Jumat, 30 Maret 2018

INMEMORIAM: HANNY PESEPEDA PENYENDIRI



Keterangan Foto: Hanny menulis, "Sebuah novel dari penulis hebat..."


AKU memanggilnya Hanny... kadang lebih singkat lagi, Han. Kita sama-sama sekolah di kompleks Wijaya Kusuma. Dia di SMAN-2, aku di SMAN-5.

Pada tahun 1971, siapa yang tak kenal satu sama lain walau beda sekolah. Terutama mereka yang bekend di lingkungannya. Kebetulan kami sama-sama di Lord Music Company. Bukan nama perusahaan, tapi nama gank anak muda ketika itu.

Dalam perjalanan hidup kemudian, kita tak saling bertemu. Justru di usia senja, silaturahim kembali terjalin. Kami punya hobi sama, yaitu bersepeda. Aku sepeda gunung dan paling nge-fans down hills, sedang Hanny Long distance touring --bersepeda santai jarak jauh.

Bedanya, aku sudah pensiun dari hobi itu tujuh tahun lampau --karena sadar tulang-tulang tak kuat lagi menahan getaran bersepeda down hills-- sedang Hanny terus mengayuh. Malah aku dengar dia pergi dari rumahnya di Sidoarjo, menuju Pulau Karimunjawa, nggowes. Bukan main!

Kalau tahun-tahun terakhir aku beralih menulis novel, Hanny yang masih mancal tipis-tipis --ke Trowulan, Welirang-- sendirian, ternyata juga penggemar novel. Tentu saja termasuk karyaku.

Dia menikmati, dan ini mengingatkanku ke zaman sekolah dulu, pernah sembunyi-sembunyi membaca novel di bangku sekolah. Di saat pelajaran masih berlangsung.

Hari ini (30/3-18) aku mendengar kabar duka. Hannytiasto Swasono Adhi meninggal dunia setelah berjuang keras melawan stroke yang dideritanya. Selamat jalan kawan, semoga amal ibadahmu diterima Allah, demikian pula dosa-dosamu diampuni. Amin ya rabbal alamin. (30:03:18)

Kamis, 29 Maret 2018

MENIKAH DI USIA SENJA

CERITA AKHIR PEKAN


NEWSROOM kali ini lebih padat dari biasanya. Tampak wajah-wajah muda duduk mengelilingi meja oval. Biasanya hanya kursi di deret terdepan yang terisi. Sekarang deret kedua dan ketiga pun tak ada yang kosong. Malah ada tambahan kursi di sisi belakang.

 Sabtu siang yang biasanya bebas dari rapat redaksi, diisi acara khusus, in house training. Peserta biasanya wartawan junior, tapi tak jarang wartawan senior juga hadir. Kadang mereka sharing pengalaman, namun tak jarang juga mengambil pelajaran dari pengalaman juniornya. Bagi wartawan, tiada hari tanpa menambah ilmu. Terlebih di zaman yang serba instan, kerap wartawan junior lebih cepat mendapatkan informasi dibandingkan senior mereka.

Selain wartawan, ada bagian lain yang berminat mengikuti pelatihan. Ada dari bidang usaha, pemasaran, bahkan distribusi. In house training punya daya tarik tersendiri karena selalu ada hal-hal baru yang diungkap. Pemberi presentasi pun dari berbagai kalangan. Kadang dari internal, tidak jarang mengundang pembicara luar. Termasuk Mario Teguh, Hermawan Kertajaya, bahkan Peter Ong dari negeri tetangga.

Topik bahasan dalam pertemuan kali ini, “Koran Kuning Libas Koran Serius.” Yang membawakan Singgih Soeharman, wartawan empat zaman –Belanda/Jepang, Kemerdekaan, Angkatan ’66, dan Reformasi. Kendati usianya sudah 85 tahun, semangat untuk memajukan media masih sangat besar. Dengan suaranya yang bariton ia kerap lantang bicara, mengalahkan anak-anak muda yang biasanya merasa lebih pintar karena menguasai masalah di lapangan.

Singgih ikut membesarkan koran ini sejak didirikan pada 1950, dan pensiun ketika usianya mencapai 60 tahun. Namun ia tidak berhenti masuk kantor, dan mengerjakan apa saja yang menurut dirinya perlu dilakukan. Pemimpin Redaksi memberi kebebasan karena tahu apa yang dilakukan Singgih sangat bermanfaat bagi kesehatan orang tua itu. Kalau tinggal di rumah, Singgih justru sakit-sakitan.

Karena dedikasi ini pula, perusahaan merasa tidak rugi memberikan uang pensiun beberapa ratus ribu lebih banyak dibandingkan peraturan yang berlaku. Sementara bagi Singgih, kesempatan tetap berada di lingkungan kantor sangatlah berarti. Seperti siang itu, dengan semangat ia mengupas bagaimana gencarnya koran kuning menguasai eceran.

“Mereka memasang judul-judul bohong hanya untuk menarik perhatian calon pembaca,” ujarnya. “Malah si pengasong dengan berani menambahkan informasi yang bombastis... padahal sama sekali tidak ada dalam tubuh berita,” tambahnya.

“Bayangkan! Judulnya saja, ‘Pembantu Rektor Diperkosa’. Ini kan berarti seorang pejabat di universitas menjadi korban pemerkosaan. Sebagai sebuah berita tentu punya nilai lebih. Padahal yang dimaksudkan di dalam berita itu, pembantu rumah tangga seorang rektor yang terkena musibah pemerkosaan. Pada saat kejadian, pembantu itu sudah tidak bekerja di rumah sang rektor. Tidak ada lagi sangkut pautnya dengan rumah tangga rektor.”

Peserta in house training tertawa mendengarnya. Kasus seperti ini menjadi sesuatu yang aneh karena tempat mereka bekerja terbilang koran serius yang ber-basic pada pelanggan. Hanya sepuluh persen dari koran yang dicetak yang dilempar ke pasar jalanan. Itupun sekadar untuk memberi kesempatan kepada pembeli eceran, sekaligus membangun image di masyarakat bahwa koran ini masih ada.

“Mengapa kita tidak coba judul-judul ‘lher’ untuk meningkatkan pasar eceran?” tanya Karmin dari bidang usaha, saat kesempatan tanya-jawab dibuka. Lher yang dimaksud adalah judul bombastis yang berbau selera rendah. “Sayang kan, kita punya kesempatan menambah pasar eceran.”

“Kasihan pelanggan kita,” sahut Rianti, wartawan muda, dengan wajah tidak senang. “Mereka sangat sensitif dengan hal-hal demikian.”

Singgih hanya tersenyum. Ia biarkan mereka adu argumentasi. Rupanya Karmin tak mau kalah. Kalau ada peluang, mengapa tidak diambil. Dia sehari-hari bergulat di lapangan, memotifasi para pengecer menjajakan koran di lampu setopan.

Kendala yang dihadapi tidak sekadar Satpol PP yang mengusiri para penjaja, juga koran lain yang lebih laris. Padahal koran itu tidak terkenal, dan tidak jelas asal muasal penerbitannya. Mereka hanya menjual gambar dan judul-judul bombastis.

“Yang beli ‘Pembantu Rektor Diperkosa’ justru bapak-bapak bermobil. Bukan naik Katana atau DX, namun Alphart atau Camry. Apakah mereka bukan kaum intelektual seperti pembaca koran kita?”

Karmin berada di atas angin setelah Rianti kesulitan menepis jawabannya. Selama ini Rianti hanya mendapat informasi dari atasannya. Bahwa pembaca umumnya kaum intelektual, mapan, dan sangat sensitif akan hal-hal yang vulgar. Oleh sebab itu berita yang dihasilkan hendaknya menjauhi ketidaksukaan pelanggan. Singgihlah yang kemudian tampil sebagai penengah.

“Koran yang kita hasilkan memang untuk pelanggan. Pelanggan kita kalangan  intelektual. Namun bukan berarti kalangan itu anti judul-judul ‘lher’. Mereka juga manusia. Setinggi-tinggi status sosial mereka, ada secercah sisi nakal, ingin tahu, bahkan yang jorok sekalipun. Namun mereka tidak mau terang-terangan dalam mendapatkannya.”

“Nah... mereka beli eceran hanya memenuhi kebutuhan sesaatnya kan?” ujar Rianti.
Singgih tersenyum dan mengangguk. Giliran Rianti berada di atas angin. Sebaliknya, wajah Karmin tampak menggerutu. Namun buru-buru ia menyela, “Tetap ada peluang untuk merebut eceran...”

“Semangat kamu patut diacungi jempol, Karmin!” ujar Singgih. “Namun apa yang harus kita lakukan, semuanya demi kepentingan yang lebih besar. Pelanggan! Jangan sampai pelanggan jadi risi, dan berakibat mereka berhenti berlangganan.”

“Termasuk membuat judul yang berbau janda? ‘Seorang Janda Ditemukan Tewas’?” balas Karmin dengan nada nyinyir. Pertanyaan itu muncul karena selama ini pihak redaksi hanya menolerir kalimat serupa untuk pasar eceran. Konon... kata janda selalu menarik hasrat lelaki untuk membacanya. Entah  sampai dimana kebenarannya. Singgih tertawa...

“Janda tidak hanya menarik perhatian pembaca lelaki. Janda juga menarik umumnya kaum pria,” ujar seorang wanita dari arah belakang. Sebagian tertawa, sebagian menoleh ke arah belakang.

Di sana tampak Marcela duduk tenang sambil memutar-mutar pensil tidak jauh dari wajahnya. Senyumnya cukup memberi pengertian akan ada kata-kata nakal lainnya yang bakal meluncur dari mulutnya. Ternyata benar. Setelah menggeser letak duduknya, Marcela mulai menyusun kata demi kata.

“Tadi Pak Singgih katakan, koran kuning lebih suka mengungkap skandal. Berbeda dengan koran serius. Jadi... kita disini tabu membicarakan skandal yang tidak jelas sumbernya. Terlebih menyangkut diri seorang janda...”

Hadirin kembali tertawa. Mereka yakin, buntutnya pasti mengena pada seseorang. Mereka hafal akan kelakuan Marcela, Si Pembuat Onar. Masalahnya, siapa kali ini yang menjadi “sasaran tembak”?

“Tentu tak baik kalau kita bergosip. Betul kan? Apalagi menyangkut seorang janda. Nah... kalau boleh tahu, mengapa Pak Singgih mengawini janda pada saat usia sudah tidak muda lagi? Kami bertanya karena belum pernah mengalami masa seperti itu, sekaligus menjaga janganlah ada gosip di koran serius...”

Hadirin kembali tertawa. Bahkan Pak Singgih ikut tertawa. Ia sempat menggelengkan kepala. Sungguh cerdik Marcela menyusun kalimatnya. Mau tidak mau ia harus menjawab. Tidak bisa ia berkilah dengan mengatakan “tak bersedia menjawab karena keluar konteks”. Justru kata-kata akhir Marcela membuatnya tidak berkutik... ”Jangan ada gosip di koran serius.”

“Baiklah,” ujar Singgih dengan nada seolah pasrah. Kawan-kawan senior tertawa paling keras. Sebenarnya mereka juga ingin mengetahui alasan Singgih, cuma faktor pertemananlah yang membuat diri mereka enggan bertanya. Jadi kali ini mereka berhutang budi pada Marcela, si anak kemarin sore.

 “Kalian tahu... saya menduda sejak usia 73. Berarti hampir duabelas tahun saya hidup sendiri. Tentu sudah teruji di segala bidang. Soal makanan, bersih-bersih rumah, bayar ini-itu, bahkan kehidupan pribadi. No problem dengan semua itu. Kalau ada masalah, bisa-bisa  dalam tahun ketiga saya sudah dhut. Sudah mati!” ujar pria berambut hitam itu dalam kesunyian hadirin yang menyimaknya.
 “Sampai suatu ketika...”

“Bertemu dengan ibu baru?” sela Marcela.
Ruangan kembali gemuruh. Yang muda-muda bersuit. Yang tua terpingkal. Singgih tak kalah seru... ia bahkan terbahak. Dalam dunia jurnalis, tidak ada strata usia. Semuanya sama. Terlebih dalam urusan gojlok-menggojlok. Asal tidak kurang ajar, semuanya sah-sah saja. Dan itulah yang terjadi sore itu. Marcela benar-benar menjadi algojo.

Setelah tawa mereda, Singgih melanjutkan kisahnya. “Begini... sampai suatu ketika saya memikirkan nasib orang-orang tua yang tidak sebaik saya. Saya hidup berkecukupan, kalau sakit ada yang menanggung, dapat pensiun, dan punya kalian! Di luar sana... banyak yang tidak punya apa-apa. Kalau tak punya uang, berusaha menahan lapar. Ketika sakit hanyalah pasrah dalam doa. Mana berani mereka berobat, meski hanya datang ke Puskesmas?”

“Berhari-hari saya memikirkan hal ini. Saya harus bisa berbuat sesuatu untuk mereka. Sesuatu yang terbaik dan bermanfaat. Saya catat semua ide yang saya peroleh, dan kaji satu persatu pada saatnya nanti. Sampai akhirnya saya menemukan jawabannya. Saya harus bisa memberikan sesuatu kepada seseorang, yang orang itu masih mempunyai tanggungan yang lain. Orang itu haruslah yang mempunyai semangat sebab bantuan saya terbatas mengimbangi semangatnya. Bukan menjadi satu-satunya yang bisa dijagakan.”

Kali ini benar-benar hening. Marcela malah dengan serius mendengarkan sambil sesekali menulis di buku catatannya. Singgih melanjutkan ceritanya dengan hati-hati agar tak ada salah ucap yang mendatangkan salah paham.

“Saya harus menemukan orangnya. Siapa pun, dia harus pekerja keras, membiayai anak-anak yang masih kecil, dan usahanya hanya menghasilkan keuntungan pas-pasan untuk hidup sederhana. Maka berangkatlah saya ke pasar dan mulai melakukan survei kecil-kecilan. Ada seorang ibu yang memenuhi kriteria itu, namun sayang gaya hidupnya sedikit boros. Saya coret. Ibu yang lain juga memenuhi beberapa syarat, sayangnya tidak punya momongan.”

Singgih berhenti bercerita, dan mengambil sapu tangan untuk mengelap dahinya. Sebenarnya tak ada keringat di sana sebab ruangan sore itu cukup dingin. Ia hanya ingin memberi kesempatan mereka yang hadir guna menyerap kisahnya. Setelah berbatuk sekali dua kali, ia meneruskan ceritanya.

“Saya akhirnya bertemu ibu. Waktu saya tanya berapa anaknya, ada tiga masih di sekolah dasar semua. Berapa penghasilannya, ternyata tak sampai Rp 25.000,- sehari. Apakah cukup? Dia hanya tersenyum sambil mengatakan, ‘kalau bukan ridha Allah tentu tidaklah cukup’. Jawaban ini sangat menggugah perasaan saya.”

“Orang seperti inilah yang saya cari. Maka saya tanyakan, apakah bersedia kalau saya jadikan istri? Ia terkejut, dan sama sekali tidak percaya. Katanya, ‘Bapak ini seorang priyayi, apakah pantas hidup berdampingan dengan seorang bakul?’ Ia pikir saya bercanda, kendati saya berusaha meyakinkannya. Kepada Ibu saya katakan, tidak usah dijawab sekarang. Minggu depan saya akan datang lagi.”

Pada saat Singgih mengambil jedah, yang hadir tampak tegang menahan nafas. Tak ada komentar nakal seperti sebelumnya. Mereka benar-benar ingin tahu. Mengapa seorang Singgih –yang sudah mewawancarai pejabat papan atas, meliput peristiwa nasional, bahkan pergi keliling dunia– bisa jatuh cinta dengan Si Mbok. Angan apa yang ada di kepalanya? Apakah pria ini masih membutuhkan teman guna memenuhi kebutuhan seksnya? Dan yang terpenting, apakah pria setua itu masih memikirkan seks?

“Singkat cerita, Ibu menerima lamaran. Perkawinan pun berlangsung dengan beberapa persyaratan, di antaranya pisah harta, dan kita tinggal di rumah masing-masing.”

“Lho!” teriak Cornie yang sedari tadi diam di sudut ruangan. Suasana yang tadinya sepi, terpecah dengan gelak tawa. “Lalu... apa arti dari perkawinan ini?”

Setelah menunggu hadirin tenang, Singgih berkata dalam tekanan suara yang penuh kehati-hatian. “Disinilah kunci dari perkawinan ini. Saya mencari istri bukan untuk kawan tidur. Bukan untuk kebutuhan seks. Bukan untuk happy-happy. Semua itu sudah lewat, sudah menjadi masa lalu saya...”

“Saya hanya ingin mewariskan pensiun saya kepada orang yang benar-benar membutuhkan. Pensiun janda... Walau nanti jumlahnya tidak seberapa, namun akan sangat berarti bagi seorang ibu dengan tiga anak... Itulah sebabnya, saya mencari janda yang benar-benar pekerja keras membesarkan anak-anaknya...”

Tak ada kata-kata lagi. Singgih menyudahi kisahnya. Mereka yang hadir meresapinya dengan haru. Seorang pria tua, punya pemikiran yang mulia. Mengangkat derajat seorang janda sebagai penerima pensiun ketika dirinya telah tiada.

Adalah Marcela yang kemudian berdiri dan menghampiri Singgih. “Hatimu sungguh mulia, Pak,” ujar Marcela sambil mencium pipi lelaki yang pantas menjadi kakeknya itu. Mereka kemudian berpelukan. Satu persatu yang hadir juga maju ke depan menjabat tangan Singgih –Pak Tua yang peduli nasib Sang Janda. (*)

Kamis, 15 Maret 2018

MENGAPA DURIAN DIIKAT DI POHON?


Keterangan Foto: Sama-sama dangau, tapi yang ini bukan di kebun durian. Ini di peak Trawas-Pacet, tepi hutan Pinus, tempat pedagang menggelar durian...


PUNYA pohon durian tentu menyenangkan. Apalagi rajin berbuah. Terlebih durian Bangkok, yang pohonnya pendek, buahnya mudah diraih tangan.

Tapi kalau pohon yang dimiliki lebih dari lima, itu berarti pekerjaan besar menanti. Terlebih jika satu pohonnya bisa berbuah sampai 250 biji. Biasanya ini jenis durian lokal. Pohonnya tinggi, bisa sampai 15-20 meter.

Dulu sekali, ketika musim durian, kita harus membangun dangau untuk istirahat penjaga sekaligus tempat menyimpan buah yang ranum. Mengapa harus dijaga? Supaya durian yang jatuh tak hilang diambil orang.

Maklum saja, durian yang enak adalah yang masak di pohon. Jika diturun-paksakan, hampir pasti rasanya anyep. Tidak lezat. Maka orang memilih menunggu durian benar-benar masak pohon. Dan jatuh secara alamiah.

Aku masih mengalami menunggu durian jatuh. Bersama dua penjaga bayaran, kami tiduran di dangau. Begitu ada bunyi 'gedebug', mereka bergegas membawa sentolop mencari di seputar semak-semak. Mereka minta aku tetap di tempat.

Mendekati subuh, semakin sering durian jatuh. Dan lagi-lagi, aku harus tetap di dangau. Padahal kepingin juga memainkan sentolop berbaterai lima yang sinarnya sangat terang.

Akhirnya aku tidak betah. Secara sembunyi-sembunyi ikut di belakang mereka. Ketika itu ada dua suara durian jatuh nyaris berurutan. Dan ketika mereka melihatku, salah satu berlari kembali ke dangau sambil berteriak.

Setelah kami berada di dangau, seorang di antara mereka mengatakan, salah satu di antara kami harus tetap berada di dangau. Mengapa? Sia-sialah tugas semalaman jika ada maling mengangkut habis durian yang sudah kita kumpulkan.

Aku mengangguk mulai mengerti. Mengerti betapa beratnya berjaga di kebun. Mengerti pula trik si maling durian yang membuat suara palsu seolah ada durian jatuh. Begitu penjaga pergi mencari, si maling turun tangan mengukuti durian di dangau. Itu sebabnya, menjaga durian jatuh minimal harus dilakukan dua orang.

Itu kisah abad lampau. Zaman now sudah jauh berbeda. Pada saat menjelang panen, durian diikat ke dahan terdekat. Jika saatnya masak dan jatuh, maka durian aman tergantung tali rafia di atas sana.

Siang hari baru digantol menggunakan arit yang diikat ke penggalah. Tidak pecah? Don't worry, sesuai dengan kodratnya durian masak tak serta merta terbelah saat jatuh dari ketinggian.

Lalu mengapa diikat ke dahan? Ya itu tadi, supaya tidak kedahuluan maling. Maklumlah, harga durian mahal. Yang super, bisa mencapai 100K per biji.

Lantas, mengapa tidak bertahan dengan cara lama? Bukankah mengikat dan menggalah pekerjaan rebyek? Risiko jatuh, lagi. Dan ongkosnya tidak murah, sekitar Rp 2.500 per buah.

Masalahnya, tak ada lagi orang yang mau berjaga sepanjang malam. Juga siang. Apalagi, malingnya lebih lihai. Salah-salah kita dapat maling yang menyamar jadi penjaga...

IKUTAN TREN

Kembali ke durian Bangkok. Aku tersenyum saat melihat si pemilik ikutan mengikat duriannya. Padahal, buah yang umumnya besar-besar itu dengan mudah diraih tangan. Sangat dekat dengan permukaan tanah.

Apa yang ditakutkan sehingga memasang tali? Takut hilang? Kalau diniati, maling pun dengan mudah menggaet yang di atas pohon. Takut jatuh? Nah ini dia, walaupun dibanting, durian tak mungkin terbelah. Kendati sudah matang pohon.

Rupanya, ikutan tren saja. Tidak tahu makna di balik itu. Kecuali pohonnya tinggi dan di halaman pula. Siapa tahu durian jatuh persis mengenai orang yang lalu di bawahnya. Bisa kaya tuh orang, kata seorang dokter sambil meringis. Kaya luka... ha-ha-ha, humoris juga tuh dokter.

TIDAK BERBUAH

Musuh durian adalah musim hujan kala proses bunga menjadi buah. Umumnya anyep. Sebaliknya, jika pas kemarau, boleh jadi buahnya manis dan legit.

Tidak semua buah sama rasa kendati satu pohon. Bahkan tidak semua biji sama rasa kendati satu buah. Dhus, jualan durian untung-untung rugi. Kalau rasa tak manis, pembeli enggan memakan. Artinya, ya ngga terjual. Afkir!

Makanya yang aman, menjual durian matang pohon. Tak usah khawatir, sebab ada waktu sekitar seminggu sebelum buah itu membuka dengan sendirinya. Tapi ingat, yang begini ini bukannya tambah manis, tapi justru kehilangan rasa.

Dua tiga hari setelah jatuh, itulah lezat-lezatnya durian. Kalau baru malam tadi, masih ada getah dan membelahnya mesti "berkelahi" dulu.

Mengapa aku kini bercerita tentang durian? Nah... sudah tiga musim ini pohon-pohon durianku tak ada yang berbuah. Juga milik tetanggaku. Padahal, durian Rembangan sangat terkenal. Andai semua pohonku berbuah, tentu sekarang aku sibuk berjualan. Tak sempat lagi menulis kisah ini. (15:03:18)


Sabtu, 03 Maret 2018

MIE TOM YUM SUPER GIANT



Keterangan Foto: Quality time with Hermansyah family. Menyempatkan dinner di tempat istimewa di kawasan Candi.


SEMARANG... kota yang lama tak kudatangi.
Ada beberapa kenangan dengan kota ini.

Pertama dengan keluarga mbak Mangestuti Agil. Ayahnya, Oom Dwidjo, teman baik papa. Kami menginap di rumahnya yang besar di Jl. Sultan Agung 17, pada 1962. Ketika itu kita bermobil trans-Java. Beberapa kali masih terlibat surat menyurat dengan adik mbak Tuti, Dance. Pingin banget menyambung silaturahim dengannya.

Kedua, dengan Oom Ud dan keluarga istriku. Orangnya baik, adik dari ayah mertua. Juga dengan Oom Roso. Banyak kenangan yang tak kulupakan. Termasuk ke Romo Diat --asisten spiritual Pak Harto-- untuk meminta bekal pagar saat akan bertugas ke Samarinda, 1980.
Ketiga, berkunjung ke rumah sohibku di Candi Baru. Kompleks perumahan berkelas, yang aku lupa namanya. Enak sekali jalan-jalan pagi di kompleks itu, hawanya bak pegunungan. Sayang dia tak lama disitu, mutasi ke Surabaya dan pensiun.

Keempat, teman filatelisku, Novie Rurianingsih Hermansyah. Mereka sudah ke rumahku sekali dan memborong pepohonan, lalu dua kali lagi bertandang di kotaku. Anak-anaknya nggemesin. Dan kemarin itu, Rafa si kakak berulang tahun. Kita diundang dinner di next.to.logy (mudah-mudahan bener ejakannnya, milik desainer beken). Ada live music, tempatnya nyaman banget. Sayang ngga bisa berlama-lama sebab Pk. 01.45 sudah harus balik Surabaya by train.

Lalu apa kesan tentang kota Semarang? Heritage-nya donk..., kulinernya, dan murahnya. Aku sempat kaget saat pesan mie tom yam di Istana Mie, Ciputra Mall.

Begitu pesanan keluar, Aduh Mak! Mangkoknya gede banget, mungkin lebarnya 30 cm-an. Aku sempat berpikir, pantas enggak makan dengan mangkok giant ini? Apakah ini porsi untuk rame-rame? Kalau lihat sumpitnya --yang ditaruh di bibir mangkok-- ini untuk sorangan.

Toh aku ngga sampai hati makan di mangkok seperti itu. Jadi minta mangkok kecil. Diberi mangkok yang kecil banget. Aku tanya, ada mangkok tanggung... Nah di mangkok itu aku makan. Hebatnya...Habis-bis, walau aku minta gula pasir dan sambal untuk sedikit modifikasi setelah aku "keceplus" lombok hijau kecil yang pedasnya ampun-ampun...

Oya... Sebelum aku lupa, Semarang panasnya ampun deh. Dhus...Kalau jalan-jalan, enaknya malam hari... Itu juga yang dinasihatkan reseption hotel dengan gaya kemayu --tapi asli dia memang ayu... (03:03:18)