Minggu, 31 Juli 2016

KORANNYA MATI, NAMUN SEMANGAT TAK ADA MATINYA



REUNI lazimnya dilakukan teman sesekolah, atau jamaah yang sama-sama berhaji. Namun kali ini reuni sekaligus HBH diadakan oleh mereka yang dahulu pernah berkarya sekantor.

Uniknya, kantor mereka sekarang sudah tiada. Pemilik melikuidasi perusahaan tersebut pada 2002. Itulah nasib Surabaya Post, koran sore yang terbit sejak 1 April 1953.

Nah, mantan karyawan inilah yang bereuni. Ada yang dulunya berprofesi sebagai wartawan, berkarya di bagian usaha --iklan, pemasaran, keuangan, dll. Mereka membentuk paguyuban eks Surabaya Post.

Merekalah yang pada hari Minggu (31/7-16) lalu, menggelar reuni, sekaligus silaturahim semampang hari raya, bertempat di hotel Kartika Graha, Malang. Yang hadir, lebih dari 80 orang.

Reuni ini tercatat yang ke-12, setelah Surabaya Post tutup 14 tahun lampau. Seperti biasanya, jumlah yang hadir berlimpah. Tidak ada pembatas antara atasan dan bawahan. Semuanya sama rata, bebas bercanda-ria.

Sebagian saja yang masih melanjutkan profesi di perusahaan sejenis. Sebagian lainnya ada yang memilih menjadi lawyer, motivator, pengajar, bekerja di bidang lain, atau wiraswasta. Atau bikin media.

Sementara aku memilih jadi author. Sudah lima novel aku hasilkan. Juga tiga otobiografi, yang aku tulis dengan gaya novel.

Apa kekuatan yang bisa mengikat kami dalam paguyuban yang guyup ini? Kami sendiri nyaris tak pernah tahu, kecuali satu hal: persaudaraan!

Malah sempat terucap di antara kami, meski Surabaya Post mati sejak lama, namun semangat paguyuban eks Surabaya Post tak ada matinya. Mungkin semangat itu pula yang membuat kami tetap eksis dalam tali silaturahim. (*)

* Pada foto, aku bersama mantan sekretaris redaksi, manager iklan, redaktur, sekretaris direksi, dan wartawan.

Kunjungi kami di: exsurabayapost.com

Minggu, 10 Juli 2016

MACET DI HARI LEBARAN



SALAT IED DI JALAN TOL?

BELAJAR dari peristiwa macet panjang dan berjam-jam di Bremix pada Lebaran tahun 2016, solusi apa yang akan dilakukan pada tahun depan?

Bremix --Brebes Exit, plesetan dari Britain Exit (keluarnya Inggris dari Uni-Eropa yang beritanya sedang mendunia itu)-- menjadi masalah yang dikeluhkan banyak orang, bahkan diliput media global.

Diberitakan pula ada korban yang meninggal dunia dalam kemacetan terburuk kali ini, kendati kebenaran informasinya masih diperdebatkan. Kalau benar itu terjadi, sungguh memprihatinkan.

Agar peristiwa serupa tidak terulang, konon jalan tol Jakarta-Brebes segera diperpanjang hingga mencapai Semarang. Dengan demikian, tidak akan terjadi lagi macet panjang di Bremix. 

Betulkah? Pasti, ditanggung pemudik tak lagi terhadang pintu keluar. Tak bakal ada macet panjang yang menyebabkan pemudik kepanasan. Tak ada yang sampai kehabisan BBM. Pendek kata, peristiwa kelabu tempo hari tidak bakal terjadi lagi di Bremix.

Hanya saja, bagaimana nasib Semarang jika rekayasa lalu lintas masih seperti Bremix? Apalagi, ketika jumlah pemudik pun makin bertambah. Bukan tidak mungkin Semarang menjadi Bandung kedua, atau bahkan lebih parah lagi!

Jalan tol memang bukan satu-satunya solusi mudik. Sepanjang apapun, selebar apapun, akan tetap padat ketika musim mudik terjadi. Terlebih jika waktunya bersamaan dengan liburan sekolah.

Marilah kita berempati sejenak. Tengok kota-kota besar di tanah Jawa. Semakin hari, semakin padat saja jalanannya. Malah kota kecil penghubung pun ikutan padat. Kendaraan di mana-mana --ya roda dua, tiga, empat bahkan lebih. 

Ketika kepadatan di kota-kota itu surut pada hari raya, kemana saja kendaraannya? Dikandangkan? Tentu saja tidak. Pemilik membawanya mudik. Jangan berpikir mudik hanya hak warga Jakarta.

Mereka yang di Semarang pergi ke Jombang. Yang ada di Pekalongan boleh jadi ke Lamongan. Atau yang di Cirebon malah ke Bondowoso. Pendek kata, kota asal ditinggalkan untuk melaju memenuhi jalan raya. Termasuk jalur tol. Dan di mana saja!

Sebagus apapun tata kelola jalan tol, termasuk rekayasa lalu lintas jalan konvensional, tahun-tahun ke depan sudah tak nyaman lagi untuk bepergian. 

Bisa-bisa satu ketika kelak, lebaran akan berlangsung di perjalanan. Salat Ied pun terpaksa dilakukan di ruas tol. Pembayangan yang ekstrem, namun siapa tahu benar-benar akan terjadi. Ini Indonesia, Bung! 

Kereta Peluru

Sudah saatnya pemerintah memikirkan pembangun jaringan transportasi lancar dan murah. Frekuensi kereta api diperbanyak.

Misalnya, kereta peluru untuk Jakarta-Surabaya pp yang tiketnya lebih murah dari pada pesawat terbang. Bila perlu dalam sehari enam tujuh kali pemberangkatan.

Kalau pembangunannya masih terkendala waktu, tingkatkanlah yang ada sekarang. Agro Anggrek, misalnya, bisa berangkat setiap jam sekali. Pun demikian kereta-kereta ke jalur lainnya.

Perlu dipikirkan pula ferry dari Tj. Priok ke Tj. Perak dengan pelayanan bintang 5 --baik akomodasi, konsumsi, maupun tempat rekreasinya. Bila diperlukan, ferry ini bisa diteruskan ke Bali atau ke Makassar. Tapi ingat, bintang 5 ya!

Pelayanan bandara --yang para penumpang membayar lho melalui airport tax!-- hendaknya ditingkatkan. Bukan ala kadar yang kini mirip-mirip terminal bus. Frekuensi take off-landing juga perlu dioptimalkan.

Kemudian bebaskan penumpang di seluruh terminal --bandara, stasiun, pelabuhan-- dari keharusan menggunakan "taksi terminal". 

Beri kesempatan pemudik untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan keinginannya. Termasuk layanan taksi berbasis aplikasi, atau taksi argo tanpa batasan.

Tersedia pula "Rent Car", termasuk persewaan motor pada terminal-terminal itu. Agar pemudik bisa meneruskan perjalanan ke kota tujuan yang tak terlalu jauh dari terminal itu.

Masyarakat pun harus siap meninggalkan kebiasaan membawa mudik mobil mereka. Kalau terpaksa membawa sepeda motor, ikutkan saja pada jasa angkutan kereta api atau kapal yang sudah membuka layanan itu sejak beberapa tahun terakhir ini.

Jika semua ini bisa terlaksana, berapa waktu yang terhemat tak harus terbuang percuma di jalan raya? Belum lagi faktor keselamatan. 

Petugas keamanan pun tak harus dikerahkan ke jalan raya. Coba renungkan, berapa kali lebaran mereka tak bisa merayakannya dengan keluarga?

Ini adalah kepedulian bersama. Pemerintah peduli membangun, masyarakat peduli dengan keselamatan bersama. Akhirnya kita sama-sama selamat, tak perlu lagi korban-korban berjatuhan di jalan raya. 

Lebaran yang selamat, meski sekarang masihlah angan-angan. (Yuleng Ben Tallar)