Jumat, 13 Juli 2018

BAPAK NAKAL... AKU MENANGIS...


Keterangan foto: Alhamdulillah mendapat kunjungan Dr. Anin, yang sekaligus membawa kabar aku boleh pulang...


"BAPAK nakal!"
Ini pertama kali komentar yang terucap dari dr. Anin. Ketika itu, ia menjenguk aku di ruang Tulips 328, RS. Dr. Soewandhie.

"Bapak membuat saya menangis...," ujar dokter Spesialis Paru ini.

Apa pasal? Lebaran tempo hari, aku memberi dia hadiah sebuah novel karyaku, "Gadis Tiyingtali" (2012). Novel bergenre seni lukis yang bercerita tentang seorang anak merindukan sosok ibunya.

Berhasilkah? Pertemuan itu sejatinya tidak disengaja. Kebetulan sebuah lukisan "menggiring" reuni keluarga --seorang ibu berjumpa dengan anak gadisnya.

Kisah Gadis Tiyingtali inilah --Tiyingtali terletak di lereng Gunung Agung, Kab. Karangasem, Bali-- yang membuat Dr. Anin menangis.

Dan "menyalahkan" diriku... Berulang kali ia katakan, "Bapak nakal..."

Anin sebenarnya penyuka buku bacaan. Tapi yang sebangsa Ko Ping Ho... Penuh action. Keras. Serba 'siat...', gitulah! Bukan yang mendayu...

Toh Gadis Tiyingtali ia selesaikan juga. Sampai titik terakhir. Sampai mbrebes mili. Sampai menangis. Terurai air mata.

Seketika ia tersadar, lho air mataku koq menetes... Jadi komentar yang tepat ya memang itu... "Bapak nakal..."

Karena aku surprised akan komentarnya, maka aku berikan hadiah lain, novel karya terbaruku, "Menggapai Surga".

Ia menyambutnya dengan antusias. Tapi tetap saja mengatakan, "Bapak nakal..."

Dalam hati aku geli membayangkan. Kalau Gadis Tiyingtali aja membuat dia menangis, belum tahu si dokter ini bagaimana jalan cerita Menggapai Surga.

Sebab... aku saja --the auctor, si pengarang-- beberapa kali mencucurkan air mata saat membaca ulang kisah Marce Marconna dan Abdul Qaidir ini. Mbrebes mili, sesenggukan, dan benar-benar menangis.

Nah Dok... Selamat mengikuti kisah Marce dan Qaidir... Tak bisa aku bayangkan, apa lagi ucapmu setelah itu, selain "Bapak nakal..."
(13:07:18)

Senin, 09 Juli 2018

DI RUMAH SAKITPUN NYRUPUT KOPI BARENG



Sebuah persahabatan-- Roti 'O dan kopi tubruk tanpa gula. Nyaman ngobrolnya tak kalah di Koffee Cafe.-


SAMA-SAMA Aki dua cucu, dan Datuk dua cucu. Cucu-cucunya di luar kota. Depok, Pekanbaru, dan Jakarta. Istri-istrinya wanita karier. Aki dan Datuk pension-man. Dari profesi sama, journalist.

Biasanya siang-siang pergi ke Cafe Koffee. Nyruput sambil ngobrol. Tak mau yang manis. Kopi pahit konon perpanjang umur. Kadang expresso. Atau Vietnam driff. Kadang kopi tubruk. Lihat anginlah. Yang penting, silaturahimnya.

Kendalakah saat Aki tergeletak di Rumah Sakit? No problem, pikir si Datuk. Ia bawakan kopi tubruk. Pahit tentunya. Juga Roti 'O. Manis-manis, pendamping yang pahit. Nyaman nyruputnya, gayeng ngobrolnya. Tak terasa dua setengah jam kita bicara ngalor-ngidul.

Itulah kalau dua sahabat berjumpa. Mengisi hari menjadi berarti. Di hari tua yang tak harus diam. Seolah kita akan hidup seratus tahun lagi. Wallahualam. In sya Allah kalau Sang Khaliq izinkan... beberapa tahun lagi.

Demi persahabatan. Hari tua yang indah. Hari-hari yang menyenangkan.
(09:07:17)

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10211391505972807&id=1516544459



Sabtu, 07 Juli 2018

MENANTI PELUKAN KASIH DI SAAT LANSIA



Keterangan foto: Nunung Bakhtiar di depan gedung Erasmus Universiteit Rotterdam. Di sela-sela padatnya waktu kuliah, ia sempatkan lari sejenak setelah acara makan siang, untuk sebuah foto.



DENGAN berat hati dia minta izin. Ikut short courses di Erasmus Universiteit Rotterdam. Di Belanda. Dengan ringan hati, aku izinkan. Mengapa?

Waktu dia, selama ini banyak tersita untukku. Berbagi dengan dinasnya yang cukup padat. Ada sela waktu sesaat, ia buru-buru pulang. Tak tega meninggalkan aku sendirian.

Pernah sehari ia harus hadir di berbagai tempat. Pagi-pagi kunjungan ke RS BDH. Di Tandes sana. Lalu ke DPD Golkar Jl. Adityawarman. Kemudian ke DPRD Pemkot Surabaya. Kantornya. Kemudian jenguk aku di RS Soewandhie.

Usaikah? Nanti dulu! Sesaat kemudian berangkat bagi takjil di daerah pemilihannya. Di Kapas Madya yang padat penduduk. Lalu ngurusin tim pembagi takjil. Untuk buka puasa.

Sebentar kemudian dia ngacir ke Gardu Inspirasi, Lembah Setyowati --ini nama di KTP. Persis di belakang hunian kami. Di sana, sudah menunggu sejumlah ustadz. Juga tim suksesnya. Acaranya, buka bersama. Waktu dia tiba, para tamu sudah selesai shalat Magrib. Sudah berbuka dengan makanan prasmanan yang tergelar di karpet.

Tinggal dia bicara sesaat. Lalu berdoa. Lalu ngobrol sana sini. Ada yang ajukan usulan. Yang kecil-kecil langsung disetujuinya. Yang besar, nanti dulu. Dipikirkan. Setelah para tamu pulang, baru dia kembali ke aku.

Nah yang gini-gini membuat aku trenyuh. Di tengah kesibukannya, masih nyempetin menengok aku. Apakah aku harus melarangnya pergi?

Tidak. Aku ridho. Ikhlas mengizinkan pergi. Mungkin orang lain mbatin: Nunung kok tega ninggalin bojonya dalam keadaan kurang sehat? (Aku baru keluar dari opname persis malam takbiran). Tapi 100% aku ridho. Mengizinkan. Ya itu tadi, selama ini ia banyak mengorbankan waktunya untukku.

Aku tak akan menghalangi kepergiannya --yang cukup penting bagi kariernya. Apalagi bidang yang ia ambil, smart city. Yang perlu --dan harus-- diterapkan di Surabaya nanti. Apalagi, Belanda memang jagonya. Aku ngga bisa jelaskan apa itu smart city. Nunggu dia kembali.

Inilah balada lansia. Suatu saat kalian juga merasakan. Hidup memang perlu berbagi. Bukan dalam keegoisan. Namun pengertian dan kasih sayang.

Aku beruntung masih kedatangan teman-teman. Hamida Prakosa dengan suaminya. Djaya yang walau lansia tapi masih kayak anak muda. Rita Rahmawati yang dulu sekantor dengan aku. Diantar suaminya yang gagah perkasa.

Dan keponakanku --yang udah seperti anak sendiri-- Eti Mulyati, datang dari Bali. Persisnya Singaraja. Di suatu desa bernama Sambangan. Dekat air terjun Aling-aling. Yang lagi sering fotonya masuk Instagram. Indah sekaligus seram. Udah beberapa kali menelan korban. Semuanya masih perjaka.

Indri Karani, kakak sulungku juga datang. Padahal ia juga baru keluar dari opname. Dr Lidwina Paramita juga mampir. Kita ngobrol sampai malam. Dia pulang membawa buah tangan, pisang dan mangga gadung. Hasil panen kebun samping rumah.

Aku sabar menanti. In sya Allah pekan depan sudah kembali. Aku menunggu pelukannya. Pelukan-pelukan yang setiap hari kami lakukan. Sambil membisikkan kata cinta. Di telinga masing-masing.

Jangan katakan ini lebay, kawan. Kalian akan merasakan indahnya cinta di kala lansia. Ketika anak-anak sudah tak di rumah lagi. Membangun koloni di tempat baru. Jauh nun di luar kota. Di luar pulau. Kalian tinggal berdua. Di rumah tempat selalu bertemu. Dan aku sekarang menunggu. Datangnya si buah hati...
(07:07:18)

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10211378034156020&id=1516544459