Jumat, 18 Mei 2018

(SETELAH) DUA PEKAN MENGHILANG



AKHIRNYA... tak ada tenaga yang tersisa. Paruku yang sakit tak mampu mengisi oksigen ke darahku secara maksimal. Jauh di bawah batas aman, 95%. Lemas. Tanpa tenaga.

Senin tengah malam awal bulan ini. Istriku melarikan aku ke RS Dr Soewandhie. Padahal aku memohon, ke Prof. Isnu Pradjoko saja. Esok, waktu dia praktek. Beliau yang menemukan ada jamur di paruku, setelah cukup lama tenaga medis curiga aku kena TBC. No way, menurut istriku, kondisiku memburuk. Yach.... apa boleh buat.

Begitu sampai IRD, semua siap. Maklum aku sudah beberapa kali opname di RS milik Pemkot ini. Tabung oksigen, foto torak, serta bantuan medis lainnya. Selasa dini hari aku sudah di kamar, dan tak sadarkan diri.

Awalnya, aku akan dipindah ke ICU. Dengan pengawasan intens. Dengan pemasangan sejumlah alat bantu. Tapi istriku menolak. Ia tahu aku tidak setuju. Kakakku membenarkan tradisi keluarga. Biarkan mengalir seadanya. Baru 13 jam kemudian, aku sadar. Alhamdulillah.

Beberapa hari ke depan masih tak berdaya. Anak bungsuku datang dari Jakarta. Ikut menunggu. Juga mendoakan. Padahal anaknya jelang ujian.

Sejumlah teman eks sekolah datang pula menjenguk. Juga teman pengajian mendoakan. Termasuk ustad Kholil dan cs-nya. Juga Pak Umar, dan Gus Wachid. Hubungan ke dunia Maya terputus. Setidaknya sampai kemarin dulu. Menghilang.

Ngamar kali ini terbilang yang terparah. Juga (bakal) terpanjang. Mestinya siang ini bisa pulang. Tapi kondisi belum 100% clear. Terutama di alat bantu. Semisal tabung oksigen yang kurang. Pengukur oksigen darah juga belum ada. Wheelchair. Termasuk suster. Mungkin baru siap Senin. Paslah, dua pekan.

Padahal aku sudah ingin cepat pulang. Untuk koreksi akhir dammy novel terbaruku, "Isyarat Mimpi". Kau harus membacanya. Aku cerita tentang arwah. Tentang kehidupan di negeri Jepang. Di Paris. Di New Zealand. Di Bali. Di angan-angan seorang wanita muda dengan tiga pribadi yang beda. Sedikit horor. Dan cinta konyol.

Asyik kok... kali ini aku tak janjikan air mata. Yang telah habis di novel-novel sebelumnya --Gadis Tiyingtali, Cinta Retro, dan Menggapai Surga. Semoga aku bisa segera selesaikan koreksi, dan menerbitkan selepas lebaran nanti. Sebagai hadiah 45 tahun pernikahan kami. In sya Allah. (19:05:18)



Keterangan foto:
Saat dijenguk teman-teman sekerja, dulu. Di Surabaya Post. Yang jelang puasa mengundangku maksi bersama. Karena ngga ada jawab, mereka selidiki. Baru ketahuan, aku tanpa daya.

Wajahku sengaja aku sembunyikan. Sebelumnya, ada fotoku dalam kondisi tak enak dilihat, menyebar ke medsos. Maaf atas ketidaknyamanan ini. Menyebar tanpa sepengetahuanku... Ya ngga apa-apa, sudah telanjur.

Aku ucapkan terima kasih kepada teman-teman yang datang, tapi tidak bisa bertemu, yang ikut mendoakan, yang ikut berempati, yang ikut membantu, semuanya. Aku berhutang Budi, Allah lah yang bakal membalas. In sya Allah.

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10211069455361743&id=1516544459

Kamis, 03 Mei 2018

BERBURU PECEL TUMPANG, DAPATNYA SOTO 'DOK'




PECEL tumpang. Penganan ini terkenal di Kediri. Pecel biasa, tapi ada tambahan sambal tumpang --dari tempe yang difermentasi.

Konon enak. Aku lupa-lupa ingat rasanya, sebab terakhir makan sepuluh tahun lampau. Masih suka nggowes ketika itu, ikut lomba down hills ke luar kota, termasuk di Kediri.

Kemarin (3/5), nyari itu pecel. Maklum lagi di Kediri. Kenangan lama tak terkuak. Jadi mesti tanya si Google letak penjual pecel tumpang.

Banyak. Di mana-mana ada. Jadi yang terdekat aja didatangi. Ternyata tak ada tanda-tanda orang jual pecel. Sebuah kursi pun tak terlihat, apalagi rombongnya.

Pindah lain tempat. Idem dito. Demikian tempat-tempat lainnya. Tak tampak seorang pun penjual pecel. Terpaksa turun mobil dan tanya-tanya. Di tempat yang ada tanda jual pecel versi Google.

"Kurang pagi, Pak!," ujar tukang parkir. Padahal jam baru pukul sepuluh. Lalu di mana rombongnya? "Tuh... di emperan toko. Karena toko waktunya buka, pecelnya kukut...," ujar si parkir terkekeh...

Baru ngeh. Jadi warung pecel tumpang versi Google itu bukanlah permanen. Paling tidak, sebagian besar. Lha yang permanen itu yang sulit dicari. Maka diputuskan, makan pecelnya ditunda aja.

SOTO DOK

Telusur kuliner kemudian diarahkan ke depot Soto Podjok di Jl. Dhoho. Tempatnya mungil, di pojok jalan. Bangunan permanen, sih. Tapi benar-benar Unyil dibanding sekitarnya.

Aku datang sudah lewat jam makan siang orang kantoran. Jadi ngga terlalu ramai. Ada enam orang dari kapasitas tempat duduk 50-an orang. Lengang, tak terlalu panas.

Soto Podjok dikenal pula dengan sebutan Soto Dok. Seperti yang tertulis di satu sisi temboknya. Seperti yang terdengar 'dok' setiap saat si peracik usai menuangkan kecap.

Saat kami makan, masuk serombongan besar. Delapan orang. Maka 'dok, dak, dok' meriah pula suaranya. Sedikit bising, tapi mantaplah!

Lalu bagaimana rasanya? Cerita dulu racikannya ya. Tempatnya mangkok besar, lebih besar dari mangkok soto di Surabaya. Tapi isinya tak sebanyak itu.

Nasi ditaruh di tepiannya. Lalu atasnya ditaburi suwiran daging ayam kampung. Lalu ada kecambah muda. Daun-daunan penyedap. Baru dituangi kuah yang tidak sampai menenggelamkan kawanan nasi. Dan 'dok' setelah dikecapi.

Itu versi original. Berdasarkan pesanan, bisa ditambah telur ayam yang belum bercangkang, jeroan, suwiran empal, dan macam-macam lainnya. Tentu ongkosnya ekstra.

Dan... di depanku ada lodong, itu tempat menyimpan kerupuk. Macam kerupuk kampung warna putih, tapi yang ini kekuningan dan lebih padat. Ikan tenggiri bahannya. Cocok banget menemani makan soto dok.

Dan... 'dok'! Aku bawa pulang beberapa kerupuk. Juga keripik pisang yang crispy banget. Buah tangan dari Soto Podjok yang buka sejak 1926. Yang dikelola generasi keempat. 'Dok!', sekian kisah aku siang itu mojok. (04:05:18)