Rabu, 09 Maret 2016

TIDAK MATI MELIHAT GERHANA MATAHARI



SIANG itu aku satu-satunya manusia yang berdiri di tengah lapangan. Berlari-lari kecil bersama Lady, anjing kampungku.

Di kejauhan, di bawah atap bangunan, sejumlah orang memandangiku. Sebagian mengkhawatirkan akan terjadi sesuatu denganku. Mereka percaya, akan celakalah seseorang yang berada di alam terbuka pada saat terjadi GMT (gerhana matahari total).

Sekretarisku memohon-mohon agar aku tidak nekad melanggar pantangan. Seorang stafku, pria beristri dengan anak satu, mengajukan alasan yang tak masuk nalar saat kuajak ke tengah lapangan. "Bisa mati mendadak, Pak!," ujarnya.

Bah! Itu sebabnya aku sendirian ke tengah lapangan, membawa kamera dengan tripot, topi daun pandan bertepi lebar, kacamata hitam keluaran Ray-Ban, dan film yang sudah aku "bakar" sebelumnya. Sambil menunggu terjadinya GMT, aku melakukan apa saja guna membunuh waktu.

Pada saat mentari mulai tertutup bulan, aku mencoba mengintip melalui film hitam rangkap tiga. Awalnya berjalan lamban. Ketika bagian yang tertutup makin luas, perjalanan bulan (atau matahari ya...) kian cepat.

Sejumlah fenomena mulai terjadi. Suasana sepi tiba-tiba diwarnai kokok ayam di kejauhan. Bersahutan. Dan angin sejuk berhembus, membuat aku melepas topi dan menikmati suasana nyaman yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Betapa... betapa aku bisa menguasai lapangan sendirian, yang biasanya selalu riuh dengan para pemain bola dari kampung sekitar.

Pada saat matahari benar-benar tertutup bulan, aku tak lagi mengenakan kacamata. Film hitampun sudah aku taruh sejak awal. Aku cukup waktu untuk mengabadikan suasana redup di langit Pulau Dewata.

Sesudah itu sepuas-puasnya aku pandangi mentari dengan mata telanjang. Ada cincin raksana mengelilingi gerhana, indah nian dan tak pernah aku lupakan.

Sesuatu yang membuat aku tertawa adalah ketika kembali ke kantor di tepi lapangan itu. Sekretarisku menyongsong sambil bertanya lugu, "Bapak ngga apa-apa?"

Aku menggeleng sambil tersenyum. "Sehat kok, hanya leher yang terasa sakit..." (iyalah, kan kepala mendongak melulu pada saat GMT yang terjadi tengah hari itu).

Sekarang, 33 tahun kemudian, aku masih hidup dan dalam keadaan sehat. Kalau ada yang berbeda, rambutku sudah memutih dan badan sedikit gemuk. Yang sama, aku tetap akan melihat gerhana matahari walau harus lebih berhati-hati.

Sebab gerhana kali ini tidaklah GMT karena aku melihatnya di Surabaya. Bukan di Palangkaraya yang beruntung dilewati GMT bersama beberapa propinsi lainnya di Indonesia (09:03:16)