Minggu, 05 November 2017

ISTRIKU NYARIS AKU TURUNKAN



Keterangan foto: Picantoku yang lebih rendah dari orisinalnya. Kaca gelap tidak jaminan tak terlihat dari luar.



MALAM Minggu, di jantung kota, lalu lintas padat. Aku baru saja melewati simpang empat dengan traffic light.

Ada polisi ikut atur lalu lintas. Lalu ada satu lagi temannya, sekitar 20 meter di depan. Ia membawa tongkat lampu menyala merah, dan melambai ke arahku.

"Papa ngga pakai lampu kah?" tanya istriku. "Pakai kok...," jawabku sambil menepi. Aku nyalakan lampu hazard, dan membuka jendela.

"Malam...," ujarku tegas menjawab sapaan hormat polisi lalu lintas yang berdiri membungkuk di samping mobilku. Maklum, ia berdiri di trotoar, sementara Picantoku terbilang rendah sekali.

"Hendak ke mana Pak?" tanyanya dengan sopan. Persis aku tidak bisa menahan batuk, aku menjawab sambil terbatuk-batuk... "Berobat Mas..."

"Ibu tidak memakai sabuk keselamatan Pak...," ujarnya masih dengan nada sopan. Buru-buru istriku menjawab, "O... maaf, lupa Mas. Maklum lansia..." Tentu dengan mesam-mesem sambil memasang sabuk pengaman.

"Lain kali jangan lupa, Bu... Bapak, ada surat-suratnya?" ujarnya masih dengan ramah. Aku buru-buru mengambil tas di samping kursi, tapi kemudian polisi itu mengatakan, "baik Pak... saya percaya. Silakan melanjutkan perjalanan, selamat bermalam Minggu..."

Aku sempat terkagum sejenak, dan aku genggam lengan polisi muda itu sambil mengucapkan terima kasih. "Selamat bertugas, Mas," ujarku mengakhiri pertemuan.

"Kok dia bisa lihat ya," ujar istriku beberapa saat kemudian. Pertanyaan yang wajar sebab kaca mobil pakai peredup sinar 70%, termasuk kaca depan.

"Faktor kebetulan," ujarku seasalnya. "Tapi untung ngga ditilang, sebab kalau ditilang kamu aku turunkan...," ujarku disambut tawa istriku.

Sampai segitunya aku? Dengar dulu. Sejak 1975 aku selalu pakai sabuk pengaman. Sejak itu pula "perseteruan" selalu terjadi. Dia baru pakai kalau aku ingatkan.

Kadang dengan kata mesra. Tapi kalau sudah bosan, ya dengan sedikit keras. Aku sadar manfaat sabuk pengaman sementara dia tersiksa dengannya. Sampai aku bertanya di dalam hati, apakah semua wanita begini?

Sampai suatu ketika kami sepakat. Kalau ada apa-apa, tanggunglah sendiri. Termasuk jika ditangkap polisi.

Dan sejak saat itu kami suka-suka. Dia bebas ngga pakai, aku juga ngga lagi ingatkan kecuali satu: Kalau ketilang dia mesti turun!

Jadi kalau dia tertawa malam itu, rupanya yakin aku tak akan menurunkan walau dia melakukan kesalahan! Dasar wanita... ha-ha-ha...

FITNAH KEJAM

Yang kami kagumi, sopan santun polisi tadi. Pada pekan operasi Zebra, yang konon tiada maaf bagi si pelanggar. Toh dia bisa mengerti kondisi kami.

Hal begini banyak yang tidak mengerti. Bahkan menuduh polisi mencari-cari. Kalau kami bebas, jangan-jangan sudah memberi uang. Apalagi aku tadi menggenggam lengan Mas polisi.

Fitnah-fitnah kejam kerap tertuju kepada mereka. Padahal para polisi sudah berkorban di tepian jalan, malam panjang, meninggalkan keluarga.

Kalau ada oknum yang nakal, janganlah semua dianggap sama saja. Masih banyak polisi jujur. Bukan mencari-cari kesalahan, namun mengingatkan demi keselamatan pengguna jalan.

Kami sepakat, sesuatu yang positif layak diceritakan. Jangan hanya berita buruk-buruk saja, seperti yang ditulis koran kuning.

Melanjutkan malam panjang, kami pun melaju menuju resto langganan. Lho... bukannya berobat? Tentu pertanyaannya begitu kan...

Yah... aku butuh makan daging sebanyak kemampuanku. Pekan lalu, beratku naik satu kilogram setelah banyak makan daging bakar di situ. Aku harus mencapai berat ideal 65kg dari 58 yang sekarang.

Makanya aku bersemangat pergi ke sana lagi. Dengan berat ideal, harapanku sistem tubuhku mampu ikut mengatasi penyakit paruku. Tentu obat dokter tetap aku minum.

Jadi tadi waktu aku terbatuk-batuk sambil mengatakan hendak berobat, bukanlah alasan yang aku cari-cari. Dan mungkin karena itu Mas polisi menaruh kasihan pada pria tua ini... mana aku tahu?  (05:11:17)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar