Jumat, 29 September 2017

NOVEL MS: AKI... AKU GEMAS AMA BUNDA ZARA....



UNTUK kali pertama aku membaca novelku, "Menggapai Surga" versi buku akhir pekan lalu. Tentu aku sudah beberapa kali membacanya dalam bentuk naskah hingga dummy. Namun dalam bentuk buku, ya baru kali ini.

Padahal buku itu sudah selesai cetak Juli lalu, dan launching 22 Juli di Green House, Garden Hotel, dengan mantan menteri BUMN, Dahlan Iskan, sebagai pembicara kunci --yang memuji novelku karena dinilai banyak kejutan. Bahkan motivator nasional, Aqua Dwipayana, dalam acara sama mengatakan, kental sekali sikap-sikap iklas dan mensyukuri dari para tokoh dalam novel ini.

Mengapa aku telat membaca versi buku? Aku sibuk menawari dan melayani pembeli. Maklum, buku ini aku cetak dan pasarkan secara indie. Artinya kurang lebih begini, dibuat-buat sendiri, dicetak sendiri, dan dipasarkan sendiri. Dhus, tidak melalui jaringan toko buku.

Merepotkan? Ah tidak. Malah menyenangkan karena ini berarti kesibukanku di hari tua. Malam menawari sejumlah teman, pagi tanda tangan dan pengepakan, sore pergi ke jasa pengiriman. Ada komunikasi, termasuk check and recheck apakah kiriman sudah sampai ke tangan si teman.

Aku menyapa teman-temanku melalui media sosial. Apakah itu lewat inbox di Facebook, Messenger, Whatsapp, bahkan SMS (jadul ya). Hanya kepada temanku, bukan ke orang-orang yang aku tidak mengenalnya. Aku tahu, adalah kejengkelan menerima tawaran dari seseorang yang tidak kita kenal...

Nah, kegiatan ini membuatku bergairah. Aku anggap sebagai silaturahim. Kendati tenagaku tak cukup kuat untuk berkeliling, toh aku bisa menyapa banyak temanku melalui media sosial. Teman lama yang aku pikir sudah tidak aktif lagi dengan gadgetnya, sampai mereka yang setiap hari muncul dengan status-statusnya.

Memang tidak semua kawan lamaku masih bertahan di media sosial. Mereka tidak merespon sama sekali. Namun ada yang spontan menjawab dengan mengucapkan selamat atas launching yang sukses tempo hari. Kita pun sempat ngobrol kesana kemari.

Yang paling antusias adalah pembaca-pembaca novelku sebelumnya --"Gadis Tiyingtali", "Cinta Retro", dan "The Newsroom".  Mereka segera minta kiriman novel baruku. "Lengkap dengan tanda tangan, ya!" seru mereka pada umumnya.

Yang membuat aku respek, ketika aku masih ngobrol dengan seorang teman, seseorang masuk dan langsung minta kiriman tiga buah buku sekaligus. Belum sehari buku dikirim --malah mungkin belum sampai ke tujuan-- sudah minta tambahan satu buku lagi.

Mengapa aku menaruh respek, sebab beliau, Lilla Loveyta, adalah seorang guru sekaligus sosialita asal Tulungagung, yang baru kali inilah tahu novelku --kendati sudah sering baca status-statusku di Facebook.

DUA KALI

Ada seorang teman yang gagal senang ketika tahu mendapat kiriman gelombang awal. Ini disebabkan karena ia sudah pindah alamat. Untungnya rumah lama itu kosong, sehingga paket kembali ke si pengirim. Aku kirim lagi ke alamat yang baru di Semarang.

"Aki... aku sudah baca! Dua kali...," ujar Novie Hermansyah dua hari setelah mendapat kiriman ulang. "Aku gemes sama Bunda Zara..., ingin rasanya kasih tahu... 'Itu anakmu, Bun'...," ujarnya antusias.

Banyak komen lain yang meluncur dari ibu muda ini. "Aku suka baca novel Aki. Aku jadi tahu tentang perjalanan umrah, walau penulisannya ngga kayak buku-buku tentang umrah. Buat yang buta banget, jadi merasa 'ada temannya'..., mbak Marce... Jadi ngga minder amat... hehehe..."

Pembaca setiaku dari Garut, Aam Qomariah, malah bercerita begini: Wih, Pak..., saya langsung baca sampai tuntas tadi sore, selesai pukul 8 malam. Dengan berderai air mata tentu... Sedih pas di bagian Marcenya... Teman-teman di grup Whatsapp sampai penasaran, dan minta diceritakan ulang. Ya saya cerita rangkumannya, hasilnya sukses... mereka pada tertidur... hehehe.

Qomariah suka sekali dengan jalan cerita, cuma ia menyayangkan, di bagian akhir kisah, kakak beradik Qaidir dan Qairil tidak bisa secara total melepas rindu kepada Bunda yang melahirkannya.

Toh dengan membaca novel "Menggapai Surga", ada sisi lain yang bisa ia peroleh. "Jadi ada semangat baru untuk cepat-cepat bisa ke Madinah dan Makkah. Kalo berniat sungguhan mah, in sha Allah pasti ada jalan untuk ke sana ya, Pak... Tertarik sekali untuk umrah dan berhaji..." kata Qomariah.

Seniorku, Onny Argoyono, malah berterus terang kisah dalam novel ini mirip-mirip pengalaman hidupnya. "Sangat mirip saat Chaidir bertemu ibu kandungnya, terus mendoakan beliau...," ujarnya.

Ketika ia membaca sambil melelehkan airmata, anaknya sempat bertanya apa sebenarnya yang terjadi? "Kamu baca sendiri aja nanti..." ujar Onny, yang dulu tinggal satu blok timur tempat tinggalku.

"Sing bikin mrebes mili cara penulisanmu iku lho... Kalo dibaca pelan serta diresapi..., pasti luluh... opo maneh aku ngalami... (Yang bikin berlinang airmata, cara penulisanmu itu lho... Kalau membacanya pelan dan meresapinya, pasti luluh. Apalagi aku mengalaminya...)

Lain lagi dengan Vika Wisnu, penggemar sekaligus pengamat novel. "Ini bukan novel religi, tapi kisah spiritual. Bagian terindahnya adalah bagaimana tokoh-tokohnya memaknai berkorban --sebuah kata kerja yang pada perwujudannya selalu berupa perih dan sepi, adakalanya bahkan lebih sendirian dibanding kata jujur. Dan bagian terpentingnya, novel ini bercerita tentang ibu....

Sahabatku, Peter Apollonius Rohi, yang membaca novelku
sambil menunggu temannya terbaring sakit, menyatakan, "makin asyik dari halaman ke halaman. Baru sampai halaman 150, sudah mulai terasa keharuan di ending-nya. Bagus sekali buku ini, walau bernuansa Islami tapi saya merasa sangat universal...

Sementara sahabatku yang lain, psykolog dari Pekanbaru, Bahril Hidayat Lubis, menilai, pesan utama dari tokoh novel ini memuat dialog tentang fiqih, kritik sosial, perjuangan hidup, cinta, kebencian, dan ketulusan, semua dikemas dalam dialog yang cair.

"Alur ceritanya mengalir, namun tidak mudah ditebak karena selipan  misteri, membuat pembaca semakin terbawa untuk mengikuti jalan prosa yang berliku dari tanah air, ke Makkah, sampai kembali ke Indonesia..."

"Suatu contoh untuk sastrawan dan jurnalis muda di Indonesia, belajarlah dari produktivitas dan kualitas menulis Pak Yuleng yang detil, rinci, dan memiliki kekokohan karakter sebagai penulis prosa...," ujarnya.

Mangestuti Agil, istri almarhum Agil Haji Ali wartawan yang flamboyan itu, menilai singkat: Buku yang luar biasa!

MAAFKANLAH

Well... seperti yang aku katakan di awal tulisan, aku menyapa teman-temanku melalui medsos. Aku punya seribuan teman di Facebook --hanya 30% yang sudah tergabung di messenger, dan sisanya masih memakai inbox untuk jalur japri. Selain itu sekitar 200-an menggunakan Whatsapp.

Dalam posisi seperti ini, tidak semua teman membuka sapaanku. Mungkin mereka sudah tidak aktif di medsos. Ada juga yang membuka, namun tidak merespon. Namun alhamdulillah separoan membuka dan merespon --walau tak semuanya bersedia memiliki novelku. Paling tidak, tujuan silaturahimku tercapai.

Yang aku syukuri, masih ada yang berminat memiliki novelku. Untuk koleksi pribadi, atau sekaligus suvenir bagi teman-temannya. Itu sebabnya mereka memesan dua, tiga, empat, atau bahkan sepuluh buku. Namun bukan berapa jumlah yang aku bisa jual melalui online ini, yang terpenting ya silaturahim itu tadi.

Khusus untuk teman-teman yang mungkin terganggu dengan tawaranku, izinkanlah aku meminta maaf. Sungguh, aku tidak bermaksud mengganggu kalian. Aku hanya ingin menyapamu, kawan! Sambil mengatakan, aku baru saja meluncurkan novel, yang mendapat pujian dari Dahlan Iskan, wartawan yang "mengharuskan dirinya" membaca novel minimal sebulan satu!

Sekaligus berbagi pengalaman: Janganlah pernah berhenti saat lansia. Terus berusaha, beraktivitas, cari kesibukan untuk memperpanjang usia sehat! Dan yang terpenting, silaturahim karena silaturahim akan memperpanjang umur. Dari hunianku yang teduh aku ucapkan "Selamat bersilaturahim..." (30:09:17)

Selasa, 26 September 2017

NOVEL MS: ALUR CERITA TAK MUDAH DITEBAK...



Bahril Hidayat Lubis:

Saya mendapat kiriman novel dari sahabat di Surabaya, seorang wartawan senior di Indonesia, Bapak Yuleng Ben Tallar, putera dari salah seorang tokoh negarawan di Indonesia yang dekat dengan Bung Karno, seorang perupa Realisme, suami dari seorang perupa yang beraliran Surealisme-Ekspresionisme, dan orang tua dari anak yang manis dan lucu.

Novel yang berjudul "Menggapai Surga", setebal 316 halaman, saya terima tanggal 23 September 2017. Di akhir pekan, saya menyempatkan diri menyelesaikan membaca novel ini.

Alur, setting, tema, dan karakterisasi yang utuh mengalir dalam klimaks dan antiklimaks cerita dan dialog tokoh utama (Qaidir dan Marce). Pesan utama dari tokoh novel ini memuat dialog tentang fiqih, kritik sosial, perjuangan hidup, cinta, kebencian, dan ketulusan, semua dikemas dalam dialog yang cair.

Alur cerita yang mengalir, namun tidak mudah ditebak karena selipan  misteri, membuat pembaca semakin terbawa untuk mengikuti jalan prosa yang berliku dari tanah air, ke Makkah, sampai kembali ke Indonesia...

Meskipun ada kesalahan redaksi dialog pada halaman 292, "Segala puji untuk Nabi Muhammad..." tapi saya tidak menganggapnya sebagai kesalahan atau aib substansial. Saya melihat unsur Psikologi Sastra berdasarkan teori Slip tongue (Psikoanalisis) karena tokoh utama novel dalam kondisi antiklimaks.

Ibarat Hadis (HR. Bukhari no. 6309 dan Muslim No. 2747) tentang Taubat, seorang pengembara yang kehilangan Unta dan bekalnya di padang pasir selama beberapa hari, lalu ia bertemu lagi dengan untanya dan pengembara terbawa suasana kegembiraan yang meluap lalu berkata, "Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Rabb-Mu.’ Ia telah salah mengucapkan karena sangat gembiranya." Demikianlah kegembiraan Allah menerima taubat hamba-Nya.

Analogi hadis di atas merupakan salah satu landasan teori untuk memahami kesan kesalahan dialog tokoh utama tersebut diinterpretasi secara bijak dan substansial karena tokoh utama sedang mencapai kondisi mental yang sangat bergembira di dalam fragmen antiklimaks kisah novel ini.

Sebagaimana tokoh utama Qaidir dan saudara kembarnya berusaha menutupi aib dan kesalahan orang yang dicintai pada bagian akhir novel ini, demikian pula sahabat dari Riau, mencoba (seakan-akan) menutupi kesalahan dialog tersebut, padahal substansinya bukanlah kesalahan redaksi dialog, namun antiklimaks dari sebuah jalan cerita dan kisah kehidupan.

Semoga bermanfaat untuk sahabat senior saya di Jawa Timur, kebaikan untuk bapak dan orang orang yang bapak sayangi, amin.

Suatu contoh untuk sastrawan dan jurnalis muda di Indonesia, belajarlah dari produktivitas dan kualitas menulis pak Yuleng yang detil, rinci, dan memiliki kekokohan karakter sebagai penulis prosa..

Salam hangat dari Riau,
27 September 2017

Bahril HL

(Semoga ada masa dan kesempatan kita bertemu, menyeruput kopi, dan berkisah tentang hidup ini dengan bertatap muka langsung)

Rabu, 13 September 2017

BREAKFAST GAYA BALI



Terkenang Akan Ubud

PERNAH menginap di hotel kelas melati di Pulau Dewata? Biasanya reception menyebut tarif hotel sudah termasuk breakfast.

Jangan bayangkan Anda mendapat breakfast seperti di hotel bintang. Prasmanan, bisa pilih aneka makanan. Salad bar tersedia, aneka roti berikut jam dan madu, omelette, soup, main cource hingga dessert.

Namanya juga hotel melati. Salah-salah tarif menginapnya sama dengan harga breakfast di hotel bintang. But dont worry, aku juga suka pilih hotel melati koq, yang mungkin nama kerennya sekarang budget hotel.

Nah apa yang muncul di breakfast Anda di hotel melati? Ini dia! Buah-buahan segar, roti, dan salah satu pilihan kopi atau teh. Pasti kopinya kopi Bali! Syukur-syukur masih dapat telor.

Pagi ini aku bernostalgia, seolah tidur di Jati Homestay, Ubud. Tempatnya tepi sawah, dan aku biasa menyantap makan pagiku sambil memandangi hijaunya padi tertiup angin basah. Sawah adalah salah satu obsesiku... mungkin karena di sana bermukim Dewi Sri.

Pak Jati, pemilik sekaligus pelukis tradisional setempat, suka menemaniku. Aku senang ngobrol dengannya karena pikirannya lugu namun berwawasan. Entah sekarang, apakah homestay-nya masih ada atau bermutasi menjadi hotel bintang.

Breakfast sederhana itu pula yang pagi ini aku gelar di meja makanku. Sambil menulis kisah pendek ini, mulutku tak henti mengunyah. Memang serasa di Ubud, terlebih beberapa kutilang liar tampak berebut makan di luar jendelaku.

Mungkin yang beda, aku menutup breakfast-ku dengan madu bercampur air hangat. Juga beberapa obat yang harus ku telan.

Usiaku tak muda lagi, jadi pandai-pandailah menggali kenangan indah di masa muda dulu. Sambil berbisik, terima kasih ya Allah, selama ini Kau beri aku kebahagiaan. Subhanallah. (13:09:17)

Sabtu, 09 September 2017

DIBAWA KE PASAR...



KALAU orang tak tahu, boleh jadi mengira aku lagi sebel ama wanita di sebelahku. Siapa dia? WIL? Ah... hari gini masih butuh WIL?

Foto ini karya temanku, Herwanto. Aku sedang uring-uringan setelah diajak city tour ke pusat belanja. Lorong panjang, kanan-kiri jual pakaian. Pengab tak ada mesin pendingin dan ventilasi yang memadai.

Sudah itu skuter lewat dengan asap putihnya yang menyesakkan. Lengkaplah sebagai pemicu rasa kesal.

Toh Herwanto tetap punya sisi humor. Ia bikin foto gosip. Seolah aku duduk berdampingan sama wanita muda. Yang senyum-senyum, padahal aku cemberut. Benarkah aku berdampingan?

Tidaklah. Itu hanya tipuan lensa. Ada jarak antara aku dan dia, cukup untuk seorang yang agak gemuk duduk di antaranya.

Yang aku heran, mengapa wanita itu senyum-senyum. Padahal ia juga sendirian. Duduk di tepi trotoar, di ujung pasar pakaian tadi.

Yang lebih heran... Oalah jauh-jauh ke Thailand, koq kita dibawa ke pasar yang mengingatkan aku dengan Pasar Atom di Surabaya tahun 1970! (09:09:17)

Keterangan foto: Herwanto (baju kuning paling kanan), Koento Wibowo, Adi dan Aku, plesir di Bangkok sepulang dari umrah ke Tanah Suci, 2015.


Minggu, 03 September 2017

SERAHKAN PADA AHLINYA



Keterangan foto: Karena salah satu keahlian istriku membuat steak, maka itulah yang disajikan untukku...


Tiba-tiba banyak orang bisa membuat sate, dan menyajikan sebagai menu keluarga. Dari sosoknya, sungguh sate banget. Tentu rasanya pun pasti sate. Bahkan lebih okay, bukankah ini buatan sang buah hati?

Sate-sate juga jadi menu di tempat pemotongan qurban. Ada sate sapi, tak ketinggalan sate kambing. Malah mungkin lebih banyak sate kambingnya. Wajahnya... 100% sate.

Mungkin... pikir para juru masak amatiran itu, membuat sate paling mudah. Cincang daging seukuran sate, tusukkan ke bambu penusuk yang sudah ready used --yang  bisa dibeli di pasar.

Soal bumbu, tukang sate hanya mengolesi dengan kecap. Lalu memanggangnya di atas arang. Jika dikipas dan kepulan asap kemana-mana dengan bau semerbak khas sate, pasti nanti jadinya ya sate. Paling tidak, begitulah pikir mereka.

Pada saat sate terhidang, mereka yang tak tahan lapar akibat aroma sate yang sudah kemana-mana, mengambil nasi sekuat nafsunya. Kapan lagi, inilah pesta sate setahun sekali, pikirnya.

Setelah mereka memulai dengan tusuk sate pertama, rona wajah yang tadinya penuh semangat tiba-tiba menjadi kecut. Mengapa?

"Keras amat nih daging," ujar seorang wanita di sebuah kantor tengah kota. Teman di sebelahnya mengangguk. Teman prianya lebih berterus terang, "Ups... dagingnya koq nggigit aku ya..." Beberapa lainnya diam-diam meletakkan piring.

Di rumah tangga mirip-mirip juga. Sebuah keluarga mendapat kiriman sate dari tetangga. Bener-bener sate, berlumuran bumbu dan terlihat yummy. Waktu disantap, pemilik gigi langsung meringis.

Mengapa ini terjadi? Membuat sate bukan hal mudah. Perlu proses penanganan daging sebelum dibakar. Di antaranya, memberikan bumbu terlebih dahulu dan membiarkannya untuk beberapa saat.

Bahkan untuk membuatnya empuk, ada yang membungkusnya dengan daun pepaya. Ada pula yang melumuri dengan cacahan nanas. Dhus tidak langsung dipanggang di atas arang.

Memang sebaiknya, semua itu serahkan kepada ahlinya. Walau hanya untuk setusuk sate. (yulengbentallar 03:09:17)