lama makin menggelembung. Dan tak banyak yang peduli.

Senyampang saat ini bulan bahasa, yuk belajarlah untuk berucap dengan betul. Banggalah jika bisa membaca tulisan ini dengan benar: Jangan kau tempèlèng aku, lihat sekitar, teman-temanku siap dengan ketepèlnya. Mau jadi tèmpè kau...

Selamat berbahasa yang benar dan baik. (28:10:17)

ESTHI SUSANTI: BICARA TENTANG KEMATIAN YANG INDAH...



Esthi Susanti Hudiono * MENGGAPAI SURGA

Novel ini saya baca dari halaman pertama sampai akhir di atas kereta menuju Semarang. Saya suka sekali novel ini karena bicara tentang kematian indah dan bermartabat. Islam menyebutkannya sebagai khusnul khotimah.

Mas Yuleng pintar dalam memilih tema. Tema yang dipilih spesifik seperti novel lain yang baru saya baca tentang lukisan dan pelukis. Kekuatan lainnya adalah ia memberi banyak informasi. Barangkali ini karena latar belakangnya sebagai wartawan.

Saya mendalami masalah dying dan kematian. Minat saya dipicu oleh keterlibatan saya dengan orang yang terinfeksi HIV. Kematian prematur dan bagaimana hidup harus dijalani dengan beban pengetahuan tentang kematian yang sewaktu-waktu datang. Kematian dan hidup adalah tema yang paling saya sukai.

Novel Menggapai Surga bicara cara meninggal yang apik menurut versi Islam. Meninggal di Mekah setelah ibadah diselesaikan termasuk menyelesaikan urusan masa lalu dan memanjatkan doa untuk orangtua yang benar.

Disempurnakan dengan meninggal dengan perasaan bahagia karena didampingi oleh seseorang yang dicintai yakni kakak yang ditemukan dalam ibadah. Sempurna.

Selain kita harus bertanggung jawab penuh terhadap hidup yang diberikan. Kita juga harus memikirkan bagaimana kita bisa menyelesaikan hidup yang diberikan dengan bermartabat dan indah. Menurut saya urusan dying dan kematian juga harus masuk ranah pendidikan.

Novel-novel Mas Yuleng bisa jadi pemicu diskusi karena temanya yang penting. Semoga bisa mengadakan diskusi dengan tema dunia lukis dan pelukis dan kematian bermartabat. Semoga novel-novel Mas Yuleng bisa dikenali secara luas (*)


* Esthi Susanti Hudiono, pernah menjadi News Editor pada Harian Surya

@Esthi Susanti Oh#Novel Menggapai Surga


https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10210784438631838&substory_index=0&id=1376597700

Jumat, 27 Oktober 2017

SURABAYA RASA YOGYA, KITA JALAN-JALAN KULINER


Keterangan foto: Ngandok di Resto Catsy, bertemu pemiliknya, Son Andries dan Rina. Sebetulnya resto ini masuk rencana jalan-jalan kami, sayangnya si pemilik waktu itu keluar kota. Nah baru beberapa hari kemudian mampir kemari..., ya makan ya silaturahim.


SUDAH lama kami tidak plesiran. Aku sibuk dengan pemasaran buku, istriku tugas rutin yang nyaris tiada jedah. Kebetulan pekan keempat Oktober ia agak senggang. Jadi aku usul pergi ke luar kota barang tiga empat hari.

Awalnya dia pilih ke Bali. Aku ke Malang. Lalu dia ganti tujuan, Jember. Aku justru ke Yogya. Deal... Yogya nyaman untuk jalan-jalan. Kita bagi tugas. Aku cari hotel lewat online, dia cari tiket.

Namun entah mengapa, malam-malam aku berubah pikiran. Kalau hanya jalan-jalan dan cari kuliner, mengapa harus jauh-jauh? Di Surabaya masih banyak tempat yang belum kita jelajahi. Paginya aku usulkan itu, dia setuju. Yah... kita hunting tempat-tempat baru Kota Buaya.

Dhus, aku mulai bikin jadwal, dimulai Rabu. Sebab Selasa dia masih ada acara reses, seharian. Kita mau ke Landmark di Surabaya Barat, lihat Trans Studio. Malamnya nyambung ke G-Walk. Sepuluh tahun lebih kita tak pernah ke sana.

Kamis lihat pameran 8.000-an lukisan di Jatim Expo, lanjut ke Sidoarjo yang konon banyak tempat-tempat  makan baru. Jumat ke Pakuwon City di Surabaya Timur, dinner bisa ke Layar atau Kafe Pisa. Tapi kalau ada tempat bagus di Pakuwon, bisa saja ngudap di sana.

Sabtu ambil yang santai-santai, nonton film di Grand City. Lengkaplah city tour pengganti acara ke Yogya, pikirku. Istriku setuju, malah antusias sekali. "Good job," pujinya.

Ketika saatnya tiba, mendadak rencana berantakan. Hari Rabu, istriku dapat undangan sebagai narasumber. Tidak tanggung-tanggung, di tiga tempat yang berjauhan --Pawiyatan (Bubutan), Kendangsari, dan Balai Pemuda. Sejak pagi hingga usai magrib dengan jedah sebentar saat azhar.

Toh dia sempatkan pergi bersama malam harinya, sebagai penanda "Day One" plesiran. Kami menuju Marvell City, di jantung kota. Itu tuh bangunan yang lama mangkrak di seberang sungai Ngagel. Sekarang jadi mall yang cukup asyik dikunjungi.

Sebenarnya kami sudah beberapa kali ke sana. Namun aku baru dengar ada foodcourt di lantai atas. Tempat itulah yang kami tuju. Toh tak bisa lama-lama sebab tentunya istriku capai setelah seharian padat acara.

Ternyata benar, tempat makan ini bersuasana cozy, dengan lampu temaram. Terdapat 40-an gerai makanan. Ada sudut-sudut tempat duduk yang bisa melihat keluar, dengan pemandangan jembatan bungkuk menyeberang sungai Ngagel. Tampak indah malam itu.

Sejumlah pengunjung punya keasyikan tersendiri. Yang pacaran, misalnya, tanpa peduli orang lalu-lalang di seputarnya. Seorang gadis asyik dengan laptopnya, sambil kepala geleng-geleng ikuti irama musik lewat headphone-nya. Atau sekelompok remaja bercanda di meja sudut ruang.

Aku hanya ingin makan ringan, memilih mie goreng seafood. Istriku order es campur. Ternyata porsi mienya banyak banget sehingga hanya habis separo. Sisanya dibungkus bawa pulang. Kami juga bawa buah tangan martabak yang ternyata rasanya masih kalah dengan yang di pinggir jalan dekat rumah.

Ketika kami sudah di tempat tidur, aku nyeletuk... "Suasana hotel ini kayak di rumah kita ya." Istriku erat merangkul sambil menjawab, "tempat tidur rumah sing ada lawan..." Kami tertawa, good night sayang...

SILATURAHIM

Hari kedua kami agak santai. Berangkat siangan setelah cukup istirahat. Arahnya ke Selatan, tapi kami ubah tujuan. Tidak ke pameran lukisan --yang aku pikir akan menguras tenaga-- namun ke rumah mbak Nana Tommy di Rungkut Asri.

Hubungan kami dengan keluarga Tommy sudah seperti saudara. Mbak Nanalah yang mendorong aku untuk menulis buku pada saat semangatku berada di titik nadir. Dia yang mengenalkan aku dengan Prof. Dr. dr. Roem Soedoko, Sp.PA (K) untuk menulis otobiografinya, "Queen of Cancer Control". (Selasar Surabaya Publishing, 2012).

Sudah lama tak jumpa dengannya. Kami ngobrol ngalor-ngidul. Sambil makan rujak cingur. Juga aneka buah-buahan. Dan tentu saja kopi tubruk tanpa gula sebagai penutup. Tiga jam bertemu menghapus rindu sejak tiga bulan silam.

Sepulang dari sini, masih ada waktu mampir Pawon Cabe yang terletak di seberang perumahan Araya. Menu makanan rumahan. Tempatnya tak terlalu ramai. Dan yang terpenting, tempat parkir cukup luas. Aku menikmati lele penyet dan sayur asam, istriku memilih sup iga dan es campur. Satu jam lebih kami di sini, dan meluncur pulang saat adhan magrib berkumandang.

Jumat acara bebas buat kami. Istriku ziarah ke makam pahlawan dalam kaitan HUT Partai Golkar, lanjut acara tumpengan dan pertemuan partai secara terbatas. Aku Jumatan di Tunjungan Plaza 2 bersama sohib Ali Salim, lanjut maksi dan ngopi.

Malam kita kembali bertemu, dan melanjutkan acara kuliner. Kali ini makan dimsum di MERR, hanya seperempat jam perjalanan dari hunian kami. Nama rumah makannya "Mbledos", dan perut kami nyaris 'mbledos' gara-gara kebanyakan porsi yang kita santap. Terutama cakar ayamnya yang memang yummy.

Esoknya aku istirahat seharian di rumah. Aku harus benar-benar disiplin dengan kondisi staminaku. Istriku pergi ke studio untuk foto bersama mempersiapkan kalender 2018. Lalu rapat sebentar, lanjut ke pameran 8.000 lukisan di Jatim Expo. Ia melebur dengan komunitasnya.

ALL YOU CAN EAT

Baru malam hari kita kembali pergi bersama untuk dinner malam panjang. Kami ingin santai dan memilih makanan (dan memasaknya) sesuai dengan selera. Maka kami pergi ke Cocari Resto. Tempatnya baru, terletak di Jl. Sriwijaya. Kami mendapat tempat duduk di tengah, memudahkan untuk mengambil bahan yang hendak kita masak.

Sebagai pembuka, aku ambil salad yang kombinasinya tersedia cukup lengkap. Aku memilih kentang beroles mayonise, bawang bombay, lettuce, daun pasley, tomat cherry, dan potongan nanas yang sangat manis. Dressing-nya aku campurkan thousand island.

Istriku lebih suka mengambil sushi dan minta dibikinin beef teriyaki. Ia ambil sedikit salad sebagai pelengkap. Kami tidak perlu terburu-buru menyelesaikan makanan pembuka sebab ada beberapa hal yang perlu kami obrolkan.

Kami pun tidak kemaruk. Ambil secukupnya saja untuk dihabiskan. Termasuk makanan utamanya. Kita sepakat  ambil sendiri-sendiri supaya tahu selera, sekalian kemampuan perut masing-masing.

Aku memilih beef black pepper, ayam, udang, ikan laut dan sedikit tiram batik. Semuanya itu untuk dimasak barbeque. Pilihan istriku hanya tiga: beef, ayam, dan ikan. Ia alergi udang. Kita grill bersama sambil ngobrol santai.

Sementara kami belum menyelesaikan hidangan, anak muda di sebelah kami sudah menghabiskan tiga piring daging dalam ukuran ekstra banyak. Ya ngga apa-apa, mereka masih muda dan kuat-kuatnya makan. Asal tidak ada yang tersisa percuma.

Untuk minumnya, aku sedikit bereksperimen. Teh celup panas aku tuang di gelas seukuran 2/3, lalu aku tambahkan jus jeruk manis dingin. Hasilnya lemon tea hangat, dengan kemanisan yang cukup (jus jeruk itu ternyata sangat manis). Harap maklum, selama ini aku menghindari minuman dingin.

Hampir dua setengah jam kami menghabiskan malam Minggu di tempat ini, namun kurang dari separo hidangan yang tersedia yang kami ambil. Walau All You Can Eat, kami masih ingat sabda Kanjeng Rasul, "Makanlah selagi lapar, berhentilah sebelum kenyang." Alhamdulillah...

THE LAST DAY

Sebenarnya kita sudah sepakat hari Minggu istirahat di rumah saja. Entah mengapa, siang-siang ingin ke rumah adikku di Manyar Jaya. Sekalian makan siang. Jadi selepas dhuhur kamipun berangkat.

Tak jauh dari rumah adik ada steak house, Bon Ami. Nanti dari sana kami telepon dia, siapa tahu mau bergabung atau ingin dibawain sesuatu. Di perjalanan, terbersit pikiran jangan-jangan resto yang kami tuju tutup. Padahal perut sudah lapar-laparnya.

Ternyata benar. Bangunannya sedang direnovasi. Terpaksalah cari tempat lain kira-kira dua tiga km arah balik ke rumah. Sebenarnya banyak pilihan, tapi kami ke yang quick service aja. Primarasa Ayam Bakar.

Kami memilih gurami bakar, sambal pencit, tumis gingseng, dan sayur asam. Yummy semua, sayangnya terganggu dengan suara ribut anak-anak. Rupanya, orang tuanya kurang melihat dunia, mereka diam saja memandang anak-anaknya teriak tak karuan.

Kami menyegerakan makan siang yang terganggu. Dan buru-buru ke tempat adik. Alhamdulillah, bad mood tergantikan hidangan kopi Aceh Gayo. Tempat kerjanya lagi meluncurkan produk terbaru yang di-branded "Premium coffee of Indonesia", yang 100% biji kopi Arabica.

Beberapa jam kemudian di rumah, kita flash back jalan-jalan sepekan ini. Dua kali silaturahim, mencicipi kudapan yang paling murah hingga mahal, dari masakan rumahan, penyetan, Chinese food, European hingga Japanese. Walaupun meleset dari rencana semula, namun kami mensyukuri bisa menikmati jalan-jalan penghibur hati.

"Nice trip," ujar istriku menjelang tidur. "Thank you, darling, ujarnya kemudian." Aku menimpali, "Tentu biayanya lebih murah daripada kalau kita pergi Yogya. Tak apalah... kali ini 'Surabaya rasa Yogya...' ya..."

Kami tertawa sebelum benar-benar tertidur... (27:10:17)


(Catatan: Maaf... kali ini agak panjang. Aku hanya ingin berbagi, plesir berdua pasangan tak harus jauh dan mahal. Yang penting semangat kebersamaan. Selamat menjalin kebersamaan dengan pasangan masing-masing)

Minggu, 22 Oktober 2017

GADIS TIYINGTALI, NOVEL RUJUKAN


SELEPAS senja di rumahku, aku memberikan buku novel ini ke tamuku, Esthi Susanti Hudiono dan Erwin Poedjiono Tirtosari. Mereka Sosiawan yang juga peminat seni lukis. Aku pikir mereka tentu suka dengan novelku ini --yang bergendre seni lukis (2012). Ternyata benar, Esthi malah menyebut ini bukan sekadar novel, tapi juga novel rujukan. Syukurlah, satu (atau dua) lagi penggemar novelku...


NOVEL TENTANG DUNIA LUKIS
DARI MAS YULENG

Awalnya saya bermaksud baca novel terbaru Mas Yuleng "Menggapai Surga". Untuk ini saya ke rumah Mas Yuleng dan Mbak Nunung. Tak tahunya saya dan Erwin dapat hadiah novel berjudul "Gadis Tiyingtali".

Gadis Tiyingtali bercerita tentang dunia lukisan dan pelukis. Novel ini diberikan ke kami karena kami berurusan dengan pelukis dan lukisan sekarang.

Sehari saja novel ini selesai saya baca dengan teknik baca menikmati. Teknis membaca kata pertama sampai kata akhir. Sering saya baca dengan teknik baca kilat yang butuh waktu sekitar 1 jam.

Buku ini bagi saya tidak hanya novel hiburan tetapi novel rujukan untuk memahami hubungan pelukis dan kolektornya dengan pernak pernik yang ada.

Selain saya berminat mengenali jiwa manusia, saya juga berminat pada urusan relasi. Dugaan saya tidak salah kalau ada urusan serius dengan namanya ikatan batin antara pelukis dan kolektornya. Bagi saya pertanyaan:" Bagaimana ikatan batin itu bisa terjadi adalah penting dan selalu saya cari".#EsthiSusantiOh#Novel Gadis Tiyingtali.

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10210747200420906&id=1376597700

LAMPU REM NYALA SENDIRI



SETENGAH jam jelang subuh tadi telepon berdering. Adik iparku yang tinggal di rumah belakang memberitahu, lampu rem mobilku menyala.

Aku segera bergegas ke carport. Ternyata benar, tiga lampu rem menyala terang. Satu-satunya yang praktis aku lakukan, lepas kabel aki supaya strum tidak habis.

Seusai shalat subuh aku selancar ke internet. Mencari tahu penyebab lampu rem nyala dengan sendirinya. Macam-macam jawabannya. Umumnya mengarah pada bagian switcher rem.

Problemnya adalah, di mana letak switcher itu? Kalau di motor, mudah melacaknya. Tapi baiklah, paling tidak aku sudah mengenali penyakitnya.

Ketika matahari agak tinggi, aku periksa mobilku. Pertama-tama, aku lihat bagian lantai bawah kemudi. Aku mencurigai benda asing yang aku temukan, berupa karet bundar dan protolan material semacam plastik.

Karena mobilku kecil dan lantainya rendah, tentu menyulitkan posisiku untuk mengintip bagian bawah kemudi. Disitu terdapat pedal rem, dan aku mulai mengira-ngira letak switcher. Apalagi tadi aku temukan benda asing.

Maka aku ambil smartphone, dan mulailah merekam bagian bawah yang sempit itu. Dari hasil rekaman aku bisa mengetahui, di bagian atas pedal rem itulah terletak switcher.

Aku mulai menganalisa. Dibantu adikku, mencoba menekan switcher secara manual. Mempelajari cara kerjanya. Dan ketemulah, protolan yang jatuh ke lantai itu berfungsi sebagai bantalan.

Dhus kami selamatkan karet itu. Kami rakit kembali ke tempatnya. Dengan beberapa kali mencoba posisi, akhirnya switcher itu berfungsi. Lampu rem tak lagi menyala kecuali kalau pedal diinjak.

Aku terselamatkan lewat sedikit usaha. Andai tadi aku bawa ke bengkel, boleh jadi disarankan ganti switcher seharga Rp 225K. Ongkos pasang dll Rp 300K.

Belum lagi waktuku yang tersita di bengkel itu. Terlebih kalau mobil harus menginap. Itulah untungnya kalau kita mau usaha dulu sebelum menyerahkan ke orang lain... (22:10:17)

Senin, 16 Oktober 2017

UNDANGAN YANG MENJENGKELKAN



SUATU saat, seorang teman mengundang bertemu di sebuah kafe di Grand City. Katanya, ia ingin bicara tentang penerbitan buku. Karena aku sedikit banyak menguasai hal tersebut, ya okaylah aku setuju. Tepat pukul 13.00 sesuai dengan janji, aku sampai di kafe itu.

O... ternyata bukan aku saja yang ia undang. Ada lebih dari 15 orang, yang saat itu sedang foto bersama. Beberapa di antaranya malah menyapa aku, dan meminta untuk gabung. Aku agak lupa dengan mereka, tapi yakin teman yang mengundangku ada di antara mereka.

O... ternyata ini bukan awal pertemuan. Ini akhir, sebab setelah foto-fotoan selesai, mereka bubar. Termasuk teman yang mengundangku, berjalan meninggalkan kafe. Aku sempat dibuat bingung atas kelakuannya.

Aku mulai mengira-ira. Dia menghadiri pertemuan dengan teman-teman eks sekolahnya. Supaya praktis, ia mengundang aku ke tempat yang sama. Dan syukurlah aku datang di akhir pertemuan sehingga ia bisa segera memisahkan diri dari teman-temannya.

Tapi buat aku, ini hal yang kurang mengenakkan. Seolah aku mau gabung makan-makan gratis dengan mereka --yang mereka tahu aku tapi aku tidak tahu mereka. Dan syukurlah aku datang di akhir pertemuan sehingga kesan demikian tak perlu terjadi.

Sampai di luar kafe aku menanyakan, apa yang ingin ia bicarakan. Kami duduk di kursi tak jauh dari kafe tersebut --yang masih wilayah kafe itu. Ketika pelayan datang, tanpa basa-basi aku pesan kopi hitam. Dia tidak pesan apa-apa, dan langsung membayar pesananku.

Aku heran dengan kelakuannya. Sebagai pengundang, seharusnya ia bertindak sebagai tuan rumah yang baik. Tadi di awal kehadiranku, terus terang aku merasa salah tingkah. Seolah datang pada acara yang salah.

Dan sekarang aku ngopi sendiri, berbicara dengan tuan rumah yang rasanya ingin cepat-cepat pergi. Terus terang aku kehilangan simpati, dan sama sekali tidak mendengarkan apa yang ia bicarakan.

Aku menikmati kopi kendati seharusnya aku sruput setelah selesai makan siang. Bukankah undangan pukul 13.00 masih termasuk jam makan siang?

Well... pesan moral yang ingin aku sampaikan adalah, jadilah tuan rumah yang baik jika Anda mengundang seseorang. Jangan sekali-kali nebeng ke acara yang lain tanpa memberitahu terlebih dahulu. Hormatilah tamumu sebab itulah etikanya. Jika kamu tidak bisa melakukan ini semua, jangan sekali-kali mengundang temanmu.

Aku ucapkan selamat makan siang, dan jangan lupa sruputlah kopi hangat (16:10:17)

Jumat, 13 Oktober 2017

PRAY, EAT AND NGOPI


Keterangan foto: Suasana masjid baru yang cozy, nyaman untuk Jumatan maupun shalat fardhu.

TERNYATA Tunjungan Plaza luas banget. Setidaknya untuk ukuran dua kakek yang sedang bermuhibah ke mall di tengah kota Surabaya itu.

Dengan menggunakan city car, mereka dengan mudah menemukan tempat parkir di Tunjungan Plaza (selanjutnya kita sebut TP) 2. Dari tempat parkir langsung masuk mall, persis di lantai tempat Masjid Attawwabun berada.

Adzan baru saja dikumandangkan, jemaah di dalam sudah ber-shaf-shaf. Beruntung dua kakek ini mendapat tempat di shaf ketiga, di bagian paling ujung kanan. Agak jauh posisinya dari pintu masuk.

Terlambat sedikit, bakalan dapat shaf belakang. Shalat Jumat kali ini bukan main. Full house. Padahal masjidnya yang bersih dan dingin, dengan sound system yang bagus, cukup luas. Kira-kira bisa menampung 500-an orang.

Masjid ini relatif baru, menggantikan peran mushala yang terletak di lantai parkir paling atas di TP-3. Mushala lama dianggap terlalu kecil dan tidak representatif dibanding kemegahan kompleks Tunjungan Plaza. Bahkan ada yang mencibir, "masak mau bertemu Tuhan harus ke tempat parkir."

Sebagai gambaran, beberapa mall di Surabaya sudah terlebih dahulu menyiapkan mushala/masjid yang cukup bagus. Grand City bahkan memenangkan beberapa kali mushala terbaik. Royal Plaza juga membangun masjid dalam arti yang sesungguhnya kendati berada di zona parkir.

Usai shalat Jumat, mereka tak segera berlalu. Masih mampir lobi masjid, untuk minum dan bertemu Arifin BH, teman sejawat. Ia sedang mengantar tetangganya yang sudah sepuh, yang konon ingin merasakan shalat di Attawwabun. Tindakan yang cukup terpuji.


TAKUT KOLESTROL

Baru setelah lobi itu lengang, dan jemaah wanita berdatangan untuk shalat Dhuhur, kedua kakek ini beranjak ke TP-3. Tujuannya American Grill yang tempo hari tutup karena lokasinya direnovasi.

Ternyata blok itu sekarang dipakai sebuah Department Store. Tidak hanya American Grill, resto-resto lain di sekitarnya benar-benar tergusur. Mereka putuskan mencari XO Suki. Untuk menghemat waktu, bertanya ke Meja Penerangan.

Ternyata lokasinya di TP-4, lantai 5. Padahal mereka berada di Ground Floor TP-3. Wanita di Meja Penerangan menyarankan menggunakan lift saja, sambil menunjuk lokasinya. Rupanya ia bersimpati terhadap kedua kakek ini.

Dari pintu lift lantai 5, masih cukup jauh berjalan menuju resto tersebut. Tak apalah, mereka berdua ingin Peking Duck yang tersaji bersama mie lembut. Ada kuahnya yang cukup lezat, tapi bumbu taoco justru menambah semangat mengunyah daging bebek yang empuk itu.

Di sini, anggota jalan-jalan bertambah seorang. Anak muda yang awalnya janjian di masjid Attawwabun. Sayangnya, sisipan dan tidak bertemu. Toh akhirnya bergabung, tapi karena takut kolestrol ia memilih daging ayam. Si kakek terkekeh karena kolestrol baginya bukan masalah.

Dari sini mereka berpindah tempat, berniat ngopi. Mereka menemukan kedai yang cukup nyaman di TP-1, cukup jauh dari tempat makan namun mendekati tempat parkir.

Oya... rata-rata tempat ngopi memberi previllege bagi perokok. Tersedia ruang lebih luas berdinding kaca. Sementara yang non-rokok, cukuplah di serambi bercampur lalu lalang orang di mall. Duh banget!

Sementara yang mereka datangi masih lebih sopan. Justru bagi perokok cukuplah "akuarium" kecil di ujung ruang. Sementara yang lebih luas dan terbuka berada di bagian depan untuk tamu umum.

Pesanan black coffee segera terhidang. Begitu pula capucino latte. Sayang ketela kejunya sold out. Sebagai gantinya kentang keju. Mereka bicara tentang tren penerbitan dan masa depan toko buku. Maklum sang kakek seorang author, si anak muda bergerak di bidang penerbitan.

Ketika kakek tua kembali bergabung --dia tadi izin bertemu seseorang sebentar-- topik pembicaraan lain lagi. Soal berita yang dimuat di koran akhir-akhir ini. Juga tren kembalinya suratkabar dalam format yang lebih kecil di luar negeri. Konon tren ini nanti juga masuk Indonesia.

Tak terasa jarum jam menunjukkan angka lima. Si anak muda sudah dua jam lalu pamit. Si kakek tua mengajak pulang. Sementara si kakek muda mengingatkan, waktunya nanggung --sebentar lagi magrib dan tentu di luar sana macet.

Karena si kakek tua bersikeras kepala, yang muda bertoleransi. Benar, begitu keluar Tunjungan Plaza, jalanan macet. Mengular di lajur kanan, dan berhenti di ujungnya. Kakek muda lebih suka mengambil jalan memutar yang terasa lebih lengang.

Magrib baru saja datang mereka masih di jalan. Jangan-jangan masuk isya barulah sampai tujuan --yang jaraknya cuma 7km. Lalu lintas sore itu memang padat-padatnya. Di tengah merambatnya kendaraan, si tua mengaku, "feeling Anda benar. Mestinya tadi Anda bertahan pada argumentasi," ujarnya bernada membela diri.

"Aku hanya bertoleransi pada kawan, walau kemauannya ngga bener-bener amat," ujar si muda sambil tersenyum. Keduanya lantas tertawa... kedua kakek menikmati Jumat indah, antara ibadah dan hangout... (13:10:17)

Selasa, 10 Oktober 2017

TELEPONNYA AQUA, URUSAN BERES



SAYA pagi tadi membaca tulisan di Facebook dari rekan saya, Sutan Kasidhal, SE, yang baru saja terpilih sebagai Ketum GARANSI, di Jakarta. "Alhamdullilah dan syukurillah..., berkat bantuan sochiebku, Aqua Dwipayana, semalam, maka pagi ini bisa berangkat dengan mulus tanpa tambahan biaya..."

Rupanya ia semalam (Senin, 09/10) ketinggalan pesawat Garuda yang akan menerbangkan dari Jakarta ke Surabaya. Walau ia mengaku hanya terlambat 5-10 menit, faktanya ya memang melebihi waktu yang sudah ditentukan oleh pihak maskapai.

Tentu ia tidak mau diam begitu saja, mencoba complain dan berdebat panjang dengan pihak manajemen Garuda. Ada alasan yang ia kemukakan, antara lain harus berlari ke gate 16 yang jaraknya cukup jauh. Dan keterlambatannya, menurut dia, hanyalah beberapa menit.

Rupanya pihak Garuda bersikeras. Sutan Kasidhal tidak bisa terbang dengan Garuda pada malam itu. Kalau mau terbang, ya esok hari dengan tambahan biaya tentunya. Sutan yang berperawakan besar lemaslah sudah.

Sampai kemudian ia teringat dengan Aqua Dwipayana, yang dikenalnya ketika kami dari Khalifah-10 mengadakan muhibah ke Jogja tempo hari. Oleh Aqua kami dijamu sebagai tamunya, tinggal di huniannya tak jauh dari kampus UGM. Sutan segera menghubungi Aqua lewat telepon untuk meminta tolong.

"Barakolloh... memang betul, saya sendiri merasakan kepiawaian beliau dalam menyelesaikan permasalahan.  Hanya dalam kurun waktu tujuh menit, permasalahan selesai dengan happy ending..." ujarnya.

Padahal sebelumnya, ia membutuhkan waktu hampir duapuluh menitan untuk berdebat dengan petugas Garuda, tanpa bisa menyelesaikan persoalan secara win-win solution...

Di tangan Aqua Dwipayana, Sang Motivator, persoalan beres. Sutan bisa terbang dengan Garuda esok hari tanpa harus mengeluarkan tambahan biaya. Hanya saja, ia harus mencari hotel di dekat-dekat bandara kalau tak ingin begadang semalaman di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta.

"Yg paling berharga buat saya, karena beliau, bertambah lagi sahabat saya, Mas Bondan selaku Duty Manager Garuda Indonesia di bandara Soekarno Hatta," ujar Sutan Kasidhal.

Mengenai Aqua, Sutan dengan tulus mengatakan, memang tepatlah kalau pria itu disebut sebagai Motivator HEBAT dan ULUNG. "Jadi bukan HEBAT saja, tapi juga ULUNG dalam menyelesaikan persoalan," tambahnya.

"Sekali lagi saya ucapkan terima kasih dan syukron buat saudaraku Aqua Dwipayana yang telah memberi pelajaran kepada saya bahwa bagaimanapun emosi tidak akan menyelesaikan permasalahan yang kita hadapi..." ujar Sutan akhirnya. (Yuleng Ben Tallar)

NENEK-NENEK TAPI TAMPAK MUDA



AKU memanggilnya Yuk An. Entah nama panjangnya. Dia dulu tetanggaku, persis di kiri rumah. Bagi kami, Yuk An bukanlah orang lain. Apa yang ia masak --dan baunya nyampai ke rumah-- aku selalu kebagian. Maklum aku suka teriak dari balik pagar, "Masak apa Yuk..."

Anak-anaknya juga familiar dengan kami. Tak sungkan-sungkan memanen buah sawo yang pohonnya mepet ke atap rumahnya. Dari kamar tidurku aku bisa melihat mereka menghitung hasil jarahannya... ha-ha-ha.

Siang tadi Yuk An datang ke rumah dan langsung masuk ke ruang tamu yang pintunya sengaja aku biarkan terbuka. Aku bekerja di ruang tamu sebelah, dan kaget dengar suara, "Assalamualaikum... mau minta makan..."

Subhanallah... Aku berlari menyambutnya, mencium tangannya. Nenek ini masih tampak segar, dengan suara yang tetap lantang. Ya... nenek, walau aku memanggilnya Yuk. Cucunya lebih dari sepuluh (tadi ia menyebut tapi aku lupa). Dan cicitnya, tiga!

Dalam usia 80-an, kerap orang mengira ia masih 60-an. Dan alhamdulillah... ketika siang tadi aku foto bersamanya, wajahku juga menjadi jauh lebih muda (hehehe... maksain ye...)

Tentu aku gembira disambangi Yuk An. Tapi juga sedih mendengar cerita tentang kepergian Zon Dasoma, anak ragilnya. Zon pernah ikut aku kerja di Surabaya Post sebagai art designer.

Kehadiran Yuk An di Surabaya dalam kaitan pulang dari Jakarta ke Mataram. Ia sempat-sempatkan mampir rumahku --aku terbilang yang termuda yang ia kenal di kompleksku-- dan ke rumah Ibu Oemijono, yang paling sepuh di sini.

Aku salut dengan semangat silaturahimnya... dan mungkin itu yang membuatnya tampak tetap muda, dan seger waras... Terima kasih Yuk An... siang yang membahagiakanku... (10:10:17)

Minggu, 08 Oktober 2017

JADI TEMPAT RAPAT ROH JAHAT


Keterangan: Foto ilustrasi saja

"MA... soto itu dibuang saja," ujar Andre sore itu. Dewi tentu saja kaget. Soto ayam masih sepanci, dan baru dibuatnya pagi tadi. Sekarang anaknya dengan wajah serius meminta membuangnya. Ada apa?

"Tadi aku lihat Arek'e obok-obok... Aku ngga mau makan itu, jijik...," sambung Andre. Yang dimaksud "Arek'e" (anaknya) adalah "teman" Andre dari dunia roh halus.

Halah... hari gini masih ada roh halus? Ya sudah, kalau ngga percaya, stop baca sampai di sini. Tapi kalau percaya, yuk dengar kisah-kisah lain dari Andre, anak usia belasan yang bisa melihat "dunia lain".

Tapi ada baiknya aku selesaikan dulu cerita soto diobok-obok itu. Akhirnya, si mama memang menuruti kata Andre. Soto ayam dibuang, dan ia menyiapkan masakan baru untuk makan malam nanti.

"Makanya Ma..., makanan mesti ditutup. Kalau ditutup, Arek'e ngga bisa obok-obok. Tadi sudah aku tegur... tapi tertawa saja dianya..."

Siapa Arek'e? Dia pribadi kecil yang bersahabat dengan Andre. Dia enggan kumpul dengan pribadi-pribadi serupa yang suka jahat dengan manusia. Waktu Dewi menceritakan ini, aku membayangkan seperti Casper. Tapi Dewi bilang, bukan Casper-casper amat lah...

PINDAH RUMAH

Andre sendiri sejak kecil punya kelebihan bisa melihat dunia lain. Tapi ia mengaku, tak terlalu menyukai kelebihannya itu. Ia lebih sering hanya melihat dengan sudut matanya saja sebab semua itu sungguh mengerikan. Sejatinya, ia tak suka bisa melihat yang seperti itu.

Andre rupanya punya bakat turunan. Neneknya, juga bisa melihat, tapi cenderung diam atas kelebihannya itu. Ibunya hanya dapat cerita-cerita serem dari kakak-kakaknya. Tapi dia sendiri tidak bisa "melihat".

Saat mereka tinggal di Rungkut Harapan, halaman belakang rumahnya jadi tempat berkumpul roh halus. "Tempat rapat...," kata Andre.

Dan kebetulan, mereka adalah roh-roh jahat. Itu menurut Arek'e. Oleh sebab itu, dia menyarankan menjual saja rumah itu, dan pindah ke lain tempat.

Awalnya, Dewi kurang meyakini. Tapi lama kelamaan karena Andre terus mendesak, mereka melakukannya. Rumah dijual, dan pindah ke daerah Semolowaru. Dia pikir, dengan begitu selesailah hubungan dengan roh halus.

Ternyata Arek'e ikut. Memang di tempat baru relatif bersih. Apa boleh buat, kalau cuma si kecil itu, biarlah. Paling hanya gangguan-gangguan kecil yang dilakukan... Benarkah begitu? Nanti dulu...

Suatu ketika, Dewi ditagih langganan pulsa. Keluarga ini memang biasa beli pulsa, nanti bayarnya di akhir bulan. Ia agak kaget karena tagihan kali ini tidak seperti biasanya. Maka dilakukan check and recheck.

Ada dua kali SMS masuk ke tukang pulsa dengan nominal 100K. Di luar kebiasaan. Biasa paling banter mereka minta 25K.

"Wah... pasti ini ulah Arek'e," kata si Andre sambil uring-uringan...

Lain waktu, ada saudara dari Jakarta yang menginap di keluarga ini. Waktu pulang, belum sampai Bandara Juanda, dia telepon menanyakan apakah smartphone-nya tertinggal di sana. Dewi berusaha mencari, dan tidak berhasil menemukan.

Waktu Andre ditanya, juga menggeleng. Namun segera anak ini ingat kelakuan Arek'e. Maka dicarilah si Casper ini. Singkat cerita, setelah main interogasi segala, mengakulah Arek'e telah mengambil smartphone tadi. Ia sembunyikan di antara springbed.

"Pantes... dari tadi dibel ngga terdengar suaranya," gumam Dewi, setelah dengan susah payah mengangkat kasur dan menemukan smartphone tergeletak di sana.

Penasaran dengan cerita ini? Awalnya Dewi pun demikian. Dia pikir anaknya berkhayal. Sampai suatu ketika saat ia mengantar sekolah menggunakan sepeda motor. Ia mengingatkan Andre agar jangan goyang-goyang terus. Andre pun menjawab... "Bukan aku, Ma. Arek'e iki lho..."

Awalnya Dewi setengah-setengah ngga percaya. Tapi lama-kelamaan ia bisa membedakan apakah yang di belakang itu Andre sendirian atau Arek'e ikut serta.

"Dari beratnya... dan pokoknya kalau Arek'e ikut, suka goyang-goyang..." ujar Dewi.

Ia sendiri tidak pernah melihat, dan tidak mau bisa melihat. Biarkan Andre saja, yang ia yakini dengan bertambahnya usia kemampuan itu akan sirna. Benarkah begitu? (7:10:17)

Senin, 02 Oktober 2017

MODEL DAN FOTOGRAFER



ADA dua hal yang aku suka pada foto ini. Yang pertama, tentu saja modelnya cantik banget walau dengan aksesori sederhana.

Dan yang kedua, fotografernya sangat okay dengan angle demikian. Ini posisi yang susah sebab melawan sinar dari belakang. Tapi toh justru menimbulkan kesan romantis.

Mereka berdua sangat kucinta. Si model anak bungsuku, si fotografer belahan jiwaku... Alhamdulillah (02:10:17)

Jumat, 29 September 2017

NOVEL MS: AKI... AKU GEMAS AMA BUNDA ZARA....



UNTUK kali pertama aku membaca novelku, "Menggapai Surga" versi buku akhir pekan lalu. Tentu aku sudah beberapa kali membacanya dalam bentuk naskah hingga dummy. Namun dalam bentuk buku, ya baru kali ini.

Padahal buku itu sudah selesai cetak Juli lalu, dan launching 22 Juli di Green House, Garden Hotel, dengan mantan menteri BUMN, Dahlan Iskan, sebagai pembicara kunci --yang memuji novelku karena dinilai banyak kejutan. Bahkan motivator nasional, Aqua Dwipayana, dalam acara sama mengatakan, kental sekali sikap-sikap iklas dan mensyukuri dari para tokoh dalam novel ini.

Mengapa aku telat membaca versi buku? Aku sibuk menawari dan melayani pembeli. Maklum, buku ini aku cetak dan pasarkan secara indie. Artinya kurang lebih begini, dibuat-buat sendiri, dicetak sendiri, dan dipasarkan sendiri. Dhus, tidak melalui jaringan toko buku.

Merepotkan? Ah tidak. Malah menyenangkan karena ini berarti kesibukanku di hari tua. Malam menawari sejumlah teman, pagi tanda tangan dan pengepakan, sore pergi ke jasa pengiriman. Ada komunikasi, termasuk check and recheck apakah kiriman sudah sampai ke tangan si teman.

Aku menyapa teman-temanku melalui media sosial. Apakah itu lewat inbox di Facebook, Messenger, Whatsapp, bahkan SMS (jadul ya). Hanya kepada temanku, bukan ke orang-orang yang aku tidak mengenalnya. Aku tahu, adalah kejengkelan menerima tawaran dari seseorang yang tidak kita kenal...

Nah, kegiatan ini membuatku bergairah. Aku anggap sebagai silaturahim. Kendati tenagaku tak cukup kuat untuk berkeliling, toh aku bisa menyapa banyak temanku melalui media sosial. Teman lama yang aku pikir sudah tidak aktif lagi dengan gadgetnya, sampai mereka yang setiap hari muncul dengan status-statusnya.

Memang tidak semua kawan lamaku masih bertahan di media sosial. Mereka tidak merespon sama sekali. Namun ada yang spontan menjawab dengan mengucapkan selamat atas launching yang sukses tempo hari. Kita pun sempat ngobrol kesana kemari.

Yang paling antusias adalah pembaca-pembaca novelku sebelumnya --"Gadis Tiyingtali", "Cinta Retro", dan "The Newsroom".  Mereka segera minta kiriman novel baruku. "Lengkap dengan tanda tangan, ya!" seru mereka pada umumnya.

Yang membuat aku respek, ketika aku masih ngobrol dengan seorang teman, seseorang masuk dan langsung minta kiriman tiga buah buku sekaligus. Belum sehari buku dikirim --malah mungkin belum sampai ke tujuan-- sudah minta tambahan satu buku lagi.

Mengapa aku menaruh respek, sebab beliau, Lilla Loveyta, adalah seorang guru sekaligus sosialita asal Tulungagung, yang baru kali inilah tahu novelku --kendati sudah sering baca status-statusku di Facebook.

DUA KALI

Ada seorang teman yang gagal senang ketika tahu mendapat kiriman gelombang awal. Ini disebabkan karena ia sudah pindah alamat. Untungnya rumah lama itu kosong, sehingga paket kembali ke si pengirim. Aku kirim lagi ke alamat yang baru di Semarang.

"Aki... aku sudah baca! Dua kali...," ujar Novie Hermansyah dua hari setelah mendapat kiriman ulang. "Aku gemes sama Bunda Zara..., ingin rasanya kasih tahu... 'Itu anakmu, Bun'...," ujarnya antusias.

Banyak komen lain yang meluncur dari ibu muda ini. "Aku suka baca novel Aki. Aku jadi tahu tentang perjalanan umrah, walau penulisannya ngga kayak buku-buku tentang umrah. Buat yang buta banget, jadi merasa 'ada temannya'..., mbak Marce... Jadi ngga minder amat... hehehe..."

Pembaca setiaku dari Garut, Aam Qomariah, malah bercerita begini: Wih, Pak..., saya langsung baca sampai tuntas tadi sore, selesai pukul 8 malam. Dengan berderai air mata tentu... Sedih pas di bagian Marcenya... Teman-teman di grup Whatsapp sampai penasaran, dan minta diceritakan ulang. Ya saya cerita rangkumannya, hasilnya sukses... mereka pada tertidur... hehehe.

Qomariah suka sekali dengan jalan cerita, cuma ia menyayangkan, di bagian akhir kisah, kakak beradik Qaidir dan Qairil tidak bisa secara total melepas rindu kepada Bunda yang melahirkannya.

Toh dengan membaca novel "Menggapai Surga", ada sisi lain yang bisa ia peroleh. "Jadi ada semangat baru untuk cepat-cepat bisa ke Madinah dan Makkah. Kalo berniat sungguhan mah, in sha Allah pasti ada jalan untuk ke sana ya, Pak... Tertarik sekali untuk umrah dan berhaji..." kata Qomariah.

Seniorku, Onny Argoyono, malah berterus terang kisah dalam novel ini mirip-mirip pengalaman hidupnya. "Sangat mirip saat Chaidir bertemu ibu kandungnya, terus mendoakan beliau...," ujarnya.

Ketika ia membaca sambil melelehkan airmata, anaknya sempat bertanya apa sebenarnya yang terjadi? "Kamu baca sendiri aja nanti..." ujar Onny, yang dulu tinggal satu blok timur tempat tinggalku.

"Sing bikin mrebes mili cara penulisanmu iku lho... Kalo dibaca pelan serta diresapi..., pasti luluh... opo maneh aku ngalami... (Yang bikin berlinang airmata, cara penulisanmu itu lho... Kalau membacanya pelan dan meresapinya, pasti luluh. Apalagi aku mengalaminya...)

Lain lagi dengan Vika Wisnu, penggemar sekaligus pengamat novel. "Ini bukan novel religi, tapi kisah spiritual. Bagian terindahnya adalah bagaimana tokoh-tokohnya memaknai berkorban --sebuah kata kerja yang pada perwujudannya selalu berupa perih dan sepi, adakalanya bahkan lebih sendirian dibanding kata jujur. Dan bagian terpentingnya, novel ini bercerita tentang ibu....

Sahabatku, Peter Apollonius Rohi, yang membaca novelku
sambil menunggu temannya terbaring sakit, menyatakan, "makin asyik dari halaman ke halaman. Baru sampai halaman 150, sudah mulai terasa keharuan di ending-nya. Bagus sekali buku ini, walau bernuansa Islami tapi saya merasa sangat universal...

Sementara sahabatku yang lain, psykolog dari Pekanbaru, Bahril Hidayat Lubis, menilai, pesan utama dari tokoh novel ini memuat dialog tentang fiqih, kritik sosial, perjuangan hidup, cinta, kebencian, dan ketulusan, semua dikemas dalam dialog yang cair.

"Alur ceritanya mengalir, namun tidak mudah ditebak karena selipan  misteri, membuat pembaca semakin terbawa untuk mengikuti jalan prosa yang berliku dari tanah air, ke Makkah, sampai kembali ke Indonesia..."

"Suatu contoh untuk sastrawan dan jurnalis muda di Indonesia, belajarlah dari produktivitas dan kualitas menulis Pak Yuleng yang detil, rinci, dan memiliki kekokohan karakter sebagai penulis prosa...," ujarnya.

Mangestuti Agil, istri almarhum Agil Haji Ali wartawan yang flamboyan itu, menilai singkat: Buku yang luar biasa!

MAAFKANLAH

Well... seperti yang aku katakan di awal tulisan, aku menyapa teman-temanku melalui medsos. Aku punya seribuan teman di Facebook --hanya 30% yang sudah tergabung di messenger, dan sisanya masih memakai inbox untuk jalur japri. Selain itu sekitar 200-an menggunakan Whatsapp.

Dalam posisi seperti ini, tidak semua teman membuka sapaanku. Mungkin mereka sudah tidak aktif di medsos. Ada juga yang membuka, namun tidak merespon. Namun alhamdulillah separoan membuka dan merespon --walau tak semuanya bersedia memiliki novelku. Paling tidak, tujuan silaturahimku tercapai.

Yang aku syukuri, masih ada yang berminat memiliki novelku. Untuk koleksi pribadi, atau sekaligus suvenir bagi teman-temannya. Itu sebabnya mereka memesan dua, tiga, empat, atau bahkan sepuluh buku. Namun bukan berapa jumlah yang aku bisa jual melalui online ini, yang terpenting ya silaturahim itu tadi.

Khusus untuk teman-teman yang mungkin terganggu dengan tawaranku, izinkanlah aku meminta maaf. Sungguh, aku tidak bermaksud mengganggu kalian. Aku hanya ingin menyapamu, kawan! Sambil mengatakan, aku baru saja meluncurkan novel, yang mendapat pujian dari Dahlan Iskan, wartawan yang "mengharuskan dirinya" membaca novel minimal sebulan satu!

Sekaligus berbagi pengalaman: Janganlah pernah berhenti saat lansia. Terus berusaha, beraktivitas, cari kesibukan untuk memperpanjang usia sehat! Dan yang terpenting, silaturahim karena silaturahim akan memperpanjang umur. Dari hunianku yang teduh aku ucapkan "Selamat bersilaturahim..." (30:09:17)

Selasa, 26 September 2017

NOVEL MS: ALUR CERITA TAK MUDAH DITEBAK...



Bahril Hidayat Lubis:

Saya mendapat kiriman novel dari sahabat di Surabaya, seorang wartawan senior di Indonesia, Bapak Yuleng Ben Tallar, putera dari salah seorang tokoh negarawan di Indonesia yang dekat dengan Bung Karno, seorang perupa Realisme, suami dari seorang perupa yang beraliran Surealisme-Ekspresionisme, dan orang tua dari anak yang manis dan lucu.

Novel yang berjudul "Menggapai Surga", setebal 316 halaman, saya terima tanggal 23 September 2017. Di akhir pekan, saya menyempatkan diri menyelesaikan membaca novel ini.

Alur, setting, tema, dan karakterisasi yang utuh mengalir dalam klimaks dan antiklimaks cerita dan dialog tokoh utama (Qaidir dan Marce). Pesan utama dari tokoh novel ini memuat dialog tentang fiqih, kritik sosial, perjuangan hidup, cinta, kebencian, dan ketulusan, semua dikemas dalam dialog yang cair.

Alur cerita yang mengalir, namun tidak mudah ditebak karena selipan  misteri, membuat pembaca semakin terbawa untuk mengikuti jalan prosa yang berliku dari tanah air, ke Makkah, sampai kembali ke Indonesia...

Meskipun ada kesalahan redaksi dialog pada halaman 292, "Segala puji untuk Nabi Muhammad..." tapi saya tidak menganggapnya sebagai kesalahan atau aib substansial. Saya melihat unsur Psikologi Sastra berdasarkan teori Slip tongue (Psikoanalisis) karena tokoh utama novel dalam kondisi antiklimaks.

Ibarat Hadis (HR. Bukhari no. 6309 dan Muslim No. 2747) tentang Taubat, seorang pengembara yang kehilangan Unta dan bekalnya di padang pasir selama beberapa hari, lalu ia bertemu lagi dengan untanya dan pengembara terbawa suasana kegembiraan yang meluap lalu berkata, "Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Rabb-Mu.’ Ia telah salah mengucapkan karena sangat gembiranya." Demikianlah kegembiraan Allah menerima taubat hamba-Nya.

Analogi hadis di atas merupakan salah satu landasan teori untuk memahami kesan kesalahan dialog tokoh utama tersebut diinterpretasi secara bijak dan substansial karena tokoh utama sedang mencapai kondisi mental yang sangat bergembira di dalam fragmen antiklimaks kisah novel ini.

Sebagaimana tokoh utama Qaidir dan saudara kembarnya berusaha menutupi aib dan kesalahan orang yang dicintai pada bagian akhir novel ini, demikian pula sahabat dari Riau, mencoba (seakan-akan) menutupi kesalahan dialog tersebut, padahal substansinya bukanlah kesalahan redaksi dialog, namun antiklimaks dari sebuah jalan cerita dan kisah kehidupan.

Semoga bermanfaat untuk sahabat senior saya di Jawa Timur, kebaikan untuk bapak dan orang orang yang bapak sayangi, amin.

Suatu contoh untuk sastrawan dan jurnalis muda di Indonesia, belajarlah dari produktivitas dan kualitas menulis pak Yuleng yang detil, rinci, dan memiliki kekokohan karakter sebagai penulis prosa..

Salam hangat dari Riau,
27 September 2017

Bahril HL

(Semoga ada masa dan kesempatan kita bertemu, menyeruput kopi, dan berkisah tentang hidup ini dengan bertatap muka langsung)