Rabu, 29 November 2017

KOPI ICE CREAM ALA 'KEPUHUNAN'


Keterangan foto: Quality time bersama istri dan anak sulung yang sedang nengok kami di Surabaya


"LHO... kok dicampur," ujar seorang pemuda ke teman di sebelahnya. Si teman yang merasa ujaran itu mencampuri urusan orang, langsung mengatakan, "Itu style seseorang... kamu juga boleh punya gaya sendiri..."

Pemuda yang pertama tetap terheran-heran. Temannya dengan sabar menunggu orang yang dibicarakan menyelesaikan urusannya. Kebetulan... orang itu aku! Ya... aku yang nulis kisah ini.

Saat itu aku membawa secangkir kopi panas. Tidak benar-benar secangkir, tapi separonya saja. Kami sedang di depan bar ice cream. Ada macam-macam ice cream, di antaranya durian, kelapa muda, strowberry, coklat, mocca, dan beberapa lainnya.

Aku sedang menyendok ice cream coklat dan memasukkan ke dalam cangkir kopi. Karena sendoknya hanya satu, maka dua pemuda itu menunggu giliran. Dan muncullah percakapan tadi di antara keduanya.

Ketika aku berlalu, pemuda pertama menatap wajahku penuh keheranan. Aku cuek aja. Benar kata temannya, it's my style. Dan aku kembali ke meja untuk nyeruput kopi panas ice creamku.

Menu barukah? Oh... no. Ini cara agar tidak "kepuhunan". Orang Samarinda percaya, kalau ditawari sesuatu dan menolak, nanti di rumah bisa kepuhunan. Orang jawa bilang "ketok-ketok'en". Entahlah bahasa Indonesianya... (Sebangsa penasaran, menyesal --yang sangat-- karena tadi kok ngga mencicipi).

Nah... istriku sebelumnya nawari ice cream setelah lihat orang meja sebelah mengambil cukup menggiurkan. Padahal, aku batuk dan memang sejak beberapa waktu lalu menghindari yang dingin-dingin.

Toh aku ingat temanku, seorang barista yang memperkenalkan menu barunya: coffee ice cream. Cuma kopinya expresso, baru kemudian ditimpa ice cream. Look nice, tapi aku ngga sempat mencicipi karena waktu itu batuk akut.

Nah, malam itu tak ada rotan akarpun okay. Yang tersedia cuma kopi tubruk yang aku bisa membuatnya sendiri. Dari baunya, kopinya cukup berkelas. Secangkir kopi tanpa gula inilah yang kemudian aku campur ice cream.

Well... rasanya sangat okay. Aku benar-benar menikmati. Ice creamnya tak terlalu dingin karena aku menyuapnya dengan kopi panas. Nano-nano, hangat dingin gitu loh. Sendok demi sendok aku rasakan sampai sendokan terakhir.

"Enak Pa?" tanya anakku antusias. Aku mengangguk dan mempersilakan ia mengikuti langkahku. Rupanya ia juga enjoy dengan eksperimen itu. Buktinya, isi cangkirnya ludes. Bagiku, sungguh nikmat style-ku, dan aku pulang tanpa takut kepuhunan... (29:11:17)

Senin, 27 November 2017

ESSAI: BAYANG KERINDUAN



PETANG ini aku sendirian di rumah. Hujan baru saja reda meninggalkan dingin yang membuat tubuhku menggigil.

Tiba-tiba aku merindukan Marce Marconna. Gadis berambut lurus tebal dengan panjang sedikit melebihi bahu itu, beberapa kali masuk dalam kehidupanku.

Kenapa lagi kau Marce? Aku sadar dia ada di alam khayalku. Tapi setiap kali gadis cantik setinggi 174 cm itu muncul, aku menganggap ia berada di alam nyataku.

Aku ingat malam itu ia berjalan menuju Cafe Medina. Hanya karena ia ingin mencicipi masakan Timur Tengah. Senyampang berada di negeri itu, mengapa tak mencoba sesuatu yang lokal, pikirnya.

Ia menikmati "Mediterranean Frittata" yang konon menu favorit di resto itu. Bahan utamanya daging cacah, irisan tipis bacon, kentang, tomat dan telur. Sedang bahan tambahannya bawang merah, bawang putih, bubuk basil dan buah zaitun hitam. Cara memasaknya dengan dipanggang menggunakan minyak zaitun.

Marce yang selama di Madinah selalu makan masakan Indonesia, malam itu benar-benar menikmati masakan yang terhidang di hadapannya. Terlebih makanan pembuka tak kalah lezatnya.

Mereka menamai "watercress and orange salad." Selada air yang dirajang, apokad dipotong kotak-kotak, jeruk manis yang sudah terkupas rapi, tomat cherry yang dipotong separo, sedikit lombok merah, dan daging cincang. Dressing-nya adonan beraroma jeruk orange. Sesuatu banget...

Marce Marconna tak bisa melupakan malam indah itu. Ia baru pulang saat waktu menjelang dini hari. Maunya sih, ia berlama-lama ngobrol di situ sambil mendengar alunan sitar yang dimainkan perlahan.

Duh Marce... kisahmu ini pelepas rinduku. Sungguh aku rasakan getaran jiwamu. Kendati kau merasa senang malam itu, ada secercah sedih di relung terdalam hatimu. Kutahu kau tak ingin semua orang tahu. Mungkin itulah yang membuat kau mengundangku dalam kehidupan khayalmu. (27:11:17)

Rabu, 22 November 2017

MANGGA APOKAD, JUALNYA PUN ONLINE




Keterangan foto: Orang kota jauh-jauh ke kebun mangga. Senang petiknya, juga selfienya...


BRANDING!
Ternyata mangga pun perlu branding. Apalagi kalau pamornya tersaingi kualitas rendah yang diobral 10K per kilogram. Malah bisa lebih murah lagi untuk kualitas buruk. Toh namanya tetap saja, mangga.

Probolinggo yang selama ini terkenal sebagai penghasil mangga Gadung, mulai kewalahan menghadapi pesaing yang datang dari pelosok Jawa Timur. Hampir semua orang menanam mangga Gadung. Tapi konon, Gadung Probolinggo masih paling okay.

Pasuruan tetangganya, tak mau kalah. Petani setempat mengembangkan mangga Arumanis (ada yg menyebut Harum Manis). Sosoknya mirip-mirip Gadung. Soal rasa, tanyakan ahlinya. Aku sendiri punya pohon Gadung dan Arumanis, tapi ngga bisa bedakan rasa di antara keduanya.

Nah sekarang... muncul Mangga Apokad. Dikembangkan di kawasan Rembang, Pasuruan. Pemkab setempat ikut mendukung program perkebunan mangga tersebut. Benar-benar kebun mangga, bukan tanaman di sela rumah penduduk.

Dengan ketinggian pohon sekitar tiga meter, berbuah lebat, bahkan ada yang nyaris menyentuh tanah. Dengan demikian memudahkan petani tahu mana buah yang sudah matang. Dari warna dan baunya.

Pengunjung boleh petik sendiri seberapa dia mau. Namun sebelum berlalu, harus ditimbang dan jangan lupa bayar. Harganya terbilang miring, 20K per kilonya (untuk ukuran tanggung, sekilo dapat dua buah).

Lalu... bagaimana rasa mangga apokad? Ya rasa mangga lah, blas ngga ada rasa apokadnya. Masih cenderung ke rasa Gadung, cuma dagingnya terasa lebih padat. Manis tentunya... Oya, kulitnya pun sedikit lebih tebal.

Tentu Anda bertanya, mengapa disebut mangga apokad? Cara makannya saja gaya apokad. Dibelah, diputar, ditarik. Setelah terpisah menjadi dua bagian, makanlah pakai sendok.

Sayangnya, hanya satu bagian yang bisa diperlakukan seperti apokad. Bagian yang lain, terhalang bijinya. Tidak bisa seperti biji apokad yang bisa dengan mudah dikeluarkan. Namanya juga mangga...

Toh... mangga apokad bisa mengindonesia. Namanya menjadi bahan pembicaraan. Penasaran, macam apa tuh buah. Orang pun makin mudah mendapatkan melalui pembelian online. Itulah manfaat dari branding, dan berhasil... (22:11:17)


Selasa, 21 November 2017

KENAL KORUPSI SEJAK SEKOLAH RAKYAT



PELAJARAN Pengetahuan Umum. Rupanya Bu Guru hendak menggelar suatu percobaan. Ia minta kami masing-masing membawa segenggam kacang tanah. Esok harus dikumpulkan di meja guru.

Ada yang bawa sebungkus. Ada yang sekitar satu ons. Ada yang sedikit lebih banyak. Tapi tidak ada yang benar-benar bawa segenggam, apalagi kurang dari segenggam. Aku sendiri stor secangkir --yang aku ambil dari stok Mak Ten, pembantu kami.

Besoknya lagi, Bu Guru membagikan kertas minyak ukuran 10 X 10 cm. Lalu ia keliling membawa setoples kacang tanah yang sudah digoreng. Dengan menggunakan sendok, ia taruh kacang goreng secukupnya di atas kertas kami masing-masing.

Setelah itu ia memberi tugas untuk menulis proses apa yang terjadi pada kertas yang diberi kacang goreng. Sesaat gaduh dengan argumentasi. Tak lama kemudian teman-teman mulai menulis, tentu dengan tekun...

Sementara aku? Justru lebih tertarik mengalkulasi berapa "nilai susut" yang terjadi --dari kacang tanah kemarin yang terkumpul, ke setoples kacang goreng. Hampir separonya! Lalu, kacang goreng yang tersisa di toples masih separo dari nilai awal.

Kesimpulanku: Pandai nian nih Bu Guru! Kita disuruh kumpulkan segenggam --yang tentu tak satupun yang benar-benar bawa segenggam. Hasilnya hampir dua toples. Satu toples digoreng, separonya yang dibagi. Dhus... setidaknya ia dapat 1,5 toples kacang gratis!

Itulah yang aku pikir dan alami saat masih duduk di bangku kelas 5 Sekolah Rakyat (1964). Aku belum tahu apa istilahnya, cuma sadar kalau kami diakali Bu Guru.

Aku tahu itu tindak "nakalan" (curang). Namun aku tidak berani mendiskusikan dengan teman-temanku yang saat itu sibuk mempelajari proses kacang membasahi kertas minyak.

Baru beberapa dekade kemudian aku tahu bahwa Bu Guru melakukan korupsi. Ia ambil keuntungan dari kami, murid-muridnya. Aku tidak dendam, malah berterima kasih. Paling tidak, sejak saat itu aku tahu apa itu korupsi! (21:11:17)

Senin, 20 November 2017

LEBIH PAHAM ARTI SEMANGAT HIDUP



Myrna Sawitri*: MENGGAPAI SURGA

Mama tahu aku suka banget baca... Di setiap ada kesempatan, selalu kumanfaatkan untuk baca buku...  Anykind of books.   😊

That's why...  Sekitar 2  bulan yang lalu,  mama memberikan novel "Menggapai Surga", karya oom Yuleng Ben Tallar, padaku...

Tapi karena kesibukanku, yang  cukup menyita waktu,  novel ini  belum sempat kusentuh..

Mama yang juga punya novel ini,  sudah melahap habis, dan mulai ngomporin aku untuk segera baca...  "Mbak, ayo cepetan dibaca... Ceritanya bagus banget lho..."

Makin penasaran dengan cerita yang ditulis oleh oom Yuleng... Sebagai mantan jurnalis, aku yakin banget, pasti gaya penulisan beliau mantap.

Soo... Minggu lalu, aku mulai buka dan baca halaman demi halaman  Novel ini...  Benar saja,  aku langsung hanyut dalam kisah Marce Marconna... Dan, rasanya ga bisa lepaskan novel ini,  nagih banget...

Gaya penulisan bertutur, penyampaian cukup detail, tapi tidak membosankan...

Membaca novel ini, rasanya aku juga ada di sana,  turut mengikuti  perjalanan Marce Marconna menuju tanah suci, untuk menunaikan ibadah umroh, dan menggapai surga-Nya...

Alur ceritanya, surprising banget...  Karakter peran digambarkan cukup kuat...  Setting tempat, dilukiskan dengan sempurna...

Penasaran?
Ceritanya tentang apa?
Wah, ga bisa kuceritakan disini...
Sebaiknya baca dan rasakan langsung sensasinya... 😉

Yang pasti,  setelah baca Novel ini,  aku menjadi lebih paham akan arti semangat hidup... Juga, makin mengerti, kalau semua kejadian yang ada di dunia ini, tidak ada yang tidak mungkin, asal kita yakin dan tentunya atas Ridho Allah SWT...

Matur nuwun Oom Yuleng...
Saya sudah tidak sabar menantikan kehadiran Novel Ngaruawahia,  yang rencana akan terbit di bulan Desember 2017... 😊😊

* Myrna Sawitri adalah putri dari teman baik saya, Waty Noer, cucu dari alm Moch. Noer, gubernur Jawa Timur.

Kamis, 16 November 2017

HOTEL GAYA AIRPORT, NO GRAB!


Keterangan Foto: Gayaku ketika terima telepon... serius banget ich


ANEH! Ketika setting undang Grab di lobi hotel, alamat tujuanku tak bisa muncul! Aku akan move on ke Dynasty Resort Hotel. Aku coba tempat-tempat di dekatnya, juga tak bisa. Bahkan Discovery yang begitu kondang, sama saja... tak muncul di searching tujuan.

Padahal tadi semasih di kamar, dengan mudah aku mendapatkan alamat tujuan. Tapi itu tiga jam lampau ketika aku iseng mencoba apakah application Grab berfungsi di sini. Sekarang nyaris now way.

Untung aku cepat berpikir. Dugaanku, ada yang ngerjain sistem. Entah bagaimana caranya, buktinya aku tidak bisa mendapatkan alamat tujuan manapun di Bali. Dan sudah dicoba berkali-kali. Kalau ini kerjaan manusia, pasti ada celah yang mereka lupa. Akupun coba ikut ngerjain...

Aku searching untuk kolom PENJEMPUTAN: Dynasty. Baru deh muncul. Segera aku pasang "bintang", artinya tersimpan dalam memori. Baru aku kembali ke setting undang Grab seperti langkah semula. Aku dengan mudah menemukan Dynasty pada memori dan memasangnya ke kolom TUJUAN. Bingo! Sistem bekerja.

Beberapa menit kemudian, driver telepon. "Tolong Bapak siap di lobby, dan nanti kalau ditanya, bapak bilang dijemput saudara." Segera makfum, maka aku jawab, nanti Anda langsung salami saya. Pokoknya kita seolah sudah kenal lama...

Toh aku penasaran juga, cukup lama mobil tak segera muncul. Dari layar monitor, kendaraan itu berhenti di entrance hotel. Saya menghindari menatap layar lama-lama, khawatir petugas hotel curiga. Makanya foto-fotoan ama wifi eh wife...

Tadi salah satu di antara mereka menawarkan taksi (hotel), dan dengan halus kutolak. Kini mereka berlima siap menunggu kendaraan yang akan menjemputku. Setelah cukup lama, barulah Avanza Silver tampak mendaki dari kejauhan. Kami pun bersiap.

Seorang petugas hotel segera mengambil alih koperku, lainnya bersiap-siap membukakan pintu. Seorang pemuda turun dari balik kemudi dan membuka pintu bagasi. Sebelum pintu itu benar-benar terbuka, aku sudah mengulurkan tangan. Dia tersenyum lebar menyambut salamku.

Kemudian istriku --yang pemain watak juga rupanya-- mengulurkan tangannya. Kami sempat chas chis chus sambil masuk mobil. Aku tengok sejenak para petugas hotel kembali ke tempatnya semula.

Well... apa yang terjadi? "Maaf, Pak... tadi lama di gate masuk. Satpam tanya macam-macam. Bahkan mereka minta tunjukkan HP dan memeriksanya. Untung saya ada dua, yang saya berikan yang tidak ada aplikasi Grab..."

Wah... ngga ada etika itu, ujarku. Walaupun saya bisa naik taksi hotel, tidak baik menghalangi rezeki orang. Toh mereka sudah dapat sangat banyak dari pembayaran sewa kamar, hormatilah tamu yang akan memilih tumpangannya. Aku ikut uring-uringan, dan istriku mencoba meredakan dengan mengelus punggungku...

"Tidak semua hotel seperti ini, Pak," ujar Arief, anak Magelang yang baru dua tahun ngegrab di Bali. "Dynasty Resort aman-aman saja walau mereka juga punya taksi hotel," tambahnya.

"Kami biasanya mengaku dari travel, dan saya beruntung dapat tamu seperti Bapak yang mengerti persoalan sehingga tadi di lobby semuanya lancar. Kalau mereka curiga, di gate bisa-bisa dihentikan dan diusut lagi."

SEWA 25 JUTA/TAHUN

Dari Arief aku dapat banyak cerita tentang liku-liku Kuta sekarang. Sebenarnya, dusun bekas kampung nelayan yang miskin dan gersang ini (1969) sudah sejak lama aku kuasai seluk beluknya.

Aku nongkrong di Warung Made (1980) hampir setiap malam minggu. Juga jalan-jalan ke gang-gang kecil di belakangnya. Hafal banget bau asap "The Green", atau makfum jika orang menyebut mushrooms. Masih ketemu fleamarket, dan menginap di homestay pakai kipas angin. Yang AC-an cuma Inna hotel di tepi pantai sana.

Sekarang, kata Arief, ada kios yang disewakan 25 juta per tahun. Padahal ukurannya cuma 1 X 1 meter! Orang Madura pemiliknya, Pak. Mereka pintar cari uang...

Tanpa terasa mobil sudah belok kanan meninggalkan main road Kuta. Kami menelusuri jalan kecil menuju Dynasty Resort. Rasanya belum cukup tadi kami mengobrol.

Maka saat akan berpisah, aku bilang, "Bung Arief, besok siang kita ke Jimbaran ya. Saya ingin beli ikan segar, dan minta dimasakkan di sana. Nanti kamu ikut makan bersama kami," ujarku.

"Siap Ndan!" ujarnya tegas. Petugas hotel sampai ikut-ikutan, "Boleh saya bawakan kopernya, Ndan... Silahkan..." (16:11:71)


Kamis, 09 November 2017

HANYA TUJUH DETIK!



BISA Anda bayangkan, hanya dalam hitungan detik abai memperhatikan lalu lintas di depan, bisa berakibat fatal! Mencelakai orang lain, termasuk merugikan diri sendiri.

Rekaman video yang beredar di media sosial ini menggambarkan sedan putih sudah pindah jalur tujuh detik sebelum menabrak dari belakang sejumlah pengendara motor di depannya.

Kita berbaik sangka, pengemudi sedan ini mengalami serangan jantung. Atau mengantuk. Namun sangat disayangkan kalau mabuk. Lebih memprihatinkan lagi jika membaca/mengirim pesan singkat.

Kita serahkan saja pada penyelidikan pihak yang berwajib. Saya hanya ingin mengingatkan, betapa berbahayanya jika kita sekejab saja tidak melihat jalanan di depan kita.

Kondisi lalu lintas tahun 70-an tentu berbeda dengan 17-an. Kalau dulu kita bisa mengemudi sambil melihat kanan kiri menyaksikan keindahan kota, saat ini jangankan meleng tujuh detik. Kurang dari itupun sudah bisa mengundang celaka.

Apakah karena kendaraan di depan berhenti mendadak, ada seseorang menyeberang, pesepedamotor memotong, atau sebab lainnya. Lalu lintas saat ini semakin padat. Sopir tak bisa lagi tengok kanan kiri, apalagi membaca pesan singkat di telepon pintar.

Jadi benar adanya peraturan pemerintah yang melarang keras mengemudi sambil menulis/membaca pesan singkat. Ancaman dendanya pun cukup tinggi.

Dan jangan marah dong kalau kendaraan di belakang terpaksa bunyikan klakson karena kalian baca SMS. Pengemudi handal tahu kok kalau kalian tidak konsentrasi. Biasanya jalan perlahan, tidak pada jalur, atau mengangkangi marka jalan.

Kalau terpaksa harus membaca pesan penting, berhentilah sejenak. Lima menit menepi tak merugikan dibanding lima detik yang bisa menimbulkan mala petaka. Mari kita tertib berlalu lintas, keselamatan orang lain adalah keselamatanmu juga. (09:11:17)

Minggu, 05 November 2017

ISTRIKU NYARIS AKU TURUNKAN



Keterangan foto: Picantoku yang lebih rendah dari orisinalnya. Kaca gelap tidak jaminan tak terlihat dari luar.



MALAM Minggu, di jantung kota, lalu lintas padat. Aku baru saja melewati simpang empat dengan traffic light.

Ada polisi ikut atur lalu lintas. Lalu ada satu lagi temannya, sekitar 20 meter di depan. Ia membawa tongkat lampu menyala merah, dan melambai ke arahku.

"Papa ngga pakai lampu kah?" tanya istriku. "Pakai kok...," jawabku sambil menepi. Aku nyalakan lampu hazard, dan membuka jendela.

"Malam...," ujarku tegas menjawab sapaan hormat polisi lalu lintas yang berdiri membungkuk di samping mobilku. Maklum, ia berdiri di trotoar, sementara Picantoku terbilang rendah sekali.

"Hendak ke mana Pak?" tanyanya dengan sopan. Persis aku tidak bisa menahan batuk, aku menjawab sambil terbatuk-batuk... "Berobat Mas..."

"Ibu tidak memakai sabuk keselamatan Pak...," ujarnya masih dengan nada sopan. Buru-buru istriku menjawab, "O... maaf, lupa Mas. Maklum lansia..." Tentu dengan mesam-mesem sambil memasang sabuk pengaman.

"Lain kali jangan lupa, Bu... Bapak, ada surat-suratnya?" ujarnya masih dengan ramah. Aku buru-buru mengambil tas di samping kursi, tapi kemudian polisi itu mengatakan, "baik Pak... saya percaya. Silakan melanjutkan perjalanan, selamat bermalam Minggu..."

Aku sempat terkagum sejenak, dan aku genggam lengan polisi muda itu sambil mengucapkan terima kasih. "Selamat bertugas, Mas," ujarku mengakhiri pertemuan.

"Kok dia bisa lihat ya," ujar istriku beberapa saat kemudian. Pertanyaan yang wajar sebab kaca mobil pakai peredup sinar 70%, termasuk kaca depan.

"Faktor kebetulan," ujarku seasalnya. "Tapi untung ngga ditilang, sebab kalau ditilang kamu aku turunkan...," ujarku disambut tawa istriku.

Sampai segitunya aku? Dengar dulu. Sejak 1975 aku selalu pakai sabuk pengaman. Sejak itu pula "perseteruan" selalu terjadi. Dia baru pakai kalau aku ingatkan.

Kadang dengan kata mesra. Tapi kalau sudah bosan, ya dengan sedikit keras. Aku sadar manfaat sabuk pengaman sementara dia tersiksa dengannya. Sampai aku bertanya di dalam hati, apakah semua wanita begini?

Sampai suatu ketika kami sepakat. Kalau ada apa-apa, tanggunglah sendiri. Termasuk jika ditangkap polisi.

Dan sejak saat itu kami suka-suka. Dia bebas ngga pakai, aku juga ngga lagi ingatkan kecuali satu: Kalau ketilang dia mesti turun!

Jadi kalau dia tertawa malam itu, rupanya yakin aku tak akan menurunkan walau dia melakukan kesalahan! Dasar wanita... ha-ha-ha...

FITNAH KEJAM

Yang kami kagumi, sopan santun polisi tadi. Pada pekan operasi Zebra, yang konon tiada maaf bagi si pelanggar. Toh dia bisa mengerti kondisi kami.

Hal begini banyak yang tidak mengerti. Bahkan menuduh polisi mencari-cari. Kalau kami bebas, jangan-jangan sudah memberi uang. Apalagi aku tadi menggenggam lengan Mas polisi.

Fitnah-fitnah kejam kerap tertuju kepada mereka. Padahal para polisi sudah berkorban di tepian jalan, malam panjang, meninggalkan keluarga.

Kalau ada oknum yang nakal, janganlah semua dianggap sama saja. Masih banyak polisi jujur. Bukan mencari-cari kesalahan, namun mengingatkan demi keselamatan pengguna jalan.

Kami sepakat, sesuatu yang positif layak diceritakan. Jangan hanya berita buruk-buruk saja, seperti yang ditulis koran kuning.

Melanjutkan malam panjang, kami pun melaju menuju resto langganan. Lho... bukannya berobat? Tentu pertanyaannya begitu kan...

Yah... aku butuh makan daging sebanyak kemampuanku. Pekan lalu, beratku naik satu kilogram setelah banyak makan daging bakar di situ. Aku harus mencapai berat ideal 65kg dari 58 yang sekarang.

Makanya aku bersemangat pergi ke sana lagi. Dengan berat ideal, harapanku sistem tubuhku mampu ikut mengatasi penyakit paruku. Tentu obat dokter tetap aku minum.

Jadi tadi waktu aku terbatuk-batuk sambil mengatakan hendak berobat, bukanlah alasan yang aku cari-cari. Dan mungkin karena itu Mas polisi menaruh kasihan pada pria tua ini... mana aku tahu?  (05:11:17)

Kamis, 02 November 2017

KALAU ADA MURAH KENAPA BELI YANG MAHAL



Keterangan foto: Arlojiku, dengan baterai bekas di sisi kanannya. Kepikir enggak, barang sekecil ini dihargai Rp 450 ribu?
Oya... sekadar informasi, arloji ini diambil close up menggunakan smartphone...


JUM'AT yang lalu aku jalan ke mall. Kebetulan lihat gerai arloji, dan pas pula arlojiku mati sejak sepekan sebelumnya. Aku yakin, pasti baterainya habis.

Maka iseng-iseng mampir dan menanyakan berapa biaya ganti baterai plus ongkos pasang.

Setelah menanyakan kepada seseorang di ruang belakang, gadis  penjaga toko itu dengan lincah menjawab: baterainya Rp 450 ribu, ongkos gantinya untuk Bapak kita kasih gratis.

Hah... ujarku. Ngga salah hitung? Si gadis menggeleng. "Ini baterai khusus untuk Tag Heuer. Asli Swiss, Pak..." tuturnya ceriwis.

"Kasih aja yang buatan Cina... paling ngga sampai separonya," ujarku. Gadis itu tersenyum, dan ada saja jawabannya: Jangan Pak... sayang. Buatan Cina gampang rusak...

Aku pikir, kalau aku terus-teruskan, aku bakalan kalah berdebat. Apalagi gadis ini mengumbar senyumannya. Alamak!

"Enggak deh, nanti aku tambahin dikit uang, bisa beli accu untuk strum arloji ini," ujarku sambil mengambil arlojiku siap-siap berlalu.

Benar... Gadis ini bengong sesaat. Ketika aku sudah empat langkah menjauh, setengah berteriak ia mengatakan, "Bapak nih... ada-ada saja..."

Ibu-ibu yang kebetulan lewat di depan gerai itu sampai menoleh. Jangan-jangan terbersit di pikirannya, nah ini aki-aki genit ya...

Dan baru kemarin aku sempat mampir ke tukang arloji di Jalan Kedungsroko. Aku serahkan kepada gadis berhijab penunggu kios sambil mengatakan "ganti baterai".

Dengan cekatan ia mengerjakan, dan tak sampai 10 menit kemudian menyerahkan kembali sambil mengatakan, "Rp 35.000,- Pak".

Tuh kan apa aku bilang... Sama-sama gadisnya, cuma beda tempat usaha... Selisih harga bisa demikian tinggi.

Jarum arlojiku kembali bergerak, aku tak peduli baterai itu buatan Swiss atau Cina. Dan orang pun tak akan bertanya pakai baterai apa? Hari gini harus berpikir smart ya... (02:11:17)