Senin, 25 Desember 2017

NASI RAMES DARI DUA RUMAH MAKAN HEBAT


Keterangan Foto: Menemani istri makan siang di Kampung Coklat, destinasi wisata edukasi di kota Blitar. Aku menikmati segelas coklat panas sambil melihat pemandangan sekelilingku.


PEKAN lalu aku mengunjungi dua kota istimewa --Blitar dan Malang. Aku sebut istimewa karena di kedua kota ini ada rumah makan yang tersohor. Secara tak sengaja aku sempat mampir untuk makan siang dan makan malam. Kocaknya, menunya sama, yakni nasi campur.

Begini kisah lengkapnya. Setelah aku menurunkan istri di rumah kediaman Walikota Blitar --dia ada acara dinas di sana-- aku mencari makan siang. Agak tergesa karena jelang shalat Jumat. Jadi cari rumah makan seadanya karena terus terang aku buta akan kota ini.

Baru belok di sebuah tikungan, aku lihat tulisan Ramayana. Langsung aku perintah sopir menepi ke kiri. Beruntung Ramayana itu restoran, buka  toko onderdil. Dan tadi aku spontan karena tiba-tiba ingat nama rumah makan kondang asal Blitar.

Di Surabaya, rumah makan itu buka dua cabang. Satu di Darmo Park, Jl. Mayjen Soengkono, satunya lagi di Jl. Kalimantan dekat kantor sekuritas tempat aku trading saham. Kedua tempat ini menjadi langgananku. Menu favoritku Kamar Bola dan nasi Cap Jay Merah.

Kamar Bola itu bukan tempat biliar, kawan! Itu nama makanan yang pernah populer tahun '60-'70-an. Hampir mirip Cap Jay Merah, tapi variasi isinya lebih banyak. Mungkin saat ini hanya Ramayana yang menyediakan menu Kamar Bola.

Ketika aku masuk, interiornya khas Ramayana. Tersedia meja bundar untuk makan rame-rame, namun ada pula meja segi empat kecil untuk makan berempat. Aku memilih tempat jauh ke dalam agar tak terlalu bising dengan suara TV yang tidak bisa dikecilkan volumenya karena remote-nya ketelingsut.

Saat buku menu disodorkan, aku pilih yang praktis dan cepat saji: nasi campur. Maklum, aku hanya punya waktu setengah jam saja. Lauknya dua potong daging ayam yang dimasak bumbu rujak, telor rebus separo yang diolesi bumbu, bakmi goreng, dan beberapa sayur lainnya.

Semuanya terasa sedap dengan bumbu yang merasuk. Terutama ayam bumbu rujaknya, sangat empuk dan mudah memisahkannya dari tulang belulang. Aku beri bintang sembilan dari totalan angka sepuluh!

Saat membayar di kasir, sempat ngobrol ama emak-emak pemilik Ramayana. Seolah kenalan lama, ia menawarkan es lilin Blitar yang memang kegemaranku. Kalau sedang kangen, aku mampir membelinya di Ramayana Surabaya. Tapi kali ini aku tidak ada waktu menikmatinya, jadi terima kasih saja.

Sebelum aku pindah ke cerita Malang, sedikit catatan tentang Ramayana. Rumah makan ini terkenal dengan chinese food-nya. Menjadi langganan kaum konservatif yang sudah mengenalnya sejak awal. Dengan menyebut namanya, sudah terbayang kelezatan sajiannya. Dia punya kelas tersendiri.

MENUNGGU LAMA

Nah, sekarang cerita Malang ya. Sejak di Karangkates, kendaraan merambat. Betul-betul menjemukan. Magrib baru saja usai, jalanan makin menyemut di kegelapan malam. Aku sudah merasa lapar, padahal cita-cita makan malam di Taman Dayu.

Karena tidak tahu posisi, maka aku membuka aplikasi. Aku segera mengenali lokasi yang tertera di peta. Beberapa meter ke depan ada belokan ke kiri, dan setelah itu terdapat rumah makan yang tak kalah bekend dengan Ramayana. Bahkan konon terkenal hingga ke luar negeri.

Istriku setuju kita mempercepat makan malam. Segera aku perintah sopir minggir. Di dalam padat pengunjung, beruntung kami masih dapat tempat duduk di tepi ruangan. Aku memesan nasi Bakmoi --supaya cepat sajilah pikirku.

Namun kata pelayan, pesanan itu agak lama karena banyak yang minta Bakmoi. Aku berpindah pilihan, Sop Buntut. Lagi-lagi si pelayan bilang lama sebab harus merebus dulu. Duh geregetan juga sampai aku bilang "buntutnya masih harus beli di pasar ya?"

Waktu aku tanya apa yang bisa cepat, dia bilang nasi rames. Hadeuuw... nasi rames nasi rames lagi, pikirku. Tapi apa boleh buat, telanjur duduk, dan aku pikir rumah makan ini jaminan mutu (maaf ya... aku ngga sebut namanya).

Setelah lama menunggu, akhirnya nasi campur keluar juga. Berikut gado-gado pesanan istriku. Tapi aku kupas nasi campurnya aja ya, kan ada pembanding dengan yang aku makan siang tadi.

Ada sepotong ayam masak opor dan sekerat daging sapi entah dimasak apa --mungkin semur. Lalu ada abon, telor rebus separo, sepotong timun, dan lainnya ngga ingat. Daging sapinya sulit dikunyah sebab mengandung kotot. Dipotong pakai sendokpun susah banget.

Ketika aku berpindah ke opor ayam... hampir sama. Cuma masih bisa dikunyah dikit-dikit. Namun tak semua daging bisa dilepas dari tulang, dan untuk ngrokoti (aku ngga menemukan bahasa Indonesianya), tak eloklah kalau itu dilakukan di tempat umum.

Kami segera menyudahi makan malam ini dan segera pergi. Padahal sejatinya, masih ingin ngopi-ngopi dulu sambil menikmati suasana serta semilir hawa sejuk Malang yang menerobos lewat jendela.

Berapa bintang yang harus aku berikan? Dengan menyesal, hanya lima dari angka teratas sepuluh! Kok pelit? Kayaknya, taste di rumah makan ini bukan seperti yang dahulu lagi. Atau karena kesal dapat pelayanan menjengkelkan? Ah... swear, tidak! Aku betul-betul membandingkan dengan nasi campur makan siangku. (26:12:17)


*

Jumat, 22 Desember 2017

KALAU IBU SEDANG SAKIT...




SEORANG ibu selalu peduli jika ada anggota keluarga yang sakit --terutama anak-anak, bahkan suaminya.

Namun ketika ibu yang sedang sakit, adakah yang peduli? Anak-anak sibuk sekolah, si suami tak bisa meninggalkan kantor. Syukur kalau tetangga datang membantu.

Beruntung ibu yang sakit ini, si anak mengantarnya ke rumah sakit, walau harus tertidur-tidur menunggu pelayanan.

Jangan abaikan ibu karena jasanya teramat banyak... Selamat hari ibu ya, salam seger waras selalu (22:12:2017)

Minggu, 03 Desember 2017

DR. ARIJANTO JONOSEWOJO


                           IN MEMORIAM

ARI yang aku kenal, dia orangnya baik... sangat baik. Kalau kebetulan Anda mengenalnya, boleh jadi setuju dengan pendapatku.

Ketika masih duduk di bangku SMPN 1 Pacar, Surabaya, dia suka bercanda, periang. Sejak kelas dua aku tak lagi bertemu dengannya, dan baru jumpa lagi tahun '70-an di rumah keluarga Tante Tumpuk (Raya Ketabang 3).

Dia lebih humble, serius bicara, dan penuh perhatian pada orang lain. Setelah masa itu --karena kesibukan masing-masing-- kami jarang bertemu.

Baru pada tahun 2000-an bertemu lagi --setelah aku pulang dari merantau--, dan aku baru tahu dia menikah dengan Eriana, temanku di SR Ambengan.

Hubungan kami sejak itu sangat dekat. Dia bercerita tentang proyek tanaman herbalnya. Malah kita bicara bagaimana kemungkinan mendokumentasikannya.

Suatu ketika, aku sakit demam berdarah dengan trombosit hanya 25.000! Ari yang menangani. Esoknya, trombositku tinggal 14.000 (normal 150.000-450.000).

Ari bicara dengan istriku. Dia katakan, tindakan kedokteran dalam kasus seperti ini lazimnya melalui transfusi. Namun dia kurang sreg. Ia khawatir muncul akibat negatif dari transfusi itu.

"Aku takut demam berdarahnya sembuh, tapi justru terkena penyakit lainnya sebagai efek samping dari transfusi itu," ujar Ari kepada Nunung, istriku.

Akhirnya mereka sepakat melakukan peningkatan trombosit melalui obat-obatan saja. Tentu istriku berperan pula melalui doa-doanya. Alhamdulillah... trombositku naik, dan aku selamat.

Yang aku hargai, Ari sebagai teman memberikan pilihan terbaik. Dan selama aku opname, Ari selalu nyambangi. Demikian pula Nana, istrinya. Aku merasa nyaman bersama mereka.

Pada saat Ari sakit dan opname di RS Premier, aku juga datang menjenguk. Aku senang melihat keadaan Ari ketika itu, sebab dia masih penuh semangat.

Namun aku prihatin ketika mendengar kondisi Ari yang sebenarnya dari seorang koleganya. Aku berdoa dia mendapatkan yang terbaik dari situasi tersebut.

Aku tidak menyangka, begitu cepat Ari pulang. Mungkin itu sudah takdirnya, semoga husnul khatimah dan ia mendapat tempat layak di sisi-Nya. Amin ya rabbal alamin.

Kisah terbaik ini aku sampaikan sebagai kenangan akan teman kita tercinta dr. Arijanto Jonosewojo, Sp.PD.

Selamat jalan kawan, suatu saat kamipun akan pulang ke Rahmatullah (03:12:17)