Jumat, 07 September 2018

UBUD DAN BREAKFAST GRATIS



UBUD 33 tahun lampau. Masih sepi. Satu dua mobil saja berlalu. Sepeda pancal banyak dipakai. Atau berjalan kaki. Kemana-mana. Ya sah-sah saja sebab desa ini tak terlalu luas. Menempuh sebagian jalan, sebagian pematang sawah.

Hawa masih sejuk. Kabut pagi di mana-mana. Menyelimut hamparan sawah. Muncul dari sungai Ayung. Membuat hati tenang. Mungkin itu pula yang membuat banyak kerasan seniman. Melukis di pagi hari, lantas nyeruput kopi.

Aku tidak cerita tentang seniman. Sudah banyak yang tahu. Kali ini tentang penginapan. Yang di depannya tertulis "Home Stay". Semisal Dewa Home Stay, Made Home Stay, dan nama-nama lugu lainnya. Mengacu nama pemilik.

Home stay banyak terdapat di beberapa spot. Terutama yang masih membaur dengan sawah. Atau perkampungan penduduk.

Ada yang harus tinggalkan mobil di pinggir jalan, lalu jalan kaki menuju home stay. Naik tangga jalan desa 53 tapak dulu. Lalu meniti pematang sawah --yang kiri sawah yang kanan sungai kecil. Kadang disapa babi di kandang penduduk.

Butuh seperempat jam baru ketemu Melasti home stay. Kerap penuh sebab pemandangannya bagus. Kamarnya? Ya biasa-biasa saja. Apalagi untuk ukuran hari ini.

Satu ketika kita bermalam di Jati home stay. Di pinggir jalan, dekat monkey forest. Di bagian depan ada cafe. Disebut cafe karena lebih bagus dari warung kopi. Kursi tinggi seperti bar. Ada musik klenengan. Juga topeng-topeng. Padahal kopinya sama, kopi Bali --di mana-mana orang sebut kopi, ya kopi Bali.

Tak lama Joop Ave lewat. Naik jip terpal terbuka. Ia melihat kami dan melambai. Aku balas. Tak lama Joop balik dan bergabung. "Suwe ora jamu..." ujarnya menyambut tanganku. Istriku mesem.

Kita pun ngobrol ngalor-ngidul. Tentu soal penginapan. Yang masih belum bernama hotel itu. Yang masih harus dipertanyakan, apakah Ubud perlu yang seperti itu? Atau cukup home stay namun setara hotel bintang. Cuma kamarnya ngga usah banyak-banyak. Biarkan menyebar seperti saat itu.

Ubud 33 tahun lampau. Memang bersahaja. Namun sahaja itu yang menjadi daya tarik. Tamu hotel --ups..., home stay-- hanya perlu kamar di malam hari. Siang sudah berkelana sendiri-sendiri.

Jalan-jalan di persawahan, ke monkey forest, melihat aktivitas penduduk, datang ke galeri-galeri, atau museum lukisan. Sedikitnya ada tiga ketika itu: Museum Ratna, Neka, dan Antonio Blanco.

Ada juga pertunjukan tradisional, atau tur ringkas-ringkas ke Goa Gajah, istana Tampaksiring, Kintamani. Kalau sudah puas, nongkrong ke cafe.

Ada yang jual arak Bali. Sebagian dari mereka bisa berjam-jam minum minuman keras. Anehnya, tidak mabuk. Beda dengan orang kita. Baru segelas sudah menggelepar...

Ubud 33 tahun lampau. Menginap di home stay masih sangat murah. Gratis makan pagi. Mereka menyebutnya breakfast. Itulah daya tarik. Breakfast gratis.

Jangan bayangkan makan pagi seperti di rumah sendiri. Apalagi hotel bintang --saat itu, pun saat ini. Yang muncul cuma secangkir kopi (atau teh) dan dua potong roti. Diberi mentega dan ditaburi gula. Gitu saja, atau dipanggang.

Istriku geli melihatnya. Breakfast gratis! Ya... gratis breakfast... Lalu ia ajukan komplain. Mengapa tidak ditambah buah. Kan ada pisang. Pepaya, atau mangga, dan jambu. Dipotong kecil-kecil, disajikan bersama roti dan kopi. Kasih bunga kamboja sebagai elemen estetika.

Ubud 33 tahun lampau. Aku teringat kisah ini setelah Rio anakku menulis di WA Family belum lama ini: Aku inget pas itu mama cerita ke aku, kalo mama abis komplain ke pihak pengelola hotel, kok breakfast-nya hanya begitu?

Dan mama yg ngajarin supaya bikin breakfast buah, dengan potongan-potongan buah pisang, semangka, pepaya. Jadi di zaman itu, mama sudah menjadi hotel consultant/UKM consultant, walau gratis ga dibayar. Yah itulah amal kebaikan, pasti ada balasannya dari Allah SWT.

Ubud 33 tahun lampau... so sweet.

* Joop Ave ketika itu Dirjen Pariwisata zaman pemerintahan Soeharto

(07:09:18)