Rabu, 08 Februari 2012

JIMBARAN SURGA KULINER

Hasil panggangannya tak kalah dengan yang di bibir pantai, namun soal harga
kadang tak sampai separonya.

Pilih Rasa atau Suasana?

NASIB Jimbaran tampaknya mengikuti kisah sukses Kuta. Kampung nelayan itu sekarang berubah wajah menjadi surga bagi penggemar seafood. Padahal tigapuluh tahun lampau tidak ada apa-apa di pantai berbentuk teluk di seberang utara Bandara Ngurah Rai itu. Sebenarnya Jimbaran masih satu rangkaian dengan pantai eksotik Seminyak-Legian-Kuta. Keberadaan gerbang masuk lewat udara itulah yang memisahkannya dengan destinasi yang sudah kondang duluan.

Jimbaran mulai dikenal orang limabelas tahun belakangan. Awalnya hanya kedai biasa yang menyediakan tempat duduk di tepi pantai. Karena buka hanya di malam hari, maka mereka memasang obor dan lampu meja berbahan bakar minyak kelapa. Kita tahu, apapun yang berbau kreasi Bali, selalu menarik perhatian para pendatang. Demikian pula lampu-lampu dan hidangan yang disajikan. Terlebih mereka juga mendatangkan pemusik jalanan. Lengkaplah sudah sebagai daya tarik tersendiri.

Sebenarnya, rumah makan seafood yang terbilang istimewa banyak tersedia di Kuta maupun Sanur. Misalnya, Mini Restaurant yang ada di Legian. Nyaris tak pernah ada kursi kosong sepanjang malam. Mulai senja, turis berbondong datang ke tempat ini. Mereka bisa memilih sendiri ikan-ikannya –juga udang windu hingga lobster– dan memesan jenis masakannya. Demikian terkenalnya, sampai-sampai tempat ini juga menjadi “meeting point” bagi wisatawan domestik.

Namun apa yang terjadi setelah Jimbaran dikenal orang? Ya tetap lakulah... namun tidak selaris dahulu. Pelanggan lama tetap mencari Mini Restaurant, namun pendatang baru termakan kebesaran nama Jimbaran. Konon ada pameo bagi penggemar makanan laut, belum ke Bali kalau tidak mampir Jimbaran.

Bagaimana wajah Jimbaran sekarang? Kalau Anda pernah melihatnya dua puluh tahun lampau, kini tak bisa lagi memandang luas dan indahnya pantai itu. Tak bisa berenang dan berjemur sambil menikmati keheningan pantai. Apalagi duduk termenung mencari inspirasi untuk sebuah karya seni. Sebagian tepinya sudah tertutup puluhan bangunan warung. Kalau ingin melihat pantai, hanya ada sepotong yang tersisa. Namun ya itu tadi, Anda tak bisa lagi menikmatinya seperti puluhan tahun lampau.

Pasar Malam
Objek wisata ini memang sudah berubah wujud. Jauh dari keindahan di siang hari, namun eksotik di malam hari. Sepanjang pantainya penuh dengan kemerlip lampu, dan ratusan orang dari berbagai negeri menikmati hidangan yang tersaji dengan bermacam sensasinya. Musik pun dimainkan orang.

Suasana bak pasar malam itu terjadi hanya beberapa saat setelah mentari terbenam di ufuk barat. Mereka yang tadinya berada di Kuta, Nusa Dua, Sanur, pun tempat-tempat lainnya, berbondong menuju Jimbaran dengan satu tujuan: Makan Malam.

Kalau dahulu kita nyaman-nyaman saja mencari tempat parkir, sekarang –terutama pada musim liburan– kendaraan harus merambat memasuki areal Jimbaran. Sesudah itu, masih harus berebut tempat parkir. Atau, dapatkan tempat parkir milik warung-warung itu, dengan syarat harus mengudap di tempat mereka.

Suasana meriah itulah yang menjadi nilai tambah Jimbaran. Terlebih pada saat terang bulan. Orang akan terbuai dengan apa yang mereka peroleh, tidak peduli lagi berapa yang harus mereka bayar. Bagi yang terpuaskan, uang bukan masalah. Namun bagi mereka yang sudah berulang kali datang kesana, hitung-hitungan mulai dilakukan. Ternyata tidak murah untuk mendapatkan suasana seperti itu. Bahkan terkadang, kita masih dicurangi.

“Cobalah tengok, apa yang kita pilih tadi tidak sebanyak yang terhidang disini,” ujar Mrs. Gutter sambil menunjuk piring berisi udang windu bakar pesanannya. Ia ingat sekali tadi ada 14 ekor untuk ukuran satu kilogram yang ia bayar. Namun yang terhidang hanyalah delapan ekor.

“Lari kemana yang enam ekor?” protesnya kepada pelayan. Pertanyaan itu dijawab dengan cengengesan saja, mungkin dengan berpura-pura tak mengerti bahasa Inggris.

Ada sejumlah tips cukup bijak yang perlu diingat, di antaranya tanyakan terlebih dahulu harga makanan yang dipesan. Perhatikan benar-benar timbangan ikan pilihan Anda, serta ketahuilah harga yang umum di seputar situ. Namun kalau itu semua bukan masalah bagi Anda, ya nikmati sajalah makan malam ala Jimbaran.    

Kuliner Petualangan
Kalau ingin murah dan sedikit berpetualang, kunjungilah pasar ikan Jimbaran. Lokasinya mudah ditemukan. Dari pantai, jalan saja ke arah utara sampai menemukan SPBU khusus untuk nelayan. Persis sesudah itulah pasar tersebut berada.

Di tempat yang cukup luas ini tersedia bermacam ikan segar, mulai lemuru, dorang, baronang, cakalang, kakap, barakuda, tuna dan kawan-kawannya. Mulai yang ukuran kecil hingga yang besar. Bahkan udang dan lobster pun tersedia.

Tinggal tentukan pilihan Anda, dan tak perlu khawatir soal harga. Jangan pernah ragu untuk menawar karena sistemnya memang begitu. Kalau tidak boleh di pedagang yang satu, cobalah di yang lainnya. Dengan demikian, sekalian untuk mengetahui harga sebenarnya dari ikan-ikan itu. Pastikan Anda mendapatkan harga terbaik dengan harga termurah.

Setelah itu, carilah tempat pembakaran ikan tak jauh dari pasar. Ada dua tempat, satu di antaranya lebih besar dari yang lain. Pilihlah yang pertama, dengan dapur pembakaran serba terbuka dan cukup besar. Serahkan ikan-ikan itu kepada mereka, dan bayar Rp 12.500,-/kg untuk urusan bakar-membakar, tidak peduli jenis ikannya.

Di tempat itulah kita bisa menyantap ikan pilihan sepuas-puasnya, atau dibungkus dibawa pulang. Kalau dahulu hanya turis-turis domestik yang datang ke sana, sekarang tak jarang mereka dari mancanegara pun ikut bergabung. Selain lebih sedap –karena ikannya lebih segar– harganya pun jauh lebih murah.

Tinggal sekarang apa maksud kita datang ke Jimbaran, sekadar untuk menikmati hidangan seafood, atau ingin merasakan suasana hingar bingar Jimbaran by nite. Kalau pilihan kita yang pertama, cobalah kuliner petualangan ini. Namun kalau yang kedua, pilihlah warung-warung tepi pantai sebab yang di dekat pasar ikan hanya melayani pesanan terakhir pukul 19.00. (Yuleng Ben Tallar)

KAMBOJA ANDA DARI KUBURAN?


 
Langka. Perhatikan ujung kelopak bunga yang berwarna ungu.
Termasuk tanaman pelit, bunganya tak selalu ada.

Bunga Kuburan Jadi Hiasan Rumah?


Pohon kamboja menjadi tren di rumah-rumah baru. Berbagai jenis tanaman ini layak dikoleksi. Tapi hati-hati memilihnya, terutama pohon besar yang berusia puluhan tahun. Konon banyak tanaman di kuburan tiba-tiba raib. Jangan-jangan yang Anda beli berasal dari sana.

Awalnya, tak banyak orang yang suka pohon kamboja. Mereka menuding itu tanaman kubur. Tak pantas untuk ditanam di halaman rumah. Namun di depan rumahku, telanjur ada kamboja bali (bunga putih ujung bundar). Tingginya menyamai atap rumah, konon ditanam bersamaan rumah itu dibangun pada 1935.
Aku telanjur menyukai bunga-bunga kamboja. Maka mulailah koleksi pohon kamboja aku lakukan. Agar mempunyai kenangan, aku bertekad mendapatkannya dengan cara meminta pada pemiliknya. Bukan dengan membeli karena yang demikian itu tidak unik dan boros biaya.
Sasaran pertama adalah kamboja kuning kenanga di sebuah rumah di Jl. Dukuh Kupang, Surabaya Barat. Kebetulan pemiliknya tidak di tempat, hanya ada pembantu. Dengan sedikit merayu --itupun dilaku kan anak buahku-- dapatlah sepotong kamboja siap stek. Aku menanamnya di Omakayu, gubugku di kaki Welirang.
Potongan itu tumbuh subur, dan nantinya jadi indukan yang menghasilkan banyak pohon baru. Aku belum sempat mengucapkan terima kasih kepada pemiliknya --yang kemungkinan kesal juga setelah tahu ada batang kambojanya yang aku potong. Tapi percayalah, melalui tanganku kamboja itu akhirnya menyebar kemana-mana, aku berikan secara cuma-cuma.
Pencarian kedua aku lakukan di Jl Lombok. Kebetulan ada kamboja kuning muda yang pohonnya cukup besar. Aku berhenti di depan rumah dan ingin bertemu dengan pemiliknya. Rupanya si pemilik ogah menemui. Pembantunya bertanya perlu apa? Aku sampaikan maksudku, untuk meminta barang sepotong dahan untuk distek.
Ternyata permintaanku ditolak. Tentu dengan sedih aku tinggalkan rumah itu. Makin kuat tekadku untuk nantinya memberi gratis kepada orang-orang yang ingin mendapatkan kambojaku.
Pada suatu hari, aku berkesempatan ke Bali. Karena tahu di sana terdapat beragam kamboja, aku putuskan jalan darat. Aku siapkan sabit untuk mendapatkan batang-batang kambojaku.
Benar juga, aku mendapatkan kamboja putih kecil di Negara. Lalu merah di Seririt. Kuning muda (seperti yang di Jl Lombok) di Banjar. Putih dengan lipstik ungu di Kintamani. Kuning cempaka di Tampak siring. Susun sepuluh di Singaraja. Pancawarna di Ubud. Putih kecil tengah kuning di Denpasar. Dan masih banyak lagi.
Baru kali ini aku bawa pulang cenderamata berupa batang-batang kamboja. Sayangnya, saat me motong batang-batang itu, aku lupa tidak memberi tanda. Dan pengetahuanku waktu itu tak cukup untuk mengetahui batang tersebut dari bunga warna apa. Aku harus bersabar untuk mengetahui bunga dari batang-batang kamboja itu. Yang terpenting, aku tanam dulu. Ada yang cepat tumbuh, tapi tak sedikit yang lamb an.
Satu dua bulan aku tunggu. Satu dua tahun masih cukup sabar. Akhirnya, bunga pertama muncul. Kuning cempaka! Lalu merah. Kemudian pink. Dan seterusnya. Setiap kali kamboja berkuncup, hati harap-harap cemas. Wah... kuning cempaka lagi. Lagi-lagi kuning cempaka. Dan jenis ini yang dulu langka, ternyata mudah sekali pertumbuhannya.
Justru yang tumbuh lamban adalah putih berbibir ungu. Lama banget. Tak setiap tahun ia berbunga. Kalau pun bunga, pelit sekali. Juga kamboja pancawarna dan susun sepuluh. Cuma bedanya, begitu susun sepuluh berbunga, rajin sekali. Tak seperti pancawarna.
Sekarang, setiap sudut rumahku ada kamboja. Di kanan rumah ada kuning cempaka, kuning muda, susun sepuluh, pancawarna dan pink. Sedang di kiri ada merah, pancawarna, pink, kuning cempaka, dan pagoda. Di berm depan rumah ada pancawarna, merah, kuning cempaka, dan putih lipstik ungu. Dari semua itu, yang paling rajin berbunga merah dan kuning cempaka.
Aku dengan sedang hati memberi mereka yang menginginkan kambojaku. Aku yang membiakkan, orang lain yang merawatnya. Sama saja, dia dan aku sama-sama merawat bumi ini dengan tanaman, kali ini kamboja. Apalagi tren sekarang, kamboja bukan lagi pantangan di tanam di halaman rumah. Kuranglah lengkap sebuah rumah baru tanpa pohon kamboja.
Bahkan mereka berani membeli pohon besar seharga lima jutaan hanya untuk memenuhi kebutuhan elemen estetika halaman rumahnya. Sebaliknya, banyak kubur-kubur tua yang "kehilangan" pohon kambojanya. Dinaikkan truk dan dibawa ke kota, entah siapa yang pesan. Jangan-jangan... kamboja tua di rumah baru anda berasal dari sana? (Yuleng Ben Tallar)

MAK TEN BUKAN PEMBANTU BIASA

Mak Ten dan aku, 1955. Sejak muda ia suka
membaca koran, majalah, buku, novel
dan sebagainya.









KAMI memanggilnya Mak Ten. Entah nama aslinya. Papa pernah menyebutnya Sariten. Tentunya itu olok-olok, sebab pembantu satunya bernama Sarinah. Itupun aku tak pasti-pasti amat, jangan-jangan papa asal mencomot nama dari buku Bung Karno.

Sudahlah, apa arti sebuah nama. Yang ingin aku ceritakan, Mak Ten ikut keluarga kita sejak kakak sulungku baru lahir, 1948. Dia masih perawan waktu itu --bahkan sampai ajal menjemput Juni 2010. Mak Ten jugalah yang memandikan aku saat kecil. Juga mengantar aku ke sekolah. Bahkan menemani aku ketika sunat.

Ketika papa tugas ke Manila, kami sekeluarga diajak serta. Termasuk Mak Ten. Kami tinggal di Makati, kota modern yang baru dibuka pada saat itu. Keperluan sehari-hari kami dapatkan di Supermarket. Namun belanja besar, Mak Tenlah yang mengambil alih tanggung jawab. Ia pergi ke pasar tradisional.

Awalnya, ditemani pembantu kami orang Pilipino. Tapi lama kelamaan, Mak Ten berangkat dan belanja sendiri. Mahir bahasa Inggriskah dia? Boro-boro. Ia justru belajar bahasa Tagalog, bahasa setempat. Tagalognya bagus, jauh lebih okay daripada aku. Dan ia berani berkomunikasi tanpa harus malu. Orang-orang yang dijumpai, maklum kalau ia orang asing. Sebab kesehariannya, ia memakai kain panjang dan kebaya.

Bagi keluarga kami, Mak Ten bukan pembantu biasa. Ia sudah menjadi bagian keluarga kami. Ketika kakak sulungku berumah-tangga, Mak Ten diajak serta. Tugas mengasuh kembali dilakukannya. Anak-anak kakakku --ada tiga, laki semua, dan nakal-nakal-- berada di bawah asuhannya.

Mereka juga merasakan Mak Ten sebagai "pelindung" seperti yang aku --juga saudara-saudaraku-- rasakan. Mak Tenlah yang menyiapkan baju untuk sekolah, sarapan, dan keperluan kita. Bukan hal jamak bagi kita untuk merangkulnya. Menciumnya. Berbagi kasih dengannya. Itu semua karena Mak Ten bukanlah pembantu biasa. Ia bagian dari keluarga kami.

Ketika aku mendengar ia meninggal dunia, hari serasa terhenti. Wajah Mak Ten berkelebat. Senyum nya. Ketulusannya. Kebersahajaannya. Bahkan kesetiaannya. Sudah dua tahun terakhir ini, ia minta pensiun. Usianya --yang mungkin 80-an-- menjadi alasan untuk pulang ke desa, di Panti, Jember.

Kami ingin mengantar jenazahnya. Tapi kami pun sudah tidak muda lagi. Anak-anak sudah keluar rumah. Hanya kakakku yang nomor dua yang memungkinkan kesana sebab ia tinggal di Jember. Nanti lain waktu, kita akan berziarah ke pusaranya.

Ketika aku kirim doa untuk Mak Ten, yang terbayang candanya. Ia juga suka mendapat godaan, termasuk yang "sangat nakal". Pernah suatu ketika, aku minta diceplokkan telur. Tapi sebelumnya, tanpa sepengetahuan Mak Ten, telur itu aku simpan di dalam freezer. Tahu kan akibatnya? Membeku. Dan ketika kompor sudah menyala, mentega sudah di penggorengan, dan telorpun tak kunjung bisa dipecah. Boro-boro pecah, malah jatuh ke penggorengan dan minyaknya kemana-mana.

Mak Ten ketawa terpingkal-pingkal sambil mengejar aku. Tentu ia cuma bercanda sebab ketika aku tertangkap, ia memukul pantatku dengan perlahan. Bahkan sesudah itu aku dapat ciuman.

Kali yang lain, saat ia bangun dari tidur siangnya, seperti biasa Mak Ten membuat kopi. Sambil me nunggu panasnya berkurang, ia ke kamar kecil. Pada saat itulah, usilku muncul. Aku masukkan sambal terasi ke kopinya, dan aku aduk rata. Kebayang kan, kopi pedas tentu bukan minuman nikmat. Tapi toh Mak Ten ketawa, dan kembali mengejarku.

Ah... Mak Ten, kau memang bukan pembantu biasa. Kau sangat sabar membesarkanku. Banyak cerita yang aku punya, yang tentunya bisa berlembar-lembar jika aku tuliskan. Aku yakin, kakak-kakakku juga punya memory tersendiri. Juga adik-adikku (yang tak kalah nakalnya dengan aku). Belum lagi anak-anakku, juga keponakanku.

Mak Ten, kau adalah anggota keluarga kami. Keluarga besar Wiwiek Hidayat. Kami berterima ka sih padamu, dan mengiring kepergianmu dengan doa yang merdu. Ketika kau datang ke dunia ini, suatu saat kembali lagi ke Sang Khaliq. Kami pun akan demikian. Selamat jalan Mak Ten, sepanjang hidup kami mengenangmu. (Yuleng Ben Tallar)

WISATA: ULU WATU

Menghadap Samudera luas, Penjaga Ujung paling Selatan
Uluwatu, Pura Terujung

BALI terkenal sebagai pulau seribu pura. Tanpa pura, bukanlah Bali yang masyhur hingga ke ujung planet manusia. Tanpa pura, tak banyak beda dengan pulau-pulau yang berjajar di pesisir selatan. Pura dan budaya bak daya tarik tersendiri bagi para wisatawan negeri manca.
Pura Uluwatu seolah penjaga pantai kidul. Terletak di ketinggian sekitar 200 meter dari permukaan laut, tampak anggun dari kejauhan. Dialah pura yang terletak paling selatan di Pulau Dewata. Menghadap cakrawala langit barat, tempat setiap hari mentari masuk ke peraduan.
Tak seramai tempat wisata Tanah Lot, Ubud Monkey Forest, apalagi Pantai Kuta yang melegendaris, Pura Uluwatu terasa sepi dalam kesendiriannya. Kendati menyimpan bukti kuasa Ilahi, tempat pertemuan gelombang samudera menghantam bukit cadas yang tak legam terkikis. Deru dan debur silih berganti, meninggalkan buih saling bekejaran.
Uluwatu, pura terujung yang menyimpan misteri. Keindahan yang tak mudah terlupakan.

YANG INDAH DI LUAR JAKARTA

Ciparay, suasana pegunungan yang sepi di ujung desa. Masih kuingin berlama-lama
di sini untuk mendapatkan inspirasiku.


Makan Udang Cilamaya Hingga ke Panjalu


BENAR perumpamaan kata, ibukota lebih kejam dari ibu tiri! Terminal udaranya, waduh! Sewaktu transit dalam perjalanan Surabaya-Pekanbaru, aku melihat banyak calon penumpang duduk di lantai pada selasar menuju ruang tunggu. Tak ubah seperti pedagang cincin akik di trotoar Pasar Baru tahun 60-an.
Lengkap dengan rokok, berikut asapnya. Menyambut siapapun yang hendak menuju ruang tunggu, tak peduli kaum wanita maupun anak-anak. Kelakuan egois yang tidak pada tempatnya.
Di ruang tunggu tidak ada bangku yang tersisa. Lantai pun jadi tempat duduk yang tampaknya nyaman-nyaman aja. Duh... inikah yang namanya bandar udara? Inikah kaca depan Indonesia?
Ketika keluar dari terminal, wajah asli Jakarta langsung terpapar. Para sopir taksi berebut menawarkan tumpangan. Jalanan padat merayap. Pedagang makanan menggelar jualan di pulau jalan. Benar-benar di pulau jalan tak jauh dari gedung DPR. Rupanya sopir-sopir yang kehausan di saat kendaraannya merambat jadi konsumen mereka.
Sepeda motor jangan ditanya banyaknya. Di jalur lambat Jalan Sudirman, dari sisi ke sisi sarat kendaraan roda dua. Sama juga kondisinya, merambat! Inilah Jakarta sekarang, berbeda dengan yang kali pertama aku kunjungi pada 1962, saat Asian Games IV digelar.

Langganan Wapres
Ke Jakarta kali ini tujuanku sekadar jalan-jalan, sekalian menjenguk anak cucu di Depok. Dulu aku berkantor di Jl. Agus Salim. Di tempat sama tersedia guest house sehingga praktis aku tidak kemana-mana. Kalau toh pergi, seputaran itu saja, dan nyaris tidak bertemu kemacetan.
Jakarta sekarang ternyata benar-benar membuat aku  malas pergi. Kalau jalan tol saja macet, apalagi jalan biasa. Aku putuskan hanya main sama cucu, disamping menjenguk saudara dan teman lama, di antaranya suami istri Budiono Darsono (pemred deticom) dan Muflihana (Dirut PT Agrakom Para Relatika).
Lebih baik waktu yang tersisa aku manfaatkan ke tempat lain. Aku putuskan pergi ke luar Jakarta --paling tidak tak sesesak ibukota. Ada teman lama tinggal di Bogor, keponakan di Cikampek, paman di Ciparay, saudara di Bandung, dan tempat nenek moyang istri di Panjalu.
Aku menuju Bogor lewat tol. Dulu aku senang lewat jalan tol pertama negeri ini. Di tengahnya ada taman yang cukup lebar sehingga tol tersebut menyerupai boulevard. Membuat mata tak lelah, apalagi kendaraan yang lewat tak seberapa banyak. Suasananya seperti jalan bebas hambatan di negeri-negeri Eropa.
Sekarang taman rumput itu lenyap menjadi badan jalan. Kenyamanannya sudah jauh berkurang. Kendaraan saling pacu, mendahului dari kanan maupun kiri. Rupanya menjadi karakter tersendiri, mengabaikan sopan santun berlalu lintas.
Di Bogor yang tak boleh aku lewatkan taoge gorengnya. Tempatnya di seberang pagar Kebun Raya. Bagi yang belum pernah menyantap penganan khas Kota Hujan ini, jangan membayangkan taogenya digoreng. Justru taoge dicelupkan ke kuah mendidih beberapa detik, lalu ditiris. Kemudian dituang bumbu taoco campur oncom, dan entah apa lagi. Rasanya benar-benar nendang, apalagi taogenya renyah banget.
Aku juga melakukan "test food" masakan yang biasa disantap Wapres Boediono, di Katering Rosa. Kebetulan pemiliknya teman sekelas waktu masih di Sekolah Dasar. Kami bertemu kembali di Samarinda, dan beberapa tahun terakhir mereka sukses buka usaha jasa boga di Bogor.
Konon mereka sudah menjadi langganan Boediono semasih di Bank Indonesia. Juga Kwik Kian Gie di Bappenas, serta pejabat-pejabat lainnya. Nah, disini aku mencicipi kepiting kare yang sungguh sedap, sementara yang lainnya lewat...

Bebek Bengis
Hari berikutnya, aku dijemput sepupu, Aep dan anak istrinya. Dulu ia pernah ikut aku, dan digembleng istriku untuk ngerti usaha. Kerja apa saja, asal bisa jadi duit. Apalagi sekolah hanya sampai SMA. Singkat cerita, usahanya maju sampai akhirnya mendapat istri, dapat anak, punya mobil, bahkan rumah. Sampai suatu ketika krisis ekonomi melanda, dan mereka pulang ke Jawa Barat.
Tapi kini, usahanya kembali membaik. Sebenarnya sejak lama ia ingin aku bertandang ke tempatnya. Tetapi selalu tertunda. Maka ketika kali ini aku menyatakan keinginan, serta merta mereka menjemput kami ke Depok.
Mulailah perjalanan panjang kali ini. Mula-mula ke Bekasi, ke rumah sepupuku yang tertua. Rumahnya tak jauh dari gerbang tol. Ketika mobil berjalan pelahan, aku baca papan nama sebuah restauran, "Bebek Bengis". Lah... ada-ada aja membuat nama yang mirip-mirip branded Bebek Bengil yang kondang di Ubud, Bali.
Tapi surprise... saat kami disuguh makan malam seusai magrib, salah satu menunya bebek kriuk. Kulitnya tergoreng kering, dagingnya matang dan empuk. Ada tiga macam sambal --hijau, bawang merah, dan terasi. Plus lalapan.
Wah...jangan-jangan si Bengis nih, pikirku. Enak juga. Aku makan menggunakan tangan, dan mengabaikan menu lainnya. Terus terang aku jatuh hati, tapi tak sepotong kata terucap akibat sibuk dengan si bebek.
Sampai si tuan rumah menawarkan, "Tambah, Mas. Enak ya, bebeknya..." Aku mengangguk dan sok tahu menebak, "Bebek Bengis, ya!"
Hahaha... giliran tuan rumah yang kaget karena aku menebak secara tepat. "Kok tahu, Mas. Emang pernah makan di sana?"
Sebisanya aku menjawab. "Tadi kan lewat sana, aku lihat Bebek Bengis. Jangan-jangan terinspirasi Bebek Bengil. Kalau rasa ngga lebih enak, apa gunanya susah-susah pake nama mirip? Nah, bebek ini enak, tentu bebek yang tadi itu. Iya kan?"
Kami semeja tertawa. Bebek Bengis ala Bekasi. Tentu harganya tak semahal Bebek Bengil yang hampir Rp 200.000 per porsi. Bedanya lagi, di sini tak ada sawah, obor serta sayup-sayup gamelan Bali. Tapi sungguh "bengis" dengan harga murah meriah.

Udang Cilamaya
Perjalanan selanjutnya tak terlalu istimewa karena di luar sudah gelap. Hanya lampu kendaraan bersliweran pertanda padatnya lalu lintas. Tujuan berikut Cikampek, rumah Aep. Kami lewat tol, dan tetap khas Jakarta, padat!
Kami bermalam di rumah Aep, tak jauh dari gerbang tol. Esok pagi rencananya ke Cilamaya, sekitar 17 km dari Cikampek arah utara. Di kota inilah tempat Aep membuka toko dan service handphone, serta warnet dengan sepuluh set komputer. Untuk ukuran kota kecamatan, lumayan besar.
Tidak terlalu siang kami sudah sampai Cilamaya. Dalam perjalanan, aku mendapat cerita bagaimana dulu kota kecil itu berkembang pesat. Banyak orang asing yang mengerjakan proyek minyak. Juga terkenal dengan hasil perikanannya. Terus terang kuping saya baru kali ini mendengar kata Cilamaya. Kalau Luna Maya... hahaha, Anda pun tahu.
Ternyata kota ini tak terlalu luas. Namun melihat jumlah toko yang ada, boleh jadi ekonominya berkembang. Banyak terdapat rumah walet. Persawahan di pinggir kota juga tampak subur. Kilang elpiji ikut memberikan denyut jantung kota ini. Juga rencana pembangunan pelabuhan samudra pendamping Tanjung Priok. Cuma hawanya cukup panas, seperti lazimnya kota-kota pesisir pantai.
Mereka yang datang ke toko tak ada henti. Beli pulsa, jual maupun beli HP, tukar tambah, hingga service. Tiga tenaga khusus menangani reparasi.
Sebenarnya urusan HP bukan bidang Aep. Dulu di Surabaya ia menangani Event Organizer. Tapi karena HP memberi peluang usaha, ia bertekad menekuni bidang ini. Ia sadar dirinya tak mungkin belajar. Tapi ia tak ingin kehilangan peluang. Ia cari anak-anak muda yang mau kerja.
"Mereka saya kursuskan sampai mahir. Sesudah itu kerja ikut saya. Toh mereka tetap saya gaji," ujar Aep.
Di awal-awalnya dulu, hanya toko dialah yang punya tempat reparasi. Sekarang sudah mulai banyak. Saatnya Aep mulai memikirkan bidang apalagi setelah ini.
Sebelum kita meninggalkan toko Aep untuk melihat koleksi benda antik, ada sajian khusus yang baru diperoleh dari pasar lelang: udang! Luar biasa nih udang. Gemuk, padat, kemerahan, 20 cm panjang, gurih. Padahal hanya direbus begitu saja. Perut yang lapar membuat saya terlahap menyantapnya. Hanya udang, tanpa nasi. Toh cuma empat ekor yang bisa masuk. Terpaksa lempar handuk... alhamdulillah!
Dalam keadaan kekenyangan, aslinya tak berniat lagi melihat benda antik. Apalagi harus turun mobil dan berjalan sekitar seratus meter. Namun ketika melihat koleksi keramik –yang desain dan kualitasnya terbilang prima membuat mata terbelalak. Aku penggemar keramik, tapi yang ini terbilang langka. Ada Dewa Mabuk setinggi 60 cm, tempat minum peninggalan abad sebelas, tempayan zaman Dinasti Ming, dan sebagainya.
Wouw... bener-bener wouw! Terlebih mendengar nilainya. Untuk koleksi sekitar 600 keping itu, sudah ditawar Rp 16M. Setinggi apa akan dilepas? Tak kurang dari 50! Hmmm... tentu duit semua tuh!

Rumah "Mewah"
Dari Cilamaya kita kembali ke Cikampek dan setelah istirahat sebentar perjalanan dilanjutkan ke Ciparay. Kita masuk tol menuju Bandung. Kebetulan siang itu agak sepi. Ketika tol ini baru buka, aku pernah melewatinya. Tak sebagus sekarang kondisinya. Kanan kiri jalan sudah hijau pepohonan, sehingga suasana tak membosankan. Langit lagi biru-birunya tapi matahari tak begitu menyengat. Ketika mendekati Bandung kenanganku justru melayang ke Eropa. Langit biru, jalan lengang, pengunungan, dengan warna putih di puncaknya. Ciri khas Switzerland dengan puncak-puncak saljunya.
Aku menikmati suasana ini dan benar-benar seolah dalam perjalanan antara Geneve ke Lausanne. Sampai akhirnya tersadar, puncak putih itu bukanlah salju melainkan batu-batu kapur yang ditambang orang.
Biasanya orang-orang Jakarta masuk Bandung melalui gerbang Terusan Pasteur. Kendaraan kami justru terus melaju mengelilingi Kota Kembang menuju selatan. Setelah keluar tol, pindah ke jalan propinsi, jalan kabupaten, dan jalan desa. Entah berapa kilometer jarak antara Bandung ke Ciparay, aku hanya menikmati pemandangan di kanan kiri jalan yang terus menanjak.
Akhirnya sampai juga ke Ciparay. Kami menuju rumah salah satu Emang (paman) yang udah puluhan tahun ngga bertemu. Kendaraan tidak bisa meneruskan perjalanan karena kita harus lewat jalan setapak bersemen naik dan turun. Hujan yang baru turun membuat jalanan licin dan kami harus berhati-hati.
Setelah berjalan sekitar dua kilometer, sampailah di rumah yang dituju. Benar-benar rumah "mewah" mepet sawah! Rumah itu agak di ketinggian, sementara sawahnya terbentang di lokasi yang lebih rendah dan bertangga-tangga. Matahari sudah berada di balik gunung, namun sinarnya masih membekas di langit.
Ya Tuhan, nikmat banget alam-Mu ini. Anginnya dingin menggigilkan, bau tanah segar menembus rongga dada.
Paman hidup bersahaja di rumah yang tak kelewat besar. Walau rumahnya tak bagus-bagus amat, tapi yang membanggakan kebersihannya yang luar biasa. Kami bisa segera menyesuaikan diri, apalagi bibi menyediakan makan malam ikan goreng plus sambal dan aneka lalapan, tak lupa jengkol di masak gulai. Yang istimewa, leincak yang saya kunyah benar-benar renyah karena baru saja dipetik dari pohonnya. Tak pernah sebelumnya  merasakan kereyahan seperti ini karena leincak di rumah kuperoleh dari Carrefour.
Hari yang istimewa, setelah siang melahap udang, malam ikan goreng sambal lengkap. Tanpa sadar aku sudah tertidur kekenyangan di karpet ruang tamu. Di luar kabut mulai menyelimuti permukaan tanah. Desa Ciparay, keindahanmu membuat aku jatuh cinta. 

Korban Narkoba
Panjalu... ini perjalanan terakhirku di (eks) Jawa Barat. Panjalu kali pertama aku dengar 38 tahun lampau ketika mertuaku menyebut kota asalnya. Konon inilah salah satu petilasan Raja Siliwangi yang sampai sekarang dipercaya bersliweran kekuatan gaib.
Kami ke makam leluhur ibu mertua di Bumi Alit. Juru kuncinya yang berusia sekitar 80-an dengan lancar menceritakan keberadaan makam dan pusaka-pusaka peninggalan yang tersimpan di dalamnya. Aku hanya mengerti 50-an persen, maklum ia bicara bahasa Sunda campur Indonesia.
Ada beberapa petilasan, termasuk yang di seberang danau. Aku langsung memutuskan tidak pergi. Alasannya, Bumi Alit cukup mewakili semuanya. Kedua, ketika menuju seberang kita harus menjaga mulut! Jangan bicara sembarangan karena bisa mendatangkan celaka. Padahal, saudara-saudara istriku sepanjang perjalanan bicara melulu. Apa bisa nanti mereka berdiam diri? Ketiga, aku dari dulu merasa tidak nyaman dengan danau. Airnya tenang namun dalamnya tak terkirakan. Tak ingin aku beramah-ramah dengannya.
Dalam perjalanan pulang aku melihat ada kompleks bangunan cukup besar di sebelah kanan. Sebenarnya kita tadi lewat jalan yang sama. Tapi karena posisinya menanjak, bangunan itu tak terlalu nampak. Kini dari atas lebih kelihatan sosoknya.
"Itu pesantrennya Abah Anom," ujar kakak iparku. "Banyak yang berdatangan ke sana, termasuk korban narkoba yang ingin mendapat penyembuhan."
Segera aku ingat Abah Anom. Pesantrennya, Suralaya, punya cabang di Surabaya. Malah pengajiannya pada hari-hari tertentu sarat peserta.
Setelah makan kami meluncur pulang. Aku sudah bosan melihat pemandangan yang mulai tertutup bayang-bayang malam. Ingin rasanya cepat-cepat sampai, dan tidur. Esok keretaku pagi-pagi amat menuju Surabaya.
Dalam kebosanan aku mulai memperhatikan suasana di dalam mobil. Ada kakak ipar dan dua anaknya, paman  yang dari Ciparay, bibi dari Cilamaya, dan bibi lain dari Bandung. Mereka semua bicara sendiri-sendiri dalam bahasa Sunda. Kalau ada yang lucu, tertawa. Tetapi tetap saja bicara sendiri-sendiri. Istriku juga melebur dalam kegayengan yang aku tak mengerti. Malah ikut menyanyi dalam bahasa Sunda dengan fasih. Baru tahu aku kalau ia selancar itu bersundaria.
Sungguh suatu keanehan bagiku. Biasanya, kalau habis makan orang selalu mengantuk. Apalagi di luar sana gelap adanya. Komunitas yang ini di luar pakem tersebut. Semakin lama semakin ramai. Ada yang menyanyi, bicara, tertawa, toh masing-masing tetap saling mendengar!
Suatu pengalaman yang tak pernah aku jumpai sepanjang hidupku... Itulah komunitas Sunda, di mana istri yang aku kawini sepanjang 38 tahun berasal. (Yuleng Ben Tallar)