Rabu, 08 Februari 2012

MAK TEN BUKAN PEMBANTU BIASA

Mak Ten dan aku, 1955. Sejak muda ia suka
membaca koran, majalah, buku, novel
dan sebagainya.









KAMI memanggilnya Mak Ten. Entah nama aslinya. Papa pernah menyebutnya Sariten. Tentunya itu olok-olok, sebab pembantu satunya bernama Sarinah. Itupun aku tak pasti-pasti amat, jangan-jangan papa asal mencomot nama dari buku Bung Karno.

Sudahlah, apa arti sebuah nama. Yang ingin aku ceritakan, Mak Ten ikut keluarga kita sejak kakak sulungku baru lahir, 1948. Dia masih perawan waktu itu --bahkan sampai ajal menjemput Juni 2010. Mak Ten jugalah yang memandikan aku saat kecil. Juga mengantar aku ke sekolah. Bahkan menemani aku ketika sunat.

Ketika papa tugas ke Manila, kami sekeluarga diajak serta. Termasuk Mak Ten. Kami tinggal di Makati, kota modern yang baru dibuka pada saat itu. Keperluan sehari-hari kami dapatkan di Supermarket. Namun belanja besar, Mak Tenlah yang mengambil alih tanggung jawab. Ia pergi ke pasar tradisional.

Awalnya, ditemani pembantu kami orang Pilipino. Tapi lama kelamaan, Mak Ten berangkat dan belanja sendiri. Mahir bahasa Inggriskah dia? Boro-boro. Ia justru belajar bahasa Tagalog, bahasa setempat. Tagalognya bagus, jauh lebih okay daripada aku. Dan ia berani berkomunikasi tanpa harus malu. Orang-orang yang dijumpai, maklum kalau ia orang asing. Sebab kesehariannya, ia memakai kain panjang dan kebaya.

Bagi keluarga kami, Mak Ten bukan pembantu biasa. Ia sudah menjadi bagian keluarga kami. Ketika kakak sulungku berumah-tangga, Mak Ten diajak serta. Tugas mengasuh kembali dilakukannya. Anak-anak kakakku --ada tiga, laki semua, dan nakal-nakal-- berada di bawah asuhannya.

Mereka juga merasakan Mak Ten sebagai "pelindung" seperti yang aku --juga saudara-saudaraku-- rasakan. Mak Tenlah yang menyiapkan baju untuk sekolah, sarapan, dan keperluan kita. Bukan hal jamak bagi kita untuk merangkulnya. Menciumnya. Berbagi kasih dengannya. Itu semua karena Mak Ten bukanlah pembantu biasa. Ia bagian dari keluarga kami.

Ketika aku mendengar ia meninggal dunia, hari serasa terhenti. Wajah Mak Ten berkelebat. Senyum nya. Ketulusannya. Kebersahajaannya. Bahkan kesetiaannya. Sudah dua tahun terakhir ini, ia minta pensiun. Usianya --yang mungkin 80-an-- menjadi alasan untuk pulang ke desa, di Panti, Jember.

Kami ingin mengantar jenazahnya. Tapi kami pun sudah tidak muda lagi. Anak-anak sudah keluar rumah. Hanya kakakku yang nomor dua yang memungkinkan kesana sebab ia tinggal di Jember. Nanti lain waktu, kita akan berziarah ke pusaranya.

Ketika aku kirim doa untuk Mak Ten, yang terbayang candanya. Ia juga suka mendapat godaan, termasuk yang "sangat nakal". Pernah suatu ketika, aku minta diceplokkan telur. Tapi sebelumnya, tanpa sepengetahuan Mak Ten, telur itu aku simpan di dalam freezer. Tahu kan akibatnya? Membeku. Dan ketika kompor sudah menyala, mentega sudah di penggorengan, dan telorpun tak kunjung bisa dipecah. Boro-boro pecah, malah jatuh ke penggorengan dan minyaknya kemana-mana.

Mak Ten ketawa terpingkal-pingkal sambil mengejar aku. Tentu ia cuma bercanda sebab ketika aku tertangkap, ia memukul pantatku dengan perlahan. Bahkan sesudah itu aku dapat ciuman.

Kali yang lain, saat ia bangun dari tidur siangnya, seperti biasa Mak Ten membuat kopi. Sambil me nunggu panasnya berkurang, ia ke kamar kecil. Pada saat itulah, usilku muncul. Aku masukkan sambal terasi ke kopinya, dan aku aduk rata. Kebayang kan, kopi pedas tentu bukan minuman nikmat. Tapi toh Mak Ten ketawa, dan kembali mengejarku.

Ah... Mak Ten, kau memang bukan pembantu biasa. Kau sangat sabar membesarkanku. Banyak cerita yang aku punya, yang tentunya bisa berlembar-lembar jika aku tuliskan. Aku yakin, kakak-kakakku juga punya memory tersendiri. Juga adik-adikku (yang tak kalah nakalnya dengan aku). Belum lagi anak-anakku, juga keponakanku.

Mak Ten, kau adalah anggota keluarga kami. Keluarga besar Wiwiek Hidayat. Kami berterima ka sih padamu, dan mengiring kepergianmu dengan doa yang merdu. Ketika kau datang ke dunia ini, suatu saat kembali lagi ke Sang Khaliq. Kami pun akan demikian. Selamat jalan Mak Ten, sepanjang hidup kami mengenangmu. (Yuleng Ben Tallar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar