Selasa, 07 Februari 2017

TERSENYUMLAH..., BERIKAN SEDEKAHMU



SEJAK Agustus tahun lalu, empat kali sudah aku opname. Pada opname pertama, aku melarang istri memberitahu siapapun, kecuali saudara.

Berdasar opname yang dulu-dulu, aku justru banyak terganggu karena tidak bisa istirahat. Tapi toh opname bulan Agustus itu, banyak pula teman yang membesuk.

Ada yang datang sendiri, berdua, berlima, bahkan rombongan yang pulang arisan, 15-an orang. Wadeuw... ya senyum sajalah walau aku benar-benar ngga bisa ngaso tenang.

Pantes di zaman lampau, suster sangat ketat melarang besuk di luar jam kunjungan yang dibatasi dua jam.

Kalau tahu aku sudah kecapaian, istriku selalu menghibur sambil membelai rambutku. Ia teman setia yang selalu mendampingiku.

Benarkah tindakanku melarang mereka besuk? Suatu ketika aku baca, mengunjungi orang sakit adalah sunnah bagi seorang musim, dan pahala ganjarannya.

Duh... berarti selama ini aku mengganjal niat baik mereka. Astagfirullah... Maka saat opname kali kedua, aku membiarkan teman-teman tahu.

Mereka mau mengunjungi, monggo. Mau kirim doa lewat WhatsApp ya silakan. Tidak merespon apa-apa, ya ngga apa-apa.

Demikian pula opname-opname selanjutnya, termasuk yang kelima pada hari-hari ini. Makin banyak yang mendoakan, Alhamdulillah. Aku tak merasakan capainya karena dengan senyuman semuanya menjadi nyaman.

Yang ingin aku ceritakan, terakhir ini aku berhubungan dekat dengan DR. Aqua Dwipayana, yang justru melakukan silaturahmi mendatangi teman-temannya, orangtua temannya, teman-teman orangtuanya.

Doktor komunikasi lulusan Universitas Pajajaran ini justru menganggap silaturahmi suatu kebutuhan. Bahkan ia membuat buku berjudul "The Power of Silaturahmi" yang sudah cetak 100 ribu eksemplar.

Hasil penjualannya diberikan untuk amal, bahkan memberangkatkan umroh bagi 30-an orang yang dianggap sangat mendambakan Tanah Suci. Ada marbot, seniornya, janda dari gurunya, dan macam pribadi baik yang ia kenal maupun tidak.

Kalau sekarang ia mendedikasikan 85% kehidupannya untuk silaturahmi dan sosial, mengapa dulu aku harus menutup pintu silaturahmi kala opname? Maka aku bersyukur segera menyadari kekeliruanku. Astagfirullah.

Dan bukan ketika opname saja aku buka pintu silaturahmi. Ternyata sudah sejak lama aku lakukan silaturahmi seperti Aqua Dwipayana, hanya dalam bentuk yang berbeda.

Aku datangi teman-teman senior yang jauh di atas usiaku, teman berhaji dulu di tahun 1996, bahkan jauh-jauh ke Samarinda untuk bertemu keluarga-keluarga yang pernah dekat denganku.

Memang tidak seintens Aqua yang usianya jauh di bawahku, yang tentunya masih trengginas dan penuh semangat.

Namun yang aku selalu senang lakukan setiap bepergian, adalah menyapa siapapun yang bersisipan denganku melalui senyum yang ikhlas.

Selalu aku lakukan baik kepada yang aku kenal maupun tidak, dan hampir semuanya merespon dengan senyuman pula. Tak ada yang menganggap senyumanku nakal, kurang ajar. Subhanallah.

Ketika aku membukakan pintu, dan ternyata di belakangku ada orang yang juga akan lewat, aku tahan pintu sambil mempersilahkan mereka lewat duluan.

Umumnya mereka berterima kasih, paling tidak mengangguk sambil tersenyum. Bahkan anak-anak dengan terbuka mengatakan, "Makacih Om..."

Suatu ketika aku memotivasi temanku untuk sedekah senyuman. Awalnya ia tertawa. Tapi karena ia nyaman melihat orang membalas senyumanku, diam-diam ia ikutan.  Apa yang terjadi?

Bukan dapat balasan senyuman, malah plengosan. Gara-garanya, ia mengucapkan sesuatu yang mungkin kurang berkenan pada yang bersangkutan.

Tidak mengapa.... Anggap itu pelajaran. Senyuman yang ikhlas akan menghasilkan balasan yang ikhlas pula, itu yang aku nasihatkan kepadanya.

Nah... meminjam istilah Aqua Dwipayana, aku lebih pas dengan sebutan "The Power of Senyuman". Dengan keikhlasan, dan semuanya dilakukan lilahi ta Allah, insya Allah hidup ini terasa nyaman.

Senyumlah demi sedekah, Anda akan menikmati sensasinya. (*)