Selasa, 08 November 2016

DIBESUK PENGGEMAR


OPNAME, dibezuk salah satu penggemar novelku. Ovy selalu menunggu karya terbaruku. Ia mengoleksi novel-novelku, mulai Gadis Tiyingtali, Cinta Retro, The Newsroom, hingga Menggapai Surga.

Selasa, 16 Agustus 2016

SAHABAT YANG TELAH PULANG



SEGER WARAS TEDJA SUMINAR

AKU memanggilnya om, om Theedja. Tidak ada pembatas di antara kami kendati beda usia 15-an tahun. Kami akrab-akrab saja sebagai teman, bahkan kerap saling pamer setiap mempunyai sesuatu yang baru. Tapi tolong diartikan yang positif sebab pamer kami adalah saling berbagi pengetahuan.

Misalnya, suatu hari di tahun 70-an, om Thee --suatu ketika kelak namanya diringkas menjadi Tedja-- memamerkan sound system hasil rekayasanya. Di huniannya yang sarat dengan elemen estetika bernuansa seni di sela kecil Jl. Dharmawangsa, ia memperdengarkan musik Bali.

"Yok opo Leng..., enak? Cobak golekono speakere anang endhi? (Gimana Leng..., enak? Coba kamu cari di mana speakernya?) Pertanyaan soal enak tidaknya musik itu, masih relevan sebab ketika itu aku wartawan Majalah Musik Aktuil di Surabaya. Tapi soal mencari speaker... wah nanti dulu.

Ini soal eksperimen yang kami sama-sama menyukainya. Aku mencoba menelisik ke seluruh ruangan dan mencoba menemukan sumber suara. Lima menit berlalu tanpa aku bisa menemukannya.

"Iki lho...," ujar om Te sambil menunjuk ke gentong, patung tembikar, kukusan nasi, dan entah apa lagi yang semuanya dipergunakan untuk menyembunyikan speaker. Penempatan ini aslinya dimaksudkan untuk mendapatkan suara yang maksimal.

Jangan membayangkan salon-speaker sebab pada masa itu barang demikian terbilang mahal. Yang dipasang om Te hanyalah speaker telanjang yang banyak dijual di Pasar Genteng. Melalui olah-penempatan memang menghasilkan suara bass yang okay punya.

Di lain waktu, kita pernah sama-sama pergi ke Hong Kong, dan tidur sekamar. Namun pada siang hari, kita jalan sendiri-sendiri. Pikirku, tentu Om Te punya selera tersendiri, dan aku tentu saja ingin melihat modernnya kota itu.

Ternyata, ketika malam kita berkumpul dan berbagi cerita, apa yang Om Te lihat, apa yang ia makan, bahkan apa yang ia beli, sama dengan apa yang aku lakukan. Bahkan bukan di hari itu, hari-hari kemudian sama saja. Anehnya... tetap aja kita jalan sendiri-sendiri.


COLLECTION ITEM

Tedja Suminar sebenarnya teman ayah aku dalam kelompok pelukis Prabangkara ('60-an) --beranggota Wiwiek Hidayat, Soedibio, Karyono YS. Pada dekade '70-an, sepulang dari Manila, ayah membentuk Puring Art Studio, dan Om Te bergabung bersama Soedibio dan Sedyono. Mereka kerap melukis bersama.

Yang aku suka dari karya Om Te adalah sketsa-sketsanya. Juga cara dia memajang lukisan di huniannya --nanti di akhir cerita aku kisahkan bagaimana bentuk huniannya. Aku mengoleksi beberapa sketsanya, tentu saja sejumlah lukisan cat minyak.

Suatu hari di Ubud --aku duluan tinggal di Bali, kemudian menyusul Om Te dengan memilih tempat di Ubud-- ia menunjukkan karya terbarunya. Aku suka dan memuji karya itu --Garuda Wisnu dengan canang berisi aneka kembang.

"Neg seneng, ya wis jupuken," ujar Om Te dalam bahasa Jawa. Singkat kata, lukisan itu aku bawa pulang. Ternyata kemudian aku tersadar, aku juga punya lukisan senada dengan yang baru aku beli ini.

"Om... ternyata aku punya penyandingnya! Sama-sama lukisan patung Bali, sama-sama ada kembangnya (cuma yang satu kembang kamboja sewarna), dan sama-sama bernuansa coklat! Hanya bedanya, yang satu Om lukis tahun '72, yang satunya tahun '92.

Rupanya ia masih hafal dengan lukisan yang aku maksudkan. Sambil tertawa, ia mengatakan, "Wah... 20 tahun aku ngga maju-maju yo."

Seketika aku salah tingkah, tersinggungkah Om Te? Ternyata tidak, sebab ia mengakui kadang gagasan juga bisa bernostalgia. Duplikasi. Aku lantas juga beri alasan, lukisan lama lebih ekspresif sementara yang baru lebih memperhatikan detail. Yang jelas, keduanya menjadi collection item yang tak mungkin aku lepaskan.

Om Te sendiri kemudian menyibukkan diri dengan proyek lukisannya yang spektakuler. Ia melukis tokoh-tokoh seni budaya Bali lengkap dengan karakter masing-masing. Misalnya, ia melukis pematung I Gusti Nyoman Lempad yang tengah mengerjakan karya patungnya. Suteja Neka dengan museum seni yang dimiliki, atau Ida Bagus Mantra dengan dunia intelektualnya.

Karya-karya itu dikerjakan di kanvas yang cukup besar, konon setelah itu digelar dalam suatu pameran, dan sukses. Aku sendiri tidak lagi mengikuti perkembangan sebab tahun-tahun kemudian  sibuk banget. Kendati demikian, setiap kali ke Bali --aku sudah bermukim di Surabaya-- pasti aku sempatkan mampir bertemu Om Te.


TEPI SAWAH

Untuk menemukan hunian Tedja Suminar di Ubud, tidaklah sulit. Letaknya tak jauh dari Arma Museum. Nama jalannya Raya Nyuh Kuning, dulu lorong kecil yang sekarang sudah menjadi jalan besar. Tak jauh dari pojok jalan, ada perahu tergantung di sisi tembok pagar (Ubud itu dataran tinggi lho).

Begitu masuk halaman, di tengah ada kolam ikan yang tentu saja asri dengan aneka tanamannya. Di sebelah kiri ada pendopo untuk lesehan. Sementara di belakang adalah kediaman Tedja --ketika itu Muntiana Tedja, istrinya, masih bolak-balik Surabaya-Ubud sebab anak mereka Swan dan Lini masih remaja.

Di sebelah kanan terdapat bangunan besar yang berfungsi sebagai galeri. Di tempat ini sesekali berkumpul para pelukis Ubud. Suatu ketika aku hadir bersama mereka. Kebetulan pada hari itu mereka mendatangkan model dilukis bareng. Aku sendiri sibuk jeprat-jepret dengan kamera, ya mengabadikan si model, ya aneka aksi si pelukis. Serulah!

Hunian Tedja menjadi tempat berkumpul seniman-seniman Ubud, baik seniman setempat maupun dari berbagai penjuru kota yang memilih Ubud sebagai tempat berkarya. Ada yang dari Jogja, Jakarta, Bandung, dan satu dua dari Jawa Timur.

Ada pula seniman Belanda yang nyantrik di sana. Nyaris tak pernah sepi hunian ini. Beralasan memang, sebab di tangan Tedja, tempat ini lebih Bali ketimbang studio-studio milik orang Bali. Obsesi Bali memang sudah terbawa sejak Tedja masih menghuni rumahnya di Dharmawangsa, Surabaya.

Sampai suatu ketika, Om Te berkabar pindah hunian. Kejadiannya, hampir bersamaan waktu aku membangun gubug kecilku di lereng gunung Welirang, di sudut desa yang jauh dari hunian penduduk setempat.

Ketika itu aku berlibur ke Ubud, dan dipandu menggunakan handphone. Letaknya kurang lebih di belakang Goa Gajah. Jangan tanya nama desa atau jalannya, sebab aku buta sama sekali dengan lokasi itu. Aku hanya dapat perintah "belok kanan kalau ada tembok panjang, nanti ke kiri, tante aku suruh tunggu di depan."

Tanpa nyasar, aku bisa temukan tempat yang dimaksudkan. Desain rumahnya sedikit modern, dengan teras justru berada di belakang. Tamannya khas Om Tedja, rimbun subur dan sedap dipandang.

Pertama kali masuk ruangan depan, aku langsung teringat gubugku. Di langit-langitnya ada ornamen dedaunan. Aslinya memang daun sungguhan yang diletakkan di dasar dak sebelum dilakukan pengecoran. Setelah kering dan papan besketing diambil, citra dedaunan itu terukir rapi di atas sana. Aku tahu teknik ini sebab aku juga lakukan hal serupa.

Setelah melihat di sekeliling rumah, kami dijamu di teras belakang. Dengan bangga Om Te memamerkan belakang huniannya --yang memang menjadi daya tarik utama dari semuanya itu, yakni hamparan sawah.

Berada sekitar dua meter di bawah teras, terhampar persawahan seluas kurang lebih tiga kali lapangan bola. Bentuknya nyaris persegi, dan memang menjadi spot subur bagi persawahan. Ketika itu umur padi baru sekitar enam minggu, hijau segar nuansa di bawah sana.

"Musim begini yang paling aku senangi. Menyusul nanti waktu padi menguning. Itu sudah aku persiapkan orang-orangan sawah," ujar Om Te sambil menunjuk yang dimaksudkan, yakni orang-orangan pengusir burung.

Dasar seniman, benda itu dipajangi berbagai komponen estetika yang sedap dipandang mata. Selain warna-warni atribut, disk komputer juga dipasang berkerlip memainkan sinar.

"Kalau lagi panen, senang melihatnya. Banyak orang terlibat. Tapi setelah itu, saat-saat yang paling menjengkelkan. Mereka membakar jerami, dan asap kemana-mana. Kami kerap mengungsi dibuatnya," ujar Om Te dalam bahasa Jawa Suroboyoan sambil terkekeh...

Aku dan istriku saling pandang. Kemudian tersenyum, dan hanya kamilah yang tahu komunikasi itu. Bagaimana tidak. Kami selalu menceritakan hal yang sama kepada tamu-tamu kita mana kala mereka berkunjung ke gubug kami di kaki Welirang.

Hunian Om Te nyaris sama dengan gubug kami. Sama-sama persis di tepi sawah, sama-sama punya teras dua tiga meter di atas sawah. Bedanya, gubugku adalah rumah kayu model panggung dengan bangunan batu di ruang bawah. Dan di belakang sana, sejauh mata memandang, persawahan yang tak membosankan.

Jelas dampak asap lebih parah di tempatku, kendati keindahan hijaunya persawahan lebih memukau. Apalagi, kontur sawah menurun bertangga-tangga berbentuk lembah, dengan kesunyisenyapan khas pedesaan. Salah satu ciri Bali yang aku bawa kemari adalah penjor yang menjulang di tepi sawah.

Kami sepakat untuk tidak menceritakan ini kepada Om dan Tante Tedja, sebab masih ada rencana mengajak mereka ke gubugku suatu ketika nanti, dengan harapan mendatangkan surprise. Sayang waktu tak bisa ditahan, Tante Muntiana mendahului kita semua.

Ketika akhirnya Om Te diboyong Swan dan Lini ke Surabaya, rencana mengajak beliau ke kaki Welirang tak kunjung terlaksana. Selain jalan menuju Pandaan sering macet (sebelum tol baru berfungsi), kami juga tidak berani mengajak Om Te pergi jauh ke Pandaan. Kami tidak berani mengambil risiko.

Sampai akhirnya, setahun lampau, aku berkesempatan bercerita tentang gubugku yang senada-seirama dengan hunian Om Te di Ubud sana. Memang sudah tidak ada surprise lagi, tak ada gereget untuk dikisahkan. Bukankah melihat sendiri lebih mudah tercerna ketimbang melalui kata-kata? Lagian, dunia Om Te sekarang kembali ke kampung halaman, Surabaya.

Yang ingin aku sampaikan sebenarnya adalah, banyak nian kesamaan selera antara aku dan Om Te dalam kehidupan ini. Kendati kita berbeda umur, namun tak menghalangi kesukaan bersama dalam berbagai hal.

Sekarang Om Te telah tiada. Masih aku kenang sapaannya setiap kali bertemu, "Seger waras yo Leng". Semoga kau bahagia di alam sana, karyamu akan tetap dikenang. Bagiku, banyak kisah perjalanan kita yang tak mungkin terhembus hilang begitu saja. Selamat jalan Om... (*)

Minggu, 31 Juli 2016

KORANNYA MATI, NAMUN SEMANGAT TAK ADA MATINYA



REUNI lazimnya dilakukan teman sesekolah, atau jamaah yang sama-sama berhaji. Namun kali ini reuni sekaligus HBH diadakan oleh mereka yang dahulu pernah berkarya sekantor.

Uniknya, kantor mereka sekarang sudah tiada. Pemilik melikuidasi perusahaan tersebut pada 2002. Itulah nasib Surabaya Post, koran sore yang terbit sejak 1 April 1953.

Nah, mantan karyawan inilah yang bereuni. Ada yang dulunya berprofesi sebagai wartawan, berkarya di bagian usaha --iklan, pemasaran, keuangan, dll. Mereka membentuk paguyuban eks Surabaya Post.

Merekalah yang pada hari Minggu (31/7-16) lalu, menggelar reuni, sekaligus silaturahim semampang hari raya, bertempat di hotel Kartika Graha, Malang. Yang hadir, lebih dari 80 orang.

Reuni ini tercatat yang ke-12, setelah Surabaya Post tutup 14 tahun lampau. Seperti biasanya, jumlah yang hadir berlimpah. Tidak ada pembatas antara atasan dan bawahan. Semuanya sama rata, bebas bercanda-ria.

Sebagian saja yang masih melanjutkan profesi di perusahaan sejenis. Sebagian lainnya ada yang memilih menjadi lawyer, motivator, pengajar, bekerja di bidang lain, atau wiraswasta. Atau bikin media.

Sementara aku memilih jadi author. Sudah lima novel aku hasilkan. Juga tiga otobiografi, yang aku tulis dengan gaya novel.

Apa kekuatan yang bisa mengikat kami dalam paguyuban yang guyup ini? Kami sendiri nyaris tak pernah tahu, kecuali satu hal: persaudaraan!

Malah sempat terucap di antara kami, meski Surabaya Post mati sejak lama, namun semangat paguyuban eks Surabaya Post tak ada matinya. Mungkin semangat itu pula yang membuat kami tetap eksis dalam tali silaturahim. (*)

* Pada foto, aku bersama mantan sekretaris redaksi, manager iklan, redaktur, sekretaris direksi, dan wartawan.

Kunjungi kami di: exsurabayapost.com

Minggu, 10 Juli 2016

MACET DI HARI LEBARAN



SALAT IED DI JALAN TOL?

BELAJAR dari peristiwa macet panjang dan berjam-jam di Bremix pada Lebaran tahun 2016, solusi apa yang akan dilakukan pada tahun depan?

Bremix --Brebes Exit, plesetan dari Britain Exit (keluarnya Inggris dari Uni-Eropa yang beritanya sedang mendunia itu)-- menjadi masalah yang dikeluhkan banyak orang, bahkan diliput media global.

Diberitakan pula ada korban yang meninggal dunia dalam kemacetan terburuk kali ini, kendati kebenaran informasinya masih diperdebatkan. Kalau benar itu terjadi, sungguh memprihatinkan.

Agar peristiwa serupa tidak terulang, konon jalan tol Jakarta-Brebes segera diperpanjang hingga mencapai Semarang. Dengan demikian, tidak akan terjadi lagi macet panjang di Bremix. 

Betulkah? Pasti, ditanggung pemudik tak lagi terhadang pintu keluar. Tak bakal ada macet panjang yang menyebabkan pemudik kepanasan. Tak ada yang sampai kehabisan BBM. Pendek kata, peristiwa kelabu tempo hari tidak bakal terjadi lagi di Bremix.

Hanya saja, bagaimana nasib Semarang jika rekayasa lalu lintas masih seperti Bremix? Apalagi, ketika jumlah pemudik pun makin bertambah. Bukan tidak mungkin Semarang menjadi Bandung kedua, atau bahkan lebih parah lagi!

Jalan tol memang bukan satu-satunya solusi mudik. Sepanjang apapun, selebar apapun, akan tetap padat ketika musim mudik terjadi. Terlebih jika waktunya bersamaan dengan liburan sekolah.

Marilah kita berempati sejenak. Tengok kota-kota besar di tanah Jawa. Semakin hari, semakin padat saja jalanannya. Malah kota kecil penghubung pun ikutan padat. Kendaraan di mana-mana --ya roda dua, tiga, empat bahkan lebih. 

Ketika kepadatan di kota-kota itu surut pada hari raya, kemana saja kendaraannya? Dikandangkan? Tentu saja tidak. Pemilik membawanya mudik. Jangan berpikir mudik hanya hak warga Jakarta.

Mereka yang di Semarang pergi ke Jombang. Yang ada di Pekalongan boleh jadi ke Lamongan. Atau yang di Cirebon malah ke Bondowoso. Pendek kata, kota asal ditinggalkan untuk melaju memenuhi jalan raya. Termasuk jalur tol. Dan di mana saja!

Sebagus apapun tata kelola jalan tol, termasuk rekayasa lalu lintas jalan konvensional, tahun-tahun ke depan sudah tak nyaman lagi untuk bepergian. 

Bisa-bisa satu ketika kelak, lebaran akan berlangsung di perjalanan. Salat Ied pun terpaksa dilakukan di ruas tol. Pembayangan yang ekstrem, namun siapa tahu benar-benar akan terjadi. Ini Indonesia, Bung! 

Kereta Peluru

Sudah saatnya pemerintah memikirkan pembangun jaringan transportasi lancar dan murah. Frekuensi kereta api diperbanyak.

Misalnya, kereta peluru untuk Jakarta-Surabaya pp yang tiketnya lebih murah dari pada pesawat terbang. Bila perlu dalam sehari enam tujuh kali pemberangkatan.

Kalau pembangunannya masih terkendala waktu, tingkatkanlah yang ada sekarang. Agro Anggrek, misalnya, bisa berangkat setiap jam sekali. Pun demikian kereta-kereta ke jalur lainnya.

Perlu dipikirkan pula ferry dari Tj. Priok ke Tj. Perak dengan pelayanan bintang 5 --baik akomodasi, konsumsi, maupun tempat rekreasinya. Bila diperlukan, ferry ini bisa diteruskan ke Bali atau ke Makassar. Tapi ingat, bintang 5 ya!

Pelayanan bandara --yang para penumpang membayar lho melalui airport tax!-- hendaknya ditingkatkan. Bukan ala kadar yang kini mirip-mirip terminal bus. Frekuensi take off-landing juga perlu dioptimalkan.

Kemudian bebaskan penumpang di seluruh terminal --bandara, stasiun, pelabuhan-- dari keharusan menggunakan "taksi terminal". 

Beri kesempatan pemudik untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan keinginannya. Termasuk layanan taksi berbasis aplikasi, atau taksi argo tanpa batasan.

Tersedia pula "Rent Car", termasuk persewaan motor pada terminal-terminal itu. Agar pemudik bisa meneruskan perjalanan ke kota tujuan yang tak terlalu jauh dari terminal itu.

Masyarakat pun harus siap meninggalkan kebiasaan membawa mudik mobil mereka. Kalau terpaksa membawa sepeda motor, ikutkan saja pada jasa angkutan kereta api atau kapal yang sudah membuka layanan itu sejak beberapa tahun terakhir ini.

Jika semua ini bisa terlaksana, berapa waktu yang terhemat tak harus terbuang percuma di jalan raya? Belum lagi faktor keselamatan. 

Petugas keamanan pun tak harus dikerahkan ke jalan raya. Coba renungkan, berapa kali lebaran mereka tak bisa merayakannya dengan keluarga?

Ini adalah kepedulian bersama. Pemerintah peduli membangun, masyarakat peduli dengan keselamatan bersama. Akhirnya kita sama-sama selamat, tak perlu lagi korban-korban berjatuhan di jalan raya. 

Lebaran yang selamat, meski sekarang masihlah angan-angan. (Yuleng Ben Tallar)






Kamis, 30 Juni 2016

KHASIAT DAUN 'ULAR'



PUASAKU TERGANGGU TROMBOSIT

AKU tidak puasa sejak Jumat (9/6). Sehabis shalat subuh, aku tertidur dan bangun dalam keadaan menggigil. Temp-ku 38. Dengan berat hati aku membatalkan puasa untuk minum obat (seusiaku jangan abaikan tanda-tanda tubuh). Aku juga absen salat Jumat.

Besoknya, badan tetap panas, tidur berkeringat, kerap menggigil dan sempat halusinasi. Istriku yang baru pulang dinas di Banjarmasin, mengajak ke dokter. Aku enggan sebab mungkin dengan parasetamol bisa teratasi.

Ternyata tidak juga. Esoknya masih menggigil, masih berkeringat, temp 37-38. Akhirnya aku putuskan ke dokter. Tapi dokterku hari itu off, Puskesmas juga tutup, kalau ke rumah sakit harus lewat IRD/UGD.

Aku pikir, aku masih bisa bertahan sampai Senin. Lagian, aku harus memperbaiki kondisi trombositku terlebih dahulu. Kalau panas 3 hari berturut-turut, bisa-bisa hanya tersisa 110K (110.000), atau bahkan 80K, dari batas bawah 150K. (Aku punya pengalaman seperti ini dua kali, dan dokter langsung perintahkan menginap di rumah sakit).

Maka sejak Minggu aku minum klorofil daun "Ular". Ular itu kependekan dari Ubi Jalar, supaya mudah diingat dan kalian tidak salah dengan ubi kayu/ketela. Ingat ya, ubi jalar --ular!

Mendapatkannya di pasar tradisional, dan hanya satu dua pedagang yang jualan. Ambil seunting, lalu potong ujung-ujung daunnya sepertiga bagian. Nah ujung-ujung ini direbus dengan seliter air hingga mendidih. Setelah dingin, aku minum sebagai pengganti air putih.

Alhamdulillah, waktu check laboratorium esok harinya, trombositku 153K, masuk batas normal (150K-400K uL). Namun dokter sempat kaget sesaat. Ia meminta aku kembali tiga hari lagi untuk periksa lab. "Saya khawatir kalau trombosit Bapak turun. Sebab kalau di bawah 150K Bapak harus ngamar ya," ujarnya dengan hati-hati.

Makanya di hari-hari mendatang, aku tidak boleh lepas dari klorofil daun ular. Agar trombositku bisa mengatasi suhu panas tubuh sehingga aku benar-benar sembuh dan bisa melanjutkan puasa. Dan tidak perlu opname...

Dan hari ini (16/6) aku kembali periksa lab. Hasilnya, trombositku 268K! Dokter melihat hasilnya dengan tersenyum. "Alhamdulillah, bapak tidak perlu opname".

Lalu mengapa aku share pengalaman ini? Pasien dengan keluhan panas tubuh tinggi, kerap dicurigai terkena demam berdarah. Maka trombositlah pertama-tama yang akan dipantau. Jika berada di bawah angka normal (150K-450K /uL), maka dirujuk ke rumah sakit.

Aku pernah dua kali opname, dengan trombosit 110K, malah yang kedua HANYA 25K! Selain obat dokter, teman-teman menganjurkan "obat" lainnya. Ya ngga apalah, aku coba juga mulai Po**ri S**at, jus jambu merah, bahkan jus kurma.

Hasilnya? Not so bad! Po**ri okay aja, jus jambu (jambu kampung yang kecil-kecil ya, bukan jambu Bangkok) juga okay, demikian pula jus kurma. Namun semua itu membutuhkan proses waktu untuk meningkatkan trombosit, sementara biaya kamar akan terus bertambah.

Nah si daun "Ular" ini, bisa tancap gas. Akselerasinya terandalkan. Trombositku pernah naik dari 125K langsung ke 165K esok harinya. Atau 145K ke 195K dalam sehari.

Oleh sebab itulah, setiap musim DB aku selalu sharing masalah ini. Seperti hari-hari pancaroba sekarang, tengoklah berapa banyak pasien DB berjubel di rumah sakit?

Sharing-ku semata untuk meringankan penderitaan sesama. Tentu tidak semua orang percaya dengan "resep" ini, namun apa salahnya dicoba? Yang penting yakin, dan percaya kesembuhan itu datang dari Allah.

Jaga kesehatan,
Kalau trombosit turun...
ingat daun Ular!
Semoga berfaedah...
Salam Seger Waras

Senin, 30 Mei 2016

MARCE, SIAPA KAU GERANGAN?


AH Marce, kau kembali membuat hati ini terharu biru. Kembali air mataku berlinang. Untuk yang kesekian kalinya itu terjadi. Siapakah kau sebenarnya Marce?


+ Hamida Prakosa: Hi... mahluk halus...

- Bukan mbak... Bukan mahluk halus. Coba simak sepenggal kisahnya:
"Dengarlah. Kakak tidak pulang ke Tanah Air bersama mereka hari ini." Marce kaget mendengar pengakuan itu. "Mengapa Kak? Bukankah kemarin kakak bilang hari-hari di Tanah Suci segera berakhir?"
"Kakak akan menungguimu. Kakak akan mengantarmu umrah..."
"Kak... mimpikah aku? Oh Gusti Allah, terima kasih, Gusti..."
Marce tidak tahu kalau Qaidir sejatinya kakaknya, sementara Qaidir sedang menyelidiki apakah ibu Marce juga ibu yang mengandung dirinya.

Dialog ini yang membuat aku trenyuh. Marce yang sekarat di RS, mendapat kesanggupan Qaidir untuk mengantarnya umrah. Padahal seharusnya Qaidir kembali ke Tanah Air...

+ Wah... repot menebaknya mas, jelasnya mereka tidak boleh menjadi kekasih, pasti ada rasa kecewa di sana... tapi itulah norma.

- Marce memang tak ingin memberi cintanya kepada Qaidir karena tahu penyakit yang akan merengut nyawanya. Qaidir juga tak ingin Marce tahu kalau dirinya sedang menyelidiki keberadaan ibu kandungnya. Ketika tabir itu terbuka lewat tangan Allah, keduanya harus berpisah karena Marce menghembuskan nafas terakhir... Apa sampai disini kisahnya? Tidak... justru ini awal Qaidir menemukan surganya...

+ Indah Setijawati Sukarna Putri: Penampakan atau apa mas Yuleng?

- Ini novelku "Menggapai Surga", yang tadi sempat aku baca kembali sebelum naik cetak mbak... Dulu waktu menulisnya, juga waktu mengoreksi, aku mbrebes-mili. Lha kok sekarang, empat bulan kemudian, airmataku kembali berlinang. Ada apa dengan tokoh Marce? Siapakah dia di dalam kehidupan nyataku? (*)


Jumat, 27 Mei 2016

HARI YANG HEBOH


BATAL LIBURAN KE OMAKAYU

KAMIS, 5 Mei 2016, jatuh hari libur. Long weekend sebab esoknya juga libur. Karena sudah lama tidak pergi ke Omakayu, tuh gubug singgahku di Pandaan, maka aku putuskan istirahat ke sana. Berangkat pagi-pagi seusai subuhan supaya tidak terkena macet di jalanan.

Apesnya, malam harinya aku penat sekali setelah terkena macet. Tumben jalanan Surabaya se-crowded itu. Jadi aku tidur lebih awal dengan menunda shalat isya. Nanti malam saja sekalian tahajud.

Pukul 03.10 aku terbangun, berwudhu lantas menunaikan shalat isya, lalu tahajud, ditutup witir. Lalu keluar rumah untuk berdoa sambil kontrol ke gardu satpam. Sempat ngomel karena gate tidak ditutup padahal empat hari lalu kompleks hunian kami kedatangan kawanan maling. Untung aksi mereka ketahuan, dan sayangnya para maling berhasil kabur.

Karena waktu shalat subuh di Surabaya pukul 04.15, masih ada waktu sejenak untuk main-main sama si Grey, kucingku. Nah setelah shalat subuh, aku tiduran sambil menunggu matahari terbit.

Tiba-tiba aku dikejutkan, ada teriakan 'maling'. Aku bergegas keluar, dan benar, di jalan kecil samping rumahku sudah ada sejumlah orang mengerubuti sebuah motor.

"Mana malingnya?" tanyaku. Lari Pak, ujar Pak Tatung, Bag. Keamanan. "Lha ini motor siapa yang dicuri?" Ini milik pencurinya...

Ternyata, ada tiga orang naik sepeda motor tersebut, menyasar rumah nomor 15. Gelagat buruk ini diperhatikan oleh Man dari bagian kebersihan. Dengan mengendap, Man mendekati ketiganya.

Seorang di antaranya sudah masuk ke rumah korban dengan merusak gembok. Entah bagaimana caranya, gembok besar itu dol dan tak bisa dikunci lagi.

Man yang sudah sangat dekat, menggunakan tongkat menyerang kedua teman maling yang berjaga di luar. Perkelahian tidak imbang, apalagi maling yang di dalam keluar ikut membantu. Namun karena suara gaduh yang ditimbulkan Man, maling-maling ini ketakutan dan berusaha melarikan diri berboncengan.

Man tidak ingin tangkapannya meloloskan diri. Ia kejar sambil berlari, dan meraih kepala si pengemudi, memiting, dan membantingnya. Kawanan itu jatuh bersama motor yang dinaiki. Karena posisi tidak menguntungkan, ketiganya melarikan diri tanpa peduli lagi akan kendaraannya.

Man berteriak  meminta satpam menutup gate. Sayangnya kawanan maling lebih cepat dan kabur secara berpencar.

Sampai di sinilah kisah keberhasilan menahan kendaraan milik para maling. Kami lalu berpikir, hendak diapakan motor Honda yang masih mulus ini?

PROSES VERBAL

Karena maling ini pula, warga hunian berkumpul. Man asyik berkisah sementara lainnya mengumpulkan barang bukti. Ada gembok yang sudah dol, kunci palsu, alat2 yang bentuknya ganjil, helm yang tercebur got, dan sepeda motor pelaku.

Tiba-tiba ada pria turun dari Kijang ikut bergabung. Rupanya dia reserse yang kebetulan lewat, yang dengan sigap berhasil menangkap salah satu dari pelaku yang melarikan diri ke arah jalan besar.

"Dia mengaku lari pagi... tapi lihat bentuknya, mana mirip dengan orang olahraga," katanya.

Man awalnya kurang yakin itu salah satu dari mereka, namun setelah ia melihat ada luka di kaki kiri pelaku, ia ingat sekali dengan pengemudi yang ia banting dan kaki kirinya tergores aspal. Singkat kata, memang dialah pelakunya.

Reserse itu kemudian meminta ditemani membawa pelaku ke Polrestabes karena dia sendirian di mobil. Ia juga minta korban pemilik rumah yang disatroni dan Man ikut ke kantor. Manlah yang membawa motor pelaku.

Nah saat kami akan pergi makan siang sebagai pengganti ngga jadi ke Pandaan, terkejut melihat kenyataan sepeda motor Man masih berada di pos jaga dekat rumah. Artinya, ia masih berada di kantor polisi. Padahal sudah pukul 13.00, atau tujuh jam telah berlalu.

Aku telepon Pak No, satpam kami yang tadi menemani reserse membawa pelaku ke kantor polisi. "Masih di sini Pak, sedang diproses verbal," ujarnya dengan suara perlahan. Sayup-sayup terdengar suara petugas membentak pelaku.

Ya sudah... kami makan dulu, dengan tujuan American Grill di Tunjungan Plaza. Dasar hari libur dan jam maksi, antrean sudah terjadi sejak dua kilometer sebelum lokasi.

Walau sabar merambat, toh akhirnya kami putuskan tidak jadi kesana. Papan parkir menunjukkan tempat yang tersisa hanya 147 buah. Tempat segini diakses dari tiga lajur, kans mendapatkan parkir relatif kecil.

Dari steak kami berganti pilihan Ayam Putri Madura di RM Bebek Harissa. Sensasinya okay banget, seolah menjadi penawar kesibukan sejak subuh. Kami pulang dengan kenyang.

Ternyata, sesampai di rumah kawan-kawan saya belum pulang juga. Menyesal tadi tidak mampir ke kantor polisi. Saya perlu memberi support kepada mereka karena saya Ketua RT.  Saya putuskan mengaso sebentar, lalu berangkat ke kantor polisi.

Eh musibah terjadi. Entah apa penyebabnya, pintu mobil terkunci dari dalam sementara mesin masih hidup. Panik juga, karena tak punya kunci serep.

Upaya paksa membuka dilakukan menggunakan penggaris yang diselipkan di kaca. Hasilnya nihil. Cari tukang kunci, ternyata satu pulang kampung, satu sedang dipanggil orang, satunya lagi masih dicari. Padahal mesin makin panas dipanjar diam hampir satu jam.

Ketika mencoba cari bantuan ke tetangga, alhamdulillah bertemu Man yang baru pulang dari pemeriksaan. Sementara melupakan mobil yang terkunci, aku asyik mendengarkan cerita Man. Apalagi Devi, yang rumahnya dibobol, ikut berbagi cerita.

Untung ada kesempatan memotong pembicaraan untuk minta tolong bab mobil terkunci. Kebetulan Devi punya pengalaman dengan Avanzanya yang beberapa kali harus ia akali akibat kasus serupa.

Singkat kisah, Devi kutak Katik beberapa saat... dan sayangnya tidak berhasil. Ia meyakinkan, sistemnya berbeda dengan Avanza. Dalam keadaan ini, tukang kunci yang tadi sedang dicari, menelepon.

"Mobilnya apa Pak?" Toyota Innova. "Tahun berapa Pak?" 2009. "Ongkosnya 200, Bapak Setuju?" Okay...segera ya, ini sudah dua jaman mesin hidup...

Benar juga, si tukang segera tiba. Melihat bekas kita membuka pakai penggaris, dia langsung bilang, type yang ini ngga bisa pakai penggaris.

Lalu ia mengambil obeng dan pengganjal. Ada kain kaos. Ada kawat panjang. Maaf saya ngga bisa kisahkan caranya sebab itu know how si tukang. Tapi benar, ngga sampai lima menit pekerjaan usai. Pintu terbuka.

Hahaha... Aku tertawa sambil kasih jempol. "Aku bayar Bapak bukan karena bisa membuka, tapi bayar untuk CARA membukanya," ucapku ikhlas. Dia tertawa juga.

Ketika mau menyerahkan uang, si McGaver hanya mengambil separonya, yang seratus ribu dikembalikan. Rupanya, dia juga menghargai pujianku yang benar-benar tulus. Apalagi beberapa kali aku tekankan aku bayar untuk ilmunya...

Well... selesaikah hariku? Malam hari masih kedatangan tamu yang awalnya meminta tolong melakukan editing bukunya. Aku telanjur menerima permintaan itu, namun ternyata buku itu tak sekadar membutuhkan editing. Perlu lebih dari itu... rewriting!

Dua pekerjaan yang berbeda, dan rewriting itu lebih sulit. Ibaratnya menjahit, lebih mudah menjahit celana daripada memermaknya.

Ketika aku hendak makan malam, aku sempatkan menulis hari-panjangku ini. Seharusnya, aku melihat hijau sawah di belakang rumah dengan kicauan burung. Dengan hawa sejuk Pandaan, terhindar dari pengabnya Surabaya.

Menyesalkah aku? Tidak! Karena aku percaya, Allah melarangku ke luar kota. Biarlah hari-hari panjangku dengan berbagai permasalahan di sini saja. Mungkin kesialan di sana lebih parah lagi. Untuk itu aku bersyukur, dan berdoa untuk kebaikan di hari-hari mendatang. Subhanallah. (*)

GELAS-GELAS KENANGAN, NGGA SAMPAI LIMA RIBU!



AKU suka mengoleksi barang, terutama sesuatu yang kecil, lucu, dan berfungsi. Jangan tanya apa saja yang aku koleksi, sebab banyak banget ragamnya. Yang terkecil prangko, yang terbesar lukisan. Tentu sebagai wartawan aku juga mengoleksi ballpoint --terutama yang ada logo maupun brand dari sesuatu (lain waktu aku kisahkan tersendiri).

Yang ingin aku ceritakan sekarang adalah gelas kecil yang desainnya cukup unik. Aku ngga bisa menyebut apa namanya, apakah mug tapi kok terlalu kecil, cangkir kok terlalu besar, gelas ya juga enggak lah. Tapi Anda tahu kan apa yang aku maksudkan?

Aku membeli ini karena desainnya cukup unik. Perhatikan bibirnya yang melandai, dan gagangnya yang menyatu dengan bibir. Jadi okay jugalah ketika si penjual menawarkan harga Rp 45 rb. Walau untuk itu terbilang mahal, tak apalah sebagai cinderamata. Maklum aku membelinya di sebuah artshop kota Singaraja, Bali.

Aku mengambil sepasang, hitam untuk istriku dan putih untuk aku. Mengapa aku pilih putih, karena kebiasaanku meneguk kopi. Apa nikmatnya kopi hitam di cangkir hitam,  pikirku saat itu.

Hari-hari berikutnya kalau kangen Bali, kami selalu menggunakan gelas itu. Waktu lain pakai yang kami beli dari Hamilton. Begitulah kelaziman kami memanfaatkan barang kenangan. Namanya kenangan, ya untuk mengenang sesuatu. Bukan sekadar disimpan hingga kehilangan fungsinya.

Nah... suatu saat aku berkendara di Pusat Surabaya. Baru saja akan keluar dari parkiran, mataku melihat kalimat pendek "Diskon 70%" di etalase sebuah toko. Karena masih berada di kawasan parkiran, iseng saja aku turun melihatnya.

Ternyata yang diobral barang pecah belah, dan desain seperti gelasku ada  di antaranya. Aku geleng kepala nyaris tak percaya. Harganya cuma dibandrol Rp 14.850, jauh di bawah harga waktu aku beli dulu. Plus diskon 70%, aku cukup membayar Rp 4.455!

Pada saat aku memilih --karena banyak desain yang unik dan tentu saja super murah setelah rabat sebesar itu-- baru sales girl-nya bilang, syarat diskon harus bisa menunjukkan kartu pelajar atau kartu mahasiswa.

Wah... aku dan keponakanku saling pandang. Dia sudah tak muda lagi, sementara aku sudah kakek-kakek, mana punya kartu pelajar. Si sales girl pun juga tak punya, sebab kalau dia punya aku mau meminjamnya...

Akhirnya, aku harus pulang dengan kecewa. Sampai beberapa hari kemudian, seorang teman yang baru membuka cafe "Kopi Ten", tertarik ceritaku. Kebetulan salah satu karyawannya punya kartu pelajar.

Kami pun menuju toko tersebut, dan memborong sejumlah barang. Khusus gelas yang kumaksudkan, aku memborong sepuluh biji. Dua untuk keponakanku, empat untuk temanku, empat lainnya untuk melengkapi koleksiku yang di rumah.

Siapa tahu suatu saat nanti anak-anak dan kedua menantuku bisa ngopi bareng di hunianku... entah kapan itu bisa terjadi sebab mereka tinggal jauh di rantau.

Apakah benda itu masih menjadi barang kenangan? Memang tak lagi untuk mengenang Bali. Justru keunikan aku mendapatkannya kemudian --apalagi dengan harga yang sangat murah-- menjadikannya sebagai kenangan tersendiri.

Ini mengingatkan aku dengan motto yang selalu aku coba terapkan, "Kalau ada yang murah, mengapa harus beli yang mahal." (27:05:16)

Rabu, 09 Maret 2016

TIDAK MATI MELIHAT GERHANA MATAHARI



SIANG itu aku satu-satunya manusia yang berdiri di tengah lapangan. Berlari-lari kecil bersama Lady, anjing kampungku.

Di kejauhan, di bawah atap bangunan, sejumlah orang memandangiku. Sebagian mengkhawatirkan akan terjadi sesuatu denganku. Mereka percaya, akan celakalah seseorang yang berada di alam terbuka pada saat terjadi GMT (gerhana matahari total).

Sekretarisku memohon-mohon agar aku tidak nekad melanggar pantangan. Seorang stafku, pria beristri dengan anak satu, mengajukan alasan yang tak masuk nalar saat kuajak ke tengah lapangan. "Bisa mati mendadak, Pak!," ujarnya.

Bah! Itu sebabnya aku sendirian ke tengah lapangan, membawa kamera dengan tripot, topi daun pandan bertepi lebar, kacamata hitam keluaran Ray-Ban, dan film yang sudah aku "bakar" sebelumnya. Sambil menunggu terjadinya GMT, aku melakukan apa saja guna membunuh waktu.

Pada saat mentari mulai tertutup bulan, aku mencoba mengintip melalui film hitam rangkap tiga. Awalnya berjalan lamban. Ketika bagian yang tertutup makin luas, perjalanan bulan (atau matahari ya...) kian cepat.

Sejumlah fenomena mulai terjadi. Suasana sepi tiba-tiba diwarnai kokok ayam di kejauhan. Bersahutan. Dan angin sejuk berhembus, membuat aku melepas topi dan menikmati suasana nyaman yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Betapa... betapa aku bisa menguasai lapangan sendirian, yang biasanya selalu riuh dengan para pemain bola dari kampung sekitar.

Pada saat matahari benar-benar tertutup bulan, aku tak lagi mengenakan kacamata. Film hitampun sudah aku taruh sejak awal. Aku cukup waktu untuk mengabadikan suasana redup di langit Pulau Dewata.

Sesudah itu sepuas-puasnya aku pandangi mentari dengan mata telanjang. Ada cincin raksana mengelilingi gerhana, indah nian dan tak pernah aku lupakan.

Sesuatu yang membuat aku tertawa adalah ketika kembali ke kantor di tepi lapangan itu. Sekretarisku menyongsong sambil bertanya lugu, "Bapak ngga apa-apa?"

Aku menggeleng sambil tersenyum. "Sehat kok, hanya leher yang terasa sakit..." (iyalah, kan kepala mendongak melulu pada saat GMT yang terjadi tengah hari itu).

Sekarang, 33 tahun kemudian, aku masih hidup dan dalam keadaan sehat. Kalau ada yang berbeda, rambutku sudah memutih dan badan sedikit gemuk. Yang sama, aku tetap akan melihat gerhana matahari walau harus lebih berhati-hati.

Sebab gerhana kali ini tidaklah GMT karena aku melihatnya di Surabaya. Bukan di Palangkaraya yang beruntung dilewati GMT bersama beberapa propinsi lainnya di Indonesia (09:03:16)