Sabtu, 17 November 2012

MENGGAPAI PELANGI: sebuah novel-biografi


Menggapai Pelangi






Hj. Nana Tommy Sunartomo



Menggapai Pelangi adalah sebuah biografi Nana Tommy Masdjedi yang ditulis oleh Yuleng Ben Tallar dengan menggunakan "gaya aku", sehingga pembaca seolah mendengarkan penuturan langsung dari nara sumber. 
Nana sendiri merasa nyaman dengan gaya tersebut, dan ia mengistilahkan kisahnya itu dengan "Siapa yang ingin aku dongengi..."
Buku ini sudah dua kali dicetak, yakni pada 17 November 2012, dan Juni 2013.
  
  

Menggapai Pelangi
Hj. Nana Tommy Sunartomo
Copyright  @ Yuleng Ben Tallar




Tiada yang Bisa Kalahkan Kekuatan Doa,
Allah Suka Sekali Jika Engkau Meminta





Penulis              : Yuleng Ben Tallar
Editor                 : Syahrul B. Hidayat
Layout               : Koko Sadyantoro
Desain Cover   : Sandiantoro
Foto                   : Yuleng Ben Tallar, dok. Nana Fauzanah Masdjedi
Desain Kreatif dan Percetakan  : Byzantium Creative


ISBN: 978-979-25-9428-7
Cetakan I: November 2012


Diterbitkan oleh:
Selasar Surabaya Publishing
Hak cipta dilindungi undang-undang




Mengutip tanpa seizin pengarang adalah pelanggaran. Demikian pula memperbanyak dengan fotokopi atau citra digital. Kecuali untuk kepentingan resensi dan keilmuan, terbatas tidak lebih dari satu halaman buku ini.

  



Buku ini aku didedikasikan kepada kaumku
dengan harapan bisa menjadi motivasi dalam mengisi
kehidupan berumahtangga. Banyak hal yang bisa kita lakukan
tanpa harus melupakan tugas utama mendampingi suami
dan mengasuh serta membesarkan anak-anak.
* Nana Tommy Masdjedi




MENGGAPAI PELANGI: Catatan Nana Tommy Masdjedi




Sekapur Sirih
Berkarier Tanpa Lupakan Anak

ZAMAN sudah banyak berubah. Kalau dahulu seorang istri sebagai kanca wingking sudah dianggap ketinggalan zaman, apalagi hari ini. Justru jamak terlihat keluarga-keluarga muda menyerahkan anaknya ke baby sitter. Atau ke guru pribadi, malah ke neneknya. Suami istri berlomba mengejar karier sekaligus meraih penghasilan.
Tidak bisa dipungkiri, itulah fenomena kehidupan di kota besar. Padahal, masalah pendidikan anak dan keberhasilan karier bagaikan neraca yang seimbang. Keduanya perlu didapatkan, tak bisa mengorbankan salah satu di antaranya. Terlebih masalah pendidikan keluarga bagi si kecil yang tidak mungkin diserahkan sepenuhnya kepada pembantu.
Aku beruntung hidup dalam zaman yang relatif mudah. Persaingan tidak sekeras sekarang. Masih banyak pekerjaan yang bisa aku rintis di rumah. Bahkan sampai detik ini –ketika anak-anakku sudah menjadi orang, bahkan beberapa di antaranya sudah menikah— sebagian besar waktuku adalah di rumah.
Mulai membordir, membatik, merancang perhiasan, hingga melukis semua aku kerjakan dalam studio di rumahku. Termasuk menolong orang, mendoakan sesuai dengan keinginannya, atau sekadar memberikan nasihat-nasihat. Kalau toh aku pergi, hanyalah untuk pemasaran dan pameran. Dengan demikian aku masih bisa memanfaatkan banyak waktuku tanpa perlu membuangnya di jalanan akibat kemacetan lalu lintas.
Siasat seperti inilah antara lain yang ingin aku tawarkan sebagai alternatif bagi ibu-ibu muda agar mereka masih mempunyai cukup waktu untuk buah hatinya. Lakukanlah pekerjaan di rumah, terutama ketika si kecil masih memerlukan banyak perhatian.
Tentu tidak semua bisa melakukan seperti ini. Para pengejar karier akan kesulitan mendapatkan waktu ekstra di luar jam kantor. Belum lagi harus menghadiri pertemuan dinas, atau jamuan mitra bisnis.
Ini pula sebabnya, banyak kalangan profesional di negara maju yang kemudian mengorbankan rumah tangganya. Mereka meninggalkan perkawinan, dan hanya mengabdi pada kariernya semata. Tampaknya gejala semacam ini mulai tampak disini, kendati masih secara sporadis.
Aku tidak mungkin membendung keinginan anak muda untuk berkarier. Yang bisa aku anjurkan, teruslah berkarya tanpa meninggalkan fungsi wanita sebagai seorang ibu rumah tangga. Carilah celah-celah yang masih memungkinkan. Tersedia banyak varian asalkan kita cukup jeli melihatnya.
Apa yang aku kerjakan, tentunya tidak cocok bagi anak-anak muda sekarang. Namun setidaknya, bisa menjadi motivasi dalam menumbuhkembangkan inspirasi mereka. Itulah yang bisa aku harapkan.
Di zaman mendatang, pemikiran seperti yang aku sampaikan pastilah dianggap cerita masa lalu. Yang sudah tidak mungkin lagi dilakukan orang. Namun aku percaya, generasi berikut pasti mendapatkan jalannya dalam mencapai keseimbangan antara urusan mencari nafkah dan mendidik anak.
Yang aku khawatirkan, kalau tren yang terjadi di luar negeri justru menggurita di sini. Kaum wanita berlomba menjadi profesional sejati dengan mengabaikan biduk perkawinan, sementara kaum prianya kalah bersaing. Coba tengok gejala yang selama ini terjadi. Untuk kalangan menengah,  justru kaum wanitalah yang memperoleh peluang lebih besar dalam mendapatkan lapangan pekerjaan.
Mudah-mudahan kekhawatiranku tidak sampai terjadi. Harapanku, kaum wanita masa depan tetap menjadi pendamping suami dalam menghasilkan generasi muda tangguh sekaligus memperkokoh penghasilan rumah tangga. Jadilah keluarga Indonesia yang sakinah, mawardah, dan warohma. Semoga.

Hj. Nana Tommy Sunartomo Masdjedi 




MENGGAPAI PELANGI: Tak Pernah Sepi Gagasan...

Catatan Pengantar
Wanita Tak Pernah Berhenti 
         

Nana Masdjedi bersama Yuleng
Ben Tallar di Dili, Timor Timur
pada saat integrasi



   Saya mengenal wanita ini pada tahun 1976 di kota Dili, Timor Timur, persis satu tahun integrasi wilayah kecil itu ke Republik Indonesia. Ia datang bersama rombongan besarnya untuk tampil menghibur rakyat setempat pada perayaan Hari Kemerdekaan, 17 Agustus.
Ketika ia membutuhkan seorang peragawan untuk mengimbangi sepuluh peragawati Fit & Chic tampil di catwalk,  ia “merekrut” saya sebagai peragawan dadakan. Yang ingin saya ceritakan, betapa seorang Nana Masdjedi bisa berpikir cepat untuk mengatasi suatu permasalahan yang timbul.
Komando teritori setempat menghendaki peragaan itu bertemakan “kemakmuran rakyat membangun negeri”. Padahal mereka telanjur hanya membawa peragawati. Diperlukan figur pria dalam mewujudkan tema tersebut.
Ketika Nana melihat kehadiran saya –saat itu saya sebagai seorang wartawan— serta merta ia meminta kesediaan untuk ikut tampil. Tidak pernah terpikir dalam batin saya untuk meletakkan kamera. Saya orang lapangan yang sedang bertugas. Namun bukanlah Nana kalau ia tidak bisa “memaksakan kehendaknya” demi kepentingan yang lebih besar.
Ternyata dalam kehidupan kesehariannya, wanita ini selalu bertindak cepat. Orang lain belum memikirkan, dia sudah melakukan. Yang lain masih merundingkan, dia malah sudah mewujudkan. Mungkin karena kecepatan berpikir itulah membuat orang lain sulit mengikuti jalan pikirannya. Kerap orang kesulitan menangkap maksud hatinya, toh ia tetap saja berjalan untuk mewujudkan angannya.
Demikian pula nasib buku yang sedang Anda hadapi sekarang. Seharusnya buku ini sudah terbit tahun lampau. Namun di tengah-tengah proses wawancara dan penulisannya, ia minta agar dihentikan sementara. Nana justru ingin saya menulis buku yang lain, yakni tentang kehidupan Prof. Dr. dr. Roemwerdiniadi Soedoko, SpPA (K). Hal ini semata-mata karena ia ingin memberikan hadiah ulang tahun ke-75 kepada peraih penghargaan WHO itu.
Setelah buku Prof. Roem Soedoko yang berjudul Queen of Cancer Control itu terbit, barulah penulisan buku tentang Nana Tommy Masdjedi ini dilanjutkan. Di tengah-tengah perjalanannya kemudian, penulisan ini nyaris kembali dihentikan. Alasannya karena ada kehidupan seorang profesor lainnya di lingkungan Universitas Airlangga yang perlu didahulukan. Kali ini sayalah yang menolak dengan alasan ingin fokus menyelesaikan bukunya terlebih dahulu.
Demikian pula halnya dengan melukis. Pada saat mood-nya tiba-tiba muncul, ia tak peduli situasi sekeliling. Nana akan mengambil cat berikut kuasnya, menorehkan warna membuat garis-garis yang sedang ia minati. Sama halnya ketika ada tamu yang hadir pada saat ia sibuk menyelesaikan lukisannya. Jangan harap ia berhenti melukis. Ia berhenti kalau memang seleranya mulai memudar, bukan karena kehadiran tamu tersebut.
Nana Masdjedi kerap pula mengambil insiatif untuk memecahkan permasalahan yang timbul. Baik yang menyangkut dirinya, keluarga, maupun teman-temannya. Kalau tidak terbiasa dengan sikapnya ini, kita akan mengira Nana merupakan pribadi yang suka ikut campur urusan orang. Padahal sebenarnya, justru keinginan membantulah yang menyebabkan ia melakukan itu semua.
Itulah Nana Tommy Sunartomo Masdjedi, wanita yang tidak pernah berhenti dengan gagasan-gagasannya. Tidak pernah bisa berpangku tangan melihat situasi yang tak terselesaikan. Melalui buku ini kami berharap sidang pembaca bisa lebih mengetahui perjalanan Nana berikut visi dan misinya dalam menghadapi kehidupan ini. Selamat mengikuti.


Yuleng Ben Tallar







Naik Kereta Uap ke Sekolah



Kereta ini masih berjalan hingga tahun '70-an



Gara-gara ingin ketela goreng,
aku ikhlaskan roti keju
dan telorku

AKU 18 bersaudara, anak kedua perempuan pertama. Mungkin karena saudaraku banyak, ayah mengajarkan disiplin luar biasa. Banyak sekali aturan dibuat, dan sangat ketat pelaksanaannya. Pada saat itu aku menilai tindakan ayah cukup strenge, namun belakangan setelah kami menginjak dewasa, baru sadar kalau itu gaya militer.
Ayahku memang pejuang kemerdekaan. Apakah ia pensiunan tentara, janganlah bertanya. Aku tidak paham mengenai itu. Nanti aku ceritakan di lain waktu. Setahuku ia dekat dengan Angkatan Laut, dan mempunyai tanda jasa cukup banyak. Sekarang semuanya aku simpan dengan rapi di dalam lemari.
Ketika aku duduk di bangku Sekolah Rakyat, ayah sudah tidak ada urusan dengan militer. Kalaupun ada, terbatas mengurus pembangunan gedung Sekolah Rakyat Hang Tuah yang terletak di seputar kompleks marinir. Selebihnya ayah mengurus hotelnya yang berada di ujung Jl. Sumatera –sekarang kita kenal sebagai Hotel Sahid Surabaya. Posisi hotel berlantai dua itu berhadap-hadapan, dan oleh Presiden Soekarno diberi nama Bima Sakti.
Kendati masa kecilku banyak di Surabaya, aku bukan asli arek Surabaya. Aku lahir di kota Lawang pada 17 November 1947. Setelah itu orang tuaku pindah ke Malang, menempati rumah besar di Jl. Palem. Kenangan kota Lawang yang masih aku ingat adalah cerita ibuku tentang teman Belandanya, Ny. Girungan. Beliau adalah pelukis dan pembordir.
Kepada Ibu ia bercerita, orang yang kerap menggunakan warna-warna keras –seperti dirinya— umumnya mempunyai karakter yang kuat. Aku tidak tahu warna-warna keras yang dimaksudkan. Oleh karena itu aku bertanya kepada ibu. Aku masih ingat ketika ibu menjawab sambil mengulangnya sampai dua kali. “Warna keras itu merah, kuning dan hijau.”
Entah karena penjelasan ibu yang sangat tertanam di otakku ketika itu, atau memang karakterku yang kuat, ternyata dalam kehidupanku selanjutnya aku begitu menyenangi warna-warna keras. Toh akhirnya aku lebih percaya, apa yang ditanamkan ibu itulah yang mempengaruhi karakterku.
Kalau di Lawang masalah warna yang mempengaruhi kehidupanku, lain lagi di Malang. Keluarga kami begitu dekat dengan Tante Kus Adelina, istri Om Halim Perdanakusumah (alm) –penerbang yang gugur setelah pesawatnya jatuh. Tante Kus mempunyai seorang putera bernama Yan Perdanakusumah yang biasa aku panggil Yeni. Suatu ketika kelak sama-sama pindah ke Surabaya, dan secara kebetulan rumah kami saling berdekatan.
Entah mulai kapan keluarga kami pindah ke Surabaya, menempati rumah yang tak kalah besarnya di Jl. Diponegoro 19-21. Yang aku ingat, saat duduk di sekolah Taman Kanak-kanak aku sudah ada di kota itu. Aku bersekolah di dua tempat, TK Hang Tuah tak jauh dari rumah, dan TK Atarbiah di kampung Arab yang lumayan jauh dari tempat tinggalku. Di masing-masing TK itu aku masuk selama tiga hari dalam seminggu.
Bersekolah di TK Atarbiah itulah aku untuk kali pertama bertemu dengan Pak Kasur dan Ibu Kasur. Kedua orang ini sangat terkenal di mata anak-anak pada zaman itu. Beliau berdua banyak memberikan andil dalam hal tarik suara.
Waktu aku masuk Sekolah Rakyat, tidak jauh-jauh dari rumah kami, yakni SR Hang Tuah. Lokasinya sama dengan TK-ku sebelumnya. Di SR Hang Tuah aku cukup populer di kalangan pengajar. Mungkin karena peran ayahku. Beliau bukan pemilik, namun penyandang dana terbesar dalam pembangunan di sekolah itu. Aku masih ingat bagaimana ayah mencarikan dana untuk sekolah tersebut. Bukan tidak mungkin file tentang ayah masih tersimpan di sana sampai sekarang ini.

Bersama Mbok Bakul
Saat menginjak bangku SMP, aku bosan bersekolah di dekat-dekat rumah. Aku ingin sedikit agak jauh agar bisa “keluar dari kungkungan” rumahku --yang pintu pagarnya selalu terkunci rapat. Aku ingin seperti anak-anak lainnya. Aku bersyukur bisa diterima di SMPN 2 Jalan Kepanjen. Sayangnya, ayah masih ketat “mengawalku”. Pergi-pulang sekolah masih harus diantar sopir menggunakan mobil beliau.
Aslinya aku ingin seperti anak-anak sebayaku. Pergi sekolah naik sepeda, atau ikut kereta uap yang lazim kita sebut spur hitam. Kebetulan, kereta tersebut lewat di depan rumahku. Tapi bagaimana bisa melaksanakan niatku? Tidak mungkin aku menunggu di halte dekat rumah.
Aku tidak kekurangan akal. Sejak pagi aku sudah bersiap di mobil. Begitu kereta lewat, aku perintahkan pak sopir berangkat. Aku suruh susul kereta itu, dan berhenti di halte berikutnya. Aku segera naik kereta, sementara sopirku meneruskan perjalanan dan menungguku di halte dekat sekolah.
Ternyata aku berjumpa dengan teman-temanku yang sudah ikut kereta sejak dari Stasiun Sepanjang. Awalnya kami bergembira bersama di satu gerbong. Kemudian berlarian dari satu gerbong ke gerbong lainnya. Aku tak bosan-bosannya naik itu kereta. Sampai suatu ketika, justru teman-temanku yang bosan. Kami kemudian berganti posisi. Ketika aku naik kereta, mereka turun dan pindah ke mobilku menuju sekolah.
Pada zaman itu, mereka sangat bangga bisa naik Mercedes Benz. Sementara aku menikmati kesendirianku di kereta uap yang berjalan lamban dengan suara serulingnya yang khas. Aku bisa melihat mbok-mbok bakul dengan dagangannya, atau penjual lontong balap berikut pikulannya. Aku bersyukur bisa melihat kehidupan masyarakat bawah --yang kelak pada saat aku dewasa membentuk empatiku terhadap mereka.
Rahasia ini bisa tersimpan dengan aman berkat peran serta sopirku yang selalu setia menunggu di tempat pemberhentian spur. Dengan demikian orang rumah mengira aku aman-aman saja pergi bermobil. Sampai suatu hari, ibu keheranan melihat bajuku. “Siapa yang merokok?” tanyanya sambil menunjuk bekas lubang gosong di seragam sekolahku.
Ups... rupanya bunga api dari tungku uap kereta ada yang hinggap di bajuku. Untungnya aku tangkas memperoleh alibi. “Tadi aku kan buka lebar-lebar jendela mobil. Ada kereta uap melintas. Mungkin percikan apinya ada yang sampai ke aku...” Jawaban yang masuk akal, sebab ibu tak lagi bertanya.
Ketika duduk di bangku SMA, trick serupa juga aku lakukan. Bedanya, sekolahku kali ini relatif dekat dengan rumah. Ini terjadi karena menjelang pendaftaran sekolah, aku terbaring di rumah sakit usai operasi usus buntu. Hilanglah kesempatan untuk bersekolah di SMAN kompleks. Aku diterima di SMA Brawijaya, itu pun melalui pendaftaran susulan.
Walaupun dekat –kurang lebih tiga kilometer— aku tetap diantar sopir. Kadang-kadang saja diantar pak becak langganan keluarga. Aku mencari akal agar bisa mendapatkan kebebasan. Namun kali ini sasaranku bukan lagi kereta uap. Aku melihat banyak temanku lewat di depan rumah mengayuh sepeda. Sesuatu yang langka bagi penghuni rumahku. Aku harus bisa menguasainya, pikirku suatu pagi.
Di halaman sekolahlah kesempatanku mengenal kereta angin. Aku pinjam milik temanku, dan berusaha sebisa mungkin mengemudikannya. Kerja kerasku tidak sia-sia. Aku mulai bisa mengayuh dan menentukan arah. Sampai suatu saat, aku cegat temanku di tengah jalan arah sekolah. Aku suruh ia duduk manis di mobilku, gantian aku yang membawa sepedanya.
Duh... rasanya bangga sekali. Aku bisa mengayuhnya dengan selamat sampai halaman sekolah. Ini adalah pengalaman pertamaku mengayuh sepeda di jalan raya. Sampai detik ini aku masih merasa bangga karena tidak satu pun saudaraku yang bisa naik sepeda. Dan aku satu-satunya anak yang dibelikan sepeda oleh orang tuaku, kelak ketika aku kuliah di Jogja.

Es Krim Ndeso
Seperti aku kisahkan di awal tulisan ini, orang tuaku sangat keras mendidik anak-anaknya. Terutama ayah. Kita tidak pernah berani menyangkal perintahnya. Kalau pun berani, harus pandai-pandai menyembunyikan rahasia agar jangan sampai ketahuan. Kalau gagal, kiamatlah!
Nah, aku punya rahasia kecil. Kali ini soal makanan. Sebenarnya, ibu selalu menyediakan makanan cukup banyak untuk kami semua. Apa pun nyaris tersedia,  kecuali makanan kudapan. Kami memang dilarang keras mengudap, baik di sekolah apalagi di rumah. Bisa dimengerti karena zaman itu masih banyak penyakit yang disebabkan makanan yang kurang bersih.
Tapi anak kecil mana sih yang tidak suka ice cream? Jangankan yang buatan Ice Cream Palace Zangrandi, es gandul saja sudah bisa menjadi bahan berebut. Nah dahulu, ada es Nam Sin yang ditawarkan dari rumah ke rumah. Menggunakan gerobak dorong warna hijau, di dalamnya tersedia empat hingga enam termos. Kita menyebutnya es blok, sebab bentuknya segi empat memanjang.
Sebenarnya es Nam Sin ini jenis es krim murahan yang dibalut coklat keras. Kemudian dibungkus kertas putih, dan disimpan dalam termos supaya tidak mudah mencair. Pengemasannya sangat sederhana, jangan dibandingkan dengan ice cream Walls yang sangat populer sekarang ini.
Namun keistimewaan es krim Nam Sin ini --paling tidak bagi diriku— kemasannya sungguh khas! Dengan mudah aku bisa membayangkannya, dibandingkan kalau harus mengingat kemasan ice cream produksi sekarang seperti Walls, Campina, Cornetto, dan sebagainya. Begitu pula rasanya. Aku bisa mengingat di ujung lidahku. Khas es krim ndeso, tapi unforgetable!
Gara-gara Nam Sin ini pula aku distrap ayahku. Suatu hari yang terik, Pak Min lewat depan rumah lengkap dengan rombong hijaunya. Dari jauh aku sudah tahu berkat bel ‘ting ting’-nya. Aku cegat, dan suruh masuk ke halaman. Saatnya pesta es krim, pikirku. Ternyata, aku lupa itu hari pendek. Ayah suka pulang lebih awal. Dan benar, suara klakson mobil berbunyi dua kali dari balik pintu pagar.
Demikian ketakutannya, buru-buru aku tarik Pak Min ke kamar lewat jendela. Maksudku, agar ayah tidak melihatnya. Tapi aku lupa, rombong Pak Min masih ada di halaman. Maka dengan mudah ayah menemukan Pak Min. Beliau memborong es krim yang tersisa, dan meletakkan di atas meja.
Setelah Pak Min dibayar dan disuruh pulang, giliran aku yang mendapat hukuman. Sambil ditunggui ayah, aku harus menghabiskan seluruh es krim yang ada di atas meja. Benar-benar “pesta” yang menyiksa. Satu persatu aku masukkan mulut, dan persis es krim yang keempat aku lari ke kamar mandi. Muntah.
Sejak saat itu aku kapok makan es krim. Ketika bertemu Pak Min, dengan hati-hati orang tua itu menawari aku. “Ngga apa-apa mbak, ini gratis dari Pak Min...” Aku menggeleng, sambil dalam hati menyesalkan kejadian tempo hari. Gara-gara ayahku, aku selalu mual melihat Nam Sin. Baru kira-kira dua tahun kemudian, aku kembali normal menerima kehadiran es krim itu di mulutku.

Bertukar Makanan
Kalau Nam Sin membawa kesialan, tidak demikian jajanan yang ada di sekeliling sekolah. Kendati kedua orang tuaku tidak memberi uang jajan, bukan berarti aku tidak bisa mencicipi makanan yang disiapkan mbok Bon. Aku aman-aman saja melakukan hal itu sejak SMP hingga SMA.
Caranya, dengan membarterkan bekalku. Setiap pagi, aku selalu membawa roti keju atau roti berlapis selai, telor rebus, lengkap dengan susu. Kadang aku membawa agak berlebih, sampai-sampai ibu keheranan melihat porsiku. “Apa habis?” ujarnya. Aku tersenyum sambil mengacungkan ibu jariku. Sip!, seperti kata anak zaman sekarang.
Nah, sesampai di sekolah, bekal inilah yang menjadi “senjataku”. Awalnya, ketika itu aku masih duduk di bangku di SMP, ingin sekali merasakan ketela goreng yang dibawa temanku. Dengan mudah aku bisa membujuknya. Maka berpindahtanganlah rotiku dengan ketela goreng. Aku benar-benar menikmati, sesuatu yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.
Hari-hari selanjutnya, aku bisa merasakan pisang goreng, nagasari, dan bermacam jajan pasar lainnya. Semuanya hasil barter dengan teman-temanku. Sampai suatu ketika, aku tahu di meja mbok Bon tersedia lebih banyak lagi jenis kudapan. Aku pun mencoba memelas ke mbok Bon, dan berhasil! Aku masih ingat sekali, makanan yang menjadi favoritku adalah es kolak.
Ketika di SMA, kudapanku mulai aneh-aneh. Aku tukarkan telurku hanya gara-gara ingin merasakan sensasi makan buah kedondong. Bukan semata rasanya, akan tetapi bagaimana prosesi memakannya. Anak-anak pria melakukan itu dengan membanting sekeras-kerasnya ke lantai. Setelah hancur, dikrokoti begitu saja. Maaf aku tulis dalam bahasa Jawa, sebab tidak ada terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Sedang anak-anak wanita menjepitkan buah itu ke daun pintu yang kokoh menempel pada kusennya. Setelah pecah, baru di makan bagian per bagian. Cara ini tidak bisa ditiru anak-anak zaman sekarang sebab daun pintu itulah yang bakal jebol tak tahan menahan beban.
Memakan kedondong bisa menjadi ritual tersendiri. Kami memakannya secara bersama-sama –satu buah bisa untuk berdua atau bertiga. Cara memakannya dengan garam bercampur lombok. Tidak jarang wajah teman-teman memerah akibat kepedasan. Yang mengherankan, makan rame-rame ini justru mempererat persahabatan kita.
Tak jarang cerita ini menggugah kenangan lama ketika kami bertemu kembali di saat sudah sama-sama menjadi orang. Kami tertawa terpingkal-pingkal bersama. Ternyata buah kedondong bisa mengikat tali persahabatan kita semasa di SMA. (*)



Bakat Muncul dari Masa Lalu

Bordiranku


“Komputer” di otakku segera sajikan
kenangan lama. Tiba-tiba aku
mampu desain bordiran

KALAU sekarang aku bergumul dengan dunia kesenian, tentunya tidak datang secara tiba-tiba. Awalnya, memang aku merasa menemukan bakat di perjalanan. Serasa bukan suatu kesengajaan. Atau, aku memang mempunyai talenta yang luar biasa sehingga dengan mudah bisa mempelajari sesuatu dengan cepat.
Aku sendiri heran dibuatnya. Apa yang aku tangani, senantiasa terselesaikan dengan baik. Ketika aku memanggil guru, ternyata tanganku lebih dahulu dibandingkan aba-aba sang guru. Sampai suatu ketika aku sempat ketakutan. Bukankah kalau aku tiba-tiba mampu melakukan sesuatu, juga bisa demikian sebaliknya?
Sampai detik ini, alhamdulillah aku menguasai dengan baik seni membordir, membatik, mendesain pakaian, mendesain perhiasan, dan melukis. Bahkan aku juga memperoleh kelebihan untuk menyembuhkan orang, serta menjadi mediator. Disamping itu, Allah kerap memanjakan dengan mengabulkan doa-doaku. Apakah semua itu secara kebetulan?
Tidak ada suatu kebetulan kalau itu terjadi berulang-ulang. Aku sungguh meyakininya. Oleh sebab itulah aku berusaha mencari tahu bagaimana bakat-bakat tersebut bisa sampai pada diriku. Apakah diturunkan begitu saja dari orang tuaku? Atau memang sudah takdirku? Entahlah. Sampai suatu ketika aku menemukan sebagian rahasia di balik itu.
Aku memang bukan penyanyi profesional. Namun ketika aku disuruh melantunkan sebuah lagu, dengan mudah aku melakukannya. Tidak ada penghalang sedikit pun. Soal orang lain menyukai atau tidak, itu perkara lain. Namanya juga bukan penyanyi bayaran. Namun kemampuanku –juga keberanianku-- bukan datang secara tiba-tiba.
Aku teringat semasa kecilku. Kebetulan ayah dan ibu dekat sekali dengan Ibu Bintang Soedibyo –atau yang kita kenal dengan sebutan Ibu Sud. Beliau sering datang ke rumah, atau ayah mengajak kami bertandang ke rumahnya. Seperti kepada teman-temannya yang lain, ayah selalu memperkenalkan diriku kepada mereka.
Namun ada kenangan yang tertanam di benakku pada saat Ibu Sud menyapa. Beliau memujiku sebagai anak yang manis. Dan memanggilku “Si Item”, tentu dengan penuh kasih sayang. Lalu beliau menuntunku menuju piano, dan mengajariku menyanyi. Kata demi kata ia ucapkan, dan dengan mudah aku menghafalnya.
Lagu itu adalah ciptaan Ibu Sud yang terasa indah sekali ketika aku melantunkan melalui bibir mungilku. “Bintang kecil... di langit yang tinggi... amat banyak... menghias angkasa... aku ingin... terbang dan menari... jauh tinggi... ke tempatmu berada...”
Benar... itulah lagu yang sangat populer ketika kita masih duduk di bangku TK. Aku sangat bersyukur karena mempelajarinya langsung dari si pencipta, istri Pak Bintang Soedibyo. Beliau mengiringiku dengan sentuhan jemarinya pada toet piano, sementara  kedua orang tuaku menyaksikan dengan bangga.
Sejak peristiwa itu, aku suka menyanyi. Dan setiap kali bertemu dengan Ibu Sud, beliau kembali memintaku menyanyi. Lain waktu beliau mengajarkan lagu lain yang tak kalah indahnya, Burung Kutilang. Bagi anak seusiaku kala itu, ini semua menjadi kenangan tak terlupakan. Kalau sekarang aku bisa melantunkan lagu, tak lain berkat kenangan positif di masa kecil tersebut.

Derita Ibu Fat
Demikian pula halnya dengan membatik. Sejak aku masih anak-anak, orangtuaku sudah memperkenalkan pusaka budaya itu. Kebetulan Ibu Sud pembatik yang layak diperhitungkan. Ayah dan ibu suka mendiskusikan karya-karyanya, termasuk warna-warna yang kerap dipergunakan.
Rupanya mereka pengagum batik karya Ibu Sud yang memang sungguh indah dipandang –di lain bab akan aku dongengkan mengenai Ibu Sud dengan batik-batiknya. Aku masih ingat karya-karya beliau yang dibeli orangtuaku, yang sebagian besar sekarang menjadi koleksiku.
 Suatu saat ayah juga menunjukkan batik karya Gusti Nurul dari Mangkunegaran. Beliau dengan lancar menceritakan sejarah asal usulnya. Ibu dengan seksama mendengarkan sambil melihat-lihat kain panjang itu dengan teliti. Aku juga mendengarkan namun tidak ingat lagi detail pembicaraan kedua orangtuaku. Maklum ketika itu aku masih duduk di Sekolah Rakyat.
Ketika aku menginjak SMP, pengetahuanku tentang batik mulai bertambah. Ini juga berkat Ibu Sud yang dengan sabar menceritakan ikhwal penciptaan suatu desain. Beliau menunjukkan batik “Mega Mendung” yang baru selesai ia kerjakan. Kain itu dominan warna tua –ungu dan hitam.
Mengapa begitu? Pada saat itu Bung Karno meninggalkan Ibu Fatmawati. Bung Karno di Jakarta, sedang Bu Fat di Istana Bogor. Peristiwa ini menarik perhatian masyarakat, menimbulkan rasa simpati kepada Ibu Fat. Apa yang terjadi dalam keluarga nomor satu itu pun menimbulkan kesedihan pada kalangan rakyat luas.
“Negara ikut bersedih, itu sebabnya digambarkan dengan warna gelap. Mega mendung sedang menutupi negeri ini,” ujar Ibu Sud sambil mengusap-usap rambutku. Setiap kali aku melihat kembali kain Mega Mendung –yang kemudian dibeli ibuku dan kini menjadi koleksiku— segera saja terbayang wajah Ibu Sud di hadapanku.
Kalau di masa kecilku aku hanya mengenal kain batik berikut kualitasnya, justru saat kuliah di Jogja bisa melihat langsung bagaimana proses pembuatannya. Bahkan aku memperoleh kesempatan ikut membatik. Hal ini terjadi karena induk semangku bersedia membagi ilmunya. Beliau adalah putra wayah kaping pitu dari Hamengkubuwono VII.

Turunkan, Bung!
Orangtuaku, terutama ayah, sangat menggemari lukisan. Awalnya beliau hanya memuji karya-karya yang dipamerkan. Atau pada saat melihat lukisan yang digantung di rumah maupun galeri si pelukis. Namun dari serangkaian pengalamannya itu, baru ia sadar kalau pelukis tidak sekadar butuh pujian. Mereka lebih memerlukan uang hasil penjualan lukisan tersebut.
Mulai saat itu ayah rajin membeli lukisan yang memang ia senangi. Apakah di pameran –ketika itu terbatas di Gedung Sarinah Jl. Tunjungan dan gedung pertemuan— atau di rumah pelukisnya. Kerap pula si pelukis membawa sendiri karya mereka ke rumah di Jl. Diponegoro. Hal inilah yang kemudian menyebabkan ada banyak lukisan di rumah kami, baik yang tergantung di tembok maupun tersimpan di dalam gudang.
Aku yang saat itu masih duduk di bangku Sekolah Rakyat, mulai berkenalan dengan lukisan. Apalagi ayah suka mengajakku pergi ke pameran. Atau menerima pelukis di rumah. Awalnya aku sempat keheranan. Pelukis itu datang membawa lukisan, namun ketika pulang lukisannya tidak dibawa. Mengapa? Terakhir baru aku tahu ternyata ayah membeli lukisan itu.
Pada saat aku SMP, ayah mengajakku ke rumah Om Bagong Koesoedihardjo di Jogja. Ayah terlihat antusias mengomentari satu persatu karya Om Bagong. Aku ingat sekali ketika ayah memuji salah satu lukisan tuan rumah, “Lho... kuwi sing apik! Cobak turunkan, Bung.”
Ayah juga memerintahkan hal sama untuk beberapa lukisan yang lain. Ketika  kami pulang, lukisan-lukisan itu sudah ada di dalam bagasi. O... baru tahu aku, yang dimaksudkan “turunkan, Bung” berarti lukisan itu dibeli ayah. Begitu cara ayah melakukannya, pikirku di dalam hati.
Kenangan bersama Om Bagong tidak mudah aku lupakan. Beliau senang sekali melukis hal-hal yang berbau Bali, termasuk Barong. Awalnya aku merespon lukisan itu dengan rasa ketakutan. Apalagi Om Bagong berambut gondrong. Namun dengan sabar beliau mengatakan, “Barong memang terlihat menakutkan, namun sesungguhnya hatinya baik.”
Berkat ucapan beliau, hari-hari selanjutnya aku kemudian mempunyai kesan positif terhadap barong. Tidak pernah takut lagi, bahkan berani memegang topeng barong yang dipasang pada gril mobil Mercedes ayah. Harap maklum, ketika itu sedang tren memasang topeng barong pada bagian depan mobil.
Di tempat Om Bagong ini pula aku melihat bagaimana murid-murid beliau berlatih tari di halaman samping padepokan. Beberapa puluh tahun kemudian baru aku tahu, Mas Tommy suamiku, pernah menjadi asisten Bagong Koesoedihardjo dalam hal tari-tarian.
Berbarengan ke Jogja ini pula ayah mengajakku mampir ke studio yang merangkap rumah pelukis Affandi. Di sini aku sempat ternganga-nganga melihat bangunan yang terasa aneh di mataku. Bukan seperti rumah, juga tidak seperti gedung pameran. Namun aku lihat ayah bisa berbicara gayeng dengan Om Affandi yang didampingi istrinya. Mereka bicara dengan semangat, menggunakan kata-kata yang aku tak sepenuhnya mengerti.
Berbeda ketika ayah mengajakku ke Denpasar, Bali. Kali ini kami mengunjungi studio A.J. Le Mayeur de Merfles yang berada di tepi Pantai Sanur. Letaknya tidak seberapa jauh dari Hotel Bali Beach, yang saat itu baru saja diresmikan oleh Presiden Soekarno. Di tempat ini perhatianku tidak sepenuhnya tertuju pada lukisan. Kendati ayah banyak membicarakan karya-karya indah pelukis asal Belgia itu.
Mataku lebih tertarik pada dandanan Ni Pollok, istri sang pelukis. Wanita Bali ini mempunyai tubuh bagus dengan kulit warna sawo matang khas Pulau Dewata. Ni Pollok  inilah yang selalu menjadi sumber inspirasi Le Mayeur dalam menyelesaikan lukisan-lukisannya. Konon keindahan tubuh itu harus dibayar mahal dengan tidak (boleh) melahirkan anak. Entahlah kebenarannya.
Namun lepas dari itu, sebagai siswa kelas dua SMP, aku benar-benar terkagum dengan penampilan Ni Pollok. Ia mengenakan kain panjang, baju atasan yang ketat dan terasa seksi di mataku, serta berkerudung warna putih. Jangan dibayangkan seperti jilbab yang dikenakan wanita muslim, akan tetapi kain yang dibelitkan di kepala.
Ni Pollok tampak anggun berkat sepasang giwang besar yang menghiasi daun telinganya. Aku terkagum-kagum melihatnya. Tidak terbayang bagaimana susahnya memasang benda itu. Setelah dewasa aku baru tahu rahasia di balik pemasangan giwang tersebut. Ternyata sederhana saja.

‘Komputerku’ Bekerja
Dalam perkembanganku kemudian, aku tumbuh sebagai gadis seperti lazimnya anak-anak lainnya. Pertemanan di bangku sekolah, hingga bergaul dengan anak-anak Surabaya umumnya. Saat aku remaja, kota Surabaya belum sepadat sekarang. Batas paling selatan adalah Wonokromo. Lepas dari rel kereta sudah terbilang keluar kota. Sedang batas barat seputaran Indragiri-Pacuan Kuda-Palmboom. Dan sebelah timur terbatas rel kereta arah Stasiun Semut.
Mengapa aku berikan gambaran seperti ini? Agar kalian bisa membayangkan betapa para remaja saat itu bisa saling mengenal nama, kendati tidak pernah berbicara atau berhubungan. Jumlah mereka tidak terlalu banyak sehingga kami bisa mengetahui satu sama lain. Dengan demikian, mudah bagi kami untuk menyimak aktivitas masing-masing.
Misalnya, ada yang menari serimpi, tarian tradisional hingga modern, gerak jalan tradisional Mojokerto-Surabaya, fashion show hingga pesta muda mudi. Semua kegiatan ini memberikan inspirasi bagi kita semua. Demikian pula dengan diriku. Kebetulan aku menyukai dunia fashion lengkap dengan perancangan busana maupun komponen estetikanya.
Hal ini yang kemudian mendorong diriku untuk memperdalam dunia fashion dengan mengikuti pendidikan di Sekolah Martha Tilaar di Jakarta pada tahun ’70-an. Alhamdulillah, aku tercatat sebagai salah satu lulusan terbaik sekolah itu. Aku juga mendapat kesempatan untuk bekerja di sana. Hal ini semua yang kemudian membawaku tidak hanya menjadi peragawati di catwalk, namun juga sebagai perancang pakaian.
Aku merasa dengan mudah mengerjakan desain-desain pakaian rancanganku. Pun ketika aku menyelami dunia bordir. Aku teringat teman Belanda Ibuku, Ny. Girungan. Aku menyukai tema-tema flora dan fauna, sekali-kali lari ke etnik. Sama sekali tidak ada kesulitan dalam mengejakan semua itu.
Sampai suatu hari aku berpikir, mengapa segala pekerjaan itu bisa aku lahap begitu saja? Aku seolah mendapatkan profesi pertamaku dengan demikian mudah. Seolah aku sudah diciptakan untuk itu. Benarkah demikian?
Setelah aku ingat-ingat cukup lama, akhirnya aku memperoleh jawabannya. Dunia masa kecilku ikut mempengaruhi apa yang aku kerjakan kelak di masa dewasa. Aku teringat bagaimana kedua orangtuaku memperkenalkan aku dengan dunia tarik suara, batik, bordir, maupun lukisan. Semua kenangan itu tersimpan dengan rapi di memoriku.
Begitu aku membutuhkannya pada saat dewasa, “komputer” di otakku segera menyajikan kembali kenangan-kenangan masa lalu apa adanya. Tiba-tiba aku tidak merasa harus demam panggung ketika berjalan memperagakan pakaian di catwalk. Pun tidak canggung mendesain sekaligus mewarnai kain-kain bordirku. Semuanya itu terbantu melalui kenangan tentang Ny. Girungan. Atau ketika terpesona melihat keanggunan Ni Pollok.
Kemudian aku berpikir, kalau aku bisa membordir berkat kenanganku dengan Ny. Girungan, mengapa tidak sekalian membatik? Aku mempunyai banyak kenangan dengan Ibu Sud. Ternyata berhasil. Aku bisa membatik dengan desain yang cukup baik. Kemudian tantangan lainnya menyusul. Mengapa tidak melukis seperti apa yang pernah dilakukan Om Bagong maupun Om Affandi? Ya... mengapa?
Kendati sudah sedikit terlambat –aku memulai melukis pada usia 59 tahun, dan kali pertama pameran tunggal persis pada ulang tahunku ke 60— toh aku bisa mengikuti jejak beliau sebagai pelukis. Aku melukis dengan gaya ekspresionis. Masyarakat bisa menerima karyaku, dan aku tak henti-hentinya melukis.
Kemudian muncul “pikiran nakal”. Jangan-jangan aku bisa pula menjadi penyanyi profesional berkat Ibu Sud yang mengajariku “Bintang Kecil”. Oh Tuhanku... andaikan aku benar-benar berbakat untuk itu, biarlah aku menerima rezekimu dari lukisan dan kain-kain bordir maupun batik ini saja... (*)



Mereka yang Punya Hati

Foto ilustrasi, suasana dinner zaman tahun '50-an.
Nomor dua dari kanan, mama dari
Yuleng Ben Tallar



“Ndoro, kok saya bisa bertemu
lagi ya,” ujar Pak Men
sambil sesenggukan

AKU ingin bercerita sepintas tentang orangtuaku karena dari merekalah sedikit banyak karakter diriku terbentuk. Juga situasi masa lalu –zaman peralihan dari kolonial ke republik— yang ikut mewarnai kehidupanku di masa kecil, yang tentunya tetap membekas sampai aku beranjak dewasa –bahkan menjadi nenek.
Ibuku adalah gabungan suku Banjar dari eyang putri dan suku Jawa dari eyang kakung. Rupanya perkawinan antarsuku ini menghasilkan karakter keras dan tegas di satu sisi, serta lemah lembut di sisi yang lain.
Sementara ayah lebih unik lagi. Kakek adalah penghafal Al Quran yang sangat santun dalam bertutur kata. Beliau masih keturunan Sultan Parikesit dari Tenggarong, Kutai, Kalimantan Timur. Sedang nenek berasal dari Bone, Sulawesi Selatan. Ayah dibesarkan di Barabai, Kalimantan Selatan. Ketika menginjak dewasa beliau merantau ke Jawa, persisnya ke Surabaya.
Walau kakek terbilang lembut, tidak demikian dengan ayah. Beliau bertemperamen keras, bicaranya pun lantang. Dalam kamusnya, tidak ada yang tidak bisa. Kalau mempunyai keinginan, tak bakal ia berhenti berusaha sampai maksud hatinya benar-benar terwujud.
Pada zaman revolusi, beliau meninggalkan sekolah dan bergabung pada Tentara Pelajar. Ia ikut berperan dalam pertempuran Surabaya, membendung pendudukan kota oleh tentara sekutu. Ketika warga Surabaya harus mengungsi akibat tidak seimbangnya kekuatan senjata, ayah dan kawan-kawan melakukan perang gerilya.
Ketika Indonesia sudah benar-benar merdeka, ayah bergabung dalam TNI Angkatan Laut. Namun tampaknya, jiwanya bukan di sana. Suatu saat aku mendengarkan ayah berbicara dengan seseorang di saluran telepon. “Saya tidak bisa teruskan menjadi Angkatan Laut karena nanti saya korupsi. Saya ini pedagang. Tapi kalau AL membutuhkan sesuatu, saya tetap akan bantu...”
Aku masih ingat kata demi kata yang diucapkan ayahku. Awalnya aku tidak mengerti maknanya. Akhirnya aku tahu, ayah tidak lagi di Angkatan Laut. Namun kalau ditanya apakah beliau disersi, pensiun, atau apa... aku angkat bahu. Yang jelas hubungan dengan teman-temannya di Angkatan Laut masih tetap terjalin dengan baik. Aku kerap diajak ke markas TNI-AL di kawasan Ujung.
Yang aku tahu kemudian ayah memang menjadi saudagar. Ia memiliki hotel cukup luas di Jl. Sumatera. Seperti lazimnya hotel pada zaman itu, sebagian besar kamar-kamarnya menghadap ke jalan dengan teras di depannya. Tamu bisa duduk-duduk di kursi rotan sambil melihat lalu lalang kendaraan, termasuk trem listrik yang pada saat itu masih berfungsi. Tak jarang penjaja koran maupun makanan menawarkan dagangannya. Ayah pun kerap menerima tamu-tamunya di lobi hotel, bukan di ruang kerjanya.

Cobekpun Dicuci
Kalau ayah selalu bicara keras, lain lagi dengan ibuku. Ia hanya bicara keras kalau dirasakan perlu. Ia lemah lembut mendidik kami. Namun dalam soal disiplin dan kebersihan, kedua orangtuaku sama-sama strenge. Ibu selalu menuntut kami merapikan sendiri tempat tidur. Juga menyapu dan mengepel kamar. Walau aku tahu, sesudah itu masih dibersihkan lagi oleh pembantu.
Di rumah kami terdapat 12 kamar tidur yang rata-rata berukuran besar. Selalu ada kaca cermin di dekat pintu untuk kami mematutkan diri sebelum keluar kamar. Jangan harap bisa duduk di meja makan dalam keadaan kacau. Ibu akan menyuruhku pergi.
Pembantu yang melayani kami di meja makan juga harus rapi. Tidak lupa serbet bersih yang tergantung di bahunya. Makan adalah ritual tersendiri. Kami sudah harus siap di meja makan tepat waktunya. Kalau terlambat, tidak boleh bergabung. Demikian pula ketika selesai makan. Harus tetap di tempat sampai ayah dan ibu bangkit dari tempat duduk.
Aku rasa ini aturan standar bagi keluarga pada periode 1950-‘60-an. Mengadopsi cara barat, kendati kemudian berangsur menemukan bentuk-bentuk tersendiri. Bahwa kita harus berpakaian rapi, dalam keadaan bersih, dan menyelesaikan makan secara santun tetap kami pertahankan hingga ke anak cucu.
Apa yang dahulu diajarkan ibu banyak manfaatnya bagi kami. Paling tidak aku mengetahui bagaimana menjaga kebersihan di lingkungan keluarga. Memang tidak seekstrim beliau. Tidak sampai benar-benar “steril”. Namun dasar-dasarnya tetap aku pegang teguh.
Aku masih ingat bagaimana ibu memproteksi anak-anaknya untuk tidak njajan di luaran. Oleh sebab itu beliau selalu menyediakan makanan kecil dari dapur sendiri. Atau kalau beliau kebetulan keluar, pasti pulangnya membawa oleh-oleh yang dibeli dari toko kue. Kebetulan di dekat rumah ada toko yang kue-kuenya terkenal lezat, yaitu Delby. Letaknya di seberang Kebun Binatang, sayangnya sekarang tinggal kenangan.
Tapi apakah benar-benar kita tidak boleh njajan? Kali ini rupanya ada perkecualian. Gara-garanya, ibu mendengar dari tetangga, di depan rumah suka lewat buk Madura penjual rujak cingur yang konon kelezatannya tiada duanya. Sudah lama ibu ingin merasakannya namun selalu terkendala masalah kebersihan. Dan ingat, pada zaman tersebut menu rujak cingur belum masuk ke restoran. Adanya terbatas di sunggian buk-buk Madura itu.
Pada suatu hari, rupanya ibu tidak tahan lagi melihat si buk lewat di depan rumah. Maka dipanggillah penjual rujak itu. Namun sebelum masuk ke serambi, ia minta pembantu mengantarkan si buk ke kamar mandi belakang untuk mencuci kaki, tangan dan muka terlebih dahulu. Cobek dan penguleknya tak luput dari cuci mencuci. Pembantu menyikatnya bersih-bersih, demikian pula halnya dengan pisau pengiris dan buah-buahannya.
“Duh...ndoro” keluh si buk sambil bersungut-sungut. “Kalau semua pelanggan seperti ndoro, kapan saya jualannya...” Tentu dia mengatakan sambil bercanda dengan logat Maduranya yang kental. Sewaktu pulang, wajahnya tampak gembira karena membawa uang cukup banyak. Maklum, seisi rumah pesta rujak cingur untuk pertama kalinya.

Ajari Pribumi
Di meja makan, kami banyak belajar dari ayah. Rupanya beliau sangat menguasai table manner –mungkin berkat pergaulannya yang luas dengan teman-teman Belandanya. Kami diajarkan untuk tidak berbicara pada saat makan. Kalau toh bicara terbatas berkomentar tentang makanan yang ada di atas meja. Baru setelah makan selesai, kita boleh berbincang-bincang.
Dari beliau pula aku tahu bagaimana cara memegang sendok dan garpu secara benar. Juga kapan ketika kita menggunakan pisau. Menurut beliau, etika ini sangat penting artinya karena bisa menunjukkan kualitas seseorang yang sebenarnya. Aku mulai mengerti setelah ayah mengajakku makan di rumah makan. Beliau menunjukkan bagaimana kacaunya cara makan orang di meja sebelah.
Ketika aku bertanya, apakah pengetahuan meja makan ini terbatas untuk kita, beliau menggeleng. “Kapan-kapan Pak Man kita ajak, supaya tahu bagaimana cara makan yang benar,” ujar ayah. Aku kaget karena Pak Man adalah pak becak yang suka membawa aku dan adik-adikku keliling seputar rumah.
“Benar papi mau membawa Pak Man kemari?” Ayah mengangguk. Ternyata betul juga, suatu sore ayah menyuruh Pak Man mandi. Ia memberikan kemeja putih dan meminta tukang becak yang merangkap pak kebon kita itu mengombinasikannya dengan celana coklat dan peci. Selepas magrib kita berangkat ke Helendoren, rumah makan berkelas di bilangan Tunjungan.
Pak Man tampak ragu-ragu ketika akan melangkahkan kaki masuk ke rumah makan itu. Terlihat beberapa kelompok orang Belanda berada di dalam. Ayah segera memberi isyarat agar mengikutinya. Ayah sengaja mengambil tempat di sebelah meja orang-orang Belanda, dan menyuruh Pak Man duduk persis menghadap arah mereka.
Sambil menunggu makanan terhidang, ayah memberikan “kursus kilat” bagaimana duduk dengan baik, posisi tangan ketika makan, hingga cara menggunakan alat-alat makan termasuk serbet. Pak Man hanya mengangguk-angguk dengan rasa cemas di wajahnya. Dan benar juga, ketika daging bistik tersaji Pak Man berkata pelan, “Ndoro Tuan, Pak Man tidak bisa!”
Aku melihat dengan kasihan. Tapi ayah hanya tersenyum. Dengan lantang ia berkata, “Tidak! Kamu harus bisa! Kamu harus pandai seperti orang-orang itu!” Saking kerasnya ucapan ayah, orang-orang Belanda sampai menengok ke arah kami. Pak Man sedikit gugup ketika memaksakan diri mengambil garpu dan pisau.
“Hadapi piringmu. Jangan kau tengok kanan dan kiri. Lihat seperti saya. Pegangi daging dengan garpu, potong perlahan-lahan,” ujar ayah lagi dengan suara agak dikecilkan. Pak Man mengikuti, dan tak lama kemudian sepotong irisan tipis masuk ke mulutnya. Sedikit demi sedikit, sampai akhirnya ketegangan pada diri Pak Man mulai sirna. Malah bisa senyum-senyum ketika suapan terakhir selesai. Ia menirukan ayah menggunakan ujung serbet untuk mengusap mulutnya.
Ayah tampak bangga bisa mengajari Pak Man –yang di mata Belanda dianggap orang pribumi. Tapi aku lebih bangga lagi mempunyai ayah yang demikian peduli dengan bangsanya, tak soal hanya seorang tukang becak. Terlebih, di lain kesempatan giliran sopir kami yang diajak makan bersama. Aku tidak ikut, tapi mendengar itu dari cerita pembantuku. “Pak Sopir cerita diajak ndoro tuan makan di restoran. Sampai rumah ia menangis haru menuturkan pengalamannya,” ujar pembantuku.
Kalau ayah mengajari cara makan kepada Pak Man, Pak Sopir, maupun pegawainya yang lain, beda lagi dengan ibuku. Beliau mengajak pembantu makan di restoran –tentu dengan pakaian yang juga pantas— untuk mengingat rasa masakan yang dihidangkan. “Wis mbok eling-eling rasane?” Pembantu ibu yang memang jago masak langsung menjawab, “sampun ndoro nyonya...” Artinya, ia akan mampu membuat masakan yang sama nanti di rumah.

Pertemuan Mengharukan
Ayah cukup keras dalam menegakkan disiplin. Kalau ia marah, tak ada karyawannya yang berani membantah. Namun sesudah itu, ya sudah. Tidak pernah diungkit-ungkit lagi. Dengan demikian para karyawan merasa mendapatkan pelajaran berharga sehingga tak akan mengulang kesalahan.
Pernah aku melihat ayah mengajarkan sendiri cara menata piring kepada anak muda yang baru bergabung. “Ini harus begini, karena aturannya memang begini. Jangan mengubah-ubah aturan!” Nadanya seperti marah, tapi memang begitu cirinya dalam menanamkan pengetahuan agar selalu diingat.
Karena aku sering ikut ke hotel, maka banyak karyawan di sana yang mengenalku. Mereka memanggil aku Ndoro Non. Yang tahu namaku, memanggil Ndoro Non Ana. Aku selalu berkelakuan baik dan santun terhadap mereka. Ayah mengajariku agar tidak sombong. Dengan demikian mereka juga menyayangiku. Selalu ada yang menyapa atau meladeni. Bahkan mengajak bermain ketika mereka sedang beristirahat.
Suatu ketika beberapa puluh tahun kemudian aku berkunjung ke Zangrandi di Jl. Yos Soedarso. Salah satu karyawannya mengingatkanku dengan orang hotel. Menggunakan pakaian serba putih dengan kopiah, di dada tercantum namanya, Jono. Aku tertarik karena ia begitu sopan dalam melayani pelanggan. Iseng-iseng aku tanya, “Pak, dulu belajar di mana kok Bapak terlihat berpengalaman?”
Ia mengaku mendapat didikan dari Pak Haji, yang oleh teman-teman lain sering dipanggil Ndoro Tuan. Aku sudah menyangka. Lalu aku tanya lagi, “Pak Haji apa punya anak?” Orang ini mengangguk. Dengan antusias ia bercerita Pak Haji punya banyak anak. Tapi yang ia kenal adalah Tuan Sinyo Fauzar, Ndoro Non Ana, dan Ndoro Non Ida. Karena merekalah yang kerap datang ke hotel. Ketika menceritakan itu, aku lihat matanya berbinar-binar.
“Pak Jono, andai Bapak bisa bertemu dengan mereka, senang ya?” ujarku sambil melihat reaksinya. Orang tua itu tersenyum sambil menggeleng. “Ya tidak mungkin lah, Bu. Dulu saya kan masih muda, sekarang sudah tua. Tidak mungkin mereka mengenali saya.” Kembali aku bertanya, “Kalau benar-benar ada orangnya, Bapak mau bertemu?”
Pak Jono tidak menjawab. Hanya keningnya berkerut. Begitu aku mengatakan, “Saya ini Non Ana,” langsung ia menubrukku. Ia memelukku sambil meneteskan air mata. Aku juga gembira bisa bertemu dengannya. Orang-orang di seputar kami keheranan. Malah ada yang bertanya, “Ada apa, Bu?”
Aku jelaskan, Pak Jono dulu karyawan ayahku di Hotel Bima Sakti. Ia pandai membuat hiasan dari buah-buahan. Aku sering menunggui sambil melihat keterampilannya. Kami tidak menyangka secara tak sengaja bisa bertemu lagi setelah berpuluh tahun tidak jumpa.
Di lain kesempatan, kisah yang hampir serupa terjadi di kantor Kanwil P dan K Jawa Timur. Saat bertamu di kantor itu, aku bermaksud ke kamar kecil. Oleh salah satu pesuruh aku diantar. Namanya Pak Men. Waktu aku tanya, ternyata rumahnya di daerah Jombang. Karena menyebut kota itu, aku ingat Singo Japanan, sebuah nama yang aku dengar ketika masih kecil.
“Lha itu desa saya, Bu,” ujar Pak Men. Aku mulai curiga, jangan-jangan dulu aku dengar Singo Japanan dari orang ini. Jadi aku tanyakan, dahulu pernah ikut siapa? Ternyata benar, ia ikut Ndoro Tuan di Bima Sakti, malah menyebut kenal dengan anak-anaknya. Termasuk Ndoro Non Ana yang dahulu sering naik punggungnya, main kuda-kudaan.
“Pak Men, kalau sekarang diketemukan dengan Ndoro Non Ana, bagaimana?” Jawabannya gamblang, “Ya ngga mungkin, Bu!” Tapi begitu aku menyebut diriku sebagai Ndoro Non Ana, spontan Pak Men jongkok dan memeluk kakiku. Dengan sesenggukan ia mengatakan, “Ndoro, kok saya bisa bertemu lagi ya ndoro...”
Pak Jono, Pak Men, maupun Pak Man adalah orang-orang yang mempunyai hati. Mereka begitu tulus tak melupakan masa lalu. Mereka masih menyimpan kenangan masa indah tempo hari di hati masing-masing. Tak melupakan bekas majikan yang pernah mengajari mereka bekerja sekaligus menafkahinya. Tidak mudah menjumpai orang-orang seperti mereka pada diri pekerja sekarang. Ini karena mereka tidak sekadar bekerja, namun mereka bekerja menggunakan hatinya. (*)



Dilamar setelah Kecelakaan

Dr Tommy dan Nana mengapit
Yuleng Ben Tallar dan Nunung Bakhtiar



Diakah yang jadi jodohku?
Duh... ternyata Tuhan
mengirim Arjunaku

AKU punya alasan tersendiri meninggalkan bangku kuliah di Fakultas Publisistik, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Kendati kota Jogja meninggalkan banyak kenangan, aku harus pergi ke Jakarta untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Marta Tilaar. Aku belajar wiraga, hair styling, dan lainnya. Bidang ini ternyata lebih mudah aku kuasai. Bahkan sebagai salah satu lulusan terbaik, aku diminta mengajar di tempat itu.
Ibukota negara dengan berbagai dinamikanya ikut menggembleng masa mudaku. Selain di Sekolah Marta Tilaar, aku sempat pula bekerja di TVRI. Tugasku untuk mengatur kepatutan dandanan mereka yang akan tampil di layar kaca. Di tempat ini pula aku bisa bertemu dengan peragawati senior Sumi Hakim. Juga penyanyi Titiek Puspa, yang sempat memarahi gara-gara aku salah dalam mengatur rambutnya.
Setelah merasa bekal pengalaman mencukupi, aku kembali ke Surabaya. Kebetulan teman-temanku sedang naik daun di bidang fashion. Ada Enny dan Liliek Soekamto, juga Mariastuti. Dunia fashion pun tak lagi dipandang sebelah mata. Aku bersama teman-teman kemudian mendirikan kelompok fashion yang diberi nama Fit & Chic.
Berkat peragaan ini pula, aku bertemu teman-teman lama ketika masih di SMP. Salah satu di antaranya adalah Tommy Sunartomo –yang kelak menjadi suamiku. Waktu itu Fit & Chic mengisi acara perayaan tahun baru.
Berawal dari pertemuan pertama itulah teman-teman melanjutkan dengan pertemuan berikutnya. Sekadar menjalin silaturahmi sebab saat itu aku dan Mas Tom belum jadian –meminjam istilah anak zaman sekarang. Namun aku harus meninggalkan pertemuan karena keperluan mengajar. Nah, sepulang dari mengajar itulah becak yang aku tumpangi ditabrak mobil. Akibatnya aku dilarikan ke Rumah Sakit Simpang di Jl. Pemuda.
Aku ditangani unit gawat darurat di ruangan yang serba horor. Bangunan tua dengan atap tinggi, sementara tempat tidur beralas perlak merah tua yang jauh dari bersih. Aku tidak sendirian di situ, bersama beberapa korban kecelakaan lainnya yang berdarah-darah. Huh... benar-benar suasana yang menyesakkan.
Tenaga medis cukup kewalahan. Mereka bekerja cekatan. Sayangnya, sejauh itu aku belum diapa-apakan. Sampai suatu ketika, aku dengar ada yang berteriak, “Tom... tolong pasien di ujung.” Mendengar nama itu, pikiranku melayang kepada temanku yang siang tadi sempat bertemu. Diakah?, pikirku di dalam hati.
Ternyata benar. Dokter Tommy Sunartomo kaget juga melihat aku tergeletak di hadapannya. “Apa yang terjadi?” ujarnya sambil melihat lukaku. Ia memeriksa dengan teliti, termasuk memegang kepalaku. “Pusing?” tanyanya. Aku menggeleng berbohong. Padahal aku benar-benar merasa pusing dan ingin muntah.
Aku berbohong semata-mata agar pemeriksaan segera selesai dan aku diizinkan pulang. Ternyata Mas Tom tahu persis kondisiku. Setelah melakukan tindakan dan memberi sejumlah obat, ia meminta aku tetap tinggal di rumah sakit. Duh... aku harus opname beberapa hari akibat luka-luka yang aku derita.
Namun penderitaanku terobati juga. Mas Tom rupanya menaruh perhatian cukup besar kepadaku. Ia sering mengunjungi untuk melihat keadaan sekaligus kondisi kesehatanku. Dalam hati aku berpikir, alangkah baiknya pria ini. Sangatlah indah jika Tuhan sengaja mengirimkan dia sebagai jodohku.
Namun aku tersipu malu akan tingkahku. Bukankah seorang dokter harus demikian terhadap pasiennya? Bukan hanya kepadaku, namun juga pasien-pasien lain yang menjadi tanggung jawabnya. Aku menyadari sepenuhnya hal itu, kendati tetap menikmati guna mengalihkan penderitaan karena harus tinggal di rumah sakit. Jangan kalian membayangkan kenyamanan rumah sakit sekarang yang dilengkapi pendingin ruang dan televisi.
Setelah kondisiku pulih dan bisa meninggalkan rumah sakit, inilah kebebasanku. Aku bisa kembali menikmati kenyamanan kamarku, rumahku. Suasana yang benar-benar berbeda dibandingkan gorden putih rumah sakit. Yang tidak berbeda, ternyata... Mas Tom tetap mengunjungiku. Rupanya ia menaruh perhatian lebih dari sekadar menghadapi pasiennya.
Dari dirinya kemudian aku mengetahui, perhatiannya mulai tumbuh menjadi bibit cinta justru di tempat kerjanya. Tiga bulan sesudah peristiwa itu, Mas Tom bersama orangtuanya datang ke rumah untuk melamarku. Duh... Tuhan ternyata benar-benar mengirim Arjunaku.

Ketukan Menakutkan
Hari-hari pertama perkawinanku, suamiku masuk pendidikan anestesi. Ia sibuk luar biasa antara melayani pasien dan mengikuti pendidikan. Hari ini masuk, besok ikut pendidikan. Demikian setiap harinya. Anestesi ketika itu bukanlah hal yang mudah. Belum banyak dokter yang mengambil pendidikan itu.
Dalam hati aku membatin, betapa berat hari-hari yang dihadapi suamiku. Dengan demikian aku mencoba tahu diri, tidak memberikan beban tambahan kepadanya. Aku harus mendukung agar ia bisa segera menyelesaikan pendidikannya tepat waktu.
Alhamdulillah, persis satu tahun pernikahan kami, anak pertamaku lahir. Ia kami beri nama Prananda Surya Airlangga. Pendidikan Mas Tom belum selesai. Dengan demikian kita harus membagi tugas. Suamiku meneruskan pendidikannya, aku mengurus buah hati kami. Baru dua tahun kemudian pendidikan Mas Tom selesai. Bertepatan dengan itu, anakku yang kedua –Pramita Dewi Surya Airlangga-- lahir. Dua anugerah Allah yang datang sekaligus, yang sangat kami syukuri.
Tak lama setelah itu, Mas Tommy mendapat kesempatan mengikuti pendidikan konsultan anestesi di Prancis untuk waktu dua tahun. Ia berangkat bersama dua temannya dari Surabaya. Aku mendampinginya, sementara kedua anak kami tinggalkan bersama neneknya di Surabaya.
Aku tahu, tinggal di luar negeri untuk suatu pendidikan bukanlah hal yang ringan. Bukan sesuatu yang bisa dijalani enak-enakan. Kami harus menghemat segala sesuatunya. Keberadaan Mas Tom di sana bukan sebagai dokter, melainkan mahasiswa peserta program pendidikan.
Setiap hari ia harus berjalan kaki menuju metro untuk menumpang kereta ke suatu jurusan, kemudian berganti ke bus guna mencapai jalur kereta yang lainnya. Paris belum seperti hari ini yang demikian maju sarana transpotasinya.
Kalau tidak perlu sekali, aku jarang keluar rumah. Pertama untuk berhemat, kedua terkendala bahasa. Kalau toh aku pergi dengan istri teman-teman Mas Tom, paling hanya window shoping ke daerah pertokoan sepanjang Jalan Champs-Elysees di jantung Paris. Atau cuci mata di Arch de Triump, tak jauh dari Champs-Elysees. Maklum saja, kami memprioritaskan pemakaian uang hanya untuk membeli makanan.
Gara-gara terkendala bahasa itu pula aku pernah ketakutan setengah mati. Siang itu ada orang mengetuk pintu rumah. Dari lubang pengintip, aku ketahui seseorang berbadan besar, kulit hitam, berambut keriting. Sesaat aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Apa maksud kedatangannya? Aku merasa tidak ada janjian sebelumnya. Jangan-jangan ia bermaksud jahat. Tapi bagaimana mengetahui maksud kedatangannya kalau aku tidak bisa berbicara Prancis?
Satu-satunya jalan, bersembunyi. Aku pergi ke dapur dan mencoba tidak berisik. Orang itu kembali mengetuk. Diulangnya hingga tiga kali. Ups... radio di kamar masih berbunyi. Tentu orang itu menyangka ada penghuni di dalam. Aku makin tak berani bergerak. Benar-benar dilanda ketakutan.
Terlebih, kemudian aku mendengar orang itu berbicara dengan seseorang, dan tiba-tiba listrikku padam. Radio tak berbunyi lagi. Untung kami tidak tergantung pendingin ruangan sebab untuk apa benda itu di negeri yang sudah cukup dingin. Kalau nanti aku kedinginan, tinggal mengenakan jaket dan bersembunyi di balik selimut.
Mungkin karena ikatan pertalianku dengan Mas Tom begitu kuat, tiba-tiba telepon berbunyi dan suamiku bicara di balik gagang, “Kamu tidak apa-apa?” Aku hanya bisa menangis. Beberapa saat kemudian baru aku bisa menceritakan kejadian yang menimpaku. Dengan sabar Mas Tom mendengarkan dan sesekali menghiburku.
Ia katakan, lain kali dibuka saja pintunya. Ditanyakan apa masalahnya. Nah... justru itu yang menjadi kendalaku, aku tak mengerti bahasanya. Dia juga tidak akan mengerti maksudku. Namun Mas Tom dengan sabar memberikan solusi menggunakan “bahasa isyarat”. Well... baiklah, untuk next time.
Usut punya usut, ternyata pria itu adalah petugas listrik. Ia keheranan kok tidak ada yang menjawab ketukannya, padahal jelas-jelas mendengar suara radio. Maka kepada tetanggaku ia berpesan akan mematikan sikring agar tidak terjadi apa-apa dengan rumahku. Rupanya ia berpikir, rumah itu ditinggal pergi penghuninya dalam keadaan radio masih menyala.
Aku tidak akan pernah melupakan peristiwa ini. Ketukan menakutkan di siang hari. Beberapa hari kemudian, pria itu kembali mengetuk pintu. Namun kali ini aku sudah siap menerimanya. Pintu aku buka, dan ia memeriksa listrik. Ternyata kami bisa berdialog dalam bahasa isyarat seadanya. Ia mengira aku dari Vietnam kendati aku katakan dari Indonesia. Namun tetap saja menyebutku orang Vietnam –negeri yang memang pernah dijajah Prancis.

Om Tommy
Ketika kami kembali ke Indonesia, anak-anak tumbuh lucu-lucunya. Kakaknya sudah semakin pandai, bisa bertanggung jawab melindungi adiknya. Prananda yang kami panggil Erry bisa langsung membaur dengan orang tuanya. Tidak demikian dengan Mita, adiknya. Ia sempat memanggil Om kepada Mas Tom.
Ketika dikatakan ini ayahnya, ia tetap berkeras memanggil Om. “Ayahku adalah Ayah Rubi,” ujarnya. Rubi yang dimaksudkan adalah drg Rubianto, kolega Mas Tom. Rubi inilah yang sering mengajak Erry dan Mita jalan-jalan. Kebetulan anak Rubi sepantaran dengan mereka berdua.
Mas Tom tersenyum geli mendengar anaknya bercerita, “Om, baru-baru ini teman mamaku meninggal dunia.” Mas Tom geli karena tetap dipanggil Om. Justru aku yang agak terkejut, siapa yang meninggal? Ternyata Jalal –seorang pelawak terkenal ketika itu. Aku merasa kehilangan dirinya. Kami bersama 60-an artis pernah bersama-sama pergi ke Timor Timur menghibur masyarakat setempat merayakan peringatan satu tahun negeri itu bergabung ke Indonesia.
Keberadaan Erry dan Mita kemudian disusul dengan anak-anakku yang lainnya. Anak yang ketiga kami beri nama Putri Kencana Surya Airlangga. Kemudian menyusul si kembar tiga yang kami beri nama Marina, Marisa dan Marita dengan Surya Airlangga di belakang masing-masing namanya.
Tidak terasa waktu berjalan dengan cepatnya. Mereka tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang matang. Kami mendidik anak-anak dengan cukup keras kendati tidak sekeras pada zaman ayah dan ibuku. Sudah berbeda zamannya. Kalau dahulu apa kata orangtua harus dibaca sebagai perintah, kini demokrasi lebih dinomorsatukan.
Kami menyempatkan makan bersama semeja, terutama pada malam hari. Di tempat inilah, Mas Tom biasanya bertanya permasalahan yang dihadapi anak-anak. Ada saja yang kami bahas, termasuk ketika Erry tidak tertarik untuk menjadi dokter. Alasannya sederhana saja, tidak ingin kehabisan waktu seperti ayahnya.
Saya bujuk dia dengan memberi ilustrasi bagaimana mulianya tugas seorang dokter dalam menolong orang lain. Toh ia mendapatkan jawaban juga, “Apakah profesi yang lain tidak bisa menolong orang?” Tidak mudah meyakinkan dirinya, dan kami berusaha secara perlahan-lahan.
Sampai akhirnya Erry tertarik dunia kedokteran. Bahkan, ia mengambil spesialis seperti Mas Tom, sebagai dokter anestesi. Sekarang ia bisa merasakan betapa berat tugas seorang dokter anestesi yang harus ikut bertanggung jawab dalam suatu tindak operasi. Ibaratnya, mereka menolong orang kendati dari balik layar. Setelah merasakan ini semua, Erry benar-benar menikmati profesinya.
Sementara Mita lebih tertarik dunia psikologi, dan Putri adiknya memilih kedokteran. Sedang si Kembar, Marina tertarik bidang ekonomi, Marisa mengambil kedokteran, dan Marita masuk Fisip Komunikasi. Kini semua anakku sudah menyelesaikan studinya, bahkan si kecil Marisa mengambil spesialis.

Semua profesi ini adalah pilihan mereka sendiri. Kami sebagai orang tua terbatas mengarahkan sambil memberikan wawasan. Bukan saatnya lagi untuk mendoktrin mereka. Ini semua terjadi di meja makan, pada saat semua anggota keluarga berkumpul. Di sinilah pentingnya sedikit waktu dari kesibukan masing-masing pihak untuk bisa saling mengisi. (*)