Jumat, 14 April 2017

DOG DAY AFTERNOON



DEMIT...

Kemarin aku lapar dan mampir di resto yang biasa aku datangi di Grand City. Aku sudah hafal menu-menunya, dan siang itu aku ingin rujak kangkung plus nasi putih.

Beruntung aku dapat tempat parkir di lantai pertama. Tempatnya strategis karena sempit dan beratap pendek. Hanya mobil kecil dan sopir handal yang bisa masuk kesitu. Oleh sebab itu sering dibiarkan kosong.

Dari tempat parkir aku hanya butuh berjalan kurang dari 50 meter sudah sampai di resto yang aku tuju. Dari kejauhan aku lihat agak ramai tamu di dalam. Rupanya mereka sudah sejak tadi selesai maksi, tinggal ngobrol-ngobrol saja. Biasa...  yuppies dari kantor sekitar.

Di entrance yang hanya selebar tiga meter, aku lihat ada lima pelayan berjajar menggunakan seragam biru muda. Di belakang mereka, meja kasir. Aku melenggang sendirian sebab di depanku tidak ada orang, demikian pula di belakangku.

Aku mengambil tempat duduk di lokasi favorit, yaitu menghadap koridor luar. Dari tempat ini aku bisa melihat para pembelanja berseliweran. Sayangnya, siang itu mall lagi sepi. Jadi satu dua orang saja yang lewat.

Setelah sepuluh menit berlalu, aku mulai gelisah. Tak seorang pun mendatangiku. Ngapain aja kelima pelayan di entrance tadi? Aku masih bersabar ketika ada pelayan datang melayani orang di meja belakangku yang meminta bill. Baru setelah urusan mereka selesai, pelayan itu aku panggil...

Rupanya ia memanggil temannya yang lain. Seorang wanita agak gemuk yang murah senyum. Dia aku lihat lima menit sebelumnya berjalan dari arah mushala. Dhus, bukan salah satu dari lima pelayan yang berdiri di entrance.

+ Saya sudah 13 menit di sini, tanpa ada satu pun dari kalian yang melayani...
- Maaf Pak... mungkin teman-teman tidak melihat Bapak...
+ Hah... Emang saya demit? Saya masuk ada lima teman kamu berjajar di pintu masuk. Tak satu pun mereka melihat saya? (terus terang saya geli sendiri, dari mana istilah demit itu muncul...)
- Maaf ya Pak... Nanti saya sampaikan pada mereka...

Aku kasihan juga sebab yang salah bukanlah dia. Aku hanya bilang, sampaikan kepada manajemen bahwa yang demikian itu tidak baik. Lalu aku minta pesananku tanpa melihat daftar menu yang ia sodorkan.

Dalam hati aku menggerutu, tuh kan kalau lapar. Ada salah dikit mesti marah. Jadi aku protes kepada diriku sendiri, agar jangan begitu lain kali.

Entah karena aku kritik mereka atau memang tak ada pekerjaan lain, kali ini pesananku terhidang lebih cepat dari biasanya. Nasi putih yang dibentuk wajik, dan rujak kangkung yang ditutup krupuk udang.

Aku siap-siap makan, dan biasanya aku potong terlebih dahulu krupuk udang menjadi kecil-kecil. Supaya aku leluasa mengambil rujak kangkung di bawahnya.

Olala... Ketika aku ambil krupuknya, ada yang kurang. Aku panggil pelayan --yang kali ini dengan cekatan datang.

+ Mas... ini mana telurnya?
- O iya pak... Ngga ada telurnya ya (ujarnya sambil meneliti sekeliling). Maaf, sebentar ya Pak...

Tak lama kemudian, ia membawa telur rebus terbelah dua di atas piring kecil. "Maaf Pak... tadi kelupaan..."

Barulah aku mengatasi rasa lapar yang sudah aku rasakan satu jam sebelumnya. Singkat kisah, setelah selesai makan aku ke kasir dan melenggang ke parkiran.

Dalam hati aku berpikir, jangan-jangan si mbak tadi juga geli waktu aku menyebut "demit". Ketika ia bercerita pada teman-temannya, jangan-jangan (lagi) ada yang usil menyebutku Pak Demit...

Waduh... kalau benar begitu, ketika aku datang lain waktu mereka sepakat katakan... "Eh... Ada Pak Demit... Cepat layani..."
Mati aku lah Mak! (Yuleng Ben Tallar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar