Selasa, 28 Maret 2017

YAMAN MADU, MUNCUL DI BAWAH JOK



YAMAN madu namanya. Beberapa hari aku kehilangan dia. Aku tanya ke istri, dia angkat bahu. Tapi aku ingat, pernah punya si Yaman Madu. Entah kapan terakhir aku melihatnya, persisnya, memakainya. Yang jelas, di tempat biasa dia berada, kosong melompong.
"Tidak dikasihkan ke seseorang," tanya istriku. Tentu aku menggeleng sebab warna merahnya aku suka. Dan di buku catatan jelas tertera "Yaman Madu".
Sampai suatu ketika, saat aku akan pergi menggunakan mobil, tanpa sengaja aku melihat Si Yaman Madu berada di bawah jok depan. Persis terlihat ketika aku membuka pintu. Andai posisinya agak ke dalam, pastilah sampai sekarang aku tidak menemukannya.
Yang aku heran, bagaimana batu itu bisa berada di bawah jok. Tidak mungkin terlepas dari jariku dan meluncur ke bawah. Juga mustahil aku melepas cincin saat berada di ruang kemudi. Dan mobil ini kendaraan pribadi, tak seorangpun memakainya.
Tapi ya sudahlah... aku telanjur gembira mendapatkan kembali Yaman Maduku, dan tak peduli mengapa ia bisa berada di bawah jok. Apalagi jarak antara aku ingat dan aku menemukannya, relatif pendek. Maka aku berucap, Alhamdulillah (Yuleng Ben Tallar)

Senin, 27 Maret 2017

JAKARTA JAKARTA, MADUMU MADUKU



Jakarta bak sarang madu
Segala lapis menghampiri
Saat tahu ada yang manis...
Padahal dulu bandar ini sepi
Tak sesesak sekarang
Bemo roda tiga bertulis taxi di atas
Bus Robur yang terbilang mewah
Dan dari tempatku berdiri
Di tepian kompleks Senayan
Masih kuat berjalan ke Blok P
Tapi sekarang? Aduh Mak...!

Banyak sudah perubahan
Bus pun bergandengan
Taksi tak lagi monopoli Jepang
Mercedes-Benz ikut menggelinding
Panasnya minta ampun
Juga banjirnya ampun-ampun
Aku tak kuat lagi jalan ke Blok P
Kuburan di sana pun telah lenyap
Berganti gedung-gedung tinggi
Sisakan makam Ade Irma Suryani Nasution...

Betahkah aku tinggal di sini?
Atau menetap di Surabaya?
Mirip New York dan Los Angeles
Orang New York enggan pindah ke LA
Orang LA pun enggan hengkang ke NY
Masing-masing punya madu sendiri
Bergantung selera manis madu mana yang kau suka
Itulah rahasia madu yang kita harus tahu...

Senayan, 27 Maret 2017
Yuleng Ben Tallar

Jumat, 10 Maret 2017

BERTEMU ANAK-ANAK NON-BIOLOGIS




MAKASSAR DI UJUNG PANDANG

TERAKHIR 40 tahun lampau aku menginjakkan kaki di Ujungpandang, yang kini disebut orang, Makassar. Tidak ada yang tersisa di dalam ingatanku kecuali Benteng Roterdam dan Pantai Losari --yang dulu mirip-mirip pesisir Roxas Boulevard di Manila Bay.

Makassar sekarang menjadi bandar besar dengan bangunan modern, jalan tol di beberapa tempat, lalu lintas yang padat, dan jalan raya yang menurut sopir hotel yang mengantarku, bisa menjadi "sungai-sungai" di kala hujan lebat. Semalam aku sudah mencicipinya.

Ketika sampai di Makassar, pertama-tama yang aku cari di mana letak rumah makan "Mie Ujungpandang" --yang konon semakin laris setelah menghapus menu babi, dan mengganti dengan ayam sebagai campuran mienya.

Tidak seorangpun tahu. Justru teman di Facebook merekomendasi rumah makan "Mie Titi". Apakah "Mie Titi" menyediakan menu mie Ujungpandang, itulah masalahnya. Dia mengangkat bahu.

Tentu Anda akan menganjurkan, mengapa tidak bertanya ke Google. Searching di mesin pencari itu menemukan beberapa Mie Ujungpandang. Sayangnya, semuanya beralamat di Surabaya. Ada yang di Manyar Kertoarjo, Kedungdoro, Arief Rahman Hakim, dan lainnya. Nah...kan!

Masih ada dua kuliner lainnya yang ingin aku datangi, yakni ikan bakar --dulu modelnya ikan dibakar di depan kedai dan kita menyantapnya di bagian dalam. Sambalnya..., aduhai! Lalu konro bakar yang aku tonton di layar televisi, tampak gurih dan menarik selera.

SILATURAHIM

Sebenarnya yang ingin aku ceritakan bukan sekadar Makassar dengan kulinernya. Ada yang lebih penting, yaitu masalah silaturahim. Aku terkena virus yang ditebarkan dengan ikhlas oleh DR. Aqua Dwipayana, seorang motivator yang tinggal di Bogor.

Dia penulis buku "The Power of Silaturahim" --yang menjadi best seller dengan cetak 100.000 exsemplar. Dari pembicaraan-pembicaraan pribadi berdua, muncul banyak persamaan di antara kami. Termasuk masalah silaturahim itu.

Perbedaannya adalah Aqua melakukannya secara intens --nyaris tiada hari tanpa silaturahim-- sementara aku menyesuaikan dengan kondisi yang ada pada saat bepergian --di dalam maupun luar kota.

Nah, kembali ke kota Makassar. Sebenarnya aku tidak ada urusan dengan kota itu. Namun karena kebetulan istriku dinas ke sana, teringatlah aku punya keponakan dengan keluarga kecilnya, dan lima anak-anak non-biologis kami yang tinggal di kota itu.

Di sinilah virus Aqua memprovokasi. Mengapa tidak ikut ke Makassar? Akhirnya aku bertemu keponakanku, Nara D. Baskara, yang sudah enam tahun memimpin I-Radio di kota itu.

Nara datang bersama istri dan kedua anaknya --satu masih tujuh bulan, yang ternyata mau aku gendong. Kami memilih RM Bahari, yang menyediakan ikan bakar khas Makassar. Sengaja kami ke sana sebab adikku, Arief Redjasa Hidayat --yang kebetulan dinas ke Makassar-- sedang makan malam di tempat itu. Ia di ruang VIP bersama rombongannya, sementara kami di hall utama.

Sebenarnya Arief kemarin sudah berkunjung ke kediaman Nara. Tapi apa salahnya kalau malam itu kita ulang silaturahim bersama, paling tidak kami sempatkan ngobrol sejenak, sekadar minum, dan foto-fotoan.

Acara makan malam ini memang hanya beberapa jam, namun semangat silaturahimnya sangatlah berarti. Nara yang selama ini menganggap aku "Oom yang keren", sempat prihatin melihat tubuhku menjadi kerempeng.

Dan ketika pulang, anak Nara berada di dalam gendonganku. Awalnya tidak masalah. Namun begitu keluar gedung menuju kendaraan, aku mulai ngos-ngosan. Bayi kecil ini terasa sangat berat. Tentu dalam keadaan normal, bukan masalah. Namun paruku yang belum sembuh betul, menjadi penghambat itu semua.

Terlebih ada orang yang mendahului jalanku sambil menghembuskan asap rokok. Duh... mobil yang hanya sepuluh meter jaraknya, terasa beratus meter. Nyaris aku kehabisan nafas. Jadi lega rasanya setelah Debby, istri Nara, duduk di bangku mobil, dan aku menyerahkan anaknya...

Hari berikutnya, aku bertemu kelima anak-anak non-biologis kami. Mereka --Restu, Afifa, Vhika, Pebi dan Lulu-- menjemput ke hotel. Mereka mengajak ke Malino, untuk melihat taman bunga. Malino dipromosikan sebagai "Kota Bunga", yang belakangan aku baru tahu jaraknya 85 km dari Makasar.

Malino terletak di pegunungan, berhawa sejuk, dan sore itu berkabut tebal. Kami menempuh perjalanan sekitar dua jam, maklum jalanan berkelok dan sebagian rusak berat akibat dilalui armada truk pengangkut pasir.

Aku hampir putus asa menghadapi medan yang demikian, walau tidak ikut mengemudi. Rasanya tak kunjung sampai. Ketika Restu membawa mobil memasuki "Malino Highlands", lega rasanya.

Sayangnya (atau untungnya), taman bunga itu sudah tutup kendati kita masih bisa memasukinya, melewati kebun teh yang tertutup kabut menuju tempat parkir. Aku keluar mobil dan menghirup panjang-panjang udara segar pegunungan.

Aku memandang sekeliling, yang hampir seluruhnya tertutup kabut. Di dalam hati aku bersyukur, sebab mana mungkin aku berjalan menuju taman dan melihat-lihat ke sana. Sedangkan di bandara saja, aku harus menggunakan wheel-chair.

Namun aku sembunyikan perasaan ini dari anak-anakku. Kami sadar, mereka ingin membahagiakan kami dengan mengajak ke tempat yang istimewa ini. Seperti diketahui, Malino merupakan salah satu tujuan wisata unggulan di Sulawesi Selatan.

Tentu Anda akan bertanya mengapa aku menyebut mereka anak non-biologis. Ceritanya panjang. Namun singkatnya begini: Pada musim libur dua Ramadhan lalu, mereka ke Surabaya untuk memperdalam bahasa Prancis. Tante salah seorang dari mereka --yang aku kenal lewat Facebook-- meminta tolong mencarikan kos-kosan untuk sebulan.

Kendati mereka mahasiswa sastra Prancis Universitas Hasanuddin --hari-hari ini menggarap skripsi-- namun gesturnya masih seperti anak SMA. Kami tidak tega melepas mereka di tempat asing. Maka kami putuskan menampung mereka.

Hari-hari selanjutnya, mereka mengisi kehidupan di rumah kami. Makan bersama, pergi ke mal, tarawih, sahur, dan sebagainya. Allahlah yang membawa mereka ke hunian ini, sehingga aku tidak merasa sepi untuk makan sahur ketika istri dinas ke luar kota. Mereka kami anggap anak sendiri, sebaliknya mereka memanggil kami aki dan nini.

Jadi bisa dimengerti ketika mereka ingin memberi yang terbaik kepada kami pada saat berada di Makassar. Sayangnya, kesempatan itu hanya sekejap sebab esok harinya kami pulang ke Surabaya.

Dari ketinggian lantai 16 hotel Grand Clarion, untuk terakhir kali aku sempatkan memandang kota Makassar yang nyaris terlihat separonya. Dari ujung pandang yang satu, ke ujung pandang yang lain. Dari tepian pantai hingga ke pegunungan di kejauhan. Alhamdulillah, di kota ini kami bisa melakukan silaturahim ke orang-orang yang kami cintai. (*)

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10207888233633188&id=1516544459

Selasa, 07 Maret 2017

KUNJUNGAN PARA SAHABAT




HUNIANKU tiba-tiba meriah. Denni yang khusus menurunkan gitar dari mobilnya, langsung membawakan nomor lawas, "Let it Be Me". Kami semua mengikuti walau dengan suara sayup-sayup.

"Lho... bisa gitu lho," protes Denni yang sejak awal mengajak nyanyi, sementara dia yang memetik gitar.

Maka lagu kedua, "The End of The World", dinyanyikan bersama. Henny Mario dan istriku duet menemani si pemetik gitar. Sementara aku dan Emmy sibuk dengan kamera. Maklum... ngga bisa nyanyi.

Ada acara khususkah? Ah...tidak. Sahabat-sahabatku ini sengaja datang untuk membesukku. Sekaligus menghiburku. Konon suka ria demikian bisa memberi semangat, dan semangat itu baik untuk pemulihan kesehatanku.

Sayang salah satu di antara kami, Lina --yang sebelumnya sudah dihubungi oleh Emmy-- tidak bisa bergabung. Masih ada hari esok untuk ngopi-ngopi kan...

Thank you guys, kalian membuat siang di rumahku semarak. Silaturahim yang sangat bermanfaat. Sesuatu banget bagi kami. (07:03:2017)




Keterangan foto: Karena tidak ada orang lain di rumah, maka terpaksa selfie. Untung semuanya muat dalam satu frame...



Sabtu, 04 Maret 2017

KETIKA STAMINA DI TITIK TERENDAH



DENGAN perasaan bersalah saya datang ke tempat praktek dokter karena seharusnya dua hari yang lalu sudah harus bertemu. Pada harinya (Senin) saya tidak bisa berangkat karena letih sekali dan istri rapat sampai magrib. Hari berikutnya saya siap tapi istri dinas luar kota sampai malam hari.

Pada saat berjalan menuju lobi, surat pengantar saya berikan ke istri agar nanti dialah yang mengurus. Ketika menerima dan membaca sambil berjalan, istri saya katakan, "Kita justru on time! Surat ini menunjukkan kita harus ke prakteknya hari ini! Bukan dua hari yang lalu!

Alhamdulillah. Sayangnya di ranjang praktek aku terkejut saat suster memeriksa tensiku yang ternyata melemah, 100 - 60! Toh dokter tetap memberiku semangat sambil ia mengambil alih pemeriksaan.

Rupanya ia sangat terkesan dengan progres penyembuhanku. "Good!" ucapnya berulang kali. Menurut istriku, wajah Prof Isnu Pradjoko optimistis banget. Tidak seperti pemeriksaan-pemeriksaan sebelumnya, yang di keningnya selalu muncul guratan.

"Perkembangan apa, Prof?" tanyaku penuh ingin tahu. "Mesin diesel di dalam sini sudah padam," jawabnya sambil menuding dadaku. Dan aku baru tersadar, memang tak ada gemuruh pada saat aku bernafas, seperti saat parah-parahnya dulu. Nafaskupun terasa lebih ringan dan panjang.

Mengapa ia menyebutnya dengan "mesin diesel?" Dokter ini memang punya selera unik. Sewaktu menjelaskan kasusku di awal pemeriksaan, dia membeber foto torax dan hasil CT-scan. "Ini lho 'terorisnya', kami harus memerangi mereka," ujarnya sambil menunjuk noda putih di materi yang di beber di depan lampu.

Ketika istriku minta izin mengajak aku ikut ke Jakarta --padahal sebelumnya tanpa setahu dokter kami sudah pergi  ke Bali dan Depok-- Prof. Isnu menatap kami sambil berkata, "Lanjutkan..." Kami terkesima sesaat tak mengerti arah pembicaraan. "Lanjutkan ke Jeddah..." ujarnya kemudian...

Amin ya rabbal alamin... ujarku lega. Rupanya Prof Isnu ingat, gara-gara penyakitku kali ini, aku batal umroh awal Januari yang lalu. Dokter yang bersahaja ini memang penuh humor dan sering tindakannya tak tertebak.

Sepulang dari tempat praktek dokter, aku seolah mendapat semangat baru. Benar nafasku makin panjang. Benar pula tidak ada suara berisik di dadaku. Kalau ada sedikit keluhan, batuk-batuk kecil yang tadi dokter memberikan ramuan obat untuk mengatasinya.

Esok harinya, aku beranikan diri pergi bersama Ali Salim, sohiebku. Kita ngopi-ngopi dulu, baru late-lunch. Ada banyak hal yang kita bicarakan setelah cukup lama tidak berjumpa.

Ia punya saran mengambil second opinion di Singapura jika pengobatan di sini tidak berhasil. Jauh-jauh hari aku malah sudah punya pikiran pergi ke Malaka seperti tawaran dari besanku. Tapi aku masih percaya dengan tindakan Prof. Isnu Pradjoko.

Kami ngopi di Toffee Coffee, setelah itu pindah ke resto Pawon Cabe yang jaraknya sekitar empat kilometer. Menurut Ali Salim, aku lebih banyak berbicara saat di Toffee Coffee. Sementara menurut aku, dalam perjalanan pulang justru banyak berdiam diri. Staminaku nyaris habis hehehe...

Dan malam harinya aku merenung. Hampir empat jam kita jumpa dan ngobrol. Ini "prestasi" tersendiri bagiku, setidaknya dalam sebulan terakhir --yang aku mudah lelah, drop, bahkan harus berobat ke dokter dan opname.

Mengapa bisa terjadi? Benar sabda Rasulullah, silaturahim menambah usia. Semangat bertemu itulah yang menimbulkan gairah. Seolah aku tidak sedang dalam proses penyembuhan. Seolah seperti hari-hari kita biasa bertemu.

Aku bisa katakan demikian karena aku pada posisi stamina sangat rendah sekali. Sehingga lebih peka menghadapi perubahan, dibandingkan mereka yang punya stamina berlebih.

Dan aku yakin, itu semua berkat SILATURAHIM seperti sabda Kanjeng Nabi, "Barang siapa yang ingin diluaskan rizkinya, dan diperpanjang umurnya, hendaknya dia menyambung silaturahim (HR Bukhori).

Subhanallah. Maha Besar Engkau ya Allah. (*)

Rabu, 01 Maret 2017

KETIKA HATI MERINDU



AKU lihat mama dari kejauhan. Ia mengenakan rok terusan fit-body warna biru tua. Serasi sekali dengan warna kulitnya yang kuning langsat. Ia sedang sibuk dengan seorang gadis, yang mungkin asistennya.

Tiba-tiba aku rindu kepadanya. Aku perhatikan, ia tidak melihatku malam itu. Mungkin cahaya tidak cukup terang di teras depan rumah kita di Jl. Raya Ketabang. Agak lama aku termenung melihat kesibukan mama. Aslinya, aku tak ingin mengganggunya.

Namun tak kuat hati ini. Tiba-tiba rasa yang rindu sekali tak terbendung. Aku melangkah ke arahnya, dan ia agak terkejut melihat kedatanganku. Ia berdiri sambil memegang movie camera yang sedari tadi dipegangnya.

"Mom... hugh me, please...," ujarku perlahan. Aku duluan yang merangkulnya, kemudian mama merangkulku erat. Erat sekali. Sangat terasa rangkulan itu, dan sangat berarti bagi aku...

Aku terguncang dan menangis sesenggukan... Alhamdulillah ya Allah... Alhamdulillah... Demikian nyata mimpiku sebelum aku shalat subuh pagi tadi. Akupun membaca Al Fatihah untuk beliau, ibuku... (*)