Sabtu, 17 November 2012

MENGGAPAI PELANGI: Catatan Nana Tommy Masdjedi




Sekapur Sirih
Berkarier Tanpa Lupakan Anak

ZAMAN sudah banyak berubah. Kalau dahulu seorang istri sebagai kanca wingking sudah dianggap ketinggalan zaman, apalagi hari ini. Justru jamak terlihat keluarga-keluarga muda menyerahkan anaknya ke baby sitter. Atau ke guru pribadi, malah ke neneknya. Suami istri berlomba mengejar karier sekaligus meraih penghasilan.
Tidak bisa dipungkiri, itulah fenomena kehidupan di kota besar. Padahal, masalah pendidikan anak dan keberhasilan karier bagaikan neraca yang seimbang. Keduanya perlu didapatkan, tak bisa mengorbankan salah satu di antaranya. Terlebih masalah pendidikan keluarga bagi si kecil yang tidak mungkin diserahkan sepenuhnya kepada pembantu.
Aku beruntung hidup dalam zaman yang relatif mudah. Persaingan tidak sekeras sekarang. Masih banyak pekerjaan yang bisa aku rintis di rumah. Bahkan sampai detik ini –ketika anak-anakku sudah menjadi orang, bahkan beberapa di antaranya sudah menikah— sebagian besar waktuku adalah di rumah.
Mulai membordir, membatik, merancang perhiasan, hingga melukis semua aku kerjakan dalam studio di rumahku. Termasuk menolong orang, mendoakan sesuai dengan keinginannya, atau sekadar memberikan nasihat-nasihat. Kalau toh aku pergi, hanyalah untuk pemasaran dan pameran. Dengan demikian aku masih bisa memanfaatkan banyak waktuku tanpa perlu membuangnya di jalanan akibat kemacetan lalu lintas.
Siasat seperti inilah antara lain yang ingin aku tawarkan sebagai alternatif bagi ibu-ibu muda agar mereka masih mempunyai cukup waktu untuk buah hatinya. Lakukanlah pekerjaan di rumah, terutama ketika si kecil masih memerlukan banyak perhatian.
Tentu tidak semua bisa melakukan seperti ini. Para pengejar karier akan kesulitan mendapatkan waktu ekstra di luar jam kantor. Belum lagi harus menghadiri pertemuan dinas, atau jamuan mitra bisnis.
Ini pula sebabnya, banyak kalangan profesional di negara maju yang kemudian mengorbankan rumah tangganya. Mereka meninggalkan perkawinan, dan hanya mengabdi pada kariernya semata. Tampaknya gejala semacam ini mulai tampak disini, kendati masih secara sporadis.
Aku tidak mungkin membendung keinginan anak muda untuk berkarier. Yang bisa aku anjurkan, teruslah berkarya tanpa meninggalkan fungsi wanita sebagai seorang ibu rumah tangga. Carilah celah-celah yang masih memungkinkan. Tersedia banyak varian asalkan kita cukup jeli melihatnya.
Apa yang aku kerjakan, tentunya tidak cocok bagi anak-anak muda sekarang. Namun setidaknya, bisa menjadi motivasi dalam menumbuhkembangkan inspirasi mereka. Itulah yang bisa aku harapkan.
Di zaman mendatang, pemikiran seperti yang aku sampaikan pastilah dianggap cerita masa lalu. Yang sudah tidak mungkin lagi dilakukan orang. Namun aku percaya, generasi berikut pasti mendapatkan jalannya dalam mencapai keseimbangan antara urusan mencari nafkah dan mendidik anak.
Yang aku khawatirkan, kalau tren yang terjadi di luar negeri justru menggurita di sini. Kaum wanita berlomba menjadi profesional sejati dengan mengabaikan biduk perkawinan, sementara kaum prianya kalah bersaing. Coba tengok gejala yang selama ini terjadi. Untuk kalangan menengah,  justru kaum wanitalah yang memperoleh peluang lebih besar dalam mendapatkan lapangan pekerjaan.
Mudah-mudahan kekhawatiranku tidak sampai terjadi. Harapanku, kaum wanita masa depan tetap menjadi pendamping suami dalam menghasilkan generasi muda tangguh sekaligus memperkokoh penghasilan rumah tangga. Jadilah keluarga Indonesia yang sakinah, mawardah, dan warohma. Semoga.

Hj. Nana Tommy Sunartomo Masdjedi 




1 komentar:

  1. Kebahagiaan yg hakiki bagi org tua dari anaknya ketika memiliki anak yg sholeh sholehah, tdk mudah u menggapai itu semua kecuali dg upaya, bagaikan menggapai pelangi yg pasti tdk mungkin terjadi kecuali dg hati yang bersih, terimakasih Ibu Nana yg mengajarkan ini semua

    BalasHapus