Senin, 30 Mei 2016

MARCE, SIAPA KAU GERANGAN?


AH Marce, kau kembali membuat hati ini terharu biru. Kembali air mataku berlinang. Untuk yang kesekian kalinya itu terjadi. Siapakah kau sebenarnya Marce?


+ Hamida Prakosa: Hi... mahluk halus...

- Bukan mbak... Bukan mahluk halus. Coba simak sepenggal kisahnya:
"Dengarlah. Kakak tidak pulang ke Tanah Air bersama mereka hari ini." Marce kaget mendengar pengakuan itu. "Mengapa Kak? Bukankah kemarin kakak bilang hari-hari di Tanah Suci segera berakhir?"
"Kakak akan menungguimu. Kakak akan mengantarmu umrah..."
"Kak... mimpikah aku? Oh Gusti Allah, terima kasih, Gusti..."
Marce tidak tahu kalau Qaidir sejatinya kakaknya, sementara Qaidir sedang menyelidiki apakah ibu Marce juga ibu yang mengandung dirinya.

Dialog ini yang membuat aku trenyuh. Marce yang sekarat di RS, mendapat kesanggupan Qaidir untuk mengantarnya umrah. Padahal seharusnya Qaidir kembali ke Tanah Air...

+ Wah... repot menebaknya mas, jelasnya mereka tidak boleh menjadi kekasih, pasti ada rasa kecewa di sana... tapi itulah norma.

- Marce memang tak ingin memberi cintanya kepada Qaidir karena tahu penyakit yang akan merengut nyawanya. Qaidir juga tak ingin Marce tahu kalau dirinya sedang menyelidiki keberadaan ibu kandungnya. Ketika tabir itu terbuka lewat tangan Allah, keduanya harus berpisah karena Marce menghembuskan nafas terakhir... Apa sampai disini kisahnya? Tidak... justru ini awal Qaidir menemukan surganya...

+ Indah Setijawati Sukarna Putri: Penampakan atau apa mas Yuleng?

- Ini novelku "Menggapai Surga", yang tadi sempat aku baca kembali sebelum naik cetak mbak... Dulu waktu menulisnya, juga waktu mengoreksi, aku mbrebes-mili. Lha kok sekarang, empat bulan kemudian, airmataku kembali berlinang. Ada apa dengan tokoh Marce? Siapakah dia di dalam kehidupan nyataku? (*)


Jumat, 27 Mei 2016

HARI YANG HEBOH


BATAL LIBURAN KE OMAKAYU

KAMIS, 5 Mei 2016, jatuh hari libur. Long weekend sebab esoknya juga libur. Karena sudah lama tidak pergi ke Omakayu, tuh gubug singgahku di Pandaan, maka aku putuskan istirahat ke sana. Berangkat pagi-pagi seusai subuhan supaya tidak terkena macet di jalanan.

Apesnya, malam harinya aku penat sekali setelah terkena macet. Tumben jalanan Surabaya se-crowded itu. Jadi aku tidur lebih awal dengan menunda shalat isya. Nanti malam saja sekalian tahajud.

Pukul 03.10 aku terbangun, berwudhu lantas menunaikan shalat isya, lalu tahajud, ditutup witir. Lalu keluar rumah untuk berdoa sambil kontrol ke gardu satpam. Sempat ngomel karena gate tidak ditutup padahal empat hari lalu kompleks hunian kami kedatangan kawanan maling. Untung aksi mereka ketahuan, dan sayangnya para maling berhasil kabur.

Karena waktu shalat subuh di Surabaya pukul 04.15, masih ada waktu sejenak untuk main-main sama si Grey, kucingku. Nah setelah shalat subuh, aku tiduran sambil menunggu matahari terbit.

Tiba-tiba aku dikejutkan, ada teriakan 'maling'. Aku bergegas keluar, dan benar, di jalan kecil samping rumahku sudah ada sejumlah orang mengerubuti sebuah motor.

"Mana malingnya?" tanyaku. Lari Pak, ujar Pak Tatung, Bag. Keamanan. "Lha ini motor siapa yang dicuri?" Ini milik pencurinya...

Ternyata, ada tiga orang naik sepeda motor tersebut, menyasar rumah nomor 15. Gelagat buruk ini diperhatikan oleh Man dari bagian kebersihan. Dengan mengendap, Man mendekati ketiganya.

Seorang di antaranya sudah masuk ke rumah korban dengan merusak gembok. Entah bagaimana caranya, gembok besar itu dol dan tak bisa dikunci lagi.

Man yang sudah sangat dekat, menggunakan tongkat menyerang kedua teman maling yang berjaga di luar. Perkelahian tidak imbang, apalagi maling yang di dalam keluar ikut membantu. Namun karena suara gaduh yang ditimbulkan Man, maling-maling ini ketakutan dan berusaha melarikan diri berboncengan.

Man tidak ingin tangkapannya meloloskan diri. Ia kejar sambil berlari, dan meraih kepala si pengemudi, memiting, dan membantingnya. Kawanan itu jatuh bersama motor yang dinaiki. Karena posisi tidak menguntungkan, ketiganya melarikan diri tanpa peduli lagi akan kendaraannya.

Man berteriak  meminta satpam menutup gate. Sayangnya kawanan maling lebih cepat dan kabur secara berpencar.

Sampai di sinilah kisah keberhasilan menahan kendaraan milik para maling. Kami lalu berpikir, hendak diapakan motor Honda yang masih mulus ini?

PROSES VERBAL

Karena maling ini pula, warga hunian berkumpul. Man asyik berkisah sementara lainnya mengumpulkan barang bukti. Ada gembok yang sudah dol, kunci palsu, alat2 yang bentuknya ganjil, helm yang tercebur got, dan sepeda motor pelaku.

Tiba-tiba ada pria turun dari Kijang ikut bergabung. Rupanya dia reserse yang kebetulan lewat, yang dengan sigap berhasil menangkap salah satu dari pelaku yang melarikan diri ke arah jalan besar.

"Dia mengaku lari pagi... tapi lihat bentuknya, mana mirip dengan orang olahraga," katanya.

Man awalnya kurang yakin itu salah satu dari mereka, namun setelah ia melihat ada luka di kaki kiri pelaku, ia ingat sekali dengan pengemudi yang ia banting dan kaki kirinya tergores aspal. Singkat kata, memang dialah pelakunya.

Reserse itu kemudian meminta ditemani membawa pelaku ke Polrestabes karena dia sendirian di mobil. Ia juga minta korban pemilik rumah yang disatroni dan Man ikut ke kantor. Manlah yang membawa motor pelaku.

Nah saat kami akan pergi makan siang sebagai pengganti ngga jadi ke Pandaan, terkejut melihat kenyataan sepeda motor Man masih berada di pos jaga dekat rumah. Artinya, ia masih berada di kantor polisi. Padahal sudah pukul 13.00, atau tujuh jam telah berlalu.

Aku telepon Pak No, satpam kami yang tadi menemani reserse membawa pelaku ke kantor polisi. "Masih di sini Pak, sedang diproses verbal," ujarnya dengan suara perlahan. Sayup-sayup terdengar suara petugas membentak pelaku.

Ya sudah... kami makan dulu, dengan tujuan American Grill di Tunjungan Plaza. Dasar hari libur dan jam maksi, antrean sudah terjadi sejak dua kilometer sebelum lokasi.

Walau sabar merambat, toh akhirnya kami putuskan tidak jadi kesana. Papan parkir menunjukkan tempat yang tersisa hanya 147 buah. Tempat segini diakses dari tiga lajur, kans mendapatkan parkir relatif kecil.

Dari steak kami berganti pilihan Ayam Putri Madura di RM Bebek Harissa. Sensasinya okay banget, seolah menjadi penawar kesibukan sejak subuh. Kami pulang dengan kenyang.

Ternyata, sesampai di rumah kawan-kawan saya belum pulang juga. Menyesal tadi tidak mampir ke kantor polisi. Saya perlu memberi support kepada mereka karena saya Ketua RT.  Saya putuskan mengaso sebentar, lalu berangkat ke kantor polisi.

Eh musibah terjadi. Entah apa penyebabnya, pintu mobil terkunci dari dalam sementara mesin masih hidup. Panik juga, karena tak punya kunci serep.

Upaya paksa membuka dilakukan menggunakan penggaris yang diselipkan di kaca. Hasilnya nihil. Cari tukang kunci, ternyata satu pulang kampung, satu sedang dipanggil orang, satunya lagi masih dicari. Padahal mesin makin panas dipanjar diam hampir satu jam.

Ketika mencoba cari bantuan ke tetangga, alhamdulillah bertemu Man yang baru pulang dari pemeriksaan. Sementara melupakan mobil yang terkunci, aku asyik mendengarkan cerita Man. Apalagi Devi, yang rumahnya dibobol, ikut berbagi cerita.

Untung ada kesempatan memotong pembicaraan untuk minta tolong bab mobil terkunci. Kebetulan Devi punya pengalaman dengan Avanzanya yang beberapa kali harus ia akali akibat kasus serupa.

Singkat kisah, Devi kutak Katik beberapa saat... dan sayangnya tidak berhasil. Ia meyakinkan, sistemnya berbeda dengan Avanza. Dalam keadaan ini, tukang kunci yang tadi sedang dicari, menelepon.

"Mobilnya apa Pak?" Toyota Innova. "Tahun berapa Pak?" 2009. "Ongkosnya 200, Bapak Setuju?" Okay...segera ya, ini sudah dua jaman mesin hidup...

Benar juga, si tukang segera tiba. Melihat bekas kita membuka pakai penggaris, dia langsung bilang, type yang ini ngga bisa pakai penggaris.

Lalu ia mengambil obeng dan pengganjal. Ada kain kaos. Ada kawat panjang. Maaf saya ngga bisa kisahkan caranya sebab itu know how si tukang. Tapi benar, ngga sampai lima menit pekerjaan usai. Pintu terbuka.

Hahaha... Aku tertawa sambil kasih jempol. "Aku bayar Bapak bukan karena bisa membuka, tapi bayar untuk CARA membukanya," ucapku ikhlas. Dia tertawa juga.

Ketika mau menyerahkan uang, si McGaver hanya mengambil separonya, yang seratus ribu dikembalikan. Rupanya, dia juga menghargai pujianku yang benar-benar tulus. Apalagi beberapa kali aku tekankan aku bayar untuk ilmunya...

Well... selesaikah hariku? Malam hari masih kedatangan tamu yang awalnya meminta tolong melakukan editing bukunya. Aku telanjur menerima permintaan itu, namun ternyata buku itu tak sekadar membutuhkan editing. Perlu lebih dari itu... rewriting!

Dua pekerjaan yang berbeda, dan rewriting itu lebih sulit. Ibaratnya menjahit, lebih mudah menjahit celana daripada memermaknya.

Ketika aku hendak makan malam, aku sempatkan menulis hari-panjangku ini. Seharusnya, aku melihat hijau sawah di belakang rumah dengan kicauan burung. Dengan hawa sejuk Pandaan, terhindar dari pengabnya Surabaya.

Menyesalkah aku? Tidak! Karena aku percaya, Allah melarangku ke luar kota. Biarlah hari-hari panjangku dengan berbagai permasalahan di sini saja. Mungkin kesialan di sana lebih parah lagi. Untuk itu aku bersyukur, dan berdoa untuk kebaikan di hari-hari mendatang. Subhanallah. (*)

GELAS-GELAS KENANGAN, NGGA SAMPAI LIMA RIBU!



AKU suka mengoleksi barang, terutama sesuatu yang kecil, lucu, dan berfungsi. Jangan tanya apa saja yang aku koleksi, sebab banyak banget ragamnya. Yang terkecil prangko, yang terbesar lukisan. Tentu sebagai wartawan aku juga mengoleksi ballpoint --terutama yang ada logo maupun brand dari sesuatu (lain waktu aku kisahkan tersendiri).

Yang ingin aku ceritakan sekarang adalah gelas kecil yang desainnya cukup unik. Aku ngga bisa menyebut apa namanya, apakah mug tapi kok terlalu kecil, cangkir kok terlalu besar, gelas ya juga enggak lah. Tapi Anda tahu kan apa yang aku maksudkan?

Aku membeli ini karena desainnya cukup unik. Perhatikan bibirnya yang melandai, dan gagangnya yang menyatu dengan bibir. Jadi okay jugalah ketika si penjual menawarkan harga Rp 45 rb. Walau untuk itu terbilang mahal, tak apalah sebagai cinderamata. Maklum aku membelinya di sebuah artshop kota Singaraja, Bali.

Aku mengambil sepasang, hitam untuk istriku dan putih untuk aku. Mengapa aku pilih putih, karena kebiasaanku meneguk kopi. Apa nikmatnya kopi hitam di cangkir hitam,  pikirku saat itu.

Hari-hari berikutnya kalau kangen Bali, kami selalu menggunakan gelas itu. Waktu lain pakai yang kami beli dari Hamilton. Begitulah kelaziman kami memanfaatkan barang kenangan. Namanya kenangan, ya untuk mengenang sesuatu. Bukan sekadar disimpan hingga kehilangan fungsinya.

Nah... suatu saat aku berkendara di Pusat Surabaya. Baru saja akan keluar dari parkiran, mataku melihat kalimat pendek "Diskon 70%" di etalase sebuah toko. Karena masih berada di kawasan parkiran, iseng saja aku turun melihatnya.

Ternyata yang diobral barang pecah belah, dan desain seperti gelasku ada  di antaranya. Aku geleng kepala nyaris tak percaya. Harganya cuma dibandrol Rp 14.850, jauh di bawah harga waktu aku beli dulu. Plus diskon 70%, aku cukup membayar Rp 4.455!

Pada saat aku memilih --karena banyak desain yang unik dan tentu saja super murah setelah rabat sebesar itu-- baru sales girl-nya bilang, syarat diskon harus bisa menunjukkan kartu pelajar atau kartu mahasiswa.

Wah... aku dan keponakanku saling pandang. Dia sudah tak muda lagi, sementara aku sudah kakek-kakek, mana punya kartu pelajar. Si sales girl pun juga tak punya, sebab kalau dia punya aku mau meminjamnya...

Akhirnya, aku harus pulang dengan kecewa. Sampai beberapa hari kemudian, seorang teman yang baru membuka cafe "Kopi Ten", tertarik ceritaku. Kebetulan salah satu karyawannya punya kartu pelajar.

Kami pun menuju toko tersebut, dan memborong sejumlah barang. Khusus gelas yang kumaksudkan, aku memborong sepuluh biji. Dua untuk keponakanku, empat untuk temanku, empat lainnya untuk melengkapi koleksiku yang di rumah.

Siapa tahu suatu saat nanti anak-anak dan kedua menantuku bisa ngopi bareng di hunianku... entah kapan itu bisa terjadi sebab mereka tinggal jauh di rantau.

Apakah benda itu masih menjadi barang kenangan? Memang tak lagi untuk mengenang Bali. Justru keunikan aku mendapatkannya kemudian --apalagi dengan harga yang sangat murah-- menjadikannya sebagai kenangan tersendiri.

Ini mengingatkan aku dengan motto yang selalu aku coba terapkan, "Kalau ada yang murah, mengapa harus beli yang mahal." (27:05:16)