Jumat, 08 Februari 2013

NOVEL GADIS TIYINGTALI

Soft launching novel Gadis Tiyingtali, di Resto Hari-Hari,
pada 8 Februari 2013



Bayangan Misterik

LUKISAN itu misteri. Saya pernah memberikan sebuah lukisan kepada sekretarisku sebagai hadiah. Tapi karena ia masih lajang dan akan merantau ke Australia, maka lukisan itu dikembalikan dengan sepotong nota: Mungkin lukisan ini lebih tepat Bapak simpan daripada berada di tangan saya.
Tiga tahun kemudian, lukisan yang saya beli seharga Rp 20.000,- pada pameran tahun 1973, tiba-tiba ditawar orang dengan harga sangat tinggi. Bahkan pelukisnya berani menukar lukisan yang menggambarkan “Dua Naga” itu dengan dua karyanya yang terbaru, dengan ukuran yang lebih besar. Saya terpaksa mengatakan “maaf” karena ternyata saya baru tahu kami sama-sama bershio naga.
Di lain kesempatan, saya menemukan sebuah lukisan yang nyaris hancur di rumah seorang kolektor. Padahal saya tahu, pelukisnya selalu menjaga kualitas dengan menggunakan kanvas dan cat impor. Lukisan itu diberikan kepada saya karena pemiliknya tidak tahu akan diapakan. Sesampai di rumah saya terkejut membaca judul lukisan yang tertulis di bagian belakang kanvas.  “Amburadul”..., dan kondisi lukisan itu benar-benar seperti judulnya.
Seorang pelukis juga pernah membuat karya “Ngaben” dengan gaya ekspresionis. Lukisan itu laku di pameran, namun pembelinya yang sudah membayar lunas tak kunjung mengambil. Beberapa tahun kemudian lukisan itu kembali dipamerkan, dan laku terjual kepada pemilik galeri.
Suatu malam, sang pelukis terbayang-bayang karyanya itu. Esok harinya, seorang broker datang berkunjung menawarkan Ngaben dengan harga miring. Rupanya, seseorang telah membelinya dari galeri, dan menghadiahkan kepada temannya. Teman inilah yang sedang kepepet butuh uang. Akhirnya Ngaben menjadi koleksi Sang Pelukis.
Terilhami dari misteri di balik lukisan inilah saya menulis kisah fiksi Gadis Tiyingtali. Adapun tokoh-tokoh yang ada di dalamnya imajiner semata, demikian pula jalan ceritanya. Tidak ada kejadian yang benar-benar terjadi. Kalau toh ada yang mirip-mirip, hanyalah faktor kebetulan saja.
Saya hanya ingin menyampaikan bahwa ikatan batin itu benar adanya, tinggal manusialah yang menentukan bisa tidaknya hal itu terasah dengan baik. Saya juga ingin mengajak pembaca “jalan-jalan” ke pelosok negeri yang sebenarnya lebih indah dari yang pernah kita bayangkan sebelumnya. Selamat mengikuti, semoga kisah ini mendatangkan manfaat. (Yuleng Ben Tallar)




Catatan: Gadis Tiyingtali adalah novel indie, yakni dipasarkan tanpa melalui jaringan
toko buku. Novel ini bisa diperoleh dengan cara pemesanan langsung dan akan dikirim
melalui pos tercatat. Adapun harga buku ini Rp 45.000,- plus ongkos kirim.  

NGGA KALAH SAMA SANDRA BROWN, DANIELLE STEEL...

Menunggu giliran tanda tangan saat soft launching
Gadis Tiyingtali di Resto Hari-Hari


‘Aku Mulai Menangis Sesenggukan...’ 


ADA untung ruginya memasarkan novel secara indie –langsung ke pembaca tanpa melalui jaringan toko buku. Ruginya, peredaran tidak bisa cepat (dan banyak). Namun keuntungannya, sebagai penulis saya bisa melakukan interaktif langsung dengan pembaca. Mereka bisa mengenalku secara pribadi –walau terbatas lewat facebook, tweeter, blogspot, bahkan BBM dan SMS.
Mereka juga mengomentari langsung novelku –baik yang memuji maupun yang mengkritik. Semuanya itu sangat bermanfaat bagi penulis karena bisa menjadi pemacu untuk karya-karya selanjutnya. Apapun komentar mereka, merupakan hal yang sangat berharga bagi diriku. Jauh melebihi senangnya jika novel ini dipasarkan melalui toko buku.
Berikut beberapa komentar yang saya terima dari pembacaku, yang menuliskannya dari berbagai daerah di tanahair. Sengaja aku lampirkan di blogspotku sebagai rasa terima kasihku kepada mereka. 


Happy Tatty, Surabaya:

BUKU Anda sudah saya baca langsung dalam waktu dua setengah jam... Menurut saya, Gadis Tiyingtali adalah karya sastra kelas tinggi dengan bahasa lukisan dan bahasa sastra yang bagus... Gadis Tiyingtali mempunyai alur cerita yang enak dibaca sehingga kita enggan untuk melepas buku tersebut hingga tulisan terakhir...
Aku baca semua isi buku Anda, tidak sekadar scanner... Bahkan beberapa dialog dan ekspresi masih aku ingat dengan jelas. Bahasa Anda bagus, bukan sekadar  loe-gue..., melainkan bahasa yang dipakai sehari-hari oleh rakyat Indonesia di manapun berada. Aku jadi ingin membaca buku Anda yang lainnya.
O ya, aku kaget Anda pakai kata "senyampang", kukira cuma aku saja yang tahu kata itu... Di sekolah, Bahasa Indonesiaku selalu seratus. Kalau dapat 95 aja, aku getun... (*)


Indah Setijawati, Purwokerto:

MAS Yuleng Ben Tallar, terima kasih ya. Udah kubaca Gadis Tiyingtali...
Wouw... nggak menyangka panjenengan bisa mengungkapkan tokoh cerita tersebut dengan bahasa yang santun tapi cukup gaul. Saya sedih dan terharu ketika membaca Bu Rus bertemu Rahma, yang konon anaknya.
Umumnya penulis novel roman adalah seorang perempuan... hahaha... Ini laki-laki! Tapi enggak kalah ama Sandra Brown, Danielle Steel, dan yang bikin terlarut adalah nuansa Indonesianya itu lho (biasanya aku membaca novel dengan nuansa barat).
Well...  aku tunggu novel berikutnya, Ngaruawahia. (*)


Anin Saleh, Cibubur:

SAYA baru saja selesai membaca novel Gadis Tiyingtali... Satu kata, Asyik!
Yang bikin penasaran membaca karya Yuleng Ben Tallar ini, bahasanya mengalir indah, tetap membumi, dan aktual sehingga mudah dicerna bagi kita pembacanya...
Persis di bagian ending –dua bab terakhir aku mulai menangis sesenggukan saat tokoh Rahma punya feeling kuat bahwa Bu Rus adalah sosok ibu yang dia cari selama hidupnya... Aku nangis sesenggukan, membayangkan kalau aku berada pada posisi Rahma, bahwa perempuan yang ada di hadapanku itu adalah ibu yang aku cari-cari selama ini...
Oh... so dramatic, dan haru biru abizzz... hikz... hikz... Ternyata benar yang Anda katakan, ikatan batin itu akan selalu ada sampai kapanpun...
Sukses Pak Yuleng. O ya, nanti kalau novel berikutnya, Ngaruawahia, sudah beredar, aku pesan duluan ya Pak. Baca resensinya bikin aku jadi currious... (*)


Tipuk Bank, New Zealand:


IBU, tolong sampaikan ke bapak, saya sangat menikmati novel Gadis Tiyingtali. Saya sampai tidak bisa menahan air mata waktu membacanya. Sekarang saya berada di Singapore, dan sangat menantikan novel berikutnya, Ngaruawahia. Terima kasih untuk ibu dan bapak atas semua hospitality-nya selama saya berada di Surabaya. (*)


Ali Salim, Surabaya:


BAGAIMANA orang-orang yang bergumul dengan lukisan terbelit dalam sebuah kisah misteri? Lukisan berjudul Mebanten seakan memiliki roh magis di tangan seorang penulis seperti Yuleng Ben Tallar. Latar belakang penulis  membuat dia leluasa mengobok-obok fantasi pembaca untuk mengikuti novel ini sampai tuntas.
Di sana ada Novie, Sandra dan Rahma, tiga wanita yang mencoba memberi arti pada lukisan karya Ruspandi sesuai dengan pengalaman dan intuisinya, sekaligus membuat harga lukisan menjadi tak ternilai. Penulis juga mengungkap rekayasa-sosial dalam bisnis lukisan yang dipaparkan secara sempurna, karena ia memang sangat akrab dengan dunia lukisan sejak masa kecil sampai saat ini. (*)


Zachrie Aandria Selian, Kuta Cane, Aceh:


PAK YULENG,  terima kasih Gadis Tiyingtali-nya, ceritanya bagus banget. Dalam dua hari udah selesai ZAS baca, bahasanya ringan, nggak ribet, dan mudah dicerna. Nangis tentu tidak Pak, cuma hampir..., terutama pada bagian yang menyatakan, "kamu gadis Tiyingtali itu ya..." Mengharukan sekali Pak, berlinang air mata pasti lah Pak...


Tjahjono K-Theslowbutsure, Yogyakarta:


Cak Yuleng... Justru imajinasi Sang Penulis yang saya kagumi. Mengapa? Ini disebabkan karena alur ceritera yang demikian jelas, dengan lokus seakan-akan nyata --meski itu mungkin hasil imajinasi penulis. Selain itu, penokohannya dengan karakter yang spesifik dan natural, yang mungkin juga membuat alur cerita menjadi kuat.
            Gaya bahasa Anda menarik, ada logat Jawatengahan yang medok, ada logat Surabayaan yang khas. Hanya mungkin belum muncul logat/dialek Madura, meski Novie tinggal di Bukit Kwanyar, Madura, sebelah timur Jembatan Suramadu. Selain itu setting waktu saat ini yang memadai, terkait dengan penggunaan teknologi lukis, komunikasi, dan lainnya.
Memang untuk sementara air mataku belum sempat keluar, namun ketika membaca Gadis Tiyingtali saya dapat merasakan (mungkin orang lain belum) betapa untuk menolong seseorang yang sangat membutuhkan financial dalam jumlah besar, perlu suatu pengorbanan tanpa pamrih. Anda sebagai penulis menggambarkan secara pas sekali akan hakiki dari suatu pertolongan, yang pada dasarnya memang itulah yang perlu dilakukan oleh para insani. Ini suatu pembelajaran bagi kita semua pada saat masih diberi kesempatan dan usia oleh Allah SWT.
Di samping itu tampak tersirat dalam ceritera –percaya atau tidak antara anak dan ibu tetap terjalin hubungan batin yang erat. Hanya seizin Allah SWT-lah hubungan itu akan makin terasa mengental, kendati dibatasi oleh jarak seberapa jauhpun. Bisa saja mereka suatu saat dipertemukan kembali melalui berbagai jalan/media. Ini menurut aku logis-supernatural, dan dalam Gadis Tiyingtali terekspresikan dengan jelas sekali.
Ada hal yang ingin saya tanyakan, Anda dalam novel menggambarkan menu masakan berbahan dasar ikan dengan pernak-pernik bumbunya. Di lain sisi, suatu saat Anda upload foto diri di facebook sedang membawa ikan bandeng hasil tangkapan dari laut. Pada posting bersama Gho Soei Ing saat itu, kalian membicarakan yummy-nya menu bandeng.
Anda menulis seperti ini: Bunga kecombrang warnanya pink, agak kaku dan bertangkai panjang. Ini dirajang untuk memberi aroma yang sensasional. Masakan Thai dan Bali kerap memakai bahan tersebut. Bahkan di Bali dirajang halus, dicampur bawang merah, lombok, dan minyak kelapa, jadilah sambal yang yummy menemani bandeng goreng...
Yang ingin saya tanyakan, apakah ada hubungan antara upload tersebut dengan alur ceritera dalam novel Gadis Tiyingtali? he he he… Penasaran, nih. (*)

Terima kasih, Mas Tjahjono. Kebetulan saya suka kuliner, dan senang memasak. Ketika saya menulis novel, kerap pengetahuanku tentang itu ikut mengalir begitu saja. Selain memberi warna pada tulisan, siapa tahu pembaca juga tertarik menerapkan resep masakanku? Salam Gadis Tiyingtali.


GADIS TIYINGTALI: Benarkah Villa Itu Ada?

Ketika kenangan diperlukan untuk
sebuah buku


Penasaran Villa di Bukit Kwanyar

Mereka yang sudah membaca Gadis Tiyingtali, memberi berbagai komentar --baik komentar pendek maupun panjang. Umumnya komentar-komentar ini ditulis secara spontan, polos apa adanya, dan tidak jarang dilanjutkan pembicaraan melalui sambungan telepon.
Beberapa pembaca justru penasaran dengan villa milik Novie yang berada di bukit Kwanyar. Villa mungil dengan halaman luas itu menghadap Jembatan Suramadu di Selat Madura. Dari tempat itu Novie bisa menyaksikan matahari tenggelam, atau menikmati munculnya bulan purnama. Suatu hunian yang sungguh menjadi idaman orang kota. Tapi, apakah villa ini benar-benar ada? Atau hanyalah khayalan si penulis? Begitu nyata penggambarannya sehingga mendatangkan penasaran bagi mereka untuk datang melihatnya.
 Pemuatan komentar-komentar ini merupakan rasa hormat saya bagi semua kawan yang telah memberi apresiasi atas novel Gadis Tiyingtali.


Hana Budiono, Jakarta:
Mas Yuleng, matur nuwun kiriman novelnya. Sudah selesai saya baca. It's compelling. Saya tidak pakai jeda membacanya. Mungkin karena saya orang Surabaya, dan juga senang lukisan, saya jadi larut dalam kisahnya. Sempat mewek juga ... Congrats. (*)

Fita Candrasari, Surabaya:
Membaca sinopsisnya, merasa menjadi Novie... Kalau baca novelnya, merasa menjadi Oom Yuleng kali ya... Kok bisa menulis detail begitu, dengan bahasa yang cantikkkk sekali.... Makasih Oom Yuleng... (*)

Enong Ismail, Tampaksiring, Bali:
Cantik dan runtut... sampai terbawa seolah menjadi pelakonnya...
Two thumbs Mas Yuleng... (*)

Lukman Hakim, Jakarta:
Sesuatu mengenai Bali, sesuatu yang eksotis... Selamat atas peluncuran bukunya..., sukses selalu. (*)

Peter Tan, Bogor:
Wah... rupanya Pak Yuleng selain reporter, juga sastrawan besar... Penggalan cerita menarik. Kultur kebudayaan Bali yang kuat dengan kasta-kastanya, ditarik ke kesetaraan dalam kehidupan manusia. Proficiat Pak Yuleng... (*)

Ratna Chandrawroedy, Lumajang:
Waaaah hebaat... Menarik bangeeeet! Selamat Cak Yuleng. (*)

Novie Rurianingsih Hermansyah, Semarang:
Wah... sepenggal kata-kata yang bikin penasaran nih Aki. Setting Bali terasa begitu eksotis. (*)

Noviani Budiarto, Pandaan:
Wah... kalau soundtrack-nya pakai lagunya Mas Memed yang LCLR "Potret Sebuah Negeri", bisa menyatu Mas... "Terkulum senyum kelembutan gadis-gadis negeri Alam Hening...," ini cuplikan liriknya, yang waktu itu terinspirasi oleh gadis-gadis Bali. (*)

Inge Indrajani, Bandung:
Good morning... Usul..., lain kali novelnya pakai e-book aja... biar nggak repot bawanya, juga nyimpennya. Kalau buku, ribet...
Successs!!! (*)

Tutty Arief, Surabaya:
Mas Yuleng... aku wes mari moco Gadis Tiyingtali. Yaolllloooo... sampeyan tak acungi jempol sing aku duwe Mas. Uapiik, excellent, motoku sampek rembes sewengi gak turu, moco iku thok... (*)

Nana Lovinna, Jakarta:
Hehehe... Pokoknya novel panjenengan Top Markotop. Ya iyalaah, terharu pasti... hehehe ... Mas Yuleng Ben Tallar, lumayan saya dapat tambahan wawasan... mantab banget, matur nuwun mas bro. (*)

Sila Basuki, Surabaya:
Indah nian Cak... apik nek dilayarlebarkan ... (*)

Agung Benk, Jakarta:
Wouw... and... Wuah... Begitu pegang bukunya, rasanya itu buku nggak mau lepas dari genggaman... Baru baca selembar aja sudah sangat menarik dan penasaran... Hehehe... Begitu terhanyut dan mengasyiekan membacanya... Bravo..!!! (*)

Tuti Raka, Jakarta:
Wah... hebat Cak... Selamat ya, Aku baru tahu kalau Anda jadi penulis hebat.... (*)

Rakiah Said, Watampone, Sulsel:
Ingin juga membaca novelnya, jadi penasaran apa isinya, meski faham dikit-dikit bahasa Jawa... (*)


Anin Saleh, Cibubur:
Tentang yang menangis itu... saya bener-bener sesenggukan Pak Yuleng..., betul-betul spontan menangis. Jujur yaa Pak..., selama membaca buku tersebut saya memang mencari-cari mana sih bagian yang Pak Yuleng pernah bilang bikin menangis kok nggak juga saya menemukan... Tapi pas masuk di dua bab terakhir, lha kok saya langsung spontan menangis sesenggukan...
Anyway... saya juga jadi dapat tambahan ibrah tentang Dunia Seni Lukis, yang saya awam banget sebelumnya... Pokoknya Gadis Tiyingtali sudah membuka wawasan baru bagi saya dan putra saya tentang dunia lukis. Disitu Pak Yuleng bisa membagi kepada pembaca, mengalir begitu saja tanpa kami merasa dikasih tahu... Jangan bosan berbagi ilmu dan pengalaman hidup yang bermanfaat ya Pak, melalui karya-karya tulisnya, yang tentu saja tetap disampaikan dengan gaya yang aktual sehingga kami pun mudah mencernanya.
 Saya sempat bicarakan ini sama anak perjaka saya, saya bilang kalau Bu Yuleng seorang pelukis... Spontan anak lanang saya bilang, "Wah... asyik dong Bu... jadi inspiring sekaligus referensi ya Bu..."  Ha... ha... ha... betul juga ya... ini yang namanya "simbiosis mutualisme" ya Pak... Hebattt...!
Ok Pak Yuleng... saya tetep tunggu karya-karya berikutnya... Saya yakin akan selalu "ASYIK" membaca buku-buku njenengan. Sukses selalu untuk Pak Yuleng. (*)


Maria Andriani, Bekasi:
Masih aku baca, ngebut, penasaran, juga karena aku suka lukisan dan misteri. Salut atas setting Surabaya-Madura, dan tokoh lokal yang indah. Punya villa beneran di Kwanyar atau fiksi? Ending-nya bagus, sayang mudah ketebak karena sub judul terakhir itu. Meskipun demikian tetap mengikat pembaca. Nanti kukirim resensinya kalau sudah termuat ya.  Mesti bikin beberapa kali diskusi lho. Kalau perlu ke Jakarta, dan saranku masukkan ke agenda Ubud Festival! (*)

Diana Muhayanti, Malang:
Novelnya sudah tamat saya baca. Bagus Mas Yuleng... Ada rasa penasaran dan haru. Saya jadi pengen tahu, di mana letak resort Novie... he... he... (*)


Achmad Supardi, Kota Jababeka:
Ingin menuntaskan kisah Gadis Tiyingtali gubahan senior di Surabaya Post dulu, Pak Yuleng Ben Tallar, yang sudah memikatku sejak lembar pertama. O ya, villa yang di Kwanyar itu beneran ada nggak sih? Sebelah mana? Mau dong punya satu. (*)

Hana Budiono, Jakarta:
Hayo lhoo... sing wong meduro dewe penasaran..., yo golek ono Cak... Ancer-ancer wes jelas gitu. (*)

Achmad Supardi, Kota Jakabeka:
Kapan-kapan nek aku mulih tak ampiri, tak delok-ane, ono tenan ta ora Ning Novie iku :)