Rabu, 08 Februari 2012

YANG INDAH DI LUAR JAKARTA

Ciparay, suasana pegunungan yang sepi di ujung desa. Masih kuingin berlama-lama
di sini untuk mendapatkan inspirasiku.


Makan Udang Cilamaya Hingga ke Panjalu


BENAR perumpamaan kata, ibukota lebih kejam dari ibu tiri! Terminal udaranya, waduh! Sewaktu transit dalam perjalanan Surabaya-Pekanbaru, aku melihat banyak calon penumpang duduk di lantai pada selasar menuju ruang tunggu. Tak ubah seperti pedagang cincin akik di trotoar Pasar Baru tahun 60-an.
Lengkap dengan rokok, berikut asapnya. Menyambut siapapun yang hendak menuju ruang tunggu, tak peduli kaum wanita maupun anak-anak. Kelakuan egois yang tidak pada tempatnya.
Di ruang tunggu tidak ada bangku yang tersisa. Lantai pun jadi tempat duduk yang tampaknya nyaman-nyaman aja. Duh... inikah yang namanya bandar udara? Inikah kaca depan Indonesia?
Ketika keluar dari terminal, wajah asli Jakarta langsung terpapar. Para sopir taksi berebut menawarkan tumpangan. Jalanan padat merayap. Pedagang makanan menggelar jualan di pulau jalan. Benar-benar di pulau jalan tak jauh dari gedung DPR. Rupanya sopir-sopir yang kehausan di saat kendaraannya merambat jadi konsumen mereka.
Sepeda motor jangan ditanya banyaknya. Di jalur lambat Jalan Sudirman, dari sisi ke sisi sarat kendaraan roda dua. Sama juga kondisinya, merambat! Inilah Jakarta sekarang, berbeda dengan yang kali pertama aku kunjungi pada 1962, saat Asian Games IV digelar.

Langganan Wapres
Ke Jakarta kali ini tujuanku sekadar jalan-jalan, sekalian menjenguk anak cucu di Depok. Dulu aku berkantor di Jl. Agus Salim. Di tempat sama tersedia guest house sehingga praktis aku tidak kemana-mana. Kalau toh pergi, seputaran itu saja, dan nyaris tidak bertemu kemacetan.
Jakarta sekarang ternyata benar-benar membuat aku  malas pergi. Kalau jalan tol saja macet, apalagi jalan biasa. Aku putuskan hanya main sama cucu, disamping menjenguk saudara dan teman lama, di antaranya suami istri Budiono Darsono (pemred deticom) dan Muflihana (Dirut PT Agrakom Para Relatika).
Lebih baik waktu yang tersisa aku manfaatkan ke tempat lain. Aku putuskan pergi ke luar Jakarta --paling tidak tak sesesak ibukota. Ada teman lama tinggal di Bogor, keponakan di Cikampek, paman di Ciparay, saudara di Bandung, dan tempat nenek moyang istri di Panjalu.
Aku menuju Bogor lewat tol. Dulu aku senang lewat jalan tol pertama negeri ini. Di tengahnya ada taman yang cukup lebar sehingga tol tersebut menyerupai boulevard. Membuat mata tak lelah, apalagi kendaraan yang lewat tak seberapa banyak. Suasananya seperti jalan bebas hambatan di negeri-negeri Eropa.
Sekarang taman rumput itu lenyap menjadi badan jalan. Kenyamanannya sudah jauh berkurang. Kendaraan saling pacu, mendahului dari kanan maupun kiri. Rupanya menjadi karakter tersendiri, mengabaikan sopan santun berlalu lintas.
Di Bogor yang tak boleh aku lewatkan taoge gorengnya. Tempatnya di seberang pagar Kebun Raya. Bagi yang belum pernah menyantap penganan khas Kota Hujan ini, jangan membayangkan taogenya digoreng. Justru taoge dicelupkan ke kuah mendidih beberapa detik, lalu ditiris. Kemudian dituang bumbu taoco campur oncom, dan entah apa lagi. Rasanya benar-benar nendang, apalagi taogenya renyah banget.
Aku juga melakukan "test food" masakan yang biasa disantap Wapres Boediono, di Katering Rosa. Kebetulan pemiliknya teman sekelas waktu masih di Sekolah Dasar. Kami bertemu kembali di Samarinda, dan beberapa tahun terakhir mereka sukses buka usaha jasa boga di Bogor.
Konon mereka sudah menjadi langganan Boediono semasih di Bank Indonesia. Juga Kwik Kian Gie di Bappenas, serta pejabat-pejabat lainnya. Nah, disini aku mencicipi kepiting kare yang sungguh sedap, sementara yang lainnya lewat...

Bebek Bengis
Hari berikutnya, aku dijemput sepupu, Aep dan anak istrinya. Dulu ia pernah ikut aku, dan digembleng istriku untuk ngerti usaha. Kerja apa saja, asal bisa jadi duit. Apalagi sekolah hanya sampai SMA. Singkat cerita, usahanya maju sampai akhirnya mendapat istri, dapat anak, punya mobil, bahkan rumah. Sampai suatu ketika krisis ekonomi melanda, dan mereka pulang ke Jawa Barat.
Tapi kini, usahanya kembali membaik. Sebenarnya sejak lama ia ingin aku bertandang ke tempatnya. Tetapi selalu tertunda. Maka ketika kali ini aku menyatakan keinginan, serta merta mereka menjemput kami ke Depok.
Mulailah perjalanan panjang kali ini. Mula-mula ke Bekasi, ke rumah sepupuku yang tertua. Rumahnya tak jauh dari gerbang tol. Ketika mobil berjalan pelahan, aku baca papan nama sebuah restauran, "Bebek Bengis". Lah... ada-ada aja membuat nama yang mirip-mirip branded Bebek Bengil yang kondang di Ubud, Bali.
Tapi surprise... saat kami disuguh makan malam seusai magrib, salah satu menunya bebek kriuk. Kulitnya tergoreng kering, dagingnya matang dan empuk. Ada tiga macam sambal --hijau, bawang merah, dan terasi. Plus lalapan.
Wah...jangan-jangan si Bengis nih, pikirku. Enak juga. Aku makan menggunakan tangan, dan mengabaikan menu lainnya. Terus terang aku jatuh hati, tapi tak sepotong kata terucap akibat sibuk dengan si bebek.
Sampai si tuan rumah menawarkan, "Tambah, Mas. Enak ya, bebeknya..." Aku mengangguk dan sok tahu menebak, "Bebek Bengis, ya!"
Hahaha... giliran tuan rumah yang kaget karena aku menebak secara tepat. "Kok tahu, Mas. Emang pernah makan di sana?"
Sebisanya aku menjawab. "Tadi kan lewat sana, aku lihat Bebek Bengis. Jangan-jangan terinspirasi Bebek Bengil. Kalau rasa ngga lebih enak, apa gunanya susah-susah pake nama mirip? Nah, bebek ini enak, tentu bebek yang tadi itu. Iya kan?"
Kami semeja tertawa. Bebek Bengis ala Bekasi. Tentu harganya tak semahal Bebek Bengil yang hampir Rp 200.000 per porsi. Bedanya lagi, di sini tak ada sawah, obor serta sayup-sayup gamelan Bali. Tapi sungguh "bengis" dengan harga murah meriah.

Udang Cilamaya
Perjalanan selanjutnya tak terlalu istimewa karena di luar sudah gelap. Hanya lampu kendaraan bersliweran pertanda padatnya lalu lintas. Tujuan berikut Cikampek, rumah Aep. Kami lewat tol, dan tetap khas Jakarta, padat!
Kami bermalam di rumah Aep, tak jauh dari gerbang tol. Esok pagi rencananya ke Cilamaya, sekitar 17 km dari Cikampek arah utara. Di kota inilah tempat Aep membuka toko dan service handphone, serta warnet dengan sepuluh set komputer. Untuk ukuran kota kecamatan, lumayan besar.
Tidak terlalu siang kami sudah sampai Cilamaya. Dalam perjalanan, aku mendapat cerita bagaimana dulu kota kecil itu berkembang pesat. Banyak orang asing yang mengerjakan proyek minyak. Juga terkenal dengan hasil perikanannya. Terus terang kuping saya baru kali ini mendengar kata Cilamaya. Kalau Luna Maya... hahaha, Anda pun tahu.
Ternyata kota ini tak terlalu luas. Namun melihat jumlah toko yang ada, boleh jadi ekonominya berkembang. Banyak terdapat rumah walet. Persawahan di pinggir kota juga tampak subur. Kilang elpiji ikut memberikan denyut jantung kota ini. Juga rencana pembangunan pelabuhan samudra pendamping Tanjung Priok. Cuma hawanya cukup panas, seperti lazimnya kota-kota pesisir pantai.
Mereka yang datang ke toko tak ada henti. Beli pulsa, jual maupun beli HP, tukar tambah, hingga service. Tiga tenaga khusus menangani reparasi.
Sebenarnya urusan HP bukan bidang Aep. Dulu di Surabaya ia menangani Event Organizer. Tapi karena HP memberi peluang usaha, ia bertekad menekuni bidang ini. Ia sadar dirinya tak mungkin belajar. Tapi ia tak ingin kehilangan peluang. Ia cari anak-anak muda yang mau kerja.
"Mereka saya kursuskan sampai mahir. Sesudah itu kerja ikut saya. Toh mereka tetap saya gaji," ujar Aep.
Di awal-awalnya dulu, hanya toko dialah yang punya tempat reparasi. Sekarang sudah mulai banyak. Saatnya Aep mulai memikirkan bidang apalagi setelah ini.
Sebelum kita meninggalkan toko Aep untuk melihat koleksi benda antik, ada sajian khusus yang baru diperoleh dari pasar lelang: udang! Luar biasa nih udang. Gemuk, padat, kemerahan, 20 cm panjang, gurih. Padahal hanya direbus begitu saja. Perut yang lapar membuat saya terlahap menyantapnya. Hanya udang, tanpa nasi. Toh cuma empat ekor yang bisa masuk. Terpaksa lempar handuk... alhamdulillah!
Dalam keadaan kekenyangan, aslinya tak berniat lagi melihat benda antik. Apalagi harus turun mobil dan berjalan sekitar seratus meter. Namun ketika melihat koleksi keramik –yang desain dan kualitasnya terbilang prima membuat mata terbelalak. Aku penggemar keramik, tapi yang ini terbilang langka. Ada Dewa Mabuk setinggi 60 cm, tempat minum peninggalan abad sebelas, tempayan zaman Dinasti Ming, dan sebagainya.
Wouw... bener-bener wouw! Terlebih mendengar nilainya. Untuk koleksi sekitar 600 keping itu, sudah ditawar Rp 16M. Setinggi apa akan dilepas? Tak kurang dari 50! Hmmm... tentu duit semua tuh!

Rumah "Mewah"
Dari Cilamaya kita kembali ke Cikampek dan setelah istirahat sebentar perjalanan dilanjutkan ke Ciparay. Kita masuk tol menuju Bandung. Kebetulan siang itu agak sepi. Ketika tol ini baru buka, aku pernah melewatinya. Tak sebagus sekarang kondisinya. Kanan kiri jalan sudah hijau pepohonan, sehingga suasana tak membosankan. Langit lagi biru-birunya tapi matahari tak begitu menyengat. Ketika mendekati Bandung kenanganku justru melayang ke Eropa. Langit biru, jalan lengang, pengunungan, dengan warna putih di puncaknya. Ciri khas Switzerland dengan puncak-puncak saljunya.
Aku menikmati suasana ini dan benar-benar seolah dalam perjalanan antara Geneve ke Lausanne. Sampai akhirnya tersadar, puncak putih itu bukanlah salju melainkan batu-batu kapur yang ditambang orang.
Biasanya orang-orang Jakarta masuk Bandung melalui gerbang Terusan Pasteur. Kendaraan kami justru terus melaju mengelilingi Kota Kembang menuju selatan. Setelah keluar tol, pindah ke jalan propinsi, jalan kabupaten, dan jalan desa. Entah berapa kilometer jarak antara Bandung ke Ciparay, aku hanya menikmati pemandangan di kanan kiri jalan yang terus menanjak.
Akhirnya sampai juga ke Ciparay. Kami menuju rumah salah satu Emang (paman) yang udah puluhan tahun ngga bertemu. Kendaraan tidak bisa meneruskan perjalanan karena kita harus lewat jalan setapak bersemen naik dan turun. Hujan yang baru turun membuat jalanan licin dan kami harus berhati-hati.
Setelah berjalan sekitar dua kilometer, sampailah di rumah yang dituju. Benar-benar rumah "mewah" mepet sawah! Rumah itu agak di ketinggian, sementara sawahnya terbentang di lokasi yang lebih rendah dan bertangga-tangga. Matahari sudah berada di balik gunung, namun sinarnya masih membekas di langit.
Ya Tuhan, nikmat banget alam-Mu ini. Anginnya dingin menggigilkan, bau tanah segar menembus rongga dada.
Paman hidup bersahaja di rumah yang tak kelewat besar. Walau rumahnya tak bagus-bagus amat, tapi yang membanggakan kebersihannya yang luar biasa. Kami bisa segera menyesuaikan diri, apalagi bibi menyediakan makan malam ikan goreng plus sambal dan aneka lalapan, tak lupa jengkol di masak gulai. Yang istimewa, leincak yang saya kunyah benar-benar renyah karena baru saja dipetik dari pohonnya. Tak pernah sebelumnya  merasakan kereyahan seperti ini karena leincak di rumah kuperoleh dari Carrefour.
Hari yang istimewa, setelah siang melahap udang, malam ikan goreng sambal lengkap. Tanpa sadar aku sudah tertidur kekenyangan di karpet ruang tamu. Di luar kabut mulai menyelimuti permukaan tanah. Desa Ciparay, keindahanmu membuat aku jatuh cinta. 

Korban Narkoba
Panjalu... ini perjalanan terakhirku di (eks) Jawa Barat. Panjalu kali pertama aku dengar 38 tahun lampau ketika mertuaku menyebut kota asalnya. Konon inilah salah satu petilasan Raja Siliwangi yang sampai sekarang dipercaya bersliweran kekuatan gaib.
Kami ke makam leluhur ibu mertua di Bumi Alit. Juru kuncinya yang berusia sekitar 80-an dengan lancar menceritakan keberadaan makam dan pusaka-pusaka peninggalan yang tersimpan di dalamnya. Aku hanya mengerti 50-an persen, maklum ia bicara bahasa Sunda campur Indonesia.
Ada beberapa petilasan, termasuk yang di seberang danau. Aku langsung memutuskan tidak pergi. Alasannya, Bumi Alit cukup mewakili semuanya. Kedua, ketika menuju seberang kita harus menjaga mulut! Jangan bicara sembarangan karena bisa mendatangkan celaka. Padahal, saudara-saudara istriku sepanjang perjalanan bicara melulu. Apa bisa nanti mereka berdiam diri? Ketiga, aku dari dulu merasa tidak nyaman dengan danau. Airnya tenang namun dalamnya tak terkirakan. Tak ingin aku beramah-ramah dengannya.
Dalam perjalanan pulang aku melihat ada kompleks bangunan cukup besar di sebelah kanan. Sebenarnya kita tadi lewat jalan yang sama. Tapi karena posisinya menanjak, bangunan itu tak terlalu nampak. Kini dari atas lebih kelihatan sosoknya.
"Itu pesantrennya Abah Anom," ujar kakak iparku. "Banyak yang berdatangan ke sana, termasuk korban narkoba yang ingin mendapat penyembuhan."
Segera aku ingat Abah Anom. Pesantrennya, Suralaya, punya cabang di Surabaya. Malah pengajiannya pada hari-hari tertentu sarat peserta.
Setelah makan kami meluncur pulang. Aku sudah bosan melihat pemandangan yang mulai tertutup bayang-bayang malam. Ingin rasanya cepat-cepat sampai, dan tidur. Esok keretaku pagi-pagi amat menuju Surabaya.
Dalam kebosanan aku mulai memperhatikan suasana di dalam mobil. Ada kakak ipar dan dua anaknya, paman  yang dari Ciparay, bibi dari Cilamaya, dan bibi lain dari Bandung. Mereka semua bicara sendiri-sendiri dalam bahasa Sunda. Kalau ada yang lucu, tertawa. Tetapi tetap saja bicara sendiri-sendiri. Istriku juga melebur dalam kegayengan yang aku tak mengerti. Malah ikut menyanyi dalam bahasa Sunda dengan fasih. Baru tahu aku kalau ia selancar itu bersundaria.
Sungguh suatu keanehan bagiku. Biasanya, kalau habis makan orang selalu mengantuk. Apalagi di luar sana gelap adanya. Komunitas yang ini di luar pakem tersebut. Semakin lama semakin ramai. Ada yang menyanyi, bicara, tertawa, toh masing-masing tetap saling mendengar!
Suatu pengalaman yang tak pernah aku jumpai sepanjang hidupku... Itulah komunitas Sunda, di mana istri yang aku kawini sepanjang 38 tahun berasal. (Yuleng Ben Tallar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar