Selasa, 16 Agustus 2016

SAHABAT YANG TELAH PULANG



SEGER WARAS TEDJA SUMINAR

AKU memanggilnya om, om Theedja. Tidak ada pembatas di antara kami kendati beda usia 15-an tahun. Kami akrab-akrab saja sebagai teman, bahkan kerap saling pamer setiap mempunyai sesuatu yang baru. Tapi tolong diartikan yang positif sebab pamer kami adalah saling berbagi pengetahuan.

Misalnya, suatu hari di tahun 70-an, om Thee --suatu ketika kelak namanya diringkas menjadi Tedja-- memamerkan sound system hasil rekayasanya. Di huniannya yang sarat dengan elemen estetika bernuansa seni di sela kecil Jl. Dharmawangsa, ia memperdengarkan musik Bali.

"Yok opo Leng..., enak? Cobak golekono speakere anang endhi? (Gimana Leng..., enak? Coba kamu cari di mana speakernya?) Pertanyaan soal enak tidaknya musik itu, masih relevan sebab ketika itu aku wartawan Majalah Musik Aktuil di Surabaya. Tapi soal mencari speaker... wah nanti dulu.

Ini soal eksperimen yang kami sama-sama menyukainya. Aku mencoba menelisik ke seluruh ruangan dan mencoba menemukan sumber suara. Lima menit berlalu tanpa aku bisa menemukannya.

"Iki lho...," ujar om Te sambil menunjuk ke gentong, patung tembikar, kukusan nasi, dan entah apa lagi yang semuanya dipergunakan untuk menyembunyikan speaker. Penempatan ini aslinya dimaksudkan untuk mendapatkan suara yang maksimal.

Jangan membayangkan salon-speaker sebab pada masa itu barang demikian terbilang mahal. Yang dipasang om Te hanyalah speaker telanjang yang banyak dijual di Pasar Genteng. Melalui olah-penempatan memang menghasilkan suara bass yang okay punya.

Di lain waktu, kita pernah sama-sama pergi ke Hong Kong, dan tidur sekamar. Namun pada siang hari, kita jalan sendiri-sendiri. Pikirku, tentu Om Te punya selera tersendiri, dan aku tentu saja ingin melihat modernnya kota itu.

Ternyata, ketika malam kita berkumpul dan berbagi cerita, apa yang Om Te lihat, apa yang ia makan, bahkan apa yang ia beli, sama dengan apa yang aku lakukan. Bahkan bukan di hari itu, hari-hari kemudian sama saja. Anehnya... tetap aja kita jalan sendiri-sendiri.


COLLECTION ITEM

Tedja Suminar sebenarnya teman ayah aku dalam kelompok pelukis Prabangkara ('60-an) --beranggota Wiwiek Hidayat, Soedibio, Karyono YS. Pada dekade '70-an, sepulang dari Manila, ayah membentuk Puring Art Studio, dan Om Te bergabung bersama Soedibio dan Sedyono. Mereka kerap melukis bersama.

Yang aku suka dari karya Om Te adalah sketsa-sketsanya. Juga cara dia memajang lukisan di huniannya --nanti di akhir cerita aku kisahkan bagaimana bentuk huniannya. Aku mengoleksi beberapa sketsanya, tentu saja sejumlah lukisan cat minyak.

Suatu hari di Ubud --aku duluan tinggal di Bali, kemudian menyusul Om Te dengan memilih tempat di Ubud-- ia menunjukkan karya terbarunya. Aku suka dan memuji karya itu --Garuda Wisnu dengan canang berisi aneka kembang.

"Neg seneng, ya wis jupuken," ujar Om Te dalam bahasa Jawa. Singkat kata, lukisan itu aku bawa pulang. Ternyata kemudian aku tersadar, aku juga punya lukisan senada dengan yang baru aku beli ini.

"Om... ternyata aku punya penyandingnya! Sama-sama lukisan patung Bali, sama-sama ada kembangnya (cuma yang satu kembang kamboja sewarna), dan sama-sama bernuansa coklat! Hanya bedanya, yang satu Om lukis tahun '72, yang satunya tahun '92.

Rupanya ia masih hafal dengan lukisan yang aku maksudkan. Sambil tertawa, ia mengatakan, "Wah... 20 tahun aku ngga maju-maju yo."

Seketika aku salah tingkah, tersinggungkah Om Te? Ternyata tidak, sebab ia mengakui kadang gagasan juga bisa bernostalgia. Duplikasi. Aku lantas juga beri alasan, lukisan lama lebih ekspresif sementara yang baru lebih memperhatikan detail. Yang jelas, keduanya menjadi collection item yang tak mungkin aku lepaskan.

Om Te sendiri kemudian menyibukkan diri dengan proyek lukisannya yang spektakuler. Ia melukis tokoh-tokoh seni budaya Bali lengkap dengan karakter masing-masing. Misalnya, ia melukis pematung I Gusti Nyoman Lempad yang tengah mengerjakan karya patungnya. Suteja Neka dengan museum seni yang dimiliki, atau Ida Bagus Mantra dengan dunia intelektualnya.

Karya-karya itu dikerjakan di kanvas yang cukup besar, konon setelah itu digelar dalam suatu pameran, dan sukses. Aku sendiri tidak lagi mengikuti perkembangan sebab tahun-tahun kemudian  sibuk banget. Kendati demikian, setiap kali ke Bali --aku sudah bermukim di Surabaya-- pasti aku sempatkan mampir bertemu Om Te.


TEPI SAWAH

Untuk menemukan hunian Tedja Suminar di Ubud, tidaklah sulit. Letaknya tak jauh dari Arma Museum. Nama jalannya Raya Nyuh Kuning, dulu lorong kecil yang sekarang sudah menjadi jalan besar. Tak jauh dari pojok jalan, ada perahu tergantung di sisi tembok pagar (Ubud itu dataran tinggi lho).

Begitu masuk halaman, di tengah ada kolam ikan yang tentu saja asri dengan aneka tanamannya. Di sebelah kiri ada pendopo untuk lesehan. Sementara di belakang adalah kediaman Tedja --ketika itu Muntiana Tedja, istrinya, masih bolak-balik Surabaya-Ubud sebab anak mereka Swan dan Lini masih remaja.

Di sebelah kanan terdapat bangunan besar yang berfungsi sebagai galeri. Di tempat ini sesekali berkumpul para pelukis Ubud. Suatu ketika aku hadir bersama mereka. Kebetulan pada hari itu mereka mendatangkan model dilukis bareng. Aku sendiri sibuk jeprat-jepret dengan kamera, ya mengabadikan si model, ya aneka aksi si pelukis. Serulah!

Hunian Tedja menjadi tempat berkumpul seniman-seniman Ubud, baik seniman setempat maupun dari berbagai penjuru kota yang memilih Ubud sebagai tempat berkarya. Ada yang dari Jogja, Jakarta, Bandung, dan satu dua dari Jawa Timur.

Ada pula seniman Belanda yang nyantrik di sana. Nyaris tak pernah sepi hunian ini. Beralasan memang, sebab di tangan Tedja, tempat ini lebih Bali ketimbang studio-studio milik orang Bali. Obsesi Bali memang sudah terbawa sejak Tedja masih menghuni rumahnya di Dharmawangsa, Surabaya.

Sampai suatu ketika, Om Te berkabar pindah hunian. Kejadiannya, hampir bersamaan waktu aku membangun gubug kecilku di lereng gunung Welirang, di sudut desa yang jauh dari hunian penduduk setempat.

Ketika itu aku berlibur ke Ubud, dan dipandu menggunakan handphone. Letaknya kurang lebih di belakang Goa Gajah. Jangan tanya nama desa atau jalannya, sebab aku buta sama sekali dengan lokasi itu. Aku hanya dapat perintah "belok kanan kalau ada tembok panjang, nanti ke kiri, tante aku suruh tunggu di depan."

Tanpa nyasar, aku bisa temukan tempat yang dimaksudkan. Desain rumahnya sedikit modern, dengan teras justru berada di belakang. Tamannya khas Om Tedja, rimbun subur dan sedap dipandang.

Pertama kali masuk ruangan depan, aku langsung teringat gubugku. Di langit-langitnya ada ornamen dedaunan. Aslinya memang daun sungguhan yang diletakkan di dasar dak sebelum dilakukan pengecoran. Setelah kering dan papan besketing diambil, citra dedaunan itu terukir rapi di atas sana. Aku tahu teknik ini sebab aku juga lakukan hal serupa.

Setelah melihat di sekeliling rumah, kami dijamu di teras belakang. Dengan bangga Om Te memamerkan belakang huniannya --yang memang menjadi daya tarik utama dari semuanya itu, yakni hamparan sawah.

Berada sekitar dua meter di bawah teras, terhampar persawahan seluas kurang lebih tiga kali lapangan bola. Bentuknya nyaris persegi, dan memang menjadi spot subur bagi persawahan. Ketika itu umur padi baru sekitar enam minggu, hijau segar nuansa di bawah sana.

"Musim begini yang paling aku senangi. Menyusul nanti waktu padi menguning. Itu sudah aku persiapkan orang-orangan sawah," ujar Om Te sambil menunjuk yang dimaksudkan, yakni orang-orangan pengusir burung.

Dasar seniman, benda itu dipajangi berbagai komponen estetika yang sedap dipandang mata. Selain warna-warni atribut, disk komputer juga dipasang berkerlip memainkan sinar.

"Kalau lagi panen, senang melihatnya. Banyak orang terlibat. Tapi setelah itu, saat-saat yang paling menjengkelkan. Mereka membakar jerami, dan asap kemana-mana. Kami kerap mengungsi dibuatnya," ujar Om Te dalam bahasa Jawa Suroboyoan sambil terkekeh...

Aku dan istriku saling pandang. Kemudian tersenyum, dan hanya kamilah yang tahu komunikasi itu. Bagaimana tidak. Kami selalu menceritakan hal yang sama kepada tamu-tamu kita mana kala mereka berkunjung ke gubug kami di kaki Welirang.

Hunian Om Te nyaris sama dengan gubug kami. Sama-sama persis di tepi sawah, sama-sama punya teras dua tiga meter di atas sawah. Bedanya, gubugku adalah rumah kayu model panggung dengan bangunan batu di ruang bawah. Dan di belakang sana, sejauh mata memandang, persawahan yang tak membosankan.

Jelas dampak asap lebih parah di tempatku, kendati keindahan hijaunya persawahan lebih memukau. Apalagi, kontur sawah menurun bertangga-tangga berbentuk lembah, dengan kesunyisenyapan khas pedesaan. Salah satu ciri Bali yang aku bawa kemari adalah penjor yang menjulang di tepi sawah.

Kami sepakat untuk tidak menceritakan ini kepada Om dan Tante Tedja, sebab masih ada rencana mengajak mereka ke gubugku suatu ketika nanti, dengan harapan mendatangkan surprise. Sayang waktu tak bisa ditahan, Tante Muntiana mendahului kita semua.

Ketika akhirnya Om Te diboyong Swan dan Lini ke Surabaya, rencana mengajak beliau ke kaki Welirang tak kunjung terlaksana. Selain jalan menuju Pandaan sering macet (sebelum tol baru berfungsi), kami juga tidak berani mengajak Om Te pergi jauh ke Pandaan. Kami tidak berani mengambil risiko.

Sampai akhirnya, setahun lampau, aku berkesempatan bercerita tentang gubugku yang senada-seirama dengan hunian Om Te di Ubud sana. Memang sudah tidak ada surprise lagi, tak ada gereget untuk dikisahkan. Bukankah melihat sendiri lebih mudah tercerna ketimbang melalui kata-kata? Lagian, dunia Om Te sekarang kembali ke kampung halaman, Surabaya.

Yang ingin aku sampaikan sebenarnya adalah, banyak nian kesamaan selera antara aku dan Om Te dalam kehidupan ini. Kendati kita berbeda umur, namun tak menghalangi kesukaan bersama dalam berbagai hal.

Sekarang Om Te telah tiada. Masih aku kenang sapaannya setiap kali bertemu, "Seger waras yo Leng". Semoga kau bahagia di alam sana, karyamu akan tetap dikenang. Bagiku, banyak kisah perjalanan kita yang tak mungkin terhembus hilang begitu saja. Selamat jalan Om... (*)