Jumat, 10 Maret 2017

BERTEMU ANAK-ANAK NON-BIOLOGIS




MAKASSAR DI UJUNG PANDANG

TERAKHIR 40 tahun lampau aku menginjakkan kaki di Ujungpandang, yang kini disebut orang, Makassar. Tidak ada yang tersisa di dalam ingatanku kecuali Benteng Roterdam dan Pantai Losari --yang dulu mirip-mirip pesisir Roxas Boulevard di Manila Bay.

Makassar sekarang menjadi bandar besar dengan bangunan modern, jalan tol di beberapa tempat, lalu lintas yang padat, dan jalan raya yang menurut sopir hotel yang mengantarku, bisa menjadi "sungai-sungai" di kala hujan lebat. Semalam aku sudah mencicipinya.

Ketika sampai di Makassar, pertama-tama yang aku cari di mana letak rumah makan "Mie Ujungpandang" --yang konon semakin laris setelah menghapus menu babi, dan mengganti dengan ayam sebagai campuran mienya.

Tidak seorangpun tahu. Justru teman di Facebook merekomendasi rumah makan "Mie Titi". Apakah "Mie Titi" menyediakan menu mie Ujungpandang, itulah masalahnya. Dia mengangkat bahu.

Tentu Anda akan menganjurkan, mengapa tidak bertanya ke Google. Searching di mesin pencari itu menemukan beberapa Mie Ujungpandang. Sayangnya, semuanya beralamat di Surabaya. Ada yang di Manyar Kertoarjo, Kedungdoro, Arief Rahman Hakim, dan lainnya. Nah...kan!

Masih ada dua kuliner lainnya yang ingin aku datangi, yakni ikan bakar --dulu modelnya ikan dibakar di depan kedai dan kita menyantapnya di bagian dalam. Sambalnya..., aduhai! Lalu konro bakar yang aku tonton di layar televisi, tampak gurih dan menarik selera.

SILATURAHIM

Sebenarnya yang ingin aku ceritakan bukan sekadar Makassar dengan kulinernya. Ada yang lebih penting, yaitu masalah silaturahim. Aku terkena virus yang ditebarkan dengan ikhlas oleh DR. Aqua Dwipayana, seorang motivator yang tinggal di Bogor.

Dia penulis buku "The Power of Silaturahim" --yang menjadi best seller dengan cetak 100.000 exsemplar. Dari pembicaraan-pembicaraan pribadi berdua, muncul banyak persamaan di antara kami. Termasuk masalah silaturahim itu.

Perbedaannya adalah Aqua melakukannya secara intens --nyaris tiada hari tanpa silaturahim-- sementara aku menyesuaikan dengan kondisi yang ada pada saat bepergian --di dalam maupun luar kota.

Nah, kembali ke kota Makassar. Sebenarnya aku tidak ada urusan dengan kota itu. Namun karena kebetulan istriku dinas ke sana, teringatlah aku punya keponakan dengan keluarga kecilnya, dan lima anak-anak non-biologis kami yang tinggal di kota itu.

Di sinilah virus Aqua memprovokasi. Mengapa tidak ikut ke Makassar? Akhirnya aku bertemu keponakanku, Nara D. Baskara, yang sudah enam tahun memimpin I-Radio di kota itu.

Nara datang bersama istri dan kedua anaknya --satu masih tujuh bulan, yang ternyata mau aku gendong. Kami memilih RM Bahari, yang menyediakan ikan bakar khas Makassar. Sengaja kami ke sana sebab adikku, Arief Redjasa Hidayat --yang kebetulan dinas ke Makassar-- sedang makan malam di tempat itu. Ia di ruang VIP bersama rombongannya, sementara kami di hall utama.

Sebenarnya Arief kemarin sudah berkunjung ke kediaman Nara. Tapi apa salahnya kalau malam itu kita ulang silaturahim bersama, paling tidak kami sempatkan ngobrol sejenak, sekadar minum, dan foto-fotoan.

Acara makan malam ini memang hanya beberapa jam, namun semangat silaturahimnya sangatlah berarti. Nara yang selama ini menganggap aku "Oom yang keren", sempat prihatin melihat tubuhku menjadi kerempeng.

Dan ketika pulang, anak Nara berada di dalam gendonganku. Awalnya tidak masalah. Namun begitu keluar gedung menuju kendaraan, aku mulai ngos-ngosan. Bayi kecil ini terasa sangat berat. Tentu dalam keadaan normal, bukan masalah. Namun paruku yang belum sembuh betul, menjadi penghambat itu semua.

Terlebih ada orang yang mendahului jalanku sambil menghembuskan asap rokok. Duh... mobil yang hanya sepuluh meter jaraknya, terasa beratus meter. Nyaris aku kehabisan nafas. Jadi lega rasanya setelah Debby, istri Nara, duduk di bangku mobil, dan aku menyerahkan anaknya...

Hari berikutnya, aku bertemu kelima anak-anak non-biologis kami. Mereka --Restu, Afifa, Vhika, Pebi dan Lulu-- menjemput ke hotel. Mereka mengajak ke Malino, untuk melihat taman bunga. Malino dipromosikan sebagai "Kota Bunga", yang belakangan aku baru tahu jaraknya 85 km dari Makasar.

Malino terletak di pegunungan, berhawa sejuk, dan sore itu berkabut tebal. Kami menempuh perjalanan sekitar dua jam, maklum jalanan berkelok dan sebagian rusak berat akibat dilalui armada truk pengangkut pasir.

Aku hampir putus asa menghadapi medan yang demikian, walau tidak ikut mengemudi. Rasanya tak kunjung sampai. Ketika Restu membawa mobil memasuki "Malino Highlands", lega rasanya.

Sayangnya (atau untungnya), taman bunga itu sudah tutup kendati kita masih bisa memasukinya, melewati kebun teh yang tertutup kabut menuju tempat parkir. Aku keluar mobil dan menghirup panjang-panjang udara segar pegunungan.

Aku memandang sekeliling, yang hampir seluruhnya tertutup kabut. Di dalam hati aku bersyukur, sebab mana mungkin aku berjalan menuju taman dan melihat-lihat ke sana. Sedangkan di bandara saja, aku harus menggunakan wheel-chair.

Namun aku sembunyikan perasaan ini dari anak-anakku. Kami sadar, mereka ingin membahagiakan kami dengan mengajak ke tempat yang istimewa ini. Seperti diketahui, Malino merupakan salah satu tujuan wisata unggulan di Sulawesi Selatan.

Tentu Anda akan bertanya mengapa aku menyebut mereka anak non-biologis. Ceritanya panjang. Namun singkatnya begini: Pada musim libur dua Ramadhan lalu, mereka ke Surabaya untuk memperdalam bahasa Prancis. Tante salah seorang dari mereka --yang aku kenal lewat Facebook-- meminta tolong mencarikan kos-kosan untuk sebulan.

Kendati mereka mahasiswa sastra Prancis Universitas Hasanuddin --hari-hari ini menggarap skripsi-- namun gesturnya masih seperti anak SMA. Kami tidak tega melepas mereka di tempat asing. Maka kami putuskan menampung mereka.

Hari-hari selanjutnya, mereka mengisi kehidupan di rumah kami. Makan bersama, pergi ke mal, tarawih, sahur, dan sebagainya. Allahlah yang membawa mereka ke hunian ini, sehingga aku tidak merasa sepi untuk makan sahur ketika istri dinas ke luar kota. Mereka kami anggap anak sendiri, sebaliknya mereka memanggil kami aki dan nini.

Jadi bisa dimengerti ketika mereka ingin memberi yang terbaik kepada kami pada saat berada di Makassar. Sayangnya, kesempatan itu hanya sekejap sebab esok harinya kami pulang ke Surabaya.

Dari ketinggian lantai 16 hotel Grand Clarion, untuk terakhir kali aku sempatkan memandang kota Makassar yang nyaris terlihat separonya. Dari ujung pandang yang satu, ke ujung pandang yang lain. Dari tepian pantai hingga ke pegunungan di kejauhan. Alhamdulillah, di kota ini kami bisa melakukan silaturahim ke orang-orang yang kami cintai. (*)

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10207888233633188&id=1516544459

Tidak ada komentar:

Posting Komentar