Kamis, 01 Juni 2017

DIANA DAN UCI PULANG KE RAHMATULLAH


Ketika kami masih berlima (bawah), dan saat kami kehilangan adik kami yang terkecil...




DIANA.
Mereka yang terbilang anak gaul di Surabaya tahun 70-an, pasti kenal gadis ini. Paling tidak, melalui suaranya di Radio Komunikasi Antar-penduduk, atau Citizen Band (CB), dengan breaker-breaker-nya. 

Yah, Diana salah satu si suara merdu yang dikenal di kalangan Juliet Tango Romeo (JTR) --perkumpulan anak-anak CB-er Jawa Timur yang berpusat di Surabaya.

Aku sendiri kenalnya ya di radio. Usia Diana jauh di bawahku, namun di radio kita "menjadi" sepantaran. Itu sebab kami cepat akrab satu dengan yang lain, terlebih kemudian ada kopi-darat. Siapapun setuju Diana anak yang cantik, boleh dibilang kembang di JTR.

Kalau kemudian ada CB-er Kota Kembang kepincut, ya ngga menyalahkan. Adalah IQ (yang kemudian kita kenal sebagai Iqbal) yang berhasil mendekati Diana di Radio, dan akhirnya menikahinya di darat. Oleh sebab itu nama perempuan ini  kemudian menjadi Diana Iqbal.

Aku pernah datang ke rumah mereka semasih tinggal di Pakar, Dago. Rumah yang banyak kacanya itu menghadap kota Bandung. Ketika malam tiba, terasa senyap dengan gemerlap lampu dari arah perkotaan. Mengingatkan aku dengan suasana di Eropa sana. Romantis.

Suami istri ini bahagia sepanjang masa. Sampai akhirnya, pada Rabu, 31 Mei 2017, Acmed Iqbal berduka. Banyak kawan-kawan eks JTR yang juga berduka. Aku pun sebangun tidur kaget bukan main. Sekaget teman-teman yang lain. Diana meninggalkan kita semua pagi setelah subuh, di Jakarta.

Empat bulan lalu Diana mengajak pindah ibunya dari Surabaya ke Jakarta. "Aku tidak ingin ditinggal Ibu tanpa berada di sampingnya," ujar Diana seperti ditirukan Paramita, juga anak JTR. Ternyata, makna ucapan itu justru berbalik subyek.

Diana meninggal dunia setelah ia merasa "masuk angin" dan dikerok. Di hadapan Sang Bunda ia memohon agar diikhlaskan sebab dirinya juga sudah ikhlas meninggalkan dunia ini.

PINDAH APARTEMEN

Kalau pagi hari aku kaget karena kepulangan Diana, siang sehabis lohor aku kembali kaget. Kali ini justru adik kandungku, Taufik Andhika Hidayat yang lazim dipanggil Uci, berpulang ke rahmatullah. Ia anak JTR, teman Diana juga.

Kaget karena ketika aku undang makan siang terakhir sebelum Ramadhan, ia masih sehat-sehat saja. Beberapa bulan yang lalu memang ia sempat sakit, dan berobat. Namun terakhir ini kami tidak mendengar ada keluhan mengenai penyakitnya. Justru ia memprihatinkan penyakit yang mendera diriku.

Aku segera bergegas ke rumah duka, sekitar delapan kilometer dari hunianku. Uci aku temui terbujur di atas tempat tidurnya, dalam posisi tersenyum. Wajahnya begitu ikhlas meninggalkan kita semua.

Dari teman istrinya, aku dengar kisah yang mungkin menjadi pertanda takdirnya. Dalam mimpi --yang berulang sampai dua kali-- Uci mengatakan segera pindah tempat tinggal, yakni ke sebuah apartemen di lantai 16.

Ketika akan meninggalkan apartemen, mereka harus ke  lantai-atap, di mana helikopter sedang menunggu. Ya ngga perlu didebat, namanya juga mimpi. Ternyata selang tak begitu lama, justru mimpi itulah yang menjadi tanda-tanda kepulangannya.

Ia dimakamkan di dekat makam adik ipar istriku --sesuai keinginan Uci yang disampaikan kepada satpam kompleks beberapa hari sebelum meninggal dunia. Kami mengantar ke pusaranya pada tanggal 1-6... Rupanya itulah makna apartemen lantai 16!

Diana dan Uci, CB-er Kota Pahlawan. Selamat jalan kalian, semoga di tujuanmu nanti Allah memberi tempat yang layak di sisi-Nya. 73-88, Cherio Bye Bye. (01:06:17)




Saat tahun baru 2016 kami masih lengkap (atas), dan tahun baru 2018 tanpa kehadiran Uci. Alfatihah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar