Sabtu, 22 April 2017

IN MEMORIAM: MR. TALLAR DALAM KENANGAN



PAPAKU, Wiwiek Hidayat, yang kalau hari ini (22/4'17) masih ada, berusia 95 tahun. Beliau meninggal dunia pada 1994, namun karyanya tetap abadi tergantung di lobi Gedung Negara Grahadi, Surabaya.

"Sumpah Amukti Palapa", yang menggambarkan Patih Gajahmada bersumpah di hadapan Sang Raja untuk mempersatukan Nusantara. Konon sumpah ini sempat mengecutkan Australia, sebab Nusantara yang dikehendaki Sang Patih hingga ke benua tersebut.

Selain seniman, papa juga wartawan perang, diplomat, dan tentunya pelaku pertempuran Surabaya. Ketika meninggal dunia, jazadnya di makamkan di makam keluarga, setelah kami menolak pemakaman di Makam Pahlawan.

Makam keluarga itu terletak di desa Rembangan, Kemuning Lor, 15 km utara Jember, di kaki Gunung Argopuro. Di tempat kelahirannya,  ia lebih dikenal sebagai Tallar --nama yang juga dipakainya untuk kalangan tertentu di luar negeri, Mr. Tallar.

Kami mengenangmu papa, banyak pelajaran tentang kehidupan yang kami terima darimu. Engkau demikian tegar menjalani hidup ini, bahkan menghadapi "Hari Pemanggilan" dengan penuh ketabahan.

Beristirahatlah dengan tenang papa, semoga Allah memberi tempat layak disamping-Nya. Amin ya rabbal alamin.  (Yuleng Ben Tallar)

Senin, 17 April 2017

PASMANBAYA 1-9: KETIKA LANSIA DIHAJAR ROCK AND ROLL




KEBAYANG enggak, alumni SMAN sesurabaya --SMAN 1-9-- kumpul bareng. Ada yang lulus tahun 1961, namun rata-rata tahun 70-an. Konon dalam data tercatat 2.000-an alumnus. Katakanlah yang hadir Minggu (16/4) siang itu seperempatnya, itu berarti 500-an orang.

Acara utama memang silaturahim, mencari temannya masing-masing. Tentu tak lupa potret-potret selfie. Kasihan fotografer profesional yang menjajakan foto-print tak terlalu panen seperti dahulu, kalah dengan smartphone-camera. Maklum semua orang sudah jago potret sendiri.

Selain ada hiburan tarian, rupanya rujak cingur dan semanggi Suroboyo ikut menarik perhatian. Juga jajanan tradisional. Tapi bukan berarti Mercure-Mirama hotel tidak menyediakan santap siang. Langsung diserbu mereka yang sudah lapar, terutama yang sedari pagi riwa-riwi dan cas-cis-cus bersama teman lama.

Apalagi Eddy Radjab dengan band Yeah Yeah Boys-nya memeriahkan lewat nomor-nomor lawas dan panas --rock and roll-- membuat mantan anak-anak muda itu berjingkrak di panggung, di koridor, bahkan di samping meja. Semangatnya masih semangat SMA, kendati onderdilnya sudah lansia. Ah... rock and roll, we like it!

Aku sendiri bertemu teman-temanku SMAN-5. Ada Farid Bahalwan, dokter Agung Prasmono, Rika, si jago basket, dan si jago voli --maaf aku lupa nama-namanya. Aku juga bertemu dengan beberapa teman dari group Old Surabaia yang ternyata juga lulusan SMAN Surabaya. Ada Pribadi Widodo yang lebih terkenal dengan julukan Gopri, kakak-beradik Iwang Sewandono dan Onny Argoyono, Prof. Titien Saraswati yang kebetulan dolan ke Surabaya, Rifai Rilan H, Dino Kiliaan, Yatche Heyder, dan banyak lagi lainnya.

Ada dua hal yang unik dari serangkaian pertemuan ini. Untuk kali pertama aku berjumpa off-line dengan Donny Soemarsaid (baju merah dalam foto), kendati sudah kerap kali ngobrol on-line. Orang tua kami semasa hidupnya bersahabat, malah Oom dan Tante Soemarsaid mereka panggil papi dan mami. Pada saat aku nikahi istriku, Tante Soemarsaidlah yang merias kami. Tentu pertemuan ini sangat berarti sebab melanjutkan silaturahim ortu-ortu kami. Semoga mereka berbahagia, Al Fatihah.

Keunikan lainnya, aku mendapat terapi dari mbak Leti Mohani --yang tahu aku mempunyai masalah kesehatan dengan paru kananku. Ini adalah terapi kedua yang pernah ia lakukan terhadapku. Cukup lama mbak Leti menanganiku, di sela musik hingar bingar di panggung sana. Terima kasih, mbak. Allahlah yang akan membalas kebaikanmu.

Nah waktu acara selesai, kami pun turun ke lobi dan menunggu jemputan. Ada yang menunggu valet, ada yang menunggu sopirnya. Kami pun menunggu sopir, cuma bukan sopir pribadi melainkan sopir Grab. Dan ternyata sopirku ini lebih cepat datangnya. Dan sampai rumahku yang berjarak sekitar 10 km, hanya di-charge Rp 22.000, itupun didiskon Rp 10.000. Bandingkan dengan ongkos valey yang Rp 30.000.

Kalau malam ini kami bisa istirahat, tentu sangat mensyukuri karena tadi tidak ikutan berjingkrak. Aku bayangkan, betapa para lansia yang tadi bergoyang hebat, apakah tidak sakit semua badannya sekarang ini. Hm... reuni... hm... rock and roll... Duh, sakit semua! (*)

Jumat, 14 April 2017

DOG DAY AFTERNOON



DEMIT...

Kemarin aku lapar dan mampir di resto yang biasa aku datangi di Grand City. Aku sudah hafal menu-menunya, dan siang itu aku ingin rujak kangkung plus nasi putih.

Beruntung aku dapat tempat parkir di lantai pertama. Tempatnya strategis karena sempit dan beratap pendek. Hanya mobil kecil dan sopir handal yang bisa masuk kesitu. Oleh sebab itu sering dibiarkan kosong.

Dari tempat parkir aku hanya butuh berjalan kurang dari 50 meter sudah sampai di resto yang aku tuju. Dari kejauhan aku lihat agak ramai tamu di dalam. Rupanya mereka sudah sejak tadi selesai maksi, tinggal ngobrol-ngobrol saja. Biasa...  yuppies dari kantor sekitar.

Di entrance yang hanya selebar tiga meter, aku lihat ada lima pelayan berjajar menggunakan seragam biru muda. Di belakang mereka, meja kasir. Aku melenggang sendirian sebab di depanku tidak ada orang, demikian pula di belakangku.

Aku mengambil tempat duduk di lokasi favorit, yaitu menghadap koridor luar. Dari tempat ini aku bisa melihat para pembelanja berseliweran. Sayangnya, siang itu mall lagi sepi. Jadi satu dua orang saja yang lewat.

Setelah sepuluh menit berlalu, aku mulai gelisah. Tak seorang pun mendatangiku. Ngapain aja kelima pelayan di entrance tadi? Aku masih bersabar ketika ada pelayan datang melayani orang di meja belakangku yang meminta bill. Baru setelah urusan mereka selesai, pelayan itu aku panggil...

Rupanya ia memanggil temannya yang lain. Seorang wanita agak gemuk yang murah senyum. Dia aku lihat lima menit sebelumnya berjalan dari arah mushala. Dhus, bukan salah satu dari lima pelayan yang berdiri di entrance.

+ Saya sudah 13 menit di sini, tanpa ada satu pun dari kalian yang melayani...
- Maaf Pak... mungkin teman-teman tidak melihat Bapak...
+ Hah... Emang saya demit? Saya masuk ada lima teman kamu berjajar di pintu masuk. Tak satu pun mereka melihat saya? (terus terang saya geli sendiri, dari mana istilah demit itu muncul...)
- Maaf ya Pak... Nanti saya sampaikan pada mereka...

Aku kasihan juga sebab yang salah bukanlah dia. Aku hanya bilang, sampaikan kepada manajemen bahwa yang demikian itu tidak baik. Lalu aku minta pesananku tanpa melihat daftar menu yang ia sodorkan.

Dalam hati aku menggerutu, tuh kan kalau lapar. Ada salah dikit mesti marah. Jadi aku protes kepada diriku sendiri, agar jangan begitu lain kali.

Entah karena aku kritik mereka atau memang tak ada pekerjaan lain, kali ini pesananku terhidang lebih cepat dari biasanya. Nasi putih yang dibentuk wajik, dan rujak kangkung yang ditutup krupuk udang.

Aku siap-siap makan, dan biasanya aku potong terlebih dahulu krupuk udang menjadi kecil-kecil. Supaya aku leluasa mengambil rujak kangkung di bawahnya.

Olala... Ketika aku ambil krupuknya, ada yang kurang. Aku panggil pelayan --yang kali ini dengan cekatan datang.

+ Mas... ini mana telurnya?
- O iya pak... Ngga ada telurnya ya (ujarnya sambil meneliti sekeliling). Maaf, sebentar ya Pak...

Tak lama kemudian, ia membawa telur rebus terbelah dua di atas piring kecil. "Maaf Pak... tadi kelupaan..."

Barulah aku mengatasi rasa lapar yang sudah aku rasakan satu jam sebelumnya. Singkat kisah, setelah selesai makan aku ke kasir dan melenggang ke parkiran.

Dalam hati aku berpikir, jangan-jangan si mbak tadi juga geli waktu aku menyebut "demit". Ketika ia bercerita pada teman-temannya, jangan-jangan (lagi) ada yang usil menyebutku Pak Demit...

Waduh... kalau benar begitu, ketika aku datang lain waktu mereka sepakat katakan... "Eh... Ada Pak Demit... Cepat layani..."
Mati aku lah Mak! (Yuleng Ben Tallar)

Minggu, 09 April 2017

NOVEL: SIAPA KAU MARCE MARCONNA?



NOVEL ini sejatinya sudah selesai pada 2014, dan siap naik cetak. Kemudian, seorang teman mengabari, ada lomba penulisan novel --yang temanya mendekati karyaku ini. Ia menganjurkan, mengapa tidak diikutkan saja, siapa tahu bisa memenangi lomba.

Terpengaruh juga sih, kendati dalam hati kurang sreg setelah sebelumnya dapat kabar dari sesama novelis bahwa yang menang dalam lomba-lomba seperti itu biasanya orang muda --yang tentunya masa produktifnya masih panjang. Tapi setelah pikir-pikir, tidak ada ruginya, "Menggapai Surga" aku ikutkan.

 Berdasar pengumuman panitia --sebuah penerbitan di Yogya-- jumlah peserta tercatat 160 naskah. Dalam seleksi awal terpilih 40 naskah. Seleksi selanjutnya terpilih sebelas naskah --"Menggapai Surga" termasuk di dalamnya. Pada seleksi akhir, novel tersebut tidak terpilih.

Jadi kembali ke rencana semula, "Menggapai Surga" segera diterbitkan. Atas saran penerbit, ada bagian-bagian yang perlu dikurangi. Aku lakukan tanpa mengganggu jalan cerita.

Pada saat itulah, ketika membaca draft secara lengkap, aku merasakan ada salah satu tokoh cerita yang selalu mengganggu perasaanku. Ia seolah masuk ke dalam kehidupan nyataku. Marce Marconna.

Setiap ingat Marce, aku terharu. Ketika membaca apa yang ia katakan, kerap aku tak mampu menahan diri. Seolah pribadi wanita muda itu benar-benar aku kenali. Seolah ada di dalam duniaku.

Keadaan ini merupakan salah satu penyebab aku menunda penerbitannya. Sebulan, bahkan setahun kemudian. Setiap akan memulai, ada saja kendalanya. Entah siapa kau sebenarnya Marce Marconna?

Sampai suatu ketika, aku bertemu DR. Aqua Dwipayana, motivator komunikasi yang juga penulis buku super best seller, "The Power of Silaturahim". Kepadanya aku berikan novel "Gadis Tiyingtali", dan dengan antusias ia meminta tanda tangan di buku tersebut.

Kami pun bicara bagaimana aku menghasilkan karya, dan Aqua tertarik dengan caraku membangun cerita --yang bisa aku lakukan di mana saja ketika suatu gagasan muncul. Sampai satu ketika, aku singgung novel terakhirku, "Menggapai Surga".

Ketika aku sampaikan sinopsis kisah itu, Aqua dengan antusias mendengarkan. Dan ketika sampai pada kehidupan Marce Marconna, kembali aku tak mampu menahan rasa haruku. Air mataku kembali berlinang. Sampai aku meminta maaf ke Aqua. Boleh jadi aku terbawa emosi.

Aku justru terkejut mendengar respon Aqua. "Pak Yuleng harus segera menerbitkannya. Segera Pak," ujarnya memberi support. Seolah aku diingatkan, ya harus segera terbit Juni nanti.

Mengapa Juni, karena itu ulang tahun perkawinanku yang ke-44. Jauh hari sebelumnya memang ada angan-angan, aku launching buku sementara istriku, Nunung Bakhtiar, pamer lukisan. Tapi terbatas angan.

Insya Allah "Menggapai Surga" bisa berada di tengah-tengah pembaca setia pada Juni nanti. Mudah-mudahan aku juga bisa berbagi perasaan tentang si Marce Marconna ini.  (Yuleng Ben Tallar)

Kamis, 06 April 2017

NOSTALGIK REMBANGAN




EMPAT hari di Rembangan, hujan tak kunjung henti. Baru Sabtu sore langit sedikit terang. Kesempatan bagiku menuju puncak, yang dulu mereka juluki Taman Rembangan.

Kabut beriringan muncul dari lembah, menghilang arah puncak Argopuro. Udara yang tertiup angin sepoi terasa dingin menggigit. Kopi panas dan pisang goreng ikut menemani.

Serasa kami semasih pacaran dulu, padahal itu 44 tahun silam. Rembangan, salah satu saksi cinta kami berdua... (06:04:17)