Senin, 30 Oktober 2017

KAMI (KETURUNAN) PETANI




KELUARGA petani. Ngga anak, bapak dan emak, berperan sebagai petani dalam pemotretan di tempat berbeda. Si anak di Bogor sana, sementara bapak dan emak di Hotel Hyatt.

Kami memang keturunan petani. Kakek nenek kami petani sejati yang jauh-jauh menyeberang ke Jawa untuk membabat alas. Cukup luas, bahkan tetap luas walau Belanda membelinya sebagian.

Jadi jangan heran kalau hati kita selalu tergerak ketika melihat sawah, alat-alat pertanian, hasil bumi, dan sebangsanya. Termasuk alat peraga yang bisa kami pergunakan untuk berfoto.

Aku sampaikan salam petani dari desaku... "Tetaplah beli hasil kami sebab kalau kalian beli eks impor, kemana lagi kami akan menjual hasil panenan..." (30:10:17)

Sabtu, 28 Oktober 2017

KOLOM: TEMPE ATAU TÈMPÈ?



AKU pernah mengalami pemakaian huruf è tatkala duduk di bangku Sekolah Rakyat. Entah bagaimana ceritanya, huruf itu dihapus dari khasanah bahasa Indonesia. Pernah suatu ketika aku tanyakan kepada guru bahasa, jawabnya "pelajari yang diajarkan saja..." Nadanya ngga enak oleh sebab itu aku lupakan saja si huruf è ini.

Satu dekade mendatang, tidak ada masalah. Demikian pula dekade kedua. Ketika itu TVRI masih menjadi pemain tunggal. Ada Jus Badudu yang tampil di layar gelas mengawal bahasa Indonesia. Pun para pewartanya clear-clear saja mengucapkan kata-kata dengan benar.

Bahkan Anita Rahman, pembawa berita yang cukup kondang ketika itu, nyaris tanpa salah mengucapkan kata demi kata. Konon ia selalu check and recheck jika menemukan kata yang ia ragu dalam pengucapannya. Termasuk nama-nama tokoh dunia, yang kadang yang tertulis berbeda dengan yang terucap.

Beruntunglah mereka yang sekarang berusia 60 tahun ke atas. Lansia ini tidak ada masalah dalam mengucapkan kata dengan huruf e atau huruf è. Misalnya, "tèmpè". Berbeda dengan orang muda zaman sekarang. Kita mengelus dada ketika ada pewarta tv atau radio yang dengan lantang menyebut "tempe".

Padahal, kata benda itu setiap hari berhubungan erat dengan lauk pauk masyarakat kebanyakan. Seharusnya, tidak boleh salah. Apalagi dalam sejarah, kita hafal sekali Bung Karno mengatakan, "Kita jangan jadi bangsa tèmpè..."

Belum lagi dengan kata-kata yang jarang diujarkan. Misalnya "ketepèl", "perkedèl", "tempèlèng", dan masih banyak lagi contoh lainnya. Memang kita bisa merujuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia. Itu bagi yang rajin dan merasa keren jika berbahasa dengan benar.

Tapi dengar saja yang terujar dari pewarta tv maupun radio. Tidak terbatas soal pemakaian huruf e dan è. Juga penyebutan lainnya. Kuping kita gatal ketika ada yang menyebut nama kota Bojonegoro dengan bunyi "o" yang seragam. Padahal, bunyi dua o yang di depan berbeda dengan dua yang di belakang.

Yang sedihnya lagi, pengucapan salah ini dengan cepat menyebar ke berbagai lapisan masyarakat. Mereka merasa tidak salah ucap, sementara yang mendengar menirukan begitu saja. Maka salahnya berantai, makin lama makin menggelembung. Dan tak banyak yang peduli.

Senyampang saat ini bulan bahasa, yuk belajarlah untuk berucap dengan betul. Banggalah jika bisa membaca tulisan ini dengan benar: Jangan kau tempèlèng aku, lihat sekitar, teman-temanku siap dengan ketepèlnya. Mau jadi tèmpè kau...

Selamat berbahasa yang benar dan baik. (28:10:17)

ESTHI SUSANTI: BICARA TENTANG KEMATIAN YANG INDAH...



Esthi Susanti Hudiono * MENGGAPAI SURGA

Novel ini saya baca dari halaman pertama sampai akhir di atas kereta menuju Semarang. Saya suka sekali novel ini karena bicara tentang kematian indah dan bermartabat. Islam menyebutkannya sebagai khusnul khotimah.

Mas Yuleng pintar dalam memilih tema. Tema yang dipilih spesifik seperti novel lain yang baru saya baca tentang lukisan dan pelukis. Kekuatan lainnya adalah ia memberi banyak informasi. Barangkali ini karena latar belakangnya sebagai wartawan.

Saya mendalami masalah dying dan kematian. Minat saya dipicu oleh keterlibatan saya dengan orang yang terinfeksi HIV. Kematian prematur dan bagaimana hidup harus dijalani dengan beban pengetahuan tentang kematian yang sewaktu-waktu datang. Kematian dan hidup adalah tema yang paling saya sukai.

Novel Menggapai Surga bicara cara meninggal yang apik menurut versi Islam. Meninggal di Mekah setelah ibadah diselesaikan termasuk menyelesaikan urusan masa lalu dan memanjatkan doa untuk orangtua yang benar.

Disempurnakan dengan meninggal dengan perasaan bahagia karena didampingi oleh seseorang yang dicintai yakni kakak yang ditemukan dalam ibadah. Sempurna.

Selain kita harus bertanggung jawab penuh terhadap hidup yang diberikan. Kita juga harus memikirkan bagaimana kita bisa menyelesaikan hidup yang diberikan dengan bermartabat dan indah. Menurut saya urusan dying dan kematian juga harus masuk ranah pendidikan.

Novel-novel Mas Yuleng bisa jadi pemicu diskusi karena temanya yang penting. Semoga bisa mengadakan diskusi dengan tema dunia lukis dan pelukis dan kematian bermartabat. Semoga novel-novel Mas Yuleng bisa dikenali secara luas (*)


* Esthi Susanti Hudiono, pernah menjadi News Editor pada Harian Surya

@Esthi Susanti Oh#Novel Menggapai Surga


https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10210784438631838&substory_index=0&id=1376597700

Jumat, 27 Oktober 2017

SURABAYA RASA YOGYA, KITA JALAN-JALAN KULINER


Keterangan foto: Ngandok di Resto Catsy, bertemu pemiliknya, Son Andries dan Rina. Sebetulnya resto ini masuk rencana jalan-jalan kami, sayangnya si pemilik waktu itu keluar kota. Nah baru beberapa hari kemudian mampir kemari..., ya makan ya silaturahim.


SUDAH lama kami tidak plesiran. Aku sibuk dengan pemasaran buku, istriku tugas rutin yang nyaris tiada jedah. Kebetulan pekan keempat Oktober ia agak senggang. Jadi aku usul pergi ke luar kota barang tiga empat hari.

Awalnya dia pilih ke Bali. Aku ke Malang. Lalu dia ganti tujuan, Jember. Aku justru ke Yogya. Deal... Yogya nyaman untuk jalan-jalan. Kita bagi tugas. Aku cari hotel lewat online, dia cari tiket.

Namun entah mengapa, malam-malam aku berubah pikiran. Kalau hanya jalan-jalan dan cari kuliner, mengapa harus jauh-jauh? Di Surabaya masih banyak tempat yang belum kita jelajahi. Paginya aku usulkan itu, dia setuju. Yah... kita hunting tempat-tempat baru Kota Buaya.

Dhus, aku mulai bikin jadwal, dimulai Rabu. Sebab Selasa dia masih ada acara reses, seharian. Kita mau ke Landmark di Surabaya Barat, lihat Trans Studio. Malamnya nyambung ke G-Walk. Sepuluh tahun lebih kita tak pernah ke sana.

Kamis lihat pameran 8.000-an lukisan di Jatim Expo, lanjut ke Sidoarjo yang konon banyak tempat-tempat  makan baru. Jumat ke Pakuwon City di Surabaya Timur, dinner bisa ke Layar atau Kafe Pisa. Tapi kalau ada tempat bagus di Pakuwon, bisa saja ngudap di sana.

Sabtu ambil yang santai-santai, nonton film di Grand City. Lengkaplah city tour pengganti acara ke Yogya, pikirku. Istriku setuju, malah antusias sekali. "Good job," pujinya.

Ketika saatnya tiba, mendadak rencana berantakan. Hari Rabu, istriku dapat undangan sebagai narasumber. Tidak tanggung-tanggung, di tiga tempat yang berjauhan --Pawiyatan (Bubutan), Kendangsari, dan Balai Pemuda. Sejak pagi hingga usai magrib dengan jedah sebentar saat azhar.

Toh dia sempatkan pergi bersama malam harinya, sebagai penanda "Day One" plesiran. Kami menuju Marvell City, di jantung kota. Itu tuh bangunan yang lama mangkrak di seberang sungai Ngagel. Sekarang jadi mall yang cukup asyik dikunjungi.

Sebenarnya kami sudah beberapa kali ke sana. Namun aku baru dengar ada foodcourt di lantai atas. Tempat itulah yang kami tuju. Toh tak bisa lama-lama sebab tentunya istriku capai setelah seharian padat acara.

Ternyata benar, tempat makan ini bersuasana cozy, dengan lampu temaram. Terdapat 40-an gerai makanan. Ada sudut-sudut tempat duduk yang bisa melihat keluar, dengan pemandangan jembatan bungkuk menyeberang sungai Ngagel. Tampak indah malam itu.

Sejumlah pengunjung punya keasyikan tersendiri. Yang pacaran, misalnya, tanpa peduli orang lalu-lalang di seputarnya. Seorang gadis asyik dengan laptopnya, sambil kepala geleng-geleng ikuti irama musik lewat headphone-nya. Atau sekelompok remaja bercanda di meja sudut ruang.

Aku hanya ingin makan ringan, memilih mie goreng seafood. Istriku order es campur. Ternyata porsi mienya banyak banget sehingga hanya habis separo. Sisanya dibungkus bawa pulang. Kami juga bawa buah tangan martabak yang ternyata rasanya masih kalah dengan yang di pinggir jalan dekat rumah.

Ketika kami sudah di tempat tidur, aku nyeletuk... "Suasana hotel ini kayak di rumah kita ya." Istriku erat merangkul sambil menjawab, "tempat tidur rumah sing ada lawan..." Kami tertawa, good night sayang...

SILATURAHIM

Hari kedua kami agak santai. Berangkat siangan setelah cukup istirahat. Arahnya ke Selatan, tapi kami ubah tujuan. Tidak ke pameran lukisan --yang aku pikir akan menguras tenaga-- namun ke rumah mbak Nana Tommy di Rungkut Asri.

Hubungan kami dengan keluarga Tommy sudah seperti saudara. Mbak Nanalah yang mendorong aku untuk menulis buku pada saat semangatku berada di titik nadir. Dia yang mengenalkan aku dengan Prof. Dr. dr. Roem Soedoko, Sp.PA (K) untuk menulis otobiografinya, "Queen of Cancer Control". (Selasar Surabaya Publishing, 2012).

Sudah lama tak jumpa dengannya. Kami ngobrol ngalor-ngidul. Sambil makan rujak cingur. Juga aneka buah-buahan. Dan tentu saja kopi tubruk tanpa gula sebagai penutup. Tiga jam bertemu menghapus rindu sejak tiga bulan silam.

Sepulang dari sini, masih ada waktu mampir Pawon Cabe yang terletak di seberang perumahan Araya. Menu makanan rumahan. Tempatnya tak terlalu ramai. Dan yang terpenting, tempat parkir cukup luas. Aku menikmati lele penyet dan sayur asam, istriku memilih sup iga dan es campur. Satu jam lebih kami di sini, dan meluncur pulang saat adhan magrib berkumandang.

Jumat acara bebas buat kami. Istriku ziarah ke makam pahlawan dalam kaitan HUT Partai Golkar, lanjut acara tumpengan dan pertemuan partai secara terbatas. Aku Jumatan di Tunjungan Plaza 2 bersama sohib Ali Salim, lanjut maksi dan ngopi.

Malam kita kembali bertemu, dan melanjutkan acara kuliner. Kali ini makan dimsum di MERR, hanya seperempat jam perjalanan dari hunian kami. Nama rumah makannya "Mbledos", dan perut kami nyaris 'mbledos' gara-gara kebanyakan porsi yang kita santap. Terutama cakar ayamnya yang memang yummy.

Esoknya aku istirahat seharian di rumah. Aku harus benar-benar disiplin dengan kondisi staminaku. Istriku pergi ke studio untuk foto bersama mempersiapkan kalender 2018. Lalu rapat sebentar, lanjut ke pameran 8.000 lukisan di Jatim Expo. Ia melebur dengan komunitasnya.

ALL YOU CAN EAT

Baru malam hari kita kembali pergi bersama untuk dinner malam panjang. Kami ingin santai dan memilih makanan (dan memasaknya) sesuai dengan selera. Maka kami pergi ke Cocari Resto. Tempatnya baru, terletak di Jl. Sriwijaya. Kami mendapat tempat duduk di tengah, memudahkan untuk mengambil bahan yang hendak kita masak.

Sebagai pembuka, aku ambil salad yang kombinasinya tersedia cukup lengkap. Aku memilih kentang beroles mayonise, bawang bombay, lettuce, daun pasley, tomat cherry, dan potongan nanas yang sangat manis. Dressing-nya aku campurkan thousand island.

Istriku lebih suka mengambil sushi dan minta dibikinin beef teriyaki. Ia ambil sedikit salad sebagai pelengkap. Kami tidak perlu terburu-buru menyelesaikan makanan pembuka sebab ada beberapa hal yang perlu kami obrolkan.

Kami pun tidak kemaruk. Ambil secukupnya saja untuk dihabiskan. Termasuk makanan utamanya. Kita sepakat  ambil sendiri-sendiri supaya tahu selera, sekalian kemampuan perut masing-masing.

Aku memilih beef black pepper, ayam, udang, ikan laut dan sedikit tiram batik. Semuanya itu untuk dimasak barbeque. Pilihan istriku hanya tiga: beef, ayam, dan ikan. Ia alergi udang. Kita grill bersama sambil ngobrol santai.

Sementara kami belum menyelesaikan hidangan, anak muda di sebelah kami sudah menghabiskan tiga piring daging dalam ukuran ekstra banyak. Ya ngga apa-apa, mereka masih muda dan kuat-kuatnya makan. Asal tidak ada yang tersisa percuma.

Untuk minumnya, aku sedikit bereksperimen. Teh celup panas aku tuang di gelas seukuran 2/3, lalu aku tambahkan jus jeruk manis dingin. Hasilnya lemon tea hangat, dengan kemanisan yang cukup (jus jeruk itu ternyata sangat manis). Harap maklum, selama ini aku menghindari minuman dingin.

Hampir dua setengah jam kami menghabiskan malam Minggu di tempat ini, namun kurang dari separo hidangan yang tersedia yang kami ambil. Walau All You Can Eat, kami masih ingat sabda Kanjeng Rasul, "Makanlah selagi lapar, berhentilah sebelum kenyang." Alhamdulillah...

THE LAST DAY

Sebenarnya kita sudah sepakat hari Minggu istirahat di rumah saja. Entah mengapa, siang-siang ingin ke rumah adikku di Manyar Jaya. Sekalian makan siang. Jadi selepas dhuhur kamipun berangkat.

Tak jauh dari rumah adik ada steak house, Bon Ami. Nanti dari sana kami telepon dia, siapa tahu mau bergabung atau ingin dibawain sesuatu. Di perjalanan, terbersit pikiran jangan-jangan resto yang kami tuju tutup. Padahal perut sudah lapar-laparnya.

Ternyata benar. Bangunannya sedang direnovasi. Terpaksalah cari tempat lain kira-kira dua tiga km arah balik ke rumah. Sebenarnya banyak pilihan, tapi kami ke yang quick service aja. Primarasa Ayam Bakar.

Kami memilih gurami bakar, sambal pencit, tumis gingseng, dan sayur asam. Yummy semua, sayangnya terganggu dengan suara ribut anak-anak. Rupanya, orang tuanya kurang melihat dunia, mereka diam saja memandang anak-anaknya teriak tak karuan.

Kami menyegerakan makan siang yang terganggu. Dan buru-buru ke tempat adik. Alhamdulillah, bad mood tergantikan hidangan kopi Aceh Gayo. Tempat kerjanya lagi meluncurkan produk terbaru yang di-branded "Premium coffee of Indonesia", yang 100% biji kopi Arabica.

Beberapa jam kemudian di rumah, kita flash back jalan-jalan sepekan ini. Dua kali silaturahim, mencicipi kudapan yang paling murah hingga mahal, dari masakan rumahan, penyetan, Chinese food, European hingga Japanese. Walaupun meleset dari rencana semula, namun kami mensyukuri bisa menikmati jalan-jalan penghibur hati.

"Nice trip," ujar istriku menjelang tidur. "Thank you, darling, ujarnya kemudian." Aku menimpali, "Tentu biayanya lebih murah daripada kalau kita pergi Yogya. Tak apalah... kali ini 'Surabaya rasa Yogya...' ya..."

Kami tertawa sebelum benar-benar tertidur... (27:10:17)


(Catatan: Maaf... kali ini agak panjang. Aku hanya ingin berbagi, plesir berdua pasangan tak harus jauh dan mahal. Yang penting semangat kebersamaan. Selamat menjalin kebersamaan dengan pasangan masing-masing)

Minggu, 22 Oktober 2017

GADIS TIYINGTALI, NOVEL RUJUKAN


SELEPAS senja di rumahku, aku memberikan buku novel ini ke tamuku, Esthi Susanti Hudiono dan Erwin Poedjiono Tirtosari. Mereka Sosiawan yang juga peminat seni lukis. Aku pikir mereka tentu suka dengan novelku ini --yang bergendre seni lukis (2012). Ternyata benar, Esthi malah menyebut ini bukan sekadar novel, tapi juga novel rujukan. Syukurlah, satu (atau dua) lagi penggemar novelku...


NOVEL TENTANG DUNIA LUKIS
DARI MAS YULENG

Awalnya saya bermaksud baca novel terbaru Mas Yuleng "Menggapai Surga". Untuk ini saya ke rumah Mas Yuleng dan Mbak Nunung. Tak tahunya saya dan Erwin dapat hadiah novel berjudul "Gadis Tiyingtali".

Gadis Tiyingtali bercerita tentang dunia lukisan dan pelukis. Novel ini diberikan ke kami karena kami berurusan dengan pelukis dan lukisan sekarang.

Sehari saja novel ini selesai saya baca dengan teknik baca menikmati. Teknis membaca kata pertama sampai kata akhir. Sering saya baca dengan teknik baca kilat yang butuh waktu sekitar 1 jam.

Buku ini bagi saya tidak hanya novel hiburan tetapi novel rujukan untuk memahami hubungan pelukis dan kolektornya dengan pernak pernik yang ada.

Selain saya berminat mengenali jiwa manusia, saya juga berminat pada urusan relasi. Dugaan saya tidak salah kalau ada urusan serius dengan namanya ikatan batin antara pelukis dan kolektornya. Bagi saya pertanyaan:" Bagaimana ikatan batin itu bisa terjadi adalah penting dan selalu saya cari".#EsthiSusantiOh#Novel Gadis Tiyingtali.

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10210747200420906&id=1376597700

LAMPU REM NYALA SENDIRI



SETENGAH jam jelang subuh tadi telepon berdering. Adik iparku yang tinggal di rumah belakang memberitahu, lampu rem mobilku menyala.

Aku segera bergegas ke carport. Ternyata benar, tiga lampu rem menyala terang. Satu-satunya yang praktis aku lakukan, lepas kabel aki supaya strum tidak habis.

Seusai shalat subuh aku selancar ke internet. Mencari tahu penyebab lampu rem nyala dengan sendirinya. Macam-macam jawabannya. Umumnya mengarah pada bagian switcher rem.

Problemnya adalah, di mana letak switcher itu? Kalau di motor, mudah melacaknya. Tapi baiklah, paling tidak aku sudah mengenali penyakitnya.

Ketika matahari agak tinggi, aku periksa mobilku. Pertama-tama, aku lihat bagian lantai bawah kemudi. Aku mencurigai benda asing yang aku temukan, berupa karet bundar dan protolan material semacam plastik.

Karena mobilku kecil dan lantainya rendah, tentu menyulitkan posisiku untuk mengintip bagian bawah kemudi. Disitu terdapat pedal rem, dan aku mulai mengira-ngira letak switcher. Apalagi tadi aku temukan benda asing.

Maka aku ambil smartphone, dan mulailah merekam bagian bawah yang sempit itu. Dari hasil rekaman aku bisa mengetahui, di bagian atas pedal rem itulah terletak switcher.

Aku mulai menganalisa. Dibantu adikku, mencoba menekan switcher secara manual. Mempelajari cara kerjanya. Dan ketemulah, protolan yang jatuh ke lantai itu berfungsi sebagai bantalan.

Dhus kami selamatkan karet itu. Kami rakit kembali ke tempatnya. Dengan beberapa kali mencoba posisi, akhirnya switcher itu berfungsi. Lampu rem tak lagi menyala kecuali kalau pedal diinjak.

Aku terselamatkan lewat sedikit usaha. Andai tadi aku bawa ke bengkel, boleh jadi disarankan ganti switcher seharga Rp 225K. Ongkos pasang dll Rp 300K.

Belum lagi waktuku yang tersita di bengkel itu. Terlebih kalau mobil harus menginap. Itulah untungnya kalau kita mau usaha dulu sebelum menyerahkan ke orang lain... (22:10:17)

Senin, 16 Oktober 2017

UNDANGAN YANG MENJENGKELKAN



SUATU saat, seorang teman mengundang bertemu di sebuah kafe di Grand City. Katanya, ia ingin bicara tentang penerbitan buku. Karena aku sedikit banyak menguasai hal tersebut, ya okaylah aku setuju. Tepat pukul 13.00 sesuai dengan janji, aku sampai di kafe itu.

O... ternyata bukan aku saja yang ia undang. Ada lebih dari 15 orang, yang saat itu sedang foto bersama. Beberapa di antaranya malah menyapa aku, dan meminta untuk gabung. Aku agak lupa dengan mereka, tapi yakin teman yang mengundangku ada di antara mereka.

O... ternyata ini bukan awal pertemuan. Ini akhir, sebab setelah foto-fotoan selesai, mereka bubar. Termasuk teman yang mengundangku, berjalan meninggalkan kafe. Aku sempat dibuat bingung atas kelakuannya.

Aku mulai mengira-ira. Dia menghadiri pertemuan dengan teman-teman eks sekolahnya. Supaya praktis, ia mengundang aku ke tempat yang sama. Dan syukurlah aku datang di akhir pertemuan sehingga ia bisa segera memisahkan diri dari teman-temannya.

Tapi buat aku, ini hal yang kurang mengenakkan. Seolah aku mau gabung makan-makan gratis dengan mereka --yang mereka tahu aku tapi aku tidak tahu mereka. Dan syukurlah aku datang di akhir pertemuan sehingga kesan demikian tak perlu terjadi.

Sampai di luar kafe aku menanyakan, apa yang ingin ia bicarakan. Kami duduk di kursi tak jauh dari kafe tersebut --yang masih wilayah kafe itu. Ketika pelayan datang, tanpa basa-basi aku pesan kopi hitam. Dia tidak pesan apa-apa, dan langsung membayar pesananku.

Aku heran dengan kelakuannya. Sebagai pengundang, seharusnya ia bertindak sebagai tuan rumah yang baik. Tadi di awal kehadiranku, terus terang aku merasa salah tingkah. Seolah datang pada acara yang salah.

Dan sekarang aku ngopi sendiri, berbicara dengan tuan rumah yang rasanya ingin cepat-cepat pergi. Terus terang aku kehilangan simpati, dan sama sekali tidak mendengarkan apa yang ia bicarakan.

Aku menikmati kopi kendati seharusnya aku sruput setelah selesai makan siang. Bukankah undangan pukul 13.00 masih termasuk jam makan siang?

Well... pesan moral yang ingin aku sampaikan adalah, jadilah tuan rumah yang baik jika Anda mengundang seseorang. Jangan sekali-kali nebeng ke acara yang lain tanpa memberitahu terlebih dahulu. Hormatilah tamumu sebab itulah etikanya. Jika kamu tidak bisa melakukan ini semua, jangan sekali-kali mengundang temanmu.

Aku ucapkan selamat makan siang, dan jangan lupa sruputlah kopi hangat (16:10:17)

Jumat, 13 Oktober 2017

PRAY, EAT AND NGOPI


Keterangan foto: Suasana masjid baru yang cozy, nyaman untuk Jumatan maupun shalat fardhu.

TERNYATA Tunjungan Plaza luas banget. Setidaknya untuk ukuran dua kakek yang sedang bermuhibah ke mall di tengah kota Surabaya itu.

Dengan menggunakan city car, mereka dengan mudah menemukan tempat parkir di Tunjungan Plaza (selanjutnya kita sebut TP) 2. Dari tempat parkir langsung masuk mall, persis di lantai tempat Masjid Attawwabun berada.

Adzan baru saja dikumandangkan, jemaah di dalam sudah ber-shaf-shaf. Beruntung dua kakek ini mendapat tempat di shaf ketiga, di bagian paling ujung kanan. Agak jauh posisinya dari pintu masuk.

Terlambat sedikit, bakalan dapat shaf belakang. Shalat Jumat kali ini bukan main. Full house. Padahal masjidnya yang bersih dan dingin, dengan sound system yang bagus, cukup luas. Kira-kira bisa menampung 500-an orang.

Masjid ini relatif baru, menggantikan peran mushala yang terletak di lantai parkir paling atas di TP-3. Mushala lama dianggap terlalu kecil dan tidak representatif dibanding kemegahan kompleks Tunjungan Plaza. Bahkan ada yang mencibir, "masak mau bertemu Tuhan harus ke tempat parkir."

Sebagai gambaran, beberapa mall di Surabaya sudah terlebih dahulu menyiapkan mushala/masjid yang cukup bagus. Grand City bahkan memenangkan beberapa kali mushala terbaik. Royal Plaza juga membangun masjid dalam arti yang sesungguhnya kendati berada di zona parkir.

Usai shalat Jumat, mereka tak segera berlalu. Masih mampir lobi masjid, untuk minum dan bertemu Arifin BH, teman sejawat. Ia sedang mengantar tetangganya yang sudah sepuh, yang konon ingin merasakan shalat di Attawwabun. Tindakan yang cukup terpuji.


TAKUT KOLESTROL

Baru setelah lobi itu lengang, dan jemaah wanita berdatangan untuk shalat Dhuhur, kedua kakek ini beranjak ke TP-3. Tujuannya American Grill yang tempo hari tutup karena lokasinya direnovasi.

Ternyata blok itu sekarang dipakai sebuah Department Store. Tidak hanya American Grill, resto-resto lain di sekitarnya benar-benar tergusur. Mereka putuskan mencari XO Suki. Untuk menghemat waktu, bertanya ke Meja Penerangan.

Ternyata lokasinya di TP-4, lantai 5. Padahal mereka berada di Ground Floor TP-3. Wanita di Meja Penerangan menyarankan menggunakan lift saja, sambil menunjuk lokasinya. Rupanya ia bersimpati terhadap kedua kakek ini.

Dari pintu lift lantai 5, masih cukup jauh berjalan menuju resto tersebut. Tak apalah, mereka berdua ingin Peking Duck yang tersaji bersama mie lembut. Ada kuahnya yang cukup lezat, tapi bumbu taoco justru menambah semangat mengunyah daging bebek yang empuk itu.

Di sini, anggota jalan-jalan bertambah seorang. Anak muda yang awalnya janjian di masjid Attawwabun. Sayangnya, sisipan dan tidak bertemu. Toh akhirnya bergabung, tapi karena takut kolestrol ia memilih daging ayam. Si kakek terkekeh karena kolestrol baginya bukan masalah.

Dari sini mereka berpindah tempat, berniat ngopi. Mereka menemukan kedai yang cukup nyaman di TP-1, cukup jauh dari tempat makan namun mendekati tempat parkir.

Oya... rata-rata tempat ngopi memberi previllege bagi perokok. Tersedia ruang lebih luas berdinding kaca. Sementara yang non-rokok, cukuplah di serambi bercampur lalu lalang orang di mall. Duh banget!

Sementara yang mereka datangi masih lebih sopan. Justru bagi perokok cukuplah "akuarium" kecil di ujung ruang. Sementara yang lebih luas dan terbuka berada di bagian depan untuk tamu umum.

Pesanan black coffee segera terhidang. Begitu pula capucino latte. Sayang ketela kejunya sold out. Sebagai gantinya kentang keju. Mereka bicara tentang tren penerbitan dan masa depan toko buku. Maklum sang kakek seorang author, si anak muda bergerak di bidang penerbitan.

Ketika kakek tua kembali bergabung --dia tadi izin bertemu seseorang sebentar-- topik pembicaraan lain lagi. Soal berita yang dimuat di koran akhir-akhir ini. Juga tren kembalinya suratkabar dalam format yang lebih kecil di luar negeri. Konon tren ini nanti juga masuk Indonesia.

Tak terasa jarum jam menunjukkan angka lima. Si anak muda sudah dua jam lalu pamit. Si kakek tua mengajak pulang. Sementara si kakek muda mengingatkan, waktunya nanggung --sebentar lagi magrib dan tentu di luar sana macet.

Karena si kakek tua bersikeras kepala, yang muda bertoleransi. Benar, begitu keluar Tunjungan Plaza, jalanan macet. Mengular di lajur kanan, dan berhenti di ujungnya. Kakek muda lebih suka mengambil jalan memutar yang terasa lebih lengang.

Magrib baru saja datang mereka masih di jalan. Jangan-jangan masuk isya barulah sampai tujuan --yang jaraknya cuma 7km. Lalu lintas sore itu memang padat-padatnya. Di tengah merambatnya kendaraan, si tua mengaku, "feeling Anda benar. Mestinya tadi Anda bertahan pada argumentasi," ujarnya bernada membela diri.

"Aku hanya bertoleransi pada kawan, walau kemauannya ngga bener-bener amat," ujar si muda sambil tersenyum. Keduanya lantas tertawa... kedua kakek menikmati Jumat indah, antara ibadah dan hangout... (13:10:17)

Selasa, 10 Oktober 2017

TELEPONNYA AQUA, URUSAN BERES



SAYA pagi tadi membaca tulisan di Facebook dari rekan saya, Sutan Kasidhal, SE, yang baru saja terpilih sebagai Ketum GARANSI, di Jakarta. "Alhamdullilah dan syukurillah..., berkat bantuan sochiebku, Aqua Dwipayana, semalam, maka pagi ini bisa berangkat dengan mulus tanpa tambahan biaya..."

Rupanya ia semalam (Senin, 09/10) ketinggalan pesawat Garuda yang akan menerbangkan dari Jakarta ke Surabaya. Walau ia mengaku hanya terlambat 5-10 menit, faktanya ya memang melebihi waktu yang sudah ditentukan oleh pihak maskapai.

Tentu ia tidak mau diam begitu saja, mencoba complain dan berdebat panjang dengan pihak manajemen Garuda. Ada alasan yang ia kemukakan, antara lain harus berlari ke gate 16 yang jaraknya cukup jauh. Dan keterlambatannya, menurut dia, hanyalah beberapa menit.

Rupanya pihak Garuda bersikeras. Sutan Kasidhal tidak bisa terbang dengan Garuda pada malam itu. Kalau mau terbang, ya esok hari dengan tambahan biaya tentunya. Sutan yang berperawakan besar lemaslah sudah.

Sampai kemudian ia teringat dengan Aqua Dwipayana, yang dikenalnya ketika kami dari Khalifah-10 mengadakan muhibah ke Jogja tempo hari. Oleh Aqua kami dijamu sebagai tamunya, tinggal di huniannya tak jauh dari kampus UGM. Sutan segera menghubungi Aqua lewat telepon untuk meminta tolong.

"Barakolloh... memang betul, saya sendiri merasakan kepiawaian beliau dalam menyelesaikan permasalahan.  Hanya dalam kurun waktu tujuh menit, permasalahan selesai dengan happy ending..." ujarnya.

Padahal sebelumnya, ia membutuhkan waktu hampir duapuluh menitan untuk berdebat dengan petugas Garuda, tanpa bisa menyelesaikan persoalan secara win-win solution...

Di tangan Aqua Dwipayana, Sang Motivator, persoalan beres. Sutan bisa terbang dengan Garuda esok hari tanpa harus mengeluarkan tambahan biaya. Hanya saja, ia harus mencari hotel di dekat-dekat bandara kalau tak ingin begadang semalaman di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta.

"Yg paling berharga buat saya, karena beliau, bertambah lagi sahabat saya, Mas Bondan selaku Duty Manager Garuda Indonesia di bandara Soekarno Hatta," ujar Sutan Kasidhal.

Mengenai Aqua, Sutan dengan tulus mengatakan, memang tepatlah kalau pria itu disebut sebagai Motivator HEBAT dan ULUNG. "Jadi bukan HEBAT saja, tapi juga ULUNG dalam menyelesaikan persoalan," tambahnya.

"Sekali lagi saya ucapkan terima kasih dan syukron buat saudaraku Aqua Dwipayana yang telah memberi pelajaran kepada saya bahwa bagaimanapun emosi tidak akan menyelesaikan permasalahan yang kita hadapi..." ujar Sutan akhirnya. (Yuleng Ben Tallar)

NENEK-NENEK TAPI TAMPAK MUDA



AKU memanggilnya Yuk An. Entah nama panjangnya. Dia dulu tetanggaku, persis di kiri rumah. Bagi kami, Yuk An bukanlah orang lain. Apa yang ia masak --dan baunya nyampai ke rumah-- aku selalu kebagian. Maklum aku suka teriak dari balik pagar, "Masak apa Yuk..."

Anak-anaknya juga familiar dengan kami. Tak sungkan-sungkan memanen buah sawo yang pohonnya mepet ke atap rumahnya. Dari kamar tidurku aku bisa melihat mereka menghitung hasil jarahannya... ha-ha-ha.

Siang tadi Yuk An datang ke rumah dan langsung masuk ke ruang tamu yang pintunya sengaja aku biarkan terbuka. Aku bekerja di ruang tamu sebelah, dan kaget dengar suara, "Assalamualaikum... mau minta makan..."

Subhanallah... Aku berlari menyambutnya, mencium tangannya. Nenek ini masih tampak segar, dengan suara yang tetap lantang. Ya... nenek, walau aku memanggilnya Yuk. Cucunya lebih dari sepuluh (tadi ia menyebut tapi aku lupa). Dan cicitnya, tiga!

Dalam usia 80-an, kerap orang mengira ia masih 60-an. Dan alhamdulillah... ketika siang tadi aku foto bersamanya, wajahku juga menjadi jauh lebih muda (hehehe... maksain ye...)

Tentu aku gembira disambangi Yuk An. Tapi juga sedih mendengar cerita tentang kepergian Zon Dasoma, anak ragilnya. Zon pernah ikut aku kerja di Surabaya Post sebagai art designer.

Kehadiran Yuk An di Surabaya dalam kaitan pulang dari Jakarta ke Mataram. Ia sempat-sempatkan mampir rumahku --aku terbilang yang termuda yang ia kenal di kompleksku-- dan ke rumah Ibu Oemijono, yang paling sepuh di sini.

Aku salut dengan semangat silaturahimnya... dan mungkin itu yang membuatnya tampak tetap muda, dan seger waras... Terima kasih Yuk An... siang yang membahagiakanku... (10:10:17)

Minggu, 08 Oktober 2017

JADI TEMPAT RAPAT ROH JAHAT


Keterangan: Foto ilustrasi saja

"MA... soto itu dibuang saja," ujar Andre sore itu. Dewi tentu saja kaget. Soto ayam masih sepanci, dan baru dibuatnya pagi tadi. Sekarang anaknya dengan wajah serius meminta membuangnya. Ada apa?

"Tadi aku lihat Arek'e obok-obok... Aku ngga mau makan itu, jijik...," sambung Andre. Yang dimaksud "Arek'e" (anaknya) adalah "teman" Andre dari dunia roh halus.

Halah... hari gini masih ada roh halus? Ya sudah, kalau ngga percaya, stop baca sampai di sini. Tapi kalau percaya, yuk dengar kisah-kisah lain dari Andre, anak usia belasan yang bisa melihat "dunia lain".

Tapi ada baiknya aku selesaikan dulu cerita soto diobok-obok itu. Akhirnya, si mama memang menuruti kata Andre. Soto ayam dibuang, dan ia menyiapkan masakan baru untuk makan malam nanti.

"Makanya Ma..., makanan mesti ditutup. Kalau ditutup, Arek'e ngga bisa obok-obok. Tadi sudah aku tegur... tapi tertawa saja dianya..."

Siapa Arek'e? Dia pribadi kecil yang bersahabat dengan Andre. Dia enggan kumpul dengan pribadi-pribadi serupa yang suka jahat dengan manusia. Waktu Dewi menceritakan ini, aku membayangkan seperti Casper. Tapi Dewi bilang, bukan Casper-casper amat lah...

PINDAH RUMAH

Andre sendiri sejak kecil punya kelebihan bisa melihat dunia lain. Tapi ia mengaku, tak terlalu menyukai kelebihannya itu. Ia lebih sering hanya melihat dengan sudut matanya saja sebab semua itu sungguh mengerikan. Sejatinya, ia tak suka bisa melihat yang seperti itu.

Andre rupanya punya bakat turunan. Neneknya, juga bisa melihat, tapi cenderung diam atas kelebihannya itu. Ibunya hanya dapat cerita-cerita serem dari kakak-kakaknya. Tapi dia sendiri tidak bisa "melihat".

Saat mereka tinggal di Rungkut Harapan, halaman belakang rumahnya jadi tempat berkumpul roh halus. "Tempat rapat...," kata Andre.

Dan kebetulan, mereka adalah roh-roh jahat. Itu menurut Arek'e. Oleh sebab itu, dia menyarankan menjual saja rumah itu, dan pindah ke lain tempat.

Awalnya, Dewi kurang meyakini. Tapi lama kelamaan karena Andre terus mendesak, mereka melakukannya. Rumah dijual, dan pindah ke daerah Semolowaru. Dia pikir, dengan begitu selesailah hubungan dengan roh halus.

Ternyata Arek'e ikut. Memang di tempat baru relatif bersih. Apa boleh buat, kalau cuma si kecil itu, biarlah. Paling hanya gangguan-gangguan kecil yang dilakukan... Benarkah begitu? Nanti dulu...

Suatu ketika, Dewi ditagih langganan pulsa. Keluarga ini memang biasa beli pulsa, nanti bayarnya di akhir bulan. Ia agak kaget karena tagihan kali ini tidak seperti biasanya. Maka dilakukan check and recheck.

Ada dua kali SMS masuk ke tukang pulsa dengan nominal 100K. Di luar kebiasaan. Biasa paling banter mereka minta 25K.

"Wah... pasti ini ulah Arek'e," kata si Andre sambil uring-uringan...

Lain waktu, ada saudara dari Jakarta yang menginap di keluarga ini. Waktu pulang, belum sampai Bandara Juanda, dia telepon menanyakan apakah smartphone-nya tertinggal di sana. Dewi berusaha mencari, dan tidak berhasil menemukan.

Waktu Andre ditanya, juga menggeleng. Namun segera anak ini ingat kelakuan Arek'e. Maka dicarilah si Casper ini. Singkat cerita, setelah main interogasi segala, mengakulah Arek'e telah mengambil smartphone tadi. Ia sembunyikan di antara springbed.

"Pantes... dari tadi dibel ngga terdengar suaranya," gumam Dewi, setelah dengan susah payah mengangkat kasur dan menemukan smartphone tergeletak di sana.

Penasaran dengan cerita ini? Awalnya Dewi pun demikian. Dia pikir anaknya berkhayal. Sampai suatu ketika saat ia mengantar sekolah menggunakan sepeda motor. Ia mengingatkan Andre agar jangan goyang-goyang terus. Andre pun menjawab... "Bukan aku, Ma. Arek'e iki lho..."

Awalnya Dewi setengah-setengah ngga percaya. Tapi lama-kelamaan ia bisa membedakan apakah yang di belakang itu Andre sendirian atau Arek'e ikut serta.

"Dari beratnya... dan pokoknya kalau Arek'e ikut, suka goyang-goyang..." ujar Dewi.

Ia sendiri tidak pernah melihat, dan tidak mau bisa melihat. Biarkan Andre saja, yang ia yakini dengan bertambahnya usia kemampuan itu akan sirna. Benarkah begitu? (7:10:17)

Senin, 02 Oktober 2017

MODEL DAN FOTOGRAFER



ADA dua hal yang aku suka pada foto ini. Yang pertama, tentu saja modelnya cantik banget walau dengan aksesori sederhana.

Dan yang kedua, fotografernya sangat okay dengan angle demikian. Ini posisi yang susah sebab melawan sinar dari belakang. Tapi toh justru menimbulkan kesan romantis.

Mereka berdua sangat kucinta. Si model anak bungsuku, si fotografer belahan jiwaku... Alhamdulillah (02:10:17)