Minggu, 25 Juni 2017

LEBARAN, DILIPATKAN SEPULUH KALI LIPAT!



Keterangan Foto: Bersama adikku, Arief Rejasa dan adik-adik iparku Tutty Mulia dan Mamiek Kandir, beserta keluarga. Sayang kedua kakak perempuanku, Indri Karani dan Ida Rossini Priambodo tidak hadir.


ANAK, mantu dan cucuku hanya enam. Mereka tak selalu berlebaran bareng di hunianku. Alasannya, gantian dong ama besan-besanku.

Selain itu lebih nyaman bertemu bukan di hari raya. Transportasi tidak sulit, dan kemana-mana di Surabaya juga ngga "nggilani" seperti sekarang. Mall padat, restoran penuh, cari makan sulit...

Toh komunikasi cukup lancar. Si abang pagi-pagi sudah menelepon. Kami juga lihat foto anak istrinya di WhatsApp "Family". Senyum mereka mengembang, seolah benar-benar berada di dekat kami.

Agak siangan, adiknya video-call. Tampak wajah sumringah di layar telepon pintar. Suaminya gemukan --rupanya sudah ngga stres ikut Jepang. Anaknya ikut nongol di sela-sela mereka. Kita pun ngobrol penuh canda.

Pendek kata, silaturahim keluarga bisa tetap berjalan kendati kita dipisahkan jarak bermil-mil. Si abang di Pekanbaru, si adik di Depok. Alhamdulillah.

Lalu sepikah rumah yang kami tinggali berdua? Belum satu jam bubaran salat Ied, tetangga depan rumah sudah bertandang. Suami istri, anak menantu, dan keponakan. Semuanya tujuh orang.

Kami ngobrol sambil sarapan. Sebagai tetangga terdekat, tentu banyak tahu soal kehidupan masing-masing. Termasuk gangguan "tetangga halus" yang makin kerap terjadi terakhir ini.

Di tengah gayengnya ngobrol (nanti soal "tetangga halus" aku tulis tersendiri ya), datang tetangga lainnya dari belakang rumah.

Ada dua rombongan. Yang satu saudara ipar terdiri atas dua orang, satunya lagi tujuh orang. Mereka masing-masing membawa dua balita.

Tak lama kemudian rombongan pertama pulang, "digantikan" rombongan keempat dari gang di seberang sungai. Mereka hanya bertiga.

Lalu saudara lainnya datang dari Sidoarjo. Mereka terdiri atas suami istri dan kedua anaknya yang terbilang remaja. Makin meriahlah sarapan bersama pagi itu.

Ada yang memilih gulai daging, opor ayam, atau adun. Yang terakhir itu masakan khas Madura, berbahan ayam jago. Walau jago --tua lagi-- tapi ngga alot lho! Itulah hebatnya adun!

Mereka bisa memilih nasi putih atau lontong. Minumnya Aqua gelas --supaya nyonya rumah ngga repot cuci-cuci. Maklumlah kami tidak punya asisten rumah tangga.

Jelang siang, adikku datang bersama anak menantu dan adik iparnya. Total mereka tujuh orang. Kita ngobrol, dan seperti biasa membuat "dokumentasi Lebaran". Sayang adik kami satunya sudah berpulang awal Ramadhan ini. Al Fatihah.

Kami juga makan siang bersama, dengan menu yang masih sama. Mereka nyaris tak percaya masakan itu disiapkan seorang diri oleh nyonya rumah --kecuali adun yang pesan ke orang.

Kalau ada peran-sertaku, hanyalah mengantar belanja ke pasar sehari sebelumnya --saat harga-harga sudah tinggi melayang.

Belum lagi mereka pulang, ada koordinator tim sukses istriku yang datang bersama anak istrinya. Mereka berlima, menolak tawaran makan siang.

"Sudah kenyang... dari pagi makan melulu," ujarnya dengan logat Madura. Ia tetap menolak walau istriku menjelaskan, ini bukan menu adun buatan istrinya.

CUCI RAME-RAME

Baru selepas tengah hari... seluruh tamu pulang. Aku sempatkan tidur, demikian pula istriku. Lumayan nyenyak, sampai kita terbangun jelang ashar.

Bukan karena adzan masjid dekat lapangan, namun dentang bel pintu pagar depan. Kali ini tamu kami mencatat "rekor" tersendiri dalam hal jumlah!

Adik iparku datang bersama anak, menantu dan cucunya, dengan total jenderal 20 orang! Inipun minus dua anak, menantu, dan cucunya yang lain, yang berhalangan hadir.

Mereka juga makan rame-rame, untungnya rame-rame pula membantu membersihkan piring berikut sendok garpunya.

Ketika mempersiapkan makan malam, iseng-iseng menghitung berapa orang yang datang ke hunian kami sepanjang 1 Syawal 1438 ini?

Tercatat 59 orang! Plus seorang satpamku yang pagi itu pamitan mudik. Alhamdulillah... Keenam anak, menantu dan cucuku yang tidak bisa hadir, dilipatgandakan menjadi 60 tamuku. Sepuluh kali lipat! Allah telah membahagiakan kami di hari yang Fitri ini melalui silahturahim.

Malam ini, kami kembali berdua, mensyukuri nikmat-Nya. Lebaran betul-betul lewat hunian kami. Semoga yang hadir tadi mendapat kebahagiaan, dimudahkan rezekinya, dan dalam keadaan seger waras selalu.
Amin ya rabbal alamin.
(25:06:17)


Selasa, 20 Juni 2017

BUKA BERSAMA DAHLAN ISKAN



Keterangan foto: Dari ki-ka, Ali Salim, aku, Nafsiah Dahlan, Yousri Raja Agam, Dahlan Iskan, Yamin Akhmad, Amang Mawardi. Di kursi roda, Agus Samiadji,


BUKA puasa bersama wartawan senior Surabaya, dengan host Dahlan Iskan. Ya ibadah, ya silaturahim, ya reuni, in sha Allah memperpanjang usia. Amin ya rabbal alamin.

Tentu menyenangkan bertemu teman lama yang jarang-jarang jumpa, seperti Imawan Mashuri, Dhimam Abror, Djoko Tetuko, dan beberapa lainnya --yang aku ingat orangnya tapi lupa namanya (maaf saking lamanya tak jumpa). Juga disapa oleh istri Moenif yang sudah lama sekali tidak bertemu.

Sempat juga say hello dengan Djoko Pitono, Sirikit Syah dan suami yang senja itu mengenakan blangkon. Memang agak aneh, di kalangan hadirin yang hampir semuanya bersongkok atau pici haji warna putih. Maklumlah, dia seniman.

Ups... aku ternyata tidak mengenakan tutup kepala. Lupakah? Ya tidak, rambutku kan sudah putih semua, lantas apa beda dengan topi wak haji yang juga putih?

Foto bersama? Pastilah, para manula itu saling berebut foto bersama. Tak ubahnya seperti mereka yang muda-muda. Tadinya hanya ingin foto berdua, tiba-tiba satu persatu lainnya nimbrung. Jadilah gerombolan.

Beruntung saat kita berfoto dengan tuan dan nyonya rumah, yang lainnya sudah kecapekan...Di sini tampak berjejer Ali Salim, aku, mbakyu Nafsiah, Yousri Raja Agam, Dahlan Iskan, Yamin Akhmad, dan Amang Mawardi. Sedang yang duduk di kursi roda adalah Mas Agus Samiadji, yang paling sepuh di antara kami.

Aku sudah lama juga tidak bertemu mbakyu Nafsiah, alhamdulillah beliau sehat, dan sudah bisa berjalan normal seperti sedia kala. Malah sebagai nyonya rumah, ramah menyapa ke sana ke mari.

Tamu lain yang surprise juga bertemu di sini adalah Aqua Dwipayana, motivator nasional yang berjargon "Dahsyatnya Silaturahim".

Ia yang juga mantan wartawan Suara Indonesia dan pernah pula bergabung di Jawa Pos, menyalami aku sambil bercerita begini: "Tadi Pak Yuleng datang, ibu-ibu di belakang terdengar menyebut 'mas Yuleng... mas Yuleng...' Rupanya bapak cukup bekend di kalangan ibu-ibu..."

Duh... bisa aja, pikirku sambil tersipu malu. Memang aku datang agak terlambat, di saat Prof. Dr. H. Ali Azis menyampaikan kultum jelang buka puasa.

Nah, aku bersama Ali Salim dan Toto Sonata masuk dari arah belakang ustad Azis --yang tentunya para hadirin bisa mengetahui kehadiran kami. Tapi alhamdulillah, masih ada yang mengingat aku. Itulah pentingnya silaturahim. (20:06:17)

Rabu, 14 Juni 2017

KETIKA PENGHULU DIDEBAT



MELIHAT VW Beetle berhias bunga membuat kenanganku melalang jauh ke masa muda. Persisnya pada 14 Juni, 44 tahun silam. Aku tercenung di teras depan tatkala beberapa saat sebelumnya papa bertanya, "Kamu nanti naik apa?"

Pilihanku hanya satu, Volkswagen 1600 TL sport yang biasa aku tunggangi. Memang bentuknya beda banget dengan Si Beetle, namun sama-sama dua pintu. Aku harus naik itu, dan mengemudikannya sendiri? Atau meminjam sopir papa, lalu aku duduk di belakang?

Duh repot! Itu yang membuatku tercenung memikirkannya. Karena pagi itu aku akan pergi untuk menikah. Yang tadinya hanya mengenakan pakaian biasa, tiba-tiba datang perias yang membuatku berpakaian Jawa lengkap blangkon dan keris.

Terbayang kan, bagaimana bisa aku mengemudi sendiri dengan keris di pinggang? Kalau pun dengan sopir, dan aku duduk di belakang, juga repot untuk masuk dari pintu depan. Dengan pakaian casual saja repot, apalagi ini pakai kain panjang dengan keris segala.

Di tengah kebingunganku, papa menepuk pundakku dari belakang. "Nanti pergi pakai mobil papa saja, sama Pak Idris," ujarnya. Pak Idris adalah sopir papa yang pada gilirannya nanti ikut aku sampai dia benar-benar tak mampu lagi mengemudi.

Aku tersenyum. Dalam hati aku membatin, mengapa tak sedari tadi. Namun setelahnya aku tersadar, ini pengalaman pertama papaku, juga pengalaman pertama aku. Tentu ada gelisah sehingga berpikir logis tak begitu saja datang.

MENYELA

Persoalan pertama selesai. Aku akhirnya berangkat pakai mobil papa, diiringi kakak tertuaku, oom dan tante mamaku, dan para sepuh di mobil-mobil yang lain. Pagi itu aku menghadap penghulu yang dipanggil ke rumah bakal mertuaku.

Singkat kata, pak penghulu meminta aku mengikuti kata-katanya. Tentu sebelumnya aku diingatkan, bahwa aku dalam keadaan bersumpah di bawah Al Quran. Sampai pada kata-kata, "... tidak akan meninggalkannya...," segera saja aku memotong ucapan sang penghulu.

"Lha kalau saya harus pergi dinas ke luar kota, bagaimana?" Penghulu tercengang memandangiku. Demikian pula bakal mertuaku berikut keluarga besarnya. Kakek dan nenekku, juga para sepuh lainnya, tak kurang kagetnya. Baru kali ini ada ucapan penghulu disela, begitu kira-kira yang ada di pikiran mereka.

Aku tegang, walau merasa benar. Untung pak penghulu segera mencairkan suasana. "Kalau perginya seizin istri, ya ngga apa-apa," ucapnya. Dan aku pun membalas, "Kalau begitu redaksinya diubah, '...tidak akan meninggalkan kecuali seizinnya'...," ujarku serius.

Kontan seruangan tertawa. Bahkan ada yang terpingkal. Pak penghulu memang arif, ia pun menyetujui walau sedikit keluar dari pakem. Maka ijab kabul pun diulang dengan sumpah yang aku maui.

Setelah urusan ritual selesai, dan para tamu menyalamiku, kakak iparku berbisik di telingaku. "Baru kali ini ada calon pengantin mendebat!"

Dalam hati aku juga geli, maklumlah ini pengalaman pertama --dan terakhir. Hari ini, empat puluh empat tahun lalu, masih tetap kuingat peristiwa itu. (14:06:2017)

Senin, 12 Juni 2017

BUKA DAN BUKA LAGI BERSAMA FEUA '73





Keterangan foto: Buka puasa yang kali ketiga di Ramadhan 2017. Silaturahim di bulan penuh berkah, nikmatnya berbagi...


BUKA puasa bersama biasanya hanya dilakukan sekali dan dianggap sebagai ajang temu kangen sekaligus silaturahim.

Namun tidak demikian dengan Angkatan '73 Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga. Senin 12 Juni adalah buka puasa bersama kali ketiga yang diselenggarakan pada  Ramadhan tahun ini.

Dalam pertemuan kemarin, dari 30 anggota yang tergabung dalam grup WhatsApp, 19 di antaranya menyatakan akan hadir. Sisanya berhalangan sebab tinggal di luar kota, antara lain di Jakarta, Bandung, dan Sumenep.

Peserta dari acara ke acara relatif sama, antara 15 - 20 orang. Bisa dibayangkan betapa guyup mereka mengisi bulan puasa penuh berkah kali ini.

Buka puasa yang pertama diselenggarakan di Restoran Sederhana Masakan Padang dengan host Mulyanto Muchdi. Yang kedua di Ikan Bakar Cianjur, dengan nyonya rumah Erna Herawati yang khusus datang dari Jakarta.

Sedang yang kemarin, di RM Larazeta --dengan menu khas Timur Tengah-- atas undangan tuan rumah Wibisono yang kerap dipanggil Sonny.

Dengar-dengar, anggota yang berada di Jakarta juga akan mengadakan acara serupa. Syukur-syukur kalau mereka yang di Bandung bisa ikut bergabung.

Bagaimana kelompok ini bisa begitu kompak, bukan tiba-tiba terjadi pada Ramadhan kali ini. Mereka sering mengadakan pertemuan, bahkan mengagendakan plesir bareng ke luar kota --rencananya tahun ini ke Banyuwangi.

Tentu saja juga guyub di WhatsApp yang nyaris "mempertemukan" mereka setiap hari.

Apakah buka puasa akan terus berlanjut, entahlah. Yang jelas in sha Allah akan ditutup dengan halal bihalal seusai lebaran nanti.

Itulah manfaat silaturahim, menjalin rasa persahabatan dari waktu ke waktu. Bravo FEUA '73. (12:06:17)


LANSIA MELEPAS RINDU

BUKA puasa bersama sebenarnya "alasan" saja bagi teman-temanku. Rasanya, di dalam lubuk hatinya yang terdalam, terdapat keinginan bersilaturahim antar-teman semasih berkuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga (FEUA) empat puluh empat tahun lampau, 1973.

Memang tak semua bisa hadir sebab terpisah domisili, atau masih ada kesibukan lain. Kendati demikian, 17 orang bisa hadir atas undangan tuan rumah, Cak Muljanto Moechdi, di Restoran Sederhana Masakan Padang.

Pembicaraan cukup ganyeng, di antaranya pmengenai kehidupan ini. Ada yang lagi senang-senangnya mengasuh cucu, hidup tinggal berdua (seperti aku, anak-anak sudah berkarier di luar sana), atau bahkan hidup sendirian karena suami sudah meninggal dunia.

Maklumlah, kami semua sudah di atas 60 tahun, lansia! Indahnya berbagi, indahnya silaturahmi --di bulan penuh berkah lagi...

Keterangan foto: Makan bareng di RM Sederhana (atas), dan di ikan bakar Cianjur (bawah)




Kamis, 08 Juni 2017

TIMBALAH ILMU HINGGA KE NEGERI ORANG


NUNUNG BAKHTIAR

AKU masih sangat muda ketika menikah dulu. Dan pada usia muda itu pula aku memberi kesempatan istriku untuk melihat dunia.

Karena aku tidak bisa meninggalkan kantor sembarangan, maka aku anjurkan dia mencari teman bepergian.

Kebetulan ada Tante Suryadharma --teman arisannya-- mengajak jalan bareng ke Singapura. Karena aku juga kenal beliau, maka aku titip-titipkan.

Mengapa ke luar negeri aku pikir penting pada saat itu? Memang penting, sebab dengan tahu negeri orang maka bertambahlah wawasannya.

Aku sudah membuktikan karena pernah tinggal di negeri orang untuk beberapa tahun. Kebetulan orientasi negeri itu lebih condong ke Amerika Serikat. Dhus aku bisa tahu pula warna Amerika di negeri Asia.

Apa dampak dorongan ke istriku itu kemudian? Ia lebih percaya diri. Self confidence-nya lebih mantap. Kepergiannya yang pertama disusul kepergian-kepergian lainnya. Baik in-group maupun sendiri.

Dan itu semua tanpa dampinganku. Sebab, lagi-lagi aku tidak mungkin meninggalkan kerjaan begitu saja. Sementara kalau aku ke luar negeri, tak mungkin mengajaknya. Juga karena kepergianku untuk urusan pekerjaan semata.

Kami baru sempat pergi berduaan 23 tahun kemudian. Itupun berkaitan dengan ibadah haji. Selama 35 hari kami berada di Arab Saudi.

Namun ada saja yang mengkritik jalan pikiranku. Apa tidak takut kesempatan itu disalahgunakan? Aku sempat tercenung. Apalagi kritikan itu datang pada saat awal-awal dulu. Saat usia kami masih relatif muda.

Namun aku tetap yakin manfaat lebih banyak dari mudarat. Soal penyalahgunaan tak harus ke luar negeri kan, kalau watak sudah buruk di dalam negeri pun bisa, pikirku.

Yang jelas apa yang kami tempuh dulu, ada manfaat setelahnya. Istriku tak gagap negeri orang. Ngga kagetan, ngga shock-culture, ngga nggumunan, merasa biasa saja berhadapan dengan orang asing.

Kemandiriannya di negeri orang bahkan melebihi diriku. Mungkin karena dulu aku selalu dilayani, baik oleh petugas travel atau pejabat-pejabat di luar sana yang mengundangku. Sementara dia jalan sendiri.

Sekarang, dia justru ke luar negeri dengan fasilitas seperti aku dahulu. Bahkan boleh jadi lebih dari itu. Aku bangga. Sesuatu yang mungkin tidak seperti ini andai dulu aku tak memberinya dorongan untuk kenal dunia.

Itulah pentingnya kesempatan, wawasan, dan trust! (Yuleng Ben Tallar)

Foto: Nunung Bakhtiar, awal musim semi 2017, di Frankfurt, Jerman.

Kamis, 01 Juni 2017

DIANA DAN UCI PULANG KE RAHMATULLAH


Ketika kami masih berlima (bawah), dan saat kami kehilangan adik kami yang terkecil...




DIANA.
Mereka yang terbilang anak gaul di Surabaya tahun 70-an, pasti kenal gadis ini. Paling tidak, melalui suaranya di Radio Komunikasi Antar-penduduk, atau Citizen Band (CB), dengan breaker-breaker-nya. 

Yah, Diana salah satu si suara merdu yang dikenal di kalangan Juliet Tango Romeo (JTR) --perkumpulan anak-anak CB-er Jawa Timur yang berpusat di Surabaya.

Aku sendiri kenalnya ya di radio. Usia Diana jauh di bawahku, namun di radio kita "menjadi" sepantaran. Itu sebab kami cepat akrab satu dengan yang lain, terlebih kemudian ada kopi-darat. Siapapun setuju Diana anak yang cantik, boleh dibilang kembang di JTR.

Kalau kemudian ada CB-er Kota Kembang kepincut, ya ngga menyalahkan. Adalah IQ (yang kemudian kita kenal sebagai Iqbal) yang berhasil mendekati Diana di Radio, dan akhirnya menikahinya di darat. Oleh sebab itu nama perempuan ini  kemudian menjadi Diana Iqbal.

Aku pernah datang ke rumah mereka semasih tinggal di Pakar, Dago. Rumah yang banyak kacanya itu menghadap kota Bandung. Ketika malam tiba, terasa senyap dengan gemerlap lampu dari arah perkotaan. Mengingatkan aku dengan suasana di Eropa sana. Romantis.

Suami istri ini bahagia sepanjang masa. Sampai akhirnya, pada Rabu, 31 Mei 2017, Acmed Iqbal berduka. Banyak kawan-kawan eks JTR yang juga berduka. Aku pun sebangun tidur kaget bukan main. Sekaget teman-teman yang lain. Diana meninggalkan kita semua pagi setelah subuh, di Jakarta.

Empat bulan lalu Diana mengajak pindah ibunya dari Surabaya ke Jakarta. "Aku tidak ingin ditinggal Ibu tanpa berada di sampingnya," ujar Diana seperti ditirukan Paramita, juga anak JTR. Ternyata, makna ucapan itu justru berbalik subyek.

Diana meninggal dunia setelah ia merasa "masuk angin" dan dikerok. Di hadapan Sang Bunda ia memohon agar diikhlaskan sebab dirinya juga sudah ikhlas meninggalkan dunia ini.

PINDAH APARTEMEN

Kalau pagi hari aku kaget karena kepulangan Diana, siang sehabis lohor aku kembali kaget. Kali ini justru adik kandungku, Taufik Andhika Hidayat yang lazim dipanggil Uci, berpulang ke rahmatullah. Ia anak JTR, teman Diana juga.

Kaget karena ketika aku undang makan siang terakhir sebelum Ramadhan, ia masih sehat-sehat saja. Beberapa bulan yang lalu memang ia sempat sakit, dan berobat. Namun terakhir ini kami tidak mendengar ada keluhan mengenai penyakitnya. Justru ia memprihatinkan penyakit yang mendera diriku.

Aku segera bergegas ke rumah duka, sekitar delapan kilometer dari hunianku. Uci aku temui terbujur di atas tempat tidurnya, dalam posisi tersenyum. Wajahnya begitu ikhlas meninggalkan kita semua.

Dari teman istrinya, aku dengar kisah yang mungkin menjadi pertanda takdirnya. Dalam mimpi --yang berulang sampai dua kali-- Uci mengatakan segera pindah tempat tinggal, yakni ke sebuah apartemen di lantai 16.

Ketika akan meninggalkan apartemen, mereka harus ke  lantai-atap, di mana helikopter sedang menunggu. Ya ngga perlu didebat, namanya juga mimpi. Ternyata selang tak begitu lama, justru mimpi itulah yang menjadi tanda-tanda kepulangannya.

Ia dimakamkan di dekat makam adik ipar istriku --sesuai keinginan Uci yang disampaikan kepada satpam kompleks beberapa hari sebelum meninggal dunia. Kami mengantar ke pusaranya pada tanggal 1-6... Rupanya itulah makna apartemen lantai 16!

Diana dan Uci, CB-er Kota Pahlawan. Selamat jalan kalian, semoga di tujuanmu nanti Allah memberi tempat yang layak di sisi-Nya. 73-88, Cherio Bye Bye. (01:06:17)




Saat tahun baru 2016 kami masih lengkap (atas), dan tahun baru 2018 tanpa kehadiran Uci. Alfatihah.