Rabu, 15 Agustus 2018

BERLIN MUNGIL BERUBAH BENTUK DI RUMAHKU



Keterangan foto; Yang begini, aku tak kuat mengangkat sendiri. Biasanya, aku panen sendiri, aku angkat, dan dengan gagah aku selfie. No way untuk kali ini...


AKU punya banyak pohon pisang. Sejak dulu memang suka. Apalagi itu pohon tak banyak menuntut perawatan. Tanami saja setiap jengkal tanah kosong, kapan-kapan nikmati panenannya.

"Apa ngga khawatir diambil orang, Pak?" tanya Pak Lastri polos. "Di sini orang merasa ngga bersalah mengambil hasil kebun orang," ujarnya sambil memberi contoh ada pisang yang ia gadang-gadang untuk selamatan, eh amblas.

Kalau begitu, tanami juga pinggir jalan itu. Untuk memudahkan mereka yang butuh, ujarku disambut tertawa Pak Lastri. "Lho serius ini, Pak..." Ia tetap tertawa...

Aku tertawa juga lihat gaya Pak Lastri, tukang kebunku di gubuk singgahku di Wilo, Genteng, Pandaan. Hanya selemparan batu ke Taman Dayu, kata orang desa.

Gubugku mewah. Gubug kayu Mepet Sawah. Kanan kiri tanah kosong. Yang kiri punya orang. Yang kanan juga punya orang. Tapi lebih ke kanan, milik aku.

Yang di belakang, melembah, sepanjang mata memandang hamparan persawahan. Punya aku? Bukan. Tapi aku ikut menikmati lambaian daun padinya. Gratis. Alhamdulillah, nikmat apa yang tak harus aku syukuri...

Nah kembali ke pisang. Di halaman induk memang ada beberapa pisang Raja. Ada juga satu dua pisang lokal. Namanya pisang Berlin --disebut juga Barlin.

Pisang Raja semua tahu kan? Panjang, besar dan gemuk. Manis rasanya. Enak dimakan begitu saja. Tapi bisa juga digoreng. Harga goreng Raja bisa Rp 6.000. Bahkan lebih. Kalau yang segar, Rp 50.000 sewirang baru dilepas. Namanya juga Raja.

Nah yang Berlin ini, agak apes nasibnya. Buahnya kecil seperti pisang Emas. Ujungnya lebih runcing. Kuningnya agak pudar. Kurus. Manis sih, tapi agak asam. Yang jual pun kadang bilang Emas KW-2.

Pisang-pisang yang begini yang jadi sasaran orang. Mudah dibawa pulang tanpa ketahuan. Apalagi pohonnya tak terlalu tinggi.

Makanya aku bilang ke Pak Lastri... Tanamlah pohon ini. Jika hasilnya diambil orang, mungkin dia memang butuh. Kita juga tidak bisa memakan semuanya. Anggaplah sedekah...

Masih dengan manggut-manggut, Lastri mengerjakan juga. Saya lebih tertawa lagi, saat tetangga depan kasih tahu, "Pak Lastri kan selalu adzan. Malingnya tahu Lastri ngga di rumah, ya pisangnya diambil..."

BERMUTASI?

Apes banget kan nasib si Berlin. Aku kasihan, dan minta dua bibit untuk dibawa pulang Surabaya. Untuk menambah koleksi di rumah. Toh tubuh batangnya relatif kecil. Mungil. Semungil pohon pisang kayu buatan orang Bali.

Karena aku tanam di halaman belakang yang mentarinya hanya 50%, tumbuhnya agak lama. Berbuahnya juga lama. Tapi ajaibnya, wajah Berlin yang runcing tak tampak. Dia malah cenderung gendut. Warna kuningnyapun enak dipandang.

Rasanya? Ini dia! Dagingnya tak sekeras pisang Emas. Malah lebih empuk dan renyah. Masam? Enggak juga. Manis, empuk, dan enak dikonsumsi begitu saja. Memang tak selegit Emas, yang ini cenderung mendekati pisang Susu.

Persis! Ini pisang Susu. Bagaimana ia bisa bermutasi di halaman rumahku? Entahlah. Toh aku juga pernah mencangkok mangga Manalagi. Hasilnya aku tanam di tempat yang lain.

Keluar buah mangga? Lha iyalah. Cuma bukan Manalagi, tapi mangga Lalijiwo. Kecil hitam agak metekel. Dagingnya keras, tapi sejak muda sudah manis-masem.

Dulu banget, buk Madura suka jualan ini di depan toko-toko mewah di Tunjungan. Saat masih rame! Tahun 60-an. Paling tidak sampai 70 akhir...

Balik ke pisang ya. Karena si Berlin tumbuh di bawah pepohonan mangga, yang sinar mentarinya cuma 50%, maka aku berniat memindahkan ke depan. Yang dapat 100% sinar, dan di bekas tempat pembuangan sampah dapur.

Hasilnya? Luar biasa. Bukan Berlin lagi. Ini benar-benar Susu. Pun Susu Super. Belum pernah merasakan yang begini. Mereka yang kebagian, selalu berseru "Susu sebesar ini?" Termasuk kakakku yang akhir-akhir ini mulai doyan pisang.

Kalau sudah begini, aku jadi ingat Pak Lastri. Betapa senang jika ia bisa melihat Susu Superku. Yang di sana kecil digadang-gadang, disini besar luar biasa. Jika yang di Welo bisa sebesar ini --dan diambil orang-- betapa kesalnya hati Pak Lastri.

Tapi kalau ia paham pesanku, justru amal itu yang bisa mengiringinya ke akhirat. Selamat jalan Pak Lastri, bibit yang kau siapkan ini juga punya amalanmu. Alfatihah.
(15:08:18)


Rabu, 08 Agustus 2018

SI BEMO KETIKA ITU TAKSI METROPOLITAN



Keterangan foto: Aku, kakakku Indri Karani, dan sepupuku, Kiddy, menjadi saksi peradaban abad lalu di seputaran Senayan. Kini kami (tengah) sudah pada tua, tak ada tenaga jalan kaki ke sana lagi...


ABAD lalu, Jl. Soedirman masih berdebu. Kering kerontang. Juga jalanan sekitar. Tapi justru kondisi ini yang membuat Istora --Istana Olahraga-- terlihat kinclong. Gemerlap. "Tjantik", tulis awak pers di masa itu.

Apalagi, nama Bung Karno tak lepas dari penggagas pesta olahraga Asian Games, yang dalam penyelenggaraan sebelumnya Indonesia menyabet Runner Up.

Jakarta yang konon modern itu, ya hingar di seputaran Senayan. Seingatku, hanya kompleks bangunan megah olahraga itu yang ramai dikunjungi.

Aku bangga berada di saat-saat penyelenggaraan akbar itu terjadi. Pada 24 Agustus, 1962. Muhibah dari kampung halaman di Surabaya, khusus nonton Asian Games. Bersama papa mama, juga tiga saudaraku.

Naik mobil yang masih gres, Morris Oxford. Buatan Inggris. Lancar jaya walau belum ada tol. Dan tetap bangga saat berdamping dengan taksi resmi pertama negeri impian. Buatan Jepang. Bemo.

Bener... si Bemo roda tiga itu yang menjadi taksi metropolit masa itu.  Dengan warna khasnya, apple green. Dengan tulisan TAXI di atapnya. Masih pakai kanvas di bak belakangnya. Dan berkeliaran seputar Senayan mengangkut penumpang.

Bus kotanya? Robur yang gembul pendek itu. Berjalan perlahan kayak kawanan gajah. Tapi di mata aku saat itu, Bemo (Daihatsu) dan Robur adalah bentuk-bentuk futuristik.

UJI-COBA

Semua bicara tentang hebatnya Senayan. Yang kala pembukaan Asian Games dihadiri 100.000 orang. Tentu di antara mereka, lima orang rombonganku dari Surabaya. Dan itu aku catat di notes --buku kecil yang biasa di kantong wartawan-- yang dibagi papa sebelum pergi.

"Buatlah catatan apa saja yang kau lihat dan kau suka...," perintahnya. Dasar wartawan senior, maunya tentu begitu...

Dan aku gambar Stadion Utama. Lengkap dengan garis-garis seolah bersinar. Juga para atlet yang berpakaian ketat. Penonton yang bergembira. Tak ketinggalan si Robur dan si Bemo.

Dan catatanku menyebutkan, kami --aku, saudaraku, juga sepupuku-- pulang ramai-ramai jalan kaki dari Senayan ke blok P-5, Kebayoran Baru.

Kalau sekarang, itu tuh deket-deket rumah Pak JK. Jalan kaki lho, baik saat uji coba pembukaan pada 23 Agustus 1962, maupun acara-acara lainnya.

Ngga naik taksi? Ya ngga kebagian. Konon cuma seratusan Bemo. Maunya naik becak, kalau siap antre. Dan bayar mahal. Tapi karena kami rame-rame, ya jalan kaki ngga terasa. Jalan sambil berlarian.

Bagaimana kalau itu terjadi di abad sekarang?
Oh no..., thanks. Mana tahan...

(08:08:2018)