Rabu, 28 Februari 2018

SEHARUSNYA AKU DI WHEELCHAIR



Keterangan Foto: Karena aku tidak suka memasang foto pasien di rumah sakit --apalagi kondisinya buruk-- maka tulisan ini aku beri foto perjalananku ke Solo. Tampak aku masih sehat saat selfi di Masjid Agung Surakarta.


KALI pertama terpaksa duduk di wheelchair (kursi roda) dalam penerbangan di dalam negeri aku rasakan empat tahun silam, tepatnya pada 2014, saat menempuh perjalanan dari Jakarta ke Surabaya.

Pelayanan ini aku peroleh mulai saat check in sampai pintu pesawat di bandara keberangkatan, dan dari pintu pesawat hingga ke mobil penjemput di terminal kedatangan.

Aku masih sanggup berjalan sendiri dari pintu ke tempat duduk, dan sebaliknya. Andai tak mampu, petugas akan mengantar hingga ke kursi pesawat. Bahkan bila perlu, menggendong. Itulah aturan pelayanan dari maskapai penerbangan.

Sedemikian parahkah aku sehingga harus pakai kursi roda? Aku terserang demam tinggi sehari sebelum pulang dari umrah, di Makkah. Karena sakit itu pula membuat aku tak mampu melakukan tawaf wada (pamit).

Sesampai di Jakarta, menantuku langsung membawa aku ke rumah sakit. Belum sepenuhnya sembuh, beberapa hari kemudian pulang ke Surabaya. Badan masih lemas, dan istriku meminta kesediaanku pakai wheelchair.

Tak ada pilihan, apalagi luas terminal Soekarno-Hatta melebihi luas lapangan bola. Aku tak peduli kanan kiri memandangiku karena tak ada juga tenaga untuk memikirkan itu.

AKIBAT SUNGKAN

Tulisan ini terilhami kisah Dahlan Iskan yang "merasa sungkan" pakai kursi roda. Padahal ia baru pulang paksa dari umrah --semasih di Madinah, belum sempat ke Makkah.

Setelah tak menemukan penyakit yang menyerangnya --sesak nafas, tak bisa kentut, dan gagal pup sampai berhari-hari-- dia pergi berobat ke Singapura. Berangkat sendirian.

"Saya harus berhenti tiga kali saat keluar dari pesawat. Posisi garbarata agak naik. Maklum, pesawat yang saya naiki jenis Boeing 737 yang lebih rendah dari posisi terminal. Baru sekali ini saya merasakan beratnya nafas. Jalan beberapa langkah harus berhenti," tulis Dahlan Iskan di DI'SWay --website baru mantan Menteri BUMN itu.

"Untungnya banyak yang minta foto bersama. Lumayan. Saya bisa berhenti lagi, dan berhenti lagi, dengan alasan lagi berpose. Padahal sebenarnya, saya memang ingin berhenti. Saya paksakan tersenyum di depan kamera. Mereka tidak tahu tersiksanya dada ini," tambahnya.

Alasan yang masuk akal. Akupun sempat merasakan hal sama saat terbang sendirian beberapa bulan setelah pengalaman pertamaku. Padahal istriku sudah ingatkan, agar pesan kursi roda. Sampai last minute pun ia masih kirim message: Papa HARUS pakai kursi roda ya! --pakai tanda seru.

Pelayanan kursi roda itu merupakan satu paket. Pesannya pada saat kita check in. Nanti di terminal kedatangan secara otomatis dilakukan penjemputan. Gratis! Toh aku tak sampai hati, selalu memberi tips ke petugas yang mendorong.

Benar, ternyata! Aku jalan seperti biasa --cepat, langkah panjang, dan gagah. Belum sampai 25 langkah, nafasku terengah. Dada terasa sesak, membuat aku melambatkan langkah, bahkan berhenti.

Aku berkeringat dingin. Mengkhawatirkan diriku. Ingat cerita orang yang tiba-tiba mati dalam nafas sepotong-sepotong. Aku masih muda ketika itu, 61 tahun. Masih banyak yang harus aku lakukan.

Saat aku menoleh ke belakang, ternyata tak ada lagi penumpang. Aku berada di tengah-tengah garbarata --yang ternyata jalannya menanjak. Yang biasanya dengan mudah aku lalui. Aku harus melipir perlahan sendirian.

Sejak peristiwa itu, aku selalu menggunakan wheelchair. Sepanjang 2016-2017 aku beberapa kali bepergian ke Bali, juga Bandung, Jakarta, Makassar, Jogja, dll. Paling kerap ke Bali. Dan itu selalu di wheelchair.

Aku paksakan, terlebih setelah dokterku menemukan penyakit yang menyerang paru kananku. Hampir 80% tertutup jamur. Dan ini menyebabkan aku mudah sesak, mudah lelah, kalau sudah begitu mudah terkena demam. (Lain waktu aku ceritakan bagaimana penyakit ini terungkap, dan mengapa bisa menyerangku pada 2014).

Kembali ke masalah wheelchair. Rute perjalanan di terminal tidak seperti penumpang regular. Pemeriksaan scanner terakhir pun lewat jalur khusus, tanpa harus turun dari kursi. Dan tidak kelewat ketat pakai harus copot sabuk, arloji, smartphone segala.

Bahkan kalau pesawat tidak menggunakan pelayanan garbarata, aku diantar menggunakan mobil khusus, tidak bercampur penumpang lainnya yang pakai bus.

Biasanya mobil yang dipakai yang lazim untuk penumpang kelas bisnis. Namun suatu ketika, aku dinaikkan mobil yang dilengkapi "lift" khusus untuk menaik-turunkan kursi roda. Karena alatnya unik, sempat jadi tontonan. Salah tingkah juga sih, apalagi penumpang seperti aku ini harus naik/turun pesawat lebih awal.

MENYESAL

Satu ketika, perasaan yang dialami Dahlan Iskan berkecamuk juga di dalam hati. Toh aku merasa lumayan fit. Ketika itu pulang dari Solo, awal 2018. Aku putuskan tanpa pesan wheelcair, padahal istriku sempat melarang.

Setelah lama menunggu pesawat delay, akhirnya naik juga ke pesawat ATR baling-baling yang pintu masuknya di buntut. Karena pesawat kecil dan pendek, garbarata tak bisa menjangkaunya.

Aku turun tangga sambil bawa koper kabin. Beruntung bertemu Gani, anak sahabatku, Sutan Kasidhal, yang menawarkan bantuan. Ia tolong aku hingga pintu pesawat yang jaraknya sekitar 150 meter dari garbarata.

Sesampai bandara Juanda sama saja. Harus berjalan dari pesawat menuju bus penjemput, lalu keluar terminal ke mobil penjemput. Serangkaian panjang ritual di terminal-terminal ini ternyata menguras tenagaku.

Esoknya, tubuhku demam. Sesak nafas. Walau sudah minum obat dan dikompres, tak ada tanda-tanda membaik. Istriku segera menghubungi dokter, dan diperintah segera membawaku ke IRD RS Dr. Soewandhie.

Aku segera mendapat penanganan: diinfus, suntik meredakan sesak, suntik lagi meredakan demam. Harus opname. Harus di ICU. Aku okay dengan yang pertama, tapi menggeleng untuk yang kedua.

Sesaat dokterku bingung. Kondisiku harus selalu terpantau. Menit ke menit. Aku tetap menggeleng --pernah punya pengalaman buruk di ICCU, sebelahku silih berganti almarhum.

Akhirnya dokter memutuskan membawa peralatan ICU ke ruang inapku. Ada monitor detak jantung, tekanan darah, pengukur oksigen pada darah, selang oksigen, dan lainnya. Semuanya bisa dipantau real time. Aku menginap 12 malam, terlama dari biasanya yang cuma sepekan, dan itu terjadi akhir Januari yang lalu.

Menyesal juga aku akhirnya karena demi gengsi harus aku bayar dengan penderitaan panjang. Andai siang itu aku tetap di wheelchair... andai aku turuti nasihat istriku... andai aku tak perlu peduli omongan orang...

Ah, itulah sifat lelaki yang tak ingin kelihatan lemah. Toh ada temannya juga, sekata dengan pendapat Dahlan Iskan! Walau akhirnya kita sepakat dalam pendapat, seharusnya tidak perlu punya gengsi semacam itu. (01:03:18)


Sabtu, 17 Februari 2018

KLUB LANSIA? OH... NO!



Walau kau sudah tua,
Jangan masuk klub lansia...
Walau kau sudah lansia,
Jangan pernah merasa pensiun...
Kendati tubuhmu mulai aus,
Jadikan jiwamu tetap trengginas...
Aktif teruslah berkarya,
Seolah kau hidup 100 tahun lagi...
Itu yang akan membuatmu sehat,
awet hidup, dan bahagia... Amin.

Rabu, 14 Februari 2018

MOBIL PRIBADI VS ONLINE



Keterangan foto: Nantinya mobil pribadi akan jadi barang koleksi, kenangan masa lalu seperti halnya pesawat telepon di rumah yang sudah sangat jarang dijamah.


SIAPA sih yang tak ingin punya mobil pribadi? Orang muda selalu mendambakannya. Terlebih saat awal-awalnya berkarier. Mobil selain menjadi kebutuhan, juga simbol status.

Namun bagi Mr. Praktis --yang lajang atau lansia-- tak harus demikian. Membeli mobil, dikatakannya, akan diikuti serangkaian kewajiban yang cukup banyak menyedot anggaran.

Begitu bayar mobil di showroom, sudah menghadang dua kewajiban membayar pajak: Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Pajak Kendaraan Bermotor.

Yang pertama jumlahnya sangat besar, sedang yang kedua lebih kecil tapi tetap terbilang jutaan. Semakin mewah kendaraan, apalagi makin besar isi silindernya, akan semakin besar pula pajak-pajak yang harus dibayar.

"Anda masih harus bayar asuransi wajib. Kalau ingin aman, beli pula asuransi all risk. Yang ini bisa berjuta-juta, tapi Anda tenang jika kendaraan hilang," ujar Mr. Praktis.

Selesaikah urusan? Nanti dulu. Jika Anda bos, atau malas mengemudi, harus mencari sopir --yang uang makan hariannya saja sudah Rp 125.000. Belum gaji bulanan, biasanya minta sesuai standar UMR, tiga setengah juta!

 Kalau rumah Anda kecil dan tak ada tempat untuk menyimpan mobil, harus sewa garasi, paling tidak Rp 500 ribu/ bulan. Jangan menaruh di pinggir jalan walau di depan rumah sendiri, sebab itu fasilitas umum!

Lalu... sediakan anggaran untuk servise mobil (ganti oli, cek mesin, setel mesin) tiga atau enam bulan sekali bergantung frekuensi pemakaian kendaraan. Kadang perlu beli onderdil.

Oya, jangan lupa beli bahan bakar ya. Rata-rata mobil sekarang butuh satu liter bahan bakar untuk 12 km perjalanan. Jika kendaraan harus berjalan merambat atau bahkan macet, pemakaian bahan bakar makin boros. Bisa 5 km saja per liternya.

Dan... ongkos parkir sekarang tidak murah lagi! Masuk mall bayar Rp 8 ribu, parkir zona Rp 5 ribu, parkir pinggir jalan Rp 3 ribu. Tapi yang girlan itu sekarang tiru-tiru parkir zona. Belum lagi kena parkir progresif. Atau parkir di hotel yang ditagih Rp 50K!

Jadi kalau Anda punya uang Rp 200 juta untuk sebuah sedan, paling tidak butuh Rp 90 juta untuk kebutuhan setahun ke depan.

Rinciannya, pajak BBN 20.000K; pajak PKB 7.500K; gaji sopir 42.000K; uang makan sopir 3.125K; sewa garasi 15.500K; BBM 2.326K; servis 500K dan parkir 550K . Banyak ya... hm... mulai mikir kan?


DEMI GENGSI?

Yuk kita ke taksi online --Grab, Uber, Go-car atau lainnya. Apapun pilihanmu, kita tak repot lagi dengan tetek bengek bayar pajak, asuransi, garasi, bensin, parkir, sopir, dan lainnya. Kita hanya berurusan dengan satu: ongkos transport!

Katakanlah dari rumahmu di ujung barat kota, dan kantormu di pusat, paling-paling ongkos cuma Rp 50K. Pergi pulang Rp 100K. Sebulan cuma Rp 2.500K, setahun Rp 30 juta. Masih perlu keluyuran? Okaylah anggaran bengkak jadi Rp 50 juta.

Masih lebih murah dibandingkan ongkos yang keluar jika beli mobil pribadi. Dan jangan lupa, uang Rp 200 juta yang ngga jadi untuk beli mobil, jika dibankkan bisa menghasilkan Rp 10 juta (bunga 5%/tahun).

Masih enggan pakai online? Karena mobil pribadi lebih gengsi? Ha-ha-ha, hari gini masih jaga gengsi? Hiduplah secara realistis. Jika anggaran pas-pasan, buat apa gengsi?

Katakanlah Anda sudah berlebih, kalau online lebih praktis mengapa bawa mobil pribadi? Pakailah sedanmu sekali-kali untuk rekreasi saja, semisal pergi ke luar kota.

Online adalah masa depan. Ada satu masa kelak, Gen-Z (yang sekarang masih anak-anak usia belasan ke bawah) tak lagi beli mobil karena online bersopir maupun tanpa sopir akan bertebaran. Kapan saja, di mana saja, transportasi akan mudah didapat.

Ketika masa itu tiba --aku yakin tak lama lagi-- segera kita paham peribahasa zaman doeloe: buat apa pelihara sapi jika hanya butuh susunya. Anda masih ragu? (14:02:17)

Senin, 12 Februari 2018

FOTO YANG BERBICARA



ADA persyaratan untuk pemuatan sebuah foto di media. Yang paling umum adalah, foto itu harus "berbicara" --tanpa teks sekalipun foto sudah menceritakan sesuatu.

Namun untuk mendapatkan foto yang demikian, tidaklah gampang. Fotografernya harus jeli, cekatan, dan kaya idea. Bahkan faktor keberuntungan sangatlah menentukan.

Tidak setiap hari sebuah suratkabar memuat foto yang demikian. Dalam sepekan bisa dua atau tiga kali saja sudahlah bagus. Yang aku maksud di sini, foto yang dihasilkan wartawannya sendiri. Bukan dari sindikat penyuplai foto.

Lalu foto-foto apa yang dimuat pada hari-hari tanpa "foto berbicara"? Hanyalah foto dokumentasi, di antaranya pejabat menyerahkan hadiah, pembukaan seminar, atau gambar gedung yang akan diresmikan.

Dalam menyiasati kelangkaan foto yang berbicara, bagian design-grafis biasanya merangkai sejumlah foto agar berkisah. Tentu dengan penambahan gambar dan keterangan di sana sini. Kreasi mereka cukup membantu.

Namun ada pula yang kebablasan dengan memasang berbagai foto yang satu sama lain tidaklah nyambung. Pembaca akan bertanya, info apa yang sedang tersaji ini?

Biasanya, hal tersebut terjadi karena redaktur foto kehabisan stok sehingga memaksakan pemasangan foto-foto ala kadarnya.

Kalau hanya sekali dua kali, pembaca maklum. Tapi kalau berulang kali, apa lagi foto itu benar-benar tak menyampaikan pesan sesuatu, mulailah pembaca meragukan kredibilitas media tersebut.

SELFIE

Bagaimana halnya di media sosial? Banyak kok foto-foto yang aku suka, terlebih yang menampilkan suatu budaya sebagai latar belakang.

Foto selfie tak selalu membosankan jika di latar belakang bercerita sesuatu. Misalnya seseorang foto dengan latar belakang hutan Pinus yang rindang. Atau bahkan pasar ikan yang ramai pengunjung.

Malah ada yang suka mengabadikan kehidupan sosial, semisal, orang tua dengan sepeda tuanya istirahat di kursi besi yang tersedia di tepian jalan.

Atau warung makan yang dirubung pembeli yang antre dilayani. Bahkan gaya hidup juppies di mall yang sedang window shopping. Banyak yang indah dan berbicara.

Namun juga ada yang memasang closed up wajahnya dari berbagai sudut. Hampir tiap hari muncul ke layar monitor. Ya sah-sah saja, walau kadang membosankan.

Yang sekarang sedang tren adalah foto reuni atau halal-bihalal sisa lebaran. Mereka foto ramai-ramai, saking serunya satu frame bisa berisi dua puluh tiga puluh kepala!

Nah... ini foto yang berbicara tentang reuni, tentang lebaran. Namun tak berarti bagi suatu dokumentasi sebab wajah mereka terlihat kecil-kecil dan sulit teridentifikasi.

Tetap sah sih... cuma kita harus melotot untuk mencermati. Itu kalau kita berada di dalam frame, atau memang ada yang kita cari. Jika tidak, maka foto itu akan terlewati begitu saja.

Dengan kamera-smarphone sekarang sebenarnya kita lebih leluasa membuat foto bagus. Tidak usah memikirkan kombinasi rana maupun bukaan --yang sudah diurus secara otomatis--, kita tinggal memilih angle dan komposisi.

Tidak puas dengan jepretan pertama, bisa dilakukan jepretan kedua dan selanjutnya. Tak usah takut film habis kan!?

Nah, janganlah takut salah, latih dan latihlah membuat foto yang terbagus. Malah bila perlu, foto yang berbicara menyaingi media mainstream!

Bagaimana dengan foto yang aku pasang di tautan ini? Aslinya, aku mau memasangnya sebagai pengganti foto profil yang lama. Namun kalau aku hanya pasang foto saja (tanpa tulisan ini), nanti dikira "jual tampang". Malu kan...

Nah supaya sedikit ada manfaat, aku tuliskan artikel pendek ini. Mudah-mudahan memang bermanfaat. Selamat bereksperimen. (12:02:18)

Minggu, 11 Februari 2018

KAKEK-KAKEK MINTA PLESIR


Keterangan foto: Dari kiri Aki Yuleng, E'e Yamin, Buya Yunus dan Datuk Ali. Segitu banyakkah durian yang dihabiskan? Ah... itu hanya acting. Mana tahan mereka melahap sebegitu banyak...


INI kisah tentang empat kakek yang doyan plesir. Kemana saja, asal bisa menyenangkan hati. Kali ini bareng-bareng pergi makan siang, cari durian, dan menikmati hawa sejuk pegunungan.

Supaya semuanya berjalan lancar, salah satu di antara mereka ditunjuk menjadi tour leader yang mengatur perjalanan ---yang diawali shalat dhuha di Masjid Agung Al Akbar, Surabaya.

Maka Datuk Ali menentukan jadwal, dan mulai mengemudi Mazda 3 yang relatif masih gres melaju menuju Krian melalui jalan tol yang baru diresmikan Presiden Jokowi.

Yang dituju Depot Melati, terletak di jalan utama lama yang membelah kota Krian. Lokasinya persis di antara masjid dan Indomaret, tak jauh dari lampu bangjo (abang ijo/traffic light), sebelah kanan jalan kalau dari arah Surabaya.

Jauh-jauh demi sop buntut? Nanti dulu. Dengar penjelasanku. Dagingnya prul, mudah lepas dari tulang. Warnanya kemerahan, terasa renyah di mulut. Kuahnya sarat rempah. Saking sedapnya, sayang kalau menyisakan walau hanya sesendok.

Jadi aku agak uring-uringan waktu Buya Yunus mengurangi porsiku. Terutama hendak menguras kuahnya. Justru kuah itu yang unforgettable! Pikirku, mengapa ia tidak pesan sendiri saja?

Catat! Ini keanehan tersendiri. Hanya aku dan Datuk Ali yang pesan nasi plus sop buntut. E'e Yamin hanya menyendoki apokad. Buya Yunus awalnya asyik merokok.

Waktu aku minta piring kosong karena nasi yg tersaji kebanyakan, ternyata Datuk Ali juga merasakan hal sama. Jadi sebenarnya kita cukup satu porsi nasi untuk berdua.

Lalu kemana seporsi nasi sisa itu? Nah Buya Yunus mengambilnya. Lalu ambil pula sop dari aku, juga dari Datuk Ali. Ini yang membuat geregetan. Walaupun maksud Buya Yunus, supaya nasi tidak mubasir.

Tapi mengapa tidak pesan sop sendiri? Aneh kan? Katanya acara makan bareng-bareng. Dan aneh lainnya... saat kita mendekati tempat perburuan durian satu jam kemudian, E'e Yamin minta berhenti di rumah makan.

Si sopir pura-pura tidak mendengar. Untung di dekat tempat andok durian, ada warung makan. E'e Yamin makan siang sendirian, sementara tiga kakek lainnya pesta durian.

SEPATU MELAYANG

Antara perjalanan Krian-Trawas, kita mampir di masjid, hanya beberapa menit sesudah adzan dhuhur. Halaman masjid basah akibat hujan beberapa waktu sebelumnya. Agak repot sebab tempat wudhu terpisah dari masjid.

Seusai shalat, aku lihat Ami Ali mencari sesuatu sekeliling masjid. Rupanya ia kehilangan sepatu yang tadi diamankan dari kemungkinan hujan susulan. Takmir masjid ikut membantu. Hasilnya nihil. Beruntung takmir berbaik hati, memberi Datuk Ali sandal bekas.

Dalam hati aku membatin. Apa ada kaitannya dengan cerita di Masjid Agung selepas dhuha tadi ya? Datuk Ali ketika itu antusias bercerita kepadaku bahwa ia melihat seorang pria yang tindak tanduknya mencurigakan.

"Dia taruh motornya di sana. Lalu ia naik ke masjid... ke arah deretan sandal sepatu jemaah. Aku lihatin saja. Mungkin karena dia lihat aku, tak jadi mengambil. Dia kembali ke motor, dan ngeloyor pergi," ceritanya dengan bumbu dramatisasi.

Aku tidak komentar. Sama tidak komentarnya waktu sepatu Datuk Ali melayang. E'e Yamin saja yang membesarkan hati temannya. Meski sepatu itu tetaplah tak kembali. Sepintas aku dengar Datuk Ali menggerutu. "Ini yang kedua. Dulu Kickers yang hilang. Beli merek sama sebagai pengganti, eh hilang juga..."

TERTUSUK DURI

Makan durian di ujung Trawas punya sensasi tersendiri. Warung Bu Dum terletak di tepi hutan pinus. Temperatur sekitar 22°C. Namun dengan angin spoi, makin menggigilkan tubuh.

Kita berempat hanya menghabiskan tiga durian. Sunnah rasul, berhentilah sebelum kenyang. Sebab kita juga takut kolesterol. Juga ngga mau mabuk durian. Untuk penghangat, kita minum kopi hitam tanpa gula.

Duriannya memang jempol. Dari Trawas? Bukan! Durian Trawas yang bulat kecil-kecil dengan daging warna kuning, masih nangkring di pohon. Dua tiga minggu lagi barulah panen.

Lalu... ratusan durian ini dari mana? Impor dari Pasuruan. Yang terkenal dari Puspo dan sekitarnya. Juga sedikit dari Purwodadi. Bentuknya bulat lonjong dengan warna kehijauan. Asyik juga untuk foto selfie.

Buya Yunus usul foto di atas tumpukan durian. Aku bilang, di bawah saja. Rupanya ia terinspirasi E'e Yamin yang sebelumnya foto sambil duduk di atas durian. Aku bilang, pamali! Ngga ilok. Itu kan dagangan orang.

Akhirnya Buya Yunus yang sudah telanjur duduk, mau juga mendengar omonganku. Tapi terlambat... waktu hendak mengangkat pantat dengan bantuan tangan menekan alas, ia ngga sadar itu durian. Ya tertusuk duri lah tangannya. Ia tidak mengaduh, tapi meringis untuk beberapa saat...

KEPULAN KUPANG

Dalam perjalanan turun ke Pandaan, aku teringat ada kupang lontong enak di depan Taman Chandra Wilwatikta. Mereka ternyata belum pernah mencoba. Warung yang tak terlalu luas itu full house. Aku pesan saja, sebab tahu ngga bakal lama menunggu orang selesai makan.

Ternyata hanya aku dan Datuk Ali yang pesan. Lainnya kurang minat, mungkin karena takut bakal lama menunggu. Memang lontong kupang perlu diracik. Sedikit makan waktu. Sekitar 10 menit setelah kita dapat tempat duduk, hidangan disajikan.

Asapnya mengepul, aromanya sedap. Rupanya E'e Yamin tertarik. Segera saja ia pesan. Pelayannya bengong, sebab masih banyak langganan lainnya yang antre. Rupanya bijak juga, tak lama kemudian pesanan susulan terhidang. Dan segera saja ludes.

Tak jauh dari warung kupang, kita mampir masjid. Waktu ashar tiba. E'e Yamin dan Buya Yunus shalat. Aku dan Datuk Ali buka internet. Memang mashab kita beda. Kami berdua sudah menjamak shalat di masjid pertama.

Kalau berangkat tadi kita lewat tol Waru-Krian, kini saatnya lewat tol padat Pandaan-Waru. Baru masuk tol, E'e Yamin usul berhenti sebentar untuk foto bersama di tepi tol. Tentu maksud hati ditolak mentah-mentah sama si sopir.

Kendati E'e Yamin serius menginginkan, kami jalan terus. Kebayang enggak kalau ada yang lapor di Radio Suara Surabaya: Ada empat kakek-kakek selfie di tol. Lengkap dengan foto kita terpampang di online-nya. Malunya itu lho...

Alhamdulillah... walau keinginan keempat kakek ngga sama semua, toh perjalanan sehari itu sangat menyenangkan. Untungnya, leader-nya kami sendiri. Jika ada tour leader profesional, tentu akan geleng kepala mengatur rewelnya para lansia ini. (11:02:18)


DURIAN dari Pasuruan. Harga Rp 40K, garansi rasa. Ngga enak jangan ambil, enak sikat habis. Nafsunya besar, tapi lima biji masuk mulut sudah kekenyangan. Maklum aki-aki...



Selasa, 06 Februari 2018

KETIKA KAUM PRIA MBREBES MILI




MBREBES itu bahasa Jawa, artinya mata yang berkaca-kaca. Bisa karena terharu, tersentuh hati, atau sensitif akan sesuatu yang membuat trenyuh. Kalau ditambah "mili", maka tak sekadar berkaca-kaca, sudah jatuhlah air mata dari ujung-ujungnya. Namun belum masuk kategori menangis.

Nah... mbrebes mili inilah yang ingin aku bahas sekarang ini. Mengapa orang tiba-tiba mbrebes, bahkan mbrebes mili, ketika mengikuti kisah perjalanan Marce Marconna dalam novel Menggapai Surga.

Sejak semula sudah aku katakan, pada saat mengoreksi naskah itu, beberapa kali mbrebes mili. Padahal, itu tulisanku, yang aku tulis dalam keadaan fine-fine saja. Namun ya itu tadi, setiap membacanya kembali, aku terharu. Sampai-sampai aku terheran sambil bertanya, "Siapa kau sebenarnya, Marce? Kau terlalu masuk dalam kehidupan pribadiku..."

Awalnya aku berpikir, aku kelewat menghayati tokoh Marce Marconna --lajang umur 20-an, rambut sebahu, berwajah bening, cantik tentu saja, namun melankolis. Dalam kondisi digerogoti penyakit, ia mendapat bisikan untuk pergi umrah, walau sejatinya ia tak tahu apa yang harus diperbuat di Tanah Suci.

Dalam perjalanan itu ia berjumpa dengan Abdul Qaidir, pria muda sederhana yang berwawasan. Kedekatan keduanya terbangun lewat saling membutuhkan. Qaidir menjadi tempat bertanya, sementara Marce perlu perlindungan. Namun keduanya enggan dikatakan bercinta. Mereka punya alasan masing-masing.

Toh akhirnya Qaidir berkorban segala-galanya demi Marce Marconna. Gadis itupun sangat mengharapkan bantuan Qaidir hingga akhir hayatnya. Perjalanan mereka tak sia-sia, keduanya mendapatkan apa yang mereka cari.

Nah... dialog-dialog Marce - Qaidir ini yang membawa hati trenyuh. Belum lagi ketika Qaidir akhirnya berjumpa ayah bunda Marce untuk menceritakan hari-hari akhir putrinya. Tanpa terasa air mata meleleh --mbrebes mili.

BUKAN MONOPOLI

"Alhamdulillah... Sudah tamat baca novel Anda. Bagus... beberapa kali ikut berlinang air mata...," tulis Dahlan Iskan lewat Whatsapp. Mantan Menteri BUMN ini adalah orang pertama yang membaca Menggapai Surga karena ia aku minta kesediaannya menjadi pembicara kunci saat peluncuran novel kelimaku ini.

Hal serupa juga dikatakan Toto Sonata, wartawan sekaligus budayawan, yang bertindak sebagai pembahas pada acara yang sama. "Pada bagian tertentu, aku sempat berlinang air mata..."

Onny Argoyono malah berterus terang, ia mbrebes mili mengikuti jalan cerita ini. Ada bagian, katanya, yang mirip-mirip dengan perjalanan hidupnya. "Aku mbrebes mili membacanya... waktu anakku bertanya, 'mengapa?', aku katakan bacalah sendiri nanti..."

Dari pernyataan mereka, aku lega. Paling tidak, aku tidak sendirian lagi mbrebes mili. Sekaligus membuktikan kami bukan cengeng, namun kisah itulah yang membuat hati trenyuh. Membuat berlinang air mata, mbrebes mili.

Kalau kaum wanita yang mbrebes mili, wajarlah. Mereka lebih sensitif. Hampir semua teman wanita yang membaca Mengapai Surga, dan memberi komentar, mereka mengaku sempat mbrebes mili. Yulia di Padang, Anin Saleh di Bekasi, Aam Qomariah di Garut, Novie di Semarang, Tutty Mulia di Surabaya.

Itulah mbrebes mili. Ternyata tidak monopoli wanita saja, kaum pria pun bisa berlinang air mata. Mbrebes mili... (07:02:18)

Sabtu, 03 Februari 2018

SEBAGIAN JIWAKU DI SAMARINDA



* Keterangan foto: Dari ki-ka: Rustam, Lukman, Eddy, Dian, Yani, Indah, dan Ida. Aku di tengah, pakai kaos warna orange.


KISAH ini aku mulai pada saat usiaku 25, di awal tahun 1980. Aku diperintah bosku --seorang jenderal yang suatu saat nanti menjadi Duta Besar RI di Australia-- untuk membuka kantor cabang di Samarinda, Kalimantan Timur. Suatu tempat yang sama sekali tak aku kenal sebelumnya.

Aku memilih tinggal di Hotel Hayani, persis di pusat kota, tidak jauh dari perkantoran pemerintah. Kesepian di hari-hari awalku tertutup keramahan pemilik hotel yang selalu menemani tamu-tamunya di waktu malam. Aku cepat akrab dengan Pak Zainal Donggo, seorang tokoh Kadin Kaltim yang juga pengurus Muhammadiyah setempat.

Kedekatan ini menyebabkan aku bisa membayar hotel seminggu sekali, kemudian sebulan sekali, lalu memperoleh bungalow tersendiri yang cukup luas, dan terakhir dititipi hotel dan anak-anaknya, karena beliau dan ibu hendak menunaikan ibadah haji. Anaknya cukup banyak, dan baru Yani dan Dian yang sudah menikah.

Aku menganggap mereka ini adik-adikku, demikian pula sebaliknya. Pak Donggo dan ibu juga menganggap aku anaknya sendiri, terlebih setelah istriku datang menyusul, dan bekerja di Pasific Consultan International yang berkantor di seberang hotel.

Sampai aku meninggalkan Samarinda tiga tahun kemudian, hubungan tetaplah terjalin. Pak Donggo sekalian pernah bertandang ke tempat tugasku yang baru, dan putra-putra beliaupun masih kerap bertemu dengan kami. Suatu saat aku juga menyempatkan diri berkunjung ke Samarinda untuk membezoek Pak Donggo yang sedang sakit.

Tahun berganti, kami pun disibukkan dengan pekerjaan dan urusan masing-masing. Sampai suatu ketika di tahun 2016, aku berkesempatan ke Balikpapan-Samarinda. Tak aku sia-siakan kesempatan ini untuk menemui mereka. Yani, Dian, dan Ida tak sabar menungguku di Hotel Hayani.

Masing-masing riuh mengulas masa lalu. Ada yang masih aku ingat, namun banyak yang aku sudah lupa. Melalui mereka aku jadi ingat kembali suka duka dahulu di hari-hari awal berada di tempat ini. Senang juga bisa bernostalgia.

Namun yang lebih membuatku senang karena mereka semua hidup dalam bahagia. Yani dan Rustam, maupun Dian dan Eddy sudah beranak cucu. Ida juga bahagia dengan suaminya yang baru kali ini aku mengenalnya. Ada juga Ridha yang sekarang menjaga hotel. Atau Lukman si kecil yang masih ingat bagaimana aku menyimpan sarden di lemari es untuk kebutuhan makanku sehari-hari.

Ketika aku berjumpa mereka, Bapak dan Ibu Donggo sudah tiada. Namun kebersamaan kami sebagai keluarga besar masih tetap terasa. Lukman --yang bersama istrinya, Indah Lukman, membuka restoran Lotus Garden-- mengundang kami untuk makan malam bersama.

Tempatnya sungguh nyaman, dengan interior yang mengikuti zaman. Lukman bercerita panjang lebar bagaimana ia merintis usahanya, sambil sekali-kali menyapa ramah tamu yang baru datang.

Kendati makanan yang terhidang cukup lezat, namun tak mengurangi semangat kami untuk berebut cerita. Ada saja yang disampaikan, dan membuat kami tertawa. Sungguh menyenangkan, seolah peristiwa 35 tahun lampau kembali berkelebat.

Alhamdulillah, aku mensyukuri peristiwa tersebut. Inilah nilai suatu persaudaraan yang tetap terpelihara kendati kita dipisahkan lautan dan waktu yang relatif panjang. Silaturahim yang menyenangkan, dan semoga akan selalu kami kenang. (03:02:18)