Rabu, 10 Oktober 2018

FEELING AQUA!


AKU DAN AQUA... DI GENGGAMANNYA, NOVELKU, "GADIS TIYINGTALI"

Jangan pergi Jakarta Senin
kalau tak perlu-perlu amat...
Penerbangan padat dan semua pada bergegas...
Itu nasihatku!

Ternyata, istriku harus ke Jakarta.
Senin, karena itu hari ada perlu.
Pagi berangkat, sore pulang.
Masih dapat Garuda di pagi, tapi nihil sore harinya.

Apa boleh buat... Ia cari penerbangan lain. Dapat Sriwijaya. Waktu ia katakan itu, aku ingat Aqua Dwipayana. Itu motivator kondang penulis buku super best seller... "The Power of Silaturahim: Rahasia Sukses Menjalin Komunikasi",  dan "Produktif Sampai Mati".

Ingat, karena pemilik Sriwijaya Air teman baik Aqua. Yang ikut membantu mengangkut jamaah umroh. Yang diberangkatkan Aqua dari penjuru Nusantara. Gratis.

Juga ikut angkut buku-buku Aqua ke seluruh penjuru tanah air. Teman 'plek'. Harus saling membantu. Arti sebuah silaturahim. Maklumlah.

Entah mengapa, aku pesan ke Istri: Ini aku kasih nomor telepon Mas Aqua... Mungkin perlu. Dia sempat  heran, tapi diterima saja. Toh tidak ada jeleknya.

Urusan tiket dan boarding beres. Terbang pukul 18.40, sampai Surabaya 75 menit kemudian. Itu jadwalnya. Sayang delayed dua jam. Terminal padat-dat. Ada beberapa penerbangan terlambat. Ke Semarang, juga Surabaya.

Tapi dapat roti plus Aqua gelas. Dan tidur di pesawat. Kendati kemalaman juga sesampai Surabaya. Setelah orang-orang yang tak sabar adu cepat keluar pesawat.

Dan baru sadar ada yang ngga kebawa. Satu tas plastik yang ditaruh di atas tempat duduk. Setelah istri sampai di tempatku bermalam. 23.30 WIB.

Isinya... bagi orang lain mungkin ngga penting. Dua hand bag, sepotong baju, kosmetik, dan uang delapan ribu!

Tapi... kosmetiknya itu yang ia sesali. Baru saja beli pagi tadi. Baru dicoba sekali. Harganya... aku sendiri baru 'ngeh' ada yang seharga itu...

Aku yang bangun tidur... Senang melihat istriku datang... Kendati feeling ada yang ngga beres... Ternyata benar...  yaitu tadi, barangnya tertinggal di pesawat.

Melihat muram durjanya, aku tak tega. Letih setelah pergi sejak subuh. Capai urusan di Jakarta. Sekarang lesu kehabisan tenaga. Kehilangan kosmetik pula...

Waktu menunjukkan pukul 22.30. Terlalu malam. Tapi kasihan juga lihat wajah sang Istri. Yang besok pagi berencana balik bandara. Untuk cari di Lost and Found.

Akhirnya aku beranikan telepon Mas Aqua. Bel ke delapan baru diangkat. Suaranya masih mantap. Menyebut namaku. Alhamdulillah.

Aku cerita masalah istriku. Dia sangat tanggap. Minta aku kirim datanya. Dan ia akan komunikasikan dengan pihak Sriwijaya.

Bingo! Esoknya foto-foto terpampang di WhatsApp-ku. Persis. Diiyakan istriku. Yang kemudian mendapat contact person yang harus dihubungi: Pak Zayyadi. Di terminal kedatangan. Kantor Sriwijaya Air.

Dan barang-barang istriku diterima komplet-plet. Ia pulang dengan senang. Bawain aku ayam goreng yang dibeli di perjalanan.

Memang Aqua!
Feeling Aqua tak berlebihan.
Aku ingat begitu istri sebut Sriwijaya.
Ternyata... kami butuh bantuannya --dan sangat terbantu.
Itulah feeling silaturahim...
Aku sebut Feeling Aqua!
(10:10:18)

Kamis, 04 Oktober 2018

THE NEWSROOM, DI ETALASE GRAMEDIA



WARTAWAN hanyalah menulis kejadian menyangkut orang lain. Mengenai diri sendiri, akan disembunyikan di laci terdalam --jangan sampai orang lain tahu. Padahal kisah mereka banyak yang menggelikan. Nah, dalam THE NEWSROOM, aku bercerita tentang mereka! Buku ini bisa didapat di TB Gramedia. Don’t Miss It!

Rabu, 03 Oktober 2018

OBRAL ROTI, YUK SERBU...



ROTI kok diobral...
Lha kok diserbu...
Jangan nyinyir dulu sebab ada banyak alasan di balik itu...

Masa lalu, ada hari tertentu roti tawar dapat rabat 50%. Di supermarket. Di akhir pekan. Banyak yang memindahkan roti-roti ke troley. Dan bawa pulang sambil senyum-senyum. Kami hanya bawa tiga potong. Padahal mereka tiga puluhan...

Gerangan apa gaya hidup di Makati ini? Ngga Pilipinos, ngga bule-bule Yankie. Sama-sama memborong roti. Khusus di hari diskon. Di luar hari itu mereka hanya beli dua tiga pak saja. Normal, seperti saat aku beli walau di saat kortingan.

Lama-lama penasaran. Tanya ke tetangga yang orang Thailand. Ternyata ada cara ampuh simpan roti obralan. Yakni, masukkan ke dalam freezer. Bisa awet. Bisa sepekan. Bahkan sebulan.

Dan harap maklum, gaya hidup setempat memang sarapan roti. Bahkan makan siang pun roti. Namanya sandwich. Roti tawar isi. Macam-macam. Ada ham, ayam potong tipis, mayo, acar mentimun rajah, tomat, selada, lectuse.

Rotinya dipotong sepertiga. Tapi dilapis lima susun. Dikemas plastik. Diberi nama. Dijual lewat mesin penjual otomatis. Kita masukkan koin, sesuaikan dengan harga roti yang kita mau. Eng ing eng... kau dapat roti yang kau mau.

Jadi, roti diskonan perlu. Roti perlu dirabat. Sejak saat itu aku menjadi pemburu roti. Roti kortingan... Hingga sekarang. Bukan karena rupiah. Tapi sudah terbiasa dari sananya. Mengapa beli mahal kalau tahu no-how dapat yang murah?

Di sini, di Surabaya, jelang libur panjang toko roti jual obral dagangan. Juga hotel bintang. Mereka tak mau simpan stok. Ngga mau rebyek.

Bagi aku, saatnya hunting kortingan. Mulai tart hingga black forest. Juga roti daging yang biasanya mahal-mahal.

Kalau untuk harian, bisa ke toko ritel yang tersebar itu. Rajin-rajin cari roti tawar yang didiskon jelang jam tutup toko. Atau hotel tertentu. Menunggu bunyi bel berdentang. Tanda harga obralan dimulai. Asyik juga kok. Dan ngga usah sungkan. Sana jual kita beli. Ngutang pakai kartu kredit juga bisa kok.

Kalau yang kemarin, BreadTalk punya gawe. Harga tunggal 7K asal beli delapan. Kebetulan lagi nyari roti krenten favorit yang biasa dibandrol 10K. Ya diborong lah, oleh istriku...

(03:10:18)

Jumat, 07 September 2018

UBUD DAN BREAKFAST GRATIS



UBUD 33 tahun lampau. Masih sepi. Satu dua mobil saja berlalu. Sepeda pancal banyak dipakai. Atau berjalan kaki. Kemana-mana. Ya sah-sah saja sebab desa ini tak terlalu luas. Menempuh sebagian jalan, sebagian pematang sawah.

Hawa masih sejuk. Kabut pagi di mana-mana. Menyelimut hamparan sawah. Muncul dari sungai Ayung. Membuat hati tenang. Mungkin itu pula yang membuat banyak kerasan seniman. Melukis di pagi hari, lantas nyeruput kopi.

Aku tidak cerita tentang seniman. Sudah banyak yang tahu. Kali ini tentang penginapan. Yang di depannya tertulis "Home Stay". Semisal Dewa Home Stay, Made Home Stay, dan nama-nama lugu lainnya. Mengacu nama pemilik.

Home stay banyak terdapat di beberapa spot. Terutama yang masih membaur dengan sawah. Atau perkampungan penduduk.

Ada yang harus tinggalkan mobil di pinggir jalan, lalu jalan kaki menuju home stay. Naik tangga jalan desa 53 tapak dulu. Lalu meniti pematang sawah --yang kiri sawah yang kanan sungai kecil. Kadang disapa babi di kandang penduduk.

Butuh seperempat jam baru ketemu Melasti home stay. Kerap penuh sebab pemandangannya bagus. Kamarnya? Ya biasa-biasa saja. Apalagi untuk ukuran hari ini.

Satu ketika kita bermalam di Jati home stay. Di pinggir jalan, dekat monkey forest. Di bagian depan ada cafe. Disebut cafe karena lebih bagus dari warung kopi. Kursi tinggi seperti bar. Ada musik klenengan. Juga topeng-topeng. Padahal kopinya sama, kopi Bali --di mana-mana orang sebut kopi, ya kopi Bali.

Tak lama Joop Ave lewat. Naik jip terpal terbuka. Ia melihat kami dan melambai. Aku balas. Tak lama Joop balik dan bergabung. "Suwe ora jamu..." ujarnya menyambut tanganku. Istriku mesem.

Kita pun ngobrol ngalor-ngidul. Tentu soal penginapan. Yang masih belum bernama hotel itu. Yang masih harus dipertanyakan, apakah Ubud perlu yang seperti itu? Atau cukup home stay namun setara hotel bintang. Cuma kamarnya ngga usah banyak-banyak. Biarkan menyebar seperti saat itu.

Ubud 33 tahun lampau. Memang bersahaja. Namun sahaja itu yang menjadi daya tarik. Tamu hotel --ups..., home stay-- hanya perlu kamar di malam hari. Siang sudah berkelana sendiri-sendiri.

Jalan-jalan di persawahan, ke monkey forest, melihat aktivitas penduduk, datang ke galeri-galeri, atau museum lukisan. Sedikitnya ada tiga ketika itu: Museum Ratna, Neka, dan Antonio Blanco.

Ada juga pertunjukan tradisional, atau tur ringkas-ringkas ke Goa Gajah, istana Tampaksiring, Kintamani. Kalau sudah puas, nongkrong ke cafe.

Ada yang jual arak Bali. Sebagian dari mereka bisa berjam-jam minum minuman keras. Anehnya, tidak mabuk. Beda dengan orang kita. Baru segelas sudah menggelepar...

Ubud 33 tahun lampau. Menginap di home stay masih sangat murah. Gratis makan pagi. Mereka menyebutnya breakfast. Itulah daya tarik. Breakfast gratis.

Jangan bayangkan makan pagi seperti di rumah sendiri. Apalagi hotel bintang --saat itu, pun saat ini. Yang muncul cuma secangkir kopi (atau teh) dan dua potong roti. Diberi mentega dan ditaburi gula. Gitu saja, atau dipanggang.

Istriku geli melihatnya. Breakfast gratis! Ya... gratis breakfast... Lalu ia ajukan komplain. Mengapa tidak ditambah buah. Kan ada pisang. Pepaya, atau mangga, dan jambu. Dipotong kecil-kecil, disajikan bersama roti dan kopi. Kasih bunga kamboja sebagai elemen estetika.

Ubud 33 tahun lampau. Aku teringat kisah ini setelah Rio anakku menulis di WA Family belum lama ini: Aku inget pas itu mama cerita ke aku, kalo mama abis komplain ke pihak pengelola hotel, kok breakfast-nya hanya begitu?

Dan mama yg ngajarin supaya bikin breakfast buah, dengan potongan-potongan buah pisang, semangka, pepaya. Jadi di zaman itu, mama sudah menjadi hotel consultant/UKM consultant, walau gratis ga dibayar. Yah itulah amal kebaikan, pasti ada balasannya dari Allah SWT.

Ubud 33 tahun lampau... so sweet.

* Joop Ave ketika itu Dirjen Pariwisata zaman pemerintahan Soeharto

(07:09:18)

Rabu, 15 Agustus 2018

BERLIN MUNGIL BERUBAH BENTUK DI RUMAHKU



Keterangan foto; Yang begini, aku tak kuat mengangkat sendiri. Biasanya, aku panen sendiri, aku angkat, dan dengan gagah aku selfie. No way untuk kali ini...


AKU punya banyak pohon pisang. Sejak dulu memang suka. Apalagi itu pohon tak banyak menuntut perawatan. Tanami saja setiap jengkal tanah kosong, kapan-kapan nikmati panenannya.

"Apa ngga khawatir diambil orang, Pak?" tanya Pak Lastri polos. "Di sini orang merasa ngga bersalah mengambil hasil kebun orang," ujarnya sambil memberi contoh ada pisang yang ia gadang-gadang untuk selamatan, eh amblas.

Kalau begitu, tanami juga pinggir jalan itu. Untuk memudahkan mereka yang butuh, ujarku disambut tertawa Pak Lastri. "Lho serius ini, Pak..." Ia tetap tertawa...

Aku tertawa juga lihat gaya Pak Lastri, tukang kebunku di gubuk singgahku di Wilo, Genteng, Pandaan. Hanya selemparan batu ke Taman Dayu, kata orang desa.

Gubugku mewah. Gubug kayu Mepet Sawah. Kanan kiri tanah kosong. Yang kiri punya orang. Yang kanan juga punya orang. Tapi lebih ke kanan, milik aku.

Yang di belakang, melembah, sepanjang mata memandang hamparan persawahan. Punya aku? Bukan. Tapi aku ikut menikmati lambaian daun padinya. Gratis. Alhamdulillah, nikmat apa yang tak harus aku syukuri...

Nah kembali ke pisang. Di halaman induk memang ada beberapa pisang Raja. Ada juga satu dua pisang lokal. Namanya pisang Berlin --disebut juga Barlin.

Pisang Raja semua tahu kan? Panjang, besar dan gemuk. Manis rasanya. Enak dimakan begitu saja. Tapi bisa juga digoreng. Harga goreng Raja bisa Rp 6.000. Bahkan lebih. Kalau yang segar, Rp 50.000 sewirang baru dilepas. Namanya juga Raja.

Nah yang Berlin ini, agak apes nasibnya. Buahnya kecil seperti pisang Emas. Ujungnya lebih runcing. Kuningnya agak pudar. Kurus. Manis sih, tapi agak asam. Yang jual pun kadang bilang Emas KW-2.

Pisang-pisang yang begini yang jadi sasaran orang. Mudah dibawa pulang tanpa ketahuan. Apalagi pohonnya tak terlalu tinggi.

Makanya aku bilang ke Pak Lastri... Tanamlah pohon ini. Jika hasilnya diambil orang, mungkin dia memang butuh. Kita juga tidak bisa memakan semuanya. Anggaplah sedekah...

Masih dengan manggut-manggut, Lastri mengerjakan juga. Saya lebih tertawa lagi, saat tetangga depan kasih tahu, "Pak Lastri kan selalu adzan. Malingnya tahu Lastri ngga di rumah, ya pisangnya diambil..."

BERMUTASI?

Apes banget kan nasib si Berlin. Aku kasihan, dan minta dua bibit untuk dibawa pulang Surabaya. Untuk menambah koleksi di rumah. Toh tubuh batangnya relatif kecil. Mungil. Semungil pohon pisang kayu buatan orang Bali.

Karena aku tanam di halaman belakang yang mentarinya hanya 50%, tumbuhnya agak lama. Berbuahnya juga lama. Tapi ajaibnya, wajah Berlin yang runcing tak tampak. Dia malah cenderung gendut. Warna kuningnyapun enak dipandang.

Rasanya? Ini dia! Dagingnya tak sekeras pisang Emas. Malah lebih empuk dan renyah. Masam? Enggak juga. Manis, empuk, dan enak dikonsumsi begitu saja. Memang tak selegit Emas, yang ini cenderung mendekati pisang Susu.

Persis! Ini pisang Susu. Bagaimana ia bisa bermutasi di halaman rumahku? Entahlah. Toh aku juga pernah mencangkok mangga Manalagi. Hasilnya aku tanam di tempat yang lain.

Keluar buah mangga? Lha iyalah. Cuma bukan Manalagi, tapi mangga Lalijiwo. Kecil hitam agak metekel. Dagingnya keras, tapi sejak muda sudah manis-masem.

Dulu banget, buk Madura suka jualan ini di depan toko-toko mewah di Tunjungan. Saat masih rame! Tahun 60-an. Paling tidak sampai 70 akhir...

Balik ke pisang ya. Karena si Berlin tumbuh di bawah pepohonan mangga, yang sinar mentarinya cuma 50%, maka aku berniat memindahkan ke depan. Yang dapat 100% sinar, dan di bekas tempat pembuangan sampah dapur.

Hasilnya? Luar biasa. Bukan Berlin lagi. Ini benar-benar Susu. Pun Susu Super. Belum pernah merasakan yang begini. Mereka yang kebagian, selalu berseru "Susu sebesar ini?" Termasuk kakakku yang akhir-akhir ini mulai doyan pisang.

Kalau sudah begini, aku jadi ingat Pak Lastri. Betapa senang jika ia bisa melihat Susu Superku. Yang di sana kecil digadang-gadang, disini besar luar biasa. Jika yang di Welo bisa sebesar ini --dan diambil orang-- betapa kesalnya hati Pak Lastri.

Tapi kalau ia paham pesanku, justru amal itu yang bisa mengiringinya ke akhirat. Selamat jalan Pak Lastri, bibit yang kau siapkan ini juga punya amalanmu. Alfatihah.
(15:08:18)


Rabu, 08 Agustus 2018

SI BEMO KETIKA ITU TAKSI METROPOLITAN



Keterangan foto: Aku, kakakku Indri Karani, dan sepupuku, Kiddy, menjadi saksi peradaban abad lalu di seputaran Senayan. Kini kami (tengah) sudah pada tua, tak ada tenaga jalan kaki ke sana lagi...


ABAD lalu, Jl. Soedirman masih berdebu. Kering kerontang. Juga jalanan sekitar. Tapi justru kondisi ini yang membuat Istora --Istana Olahraga-- terlihat kinclong. Gemerlap. "Tjantik", tulis awak pers di masa itu.

Apalagi, nama Bung Karno tak lepas dari penggagas pesta olahraga Asian Games, yang dalam penyelenggaraan sebelumnya Indonesia menyabet Runner Up.

Jakarta yang konon modern itu, ya hingar di seputaran Senayan. Seingatku, hanya kompleks bangunan megah olahraga itu yang ramai dikunjungi.

Aku bangga berada di saat-saat penyelenggaraan akbar itu terjadi. Pada 24 Agustus, 1962. Muhibah dari kampung halaman di Surabaya, khusus nonton Asian Games. Bersama papa mama, juga tiga saudaraku.

Naik mobil yang masih gres, Morris Oxford. Buatan Inggris. Lancar jaya walau belum ada tol. Dan tetap bangga saat berdamping dengan taksi resmi pertama negeri impian. Buatan Jepang. Bemo.

Bener... si Bemo roda tiga itu yang menjadi taksi metropolit masa itu.  Dengan warna khasnya, apple green. Dengan tulisan TAXI di atapnya. Masih pakai kanvas di bak belakangnya. Dan berkeliaran seputar Senayan mengangkut penumpang.

Bus kotanya? Robur yang gembul pendek itu. Berjalan perlahan kayak kawanan gajah. Tapi di mata aku saat itu, Bemo (Daihatsu) dan Robur adalah bentuk-bentuk futuristik.

UJI-COBA

Semua bicara tentang hebatnya Senayan. Yang kala pembukaan Asian Games dihadiri 100.000 orang. Tentu di antara mereka, lima orang rombonganku dari Surabaya. Dan itu aku catat di notes --buku kecil yang biasa di kantong wartawan-- yang dibagi papa sebelum pergi.

"Buatlah catatan apa saja yang kau lihat dan kau suka...," perintahnya. Dasar wartawan senior, maunya tentu begitu...

Dan aku gambar Stadion Utama. Lengkap dengan garis-garis seolah bersinar. Juga para atlet yang berpakaian ketat. Penonton yang bergembira. Tak ketinggalan si Robur dan si Bemo.

Dan catatanku menyebutkan, kami --aku, saudaraku, juga sepupuku-- pulang ramai-ramai jalan kaki dari Senayan ke blok P-5, Kebayoran Baru.

Kalau sekarang, itu tuh deket-deket rumah Pak JK. Jalan kaki lho, baik saat uji coba pembukaan pada 23 Agustus 1962, maupun acara-acara lainnya.

Ngga naik taksi? Ya ngga kebagian. Konon cuma seratusan Bemo. Maunya naik becak, kalau siap antre. Dan bayar mahal. Tapi karena kami rame-rame, ya jalan kaki ngga terasa. Jalan sambil berlarian.

Bagaimana kalau itu terjadi di abad sekarang?
Oh no..., thanks. Mana tahan...

(08:08:2018)


Jumat, 13 Juli 2018

BAPAK NAKAL... AKU MENANGIS...


Keterangan foto: Alhamdulillah mendapat kunjungan Dr. Anin, yang sekaligus membawa kabar aku boleh pulang...


"BAPAK nakal!"
Ini pertama kali komentar yang terucap dari dr. Anin. Ketika itu, ia menjenguk aku di ruang Tulips 328, RS. Dr. Soewandhie.

"Bapak membuat saya menangis...," ujar dokter Spesialis Paru ini.

Apa pasal? Lebaran tempo hari, aku memberi dia hadiah sebuah novel karyaku, "Gadis Tiyingtali" (2012). Novel bergenre seni lukis yang bercerita tentang seorang anak merindukan sosok ibunya.

Berhasilkah? Pertemuan itu sejatinya tidak disengaja. Kebetulan sebuah lukisan "menggiring" reuni keluarga --seorang ibu berjumpa dengan anak gadisnya.

Kisah Gadis Tiyingtali inilah --Tiyingtali terletak di lereng Gunung Agung, Kab. Karangasem, Bali-- yang membuat Dr. Anin menangis.

Dan "menyalahkan" diriku... Berulang kali ia katakan, "Bapak nakal..."

Anin sebenarnya penyuka buku bacaan. Tapi yang sebangsa Ko Ping Ho... Penuh action. Keras. Serba 'siat...', gitulah! Bukan yang mendayu...

Toh Gadis Tiyingtali ia selesaikan juga. Sampai titik terakhir. Sampai mbrebes mili. Sampai menangis. Terurai air mata.

Seketika ia tersadar, lho air mataku koq menetes... Jadi komentar yang tepat ya memang itu... "Bapak nakal..."

Karena aku surprised akan komentarnya, maka aku berikan hadiah lain, novel karya terbaruku, "Menggapai Surga".

Ia menyambutnya dengan antusias. Tapi tetap saja mengatakan, "Bapak nakal..."

Dalam hati aku geli membayangkan. Kalau Gadis Tiyingtali aja membuat dia menangis, belum tahu si dokter ini bagaimana jalan cerita Menggapai Surga.

Sebab... aku saja --the auctor, si pengarang-- beberapa kali mencucurkan air mata saat membaca ulang kisah Marce Marconna dan Abdul Qaidir ini. Mbrebes mili, sesenggukan, dan benar-benar menangis.

Nah Dok... Selamat mengikuti kisah Marce dan Qaidir... Tak bisa aku bayangkan, apa lagi ucapmu setelah itu, selain "Bapak nakal..."
(13:07:18)