Sabtu, 27 Januari 2018

SUDAH MATA KE RANJANG?


Keterangan foto: Bantal dan sprei ikut memberi kenikmatan sebuah ranjang. Bermanjalah di atas ranjang, jangan sia-siakan hidupmu.


YA ... sudahkah matamu ke ranjang? Serius nih... kapan terakhir mata ke ranjang?

Sayang..., kerap orang gelagapan kalau ditanya bab ranjang. Apalagi disuruh menggambarkan bagaimana bentuk ranjang yang sehari-hari ia gunakan.

Padahal kalau bicara tunggangan, bisa lancar nyerocos Benz W-202 full AMG dengan 275 horse power. Hanya butuh akselerasi 10 detik untuk mencapai kecepatan 140 km per jam.

Lalu kamu tanya apa hubungan ranjang dengan tunggangan? Balik aku bertanya, mana lebih sering kau ganti, ranjang atau tungganganmu?

Baiklah..., ini bukan interogasi. Mari kita sharing tentang seberapa besar perhatian kita (aku dan kau) mengenai ranjang. Karena banyak orang yang abai dengan perangkat ini.

Kadang pegasnya sudah aus, kita diam saja. Sudah tidak horizontal, ya dibiarkan. Bahan kotor bernoda, tak dipedulikan. Pernahkah kita benar-benar memperhatikan si ranjang?

Sejatinya, hidup kita lebih banyak di atas ranjang. Rata-rata sehari kita tidur 8 jam (30% lho). Belum termasuk saat weekend, apalagi kalau kalian pengantin baru. Atau bobok-bobok siang di kantor (kalau Anda bos kan suka tidur 10-15 menit di siang hari).

Ranjang sangat dibutuhkan tubuh kita untuk istirahat dengan sempurna. Syaraf-syaraf menjadi rileks, peredaran darah sempurna, dan tubuh kembali bugar sesudahnya.

Coba hitung, berapa kali beli ranjang sepanjang hidup, dan peduli enggak dengan kenyamanannya. Atau hanya sekadar model sebagai pilihan?

Bandingkan dengan kendaraan, apakah sepeda pancal (ada lho yang beli dengan harga sampai puluhan juta), sepeda motor, atau mobil.

Lalu berapa kerap mereka pakai kendaraan itu? Aku sendiri ngga sampai 10.000 km/th saat aktif ngantor dulu, sekarang mungkin tinggal sepertiganya. Masih kalah dengan fungsi ranjang!

Syukur kalau kita sudah punya perhatian ke ranjang. Kalau belum, hayo saatnya berburu ranjang! Jangan pelit membeli tempat tidur sebab semakin tua kita akan semakin lama berada di atas ranjang lho.

Kalau dulu orang tua suka mengejek temannya yang mata ke ranjang --istilah bagi pria hidung belang yang maunya ke ranjang jika lihat wanita cantik--, yuk kita sekarang mata ke ranjang demi hidup lebih nyaman.

Jangan pelit untuk tubuh ya, percayalah karena aku sudah membuktikan dalam 65 tahun perjalanan hidup ini... Ingat, ranjangmu kebahagiaanmu. (28:01:17)

*

Jumat, 26 Januari 2018

RASA PRANCIS DI KEDIRI



Keterangan Foto: Bergaya model Paris
di depan gerbang Simpang Lima Gumul.


NAMANYA terdengar kurang gaul: Simpang Lima Gumul. Toh menjadi kebanggaan sebagian warga Kediri dan sekitarnya. Konon berfoto di sini, bak di luar negeri. Maklum, bangunan berbentuk gerbang empat sisi ini menduplikat Arc de Triomphe yang memang sudah beken duluan di Prancis sana.

Letak Simpang Lima Gumul tak jauh dari kota Kediri. Dari simpang lima ini bisa menuju ke arah Pare, Blitar, Nganjuk, Tulungagung, dan Surabaya. Karena letaknya yang strategis itulah maka kerap didatangi untuk sekadar bercengkerama, dan tentu jepret-jepret selfie.

Siapa penggagas bangunan ini? Soetrisno, ketika itu Bupati Kediri. Konon kata yang cerita ke aku, Pak Bupati kesengsem lihat Arc de Triomphe sepulang dia dari Paris. Maka berbekal foto, dirancanglah gapura tiruan itu. Sepintas --terlebih bagi yang belum pernah melihat aslinya-- ya percaya sajalah itu Arc de Triomphe mini.

Aku berkesempatan melihat ketika sedang dibangun beberapa tahun lampau. Dan empat pekan lalu, aku datang lagi dan melihat sosoknya dari kejauhan. Not so bad, pikirku. Tapi penasaran juga, apa yang ada di dalam bangunan berbentuk gerbang bongsor ini?

Yang di Paris sih, kita bisa naik menggunakan lift, dan melihat pameran diorama di ruang atas. Untuk naik harus membayar. Aku dan istriku percaya saja ada ruang di atas sana. Tapi untuk membuktikan, ada dua alasan untuk tidak melakukan: capek dan sayang uangnya!

Nah Si Gumul, ternyata juga menyediakan sepasang lift dengan kapasitas masing-masing 10 orang. Kita naik dulu ya, di atas sana ada ruangan cukup untuk pertemuan sekitar 250 orang. Tentu saja tersedia lobi yang lumayan luas. Naik lagi kita jumpai beberapa ruangan lainnya.

Baru setelah itu, kita bisa mencapai atap melalui tangga biasa. Di atas atap yang datar itulah pengunjung bisa melihat alam sekitar. Tampak pegunungan, gedung pertemuan, taman rekreasi --yang pada hari tertentu sangat padat. Jika udara mendung, apalagi berangin, lumayanlah. Tapi saat terang benderang, sepuluh menit cukuplah sudah.

Sayangnya, tempat ini tidak terbuka untuk umum. Kami bisa naik karena ada fasilitas dari pejabat setempat. Selain melihat bagian atas, kami diajak pula ke lantai bawah tanah. Ternyata, basemen ini luas juga, mampu menampung untuk suatu pertemuan dengan seribuan peserta.

Apakah kerap dipergunakan? Sayangnya belum. Cuma untuk pertemuan kepala desa se Kediri. Padahal, dengan memolesnya, bisa untuk konvensi-konvensi regional bahkan nasional. Tentunya dengan melengkapi fasilitas yang diperlukan.

Namun sebagai gagah-gagahan, Simpang Gumul cukuplah genit. Yaitu tadi, punya Arc de Triomphe lokal punya. Ngga usah jauh-jauh ke ujung jalan Charles de Gaulle yang bersimpang 12, cukuplah di situ kalau hanya ingin sekadar selfie. Ini zaman selfie kan, guys... (26:01:18)


Keterangan Foto: Yang atas Simpang Lima Gumul, yang bawah Arc de Triomphe, dengan (mantan) model Nunung Bakhtiar pose di depannya.



Sabtu, 20 Januari 2018

WISATA AWAL TAHUN BERAKHIR KELENGER


Keterangan Foto: Alila Hotel yang menjulang tinggi, bangunan tertinggi di kota Solo. Kami makan malam di puncaknya sana, lantai 30.


JUMAT (5/1-18) dua pekan silam aku masih sempat shalat di Masjid Agung Paku Buwono, Surakarta. Masjid lawas di tengah keraton, yang aku bisa ikut merasakan aura kuatnya.

Kami memang berada di Kota Solo untuk beberapa hari, menginap di Hotel Alila yang menjulang tinggi. Dua kuliner sempat kami lahap --Tim Lo Solo Pak Sastro di Pasar Gede, dan nasi gudeg Solo di RM. Adem Ayem.

Tim Lo-nya masih seperti yang dahulu, ada rasa manis-manis di antara asin kuahnya. Tapi aku tak mampu menghabiskan seporsi yang melewati batas kapasitas perutku.

Gudeg Solo memang beda dengan Jogja. Gudegnya basah, dan aku lebih menyukainya dibanding gudeg Jogja yang kering mirip bronies. Aku menikmati bersama gulai ayam yang lembut, cecek dengan kepedasan yang pas dan aromanya yang sangat gudeg.

Untuk makan malam tak perlu repot-repot sebab kami bisa duduk tenang di lounge hotel di lantai 30. Ada makanan gratis pre-dinner, tapi bagi kami cukuplah itu untuk makan malam.

Tersedia salad dengan penutup bervariasi, ada sushi dua pilihan -- beef atau daging ayam panggang, pun ikan salmon topping mayo. Di sisi meja yang lain masih tersedia tiramisu, cake, jajanan pasar, dan seperangkat aneka buah segar.

Pendek kata, soal kuliner kami terpuaskan di kota yang punya jalan raya teramat panjang yang  bernama Jl.Jenderal Slamet Riyadi. Liburan kami beberapa hari di kota Solo sungguh menyenangkan.

SERANGAN ANGIN

Jumat pekan lalu, pun Jumat pekan ini, aku tergeletak di RS dr. Muhammad Soewandhie.

Sebenarnya, liburan di Solo masih berlanjut di Surabaya. Maklumlah, pergantian tahun kemarin kami tidak kemana-mana. Dhus memanjakan diri di pekan awal tahun baru kami anggap masih wajar.

Hari Minggu kita makan siang di resto sebuah hotel yang terletak di tengah kota. Suasananya okay banget. Ada sekelompok turis dari Eropa. Ada keluarga-keluarga yang merayakan ulang tahun saudaranya. Ada pula yang masih reunian, dan tentunya kami yang mencari siesta.

Kami dapat tempat di Japanese corner. Duduk berhadapan, dengan sushi bar di depan kami. Selain sushi terdapat salat buah bermacam topper. Juga ada udon, tempura, teriyaki, yakiniku, dan beberapa masakan Jepang lainnya.

Pilihan lain adalah masakan Jawa rumahan (sebangsa opor-oporan), masakan oriental nasgor mie dan kawan-kawannya, Suroboyoan termasuk sate ayam, lontong balap, tahu tek, dll. Masih ada ronde, kue rangin, klepon, dan macam-macam jajanan lawas. Pendeknya, tamu dimanja eat what's you want eat...

Tapi bukan ini yang hendak aku ceritakan. Kami duduk di tempat yang horror. Samping kiri aku ada pintu kaca penghubung halaman luar. Kadang satu yang dibuka, kadang keduanya. Sejumlah tamu berlalu lalang di situ. Tentu angin ikut menerobos. Dan siang itu sedang deras-derasnya angin.

"Kok duduk di sini, apa ngga terlalu angin," ujar Evie, istri Dr. Hartono, yang siang itu bersama keluarga besarnya merayakan ulang tahun ke-88 ibunda. Yeah... Iya! Baru sadar anginnya kenceng banget. Tapi bismillah, tiga pekan lalu kita juga makan di tempat yang sama dan fine-fine aja.

TELOP USIL

Tapi nasib sedang tak terlalu baik. Sehari setelah itu badan meradang. Panas tubuh naik turun. Karena dianggap kecapekan biasa, ya ikuti saja ritmenya. Tapi akhirnya ngga kuat. Kendati dikompres, dinginnya sebentar saja. Badan dikerok pun tak menyelesaikan masalah.

Pergi ke dokter pribadi di RS Graha Amerta siang itu gagal total. Tak ada dokter yang praktek sebab semua ruang dipergunakan test kesehatan peserta pilkada.

Akhirnya pilihan terakhir IRD Dr Soewandhie, karena sesak nafas tak bisa tertahan. Perlu oksigen. Penanganan super cepat di rumah sakit milik Pemkot itu. Tabung oksigen segera tersedia. Tak lama tindakan foto Rontgen. Periksa darah. Bla bla bla. Berakhir harus ngamar. Ya menyerah lah, memang awak sedang parah-parahnya.

Itulah perjalanan terakhir setelah berjalan-jalan plesiran awal tahun kami. Sepekan lebih opname, dan perlu beberapa hari lagi untuk meningkatkan Hb darah. Tidak mengapa, aku bayar dengan penuh kesabaran.

Senang karena Rani anakku segera datang menjenguk. Kali ini bergantian dengan kakaknya yang sudah menjenguk mamanya saat akan kateterisasi sebulan lalu.

Sepekan lebih aku tak berdaya menulis status. Padahal banyak cerita. Akhirnya bikin telop usil, "Pasien Harus Diantar, Pengantar Dilarang Bawa Tikar... Lhuk... Mbok Pikir Aku Bongso Kalong Tah?

Terima kasih aku ucapkan bagi yang komentar, maaf tak semua aku jawab. Tak ada tenaga. Cuma aku ingin garis bawahi, telop itu tak tertuju ke RS Dr. Soewandhie. Justru ke rumah sakit besar tengah kota --yang memang punya banyak pohon dan cocok untuk kalong... (20:01:18)

Rabu, 03 Januari 2018

LEGENDA SI BIRU MALAM


Keterangan Foto: Berdua di wagon biru, dari Surabaya menuju Surakarta. Sempat makan Pecel Madiun yang disajikan restorasi Bima.


"BIRU Malam" pernah terkenal medio '60-an. Ia merupakan wagon kereta paling elit pada saat itu, bahkan sampai saat ini jika gerbong tersebut tetap dioperasikan untuk perjalanan regular.

Disebut Biru Malam --yang kemudian disingkat menjadi Bima-- karena warna luar wagonnya biru. Sementara kereta lainnya, satu tingkat di bawah Bima, disebut Limex, kependekan dari Limited Express --Cepat Terbatas.

Kedua rangkaian kereta api ini termasuk layanan eksekutif dengan tarif yang relatif mahal, melayani perjalanan Surabaya-Jakarta pergi pulang.

Dalam perjalanan panjangnya kemudian, nama Limex --yang keinggris-ingrisan-- menghilang. Sementara Bima masih bertahan hingga sekarang kendati punya saingan di lintas utara, Agro Anggrek dan Agro Bromo.

Mengapa Bima terbilang wagon elit? Penumpang bisa duduk nyaman di dalam kamar khusus. Satu ruang berisi dua penumpang untuk kelas Eksekutif-1, dan tiga penumpang untuk kelas Eksekutif-2.

Ada pilihan kamar dengan pintu yang bisa dikunci, ada pula yang hanya dilengkapi tirai. Tentunya yang pakai pintu lebih private sifatnya.

Pada saat penumpang mendapat layanan makan malam yang disajikan secara bergantian di wagon restorasi, para awak kereta yang disebut pramugari/pramugara menyiapkan tempat duduk di kamar-kamar itu menjadi tempat tidur.

Lengkap kasur dan bantal, dengan posisi dua atau tiga susun. Kita tidak perlu takut jatuh sebab ada ram dari kanvas sebagai penahan tubuh. Hanya saja harus berhati-hati kalau mengubah posisi dari tidur ke duduk, salah-salah kepala bisa terantuk ranjang di atasnya, atau langit-langit.

Kamar tidur ini disulap kembali menjadi tempat duduk nyaman saat pagi hari. Penumpang mendapat breakfast, berikut tisu basah merek cologne 4711 yang di zaman itu terbilang wah.

Bagaimana dengan Limex? Tak ada kamar, namun kursinya yang warna merah, mirip-mirip kursi pesawat terbang. Sementara kursi kereta lainnya masih pakai kayu dan rotan, atau kursi panjang untuk berdua/bertiga.

"Gaya di pesawat" inilah yang menjadi daya tarik Limex. Apalagi di awal-awalnya beroperasi, penumpang juga mendapat makan malam.

Lalu mengapa wagon-wagon ini menghilang sekarang? Entahlah, sebab aku juga bertanya-tanya, mengapa? Yang jelas, nama Bima masih dipakai hingga sekarang.

Wagonnya tetap elit, tapi tanpa kamar, apalagi tempat tidur. Dibandingkan wagon-wagon kereta lainnya (Agro Anggrek, Sancaka, dll), wagon Bima jauh lebih okay. Pakai kursi yang bisa direbahkan, suspensinya nyaman, bebas asap rokok (thank you Jonan), hiburan film di layar TV, dan toiletnya pakai WC duduk.

Dan malam ini kami --setidaknya aku-- menapak tilas si Biru Malam. Jes... jes... jes... bunyi keretaku. (03:01:18)

*