Minggu, 24 Juni 2018

SAMBUNG SILATURAHIM, INGAT SEKAMAR SAAT HAJI 1996


SALING kunjung terus berlanjut. Kemarin, tak disangka kedatangan teman lama. Mbak Marmi dan Mas Wiyasin. Bagiku, mereka "bukan orang lain".

Kami sekamar waktu berhaji 1996. Bersama Cak Dar Darmantoko. Juga beberapa lainnya. Maklum zaman itu. Sekamar sepuluh orang. Tetap Alhamdulillah.

Yang aku salut, dalam usia 78, masih sehat dan penuh semangat. Bicaranya penuh gairah. Daya ingat ke masa lalu, masih sangat bagus. Bahkan, ini kali kedua datang. Setelah kemarinnya, menjumpai aku tidur. Istriku dinas ke Ngawi.

Mas Wiyasin dulu di Kantor Humas Pemda Tk. I Jawa Timur. Mbak Marmi teman sekantor aku. Tahun 70-an awal. Di Kantor Berita Antara. Yang kantornya di Jl. Pahlawan. Gedung heritage. Yang fotonya aku jadikan sampul depan novelku: Cinta Retro.

Setelah aku hijrah ke mana-mana, tahun 1986 dapat SK balik Surabaya. Memimpin Antara Biro Surabaya. Mbak Marmi sempat gembira.

Sementara aku tolak SK itu. Ada pekerjaan yang belum selesai di biro lama yang aku pimpin. Mbak Marmi getun, walau akhirnya yo rapopo.

Hubungan tetap berlanjut. Beberapa kali masih bertemu. Termasuk pergi bareng berhaji. Aku bersama mama dan istriku. Mbak Marmi juga kenal baik dengan mama. Sebelumnya. Sejak lama sebelum haji itu. Sebelum aku kenal beliau. Bahkan mbak Marmi ikut merawat mama saat jatuh sakit di Tanah Suci.

Lain waktu, aku jumpa salah satu putri beliau. Oentari Suwandajani. Di tempat kerjaku yang baru. Ia jadi anak buahku. Sampai suatu ketika, kantor itu dilikuidasi. Surabaya Post.

Koran sore yang legendaris. Yang walau korannya sudah lama mati (2002), semangat eks karyawan tetap menggebu. Tetap bertemu, minimal setahun sekali. Reuni atau halal bihalal usai lebaran.

Terima kasih Mbak Marmi, matur nuwun Mas Wiyasin. Kali ini aku --yang jauh lebih muda-- tak berdaya sowan ke rumah. Itu sebab,  silaturahim siang itu aku rasa sangat istimewa. Itulah makna sebuah silaturahim.
(24:06:18)

Sabtu, 23 Juni 2018

UQ: SAYA BUKAN MUSLIM, TAPI NIKMATI...




NOVEL: Menggapai Surga

Good to hear that...
Keep healthy ya kak,
Kapan keluar buku yang selanjutnya?

Buku yang terakhir, "Menggapai Surga", saya suka sangat...
Buku sebelumnya juga suka sih...

Saya bukan muslim...
Tapi membaca buku kakak, saya bisa membayangkan indahnya menjalankan ibadah di tanah suci.

Cafe tempat mereka pergi, juga
Such a great story

Buku kakak menemani perjalanan saya selama dari erpot Jakarta ke Johor Baru.

Banyak pengetahuan mengenai Islam, dan indah.

-- OKANA UQ

Kamis, 21 Juni 2018

TAKUT KEHILANGAN SAAT BEPERGIAN?



BEPERGIAN tentu menyenangkan. Apalagi di libur panjang. Seperti sekarang. Menginap di hotel, atau famili. Tapi karena banyak hotel baru, dan ongkosnya murah, mengapa tidak dicoba. Agar tak repotkan famili. Dan praktis.

Yang kadang bikin kepikiran, kalau bawa barang berharga. Laptop, hardisk, perhiasan, kamera, uang, dkk-nya. Masak harus bawa semua ketika sarapan. Atau berenang. Atau sekadar duduk di lounge. Pasti ditinggal di kamar. Dalam koper, dikunci. Repot dan menyebalkan.

Hotel paham masalah ini. Maka mereka beri pelayanan ekstra, safety deposit box namanya. Kotak pengaman. Dulu banget, letaknya di front office. Boksnya mirip PO. Box di kantor pos (jangan-jangan ngga bisa bayangkan juga). Sederetan laci-laci kecil diberi kunci.

Kuncinya canggih. Laci-laci itu produk impor. Dari pabrikan khusus pengaman barang berharga. Brand yang sangat terkenal, sayang lupa namanya. Maklum sudah dulu banget.

Yang jelas, mahal harganya. Sebab untuk memanfaatkan, kita harus beri uang jaminan. Anda kembali kan kunci, uang jaminan juga balik. Begitu aturannya.

Kala itu, lazim untuk menyimpan travel check (sekarang nyaris ngga ada ya), uang kontan, perhiasan, kartu kredit, dan benda berharga lainnya. Sayang laptop ngga muat, apalagi kamera profesional.

Beberapa kali aku manfaatkan fasilitas ini, fine-fine saja. Suatu saat di Mekkah, tanya reception apa mereka punya safety deposit box. Dia mengangguk sambil bertanya berapa real/US dollar yang mau disimpan.

Aneh pertanyaannya. Ketika aku minta kunci, dia ngotot meminta uang yang hendak disimpan. Cash? Berarti dollar yang mulus-mulus, bisa-bisa kembali bukan yang itu? Kumal dan bengkok-bengkok? Belum tahu dia, dollar bobrok di negeri kita nilainya turun beberapa point. Belum lagi, kalau uang itu palsu. Alamak!

ERA DIGITAL

Safety deposite box bermutasi di zaman digital. Tidak lagi di front office. Tapi di kamar. Letaknya di lemari pakaian, di bagian bawah. Sedikit lebih besar dari kotak sepatu pria.

Ada sederetan tombol angka seperti pada telepon. Kita harus masukkan password, sebanyak empat digit. Prosesnya dua kali. Sekali angka yang dimaui, kedua konfirmasi. Ceklik! Aman barang di dalam. Pikir kebanyakan tamu.

Benarkah? Nanti dulu. Kalau tamu telanjur mengunci, dan meninggalkan hotel selamanya, bagaimana nasib si Box? Harus dibongkar? Ya tidak. Mereka punya "master key" berbentuk password. Ceklik!

Tentunya, pemilik master password pihak manajemen. Ada yang diserahi. Orang kepercayaan. Tapi bisa saja ia salah gunakan jabatan. Membuka saat tamu ada di dining room. Tak ada yang tahu. Sebab tidak ada CCTV.

Loh... berburuk sangka? Ada alasannya. Suatu ketika baca: Manajemen tidak bertanggung jawab kehilangan di safety deposit box. Hadeuw... Padahal hotel bintang!

Lalu harus bagaimana? Ya waspada. Memang tak semua (petugas) hotel begitu. Tapi kalau menyimpan berlian, dan hilang?  Itulah perlunya kewaspadaan.

Kenapa tidak dipakai saja? Atau simpan di safety case sedan Anda. Mercedes Benz atau mobil mewah lain, biasanya punya perlengkapan ini.

Jika tetap hilang? Anggap saja sudah jalannya. Sesal berkepanjangan juga tak guna. Bikin kotor hati. Datangkan penyakit. Jangan-jangan, sakit itu lebih mahal dari barang yang hilang. Ceklik!
(21:06:18)

Senin, 18 Juni 2018

KAKI MELEMAH, 'BRAK', KENDARAAN DI DEPAN RINGSEK




MATAHARI baru saja terbit ketika sampai di perempatan Kertosono. Lampu merah menyala, dan kami pun berhenti. Di depan ada satu-satunya kendaraan, Daihatsu yang terlebih dahulu stop.

Nyala bangjonya --istilah Solo untuk traffic light-- menyala cukup lama. Bosanlah, bagi pejalan jauh. Kami dari arah Semarang, menuju Surabaya. Sejak pagi buta, dan belum meneguk kopi. Harapannya cepat-cepat sampai.

Aku yang duduk di samping pengemudi, terkejut. Tiba-tiba mobil kami menggelinding ke depan. Merayap, sebab tak terlalu cepat. Toh demikian, tidak ada kesempatan menarik rem tangan. Reflekku lambat, tangan hanya sampai ke tuas. Tidak sampai menariknya.

Tak ayal, kendaraan di depan terbentur. Persisnya tertabrak. Kendati benturan perlahan, namun Toyota VX yang besar itu, yang bempernya Off-roader itu, memporakporandakan pintu belakang Daihatsu.

Pengendara di depan kaget bukan kepalang. Apalagi sebelumnya, ia sempat menengok kaca spion. Melihat kendaraan yang datang dari belakang. Dan mbatin (ini bahasa Jawa, apa ya Indonesianya?), besar amat! Sejenak bergidik.

Persis benturan itu, tidak saja kaget. Segera ingin tahu nasib pantat kendaraannya. Tergesa membuka pintu. Dan 'brak!' Sepeda motor nyangkut di daun pintu. Akibatnya, ngga bisa ditutup sempurna.

Drama sejenak ini, segera aku selesaikan. Turun, dan minta maaf. Aku tanya hendak ke mana, ternyata sama: Surabaya. Aku usul, masuk bengkel di kota tujuan daripada di Kertosono. Deal, kami bertukar nomor HP dan KTP. Aman sampai di totok-magig Jl. Raya Gubeng.

INI PENYEBABNYA

Rupanya, teman aku --yang menggantikan aku mengemudi setengah jam yang lalu-- masih mengantuk. Terlebih terkena sinar mentari pagi.

Kendaraan kami bertransmisi otomatis. Ketika berhenti, sejenak apalagi lama, seharusnya posisi tuas berada di "N" (neutral).

Namun banyak yang tak hirau dengan ketentuan ini. Si teman aku, juga begitu. Ia membiarkan di posisi "D" (drive). Padahal, kami kerap berdebat masalah ini. Ia ngeyel. Aku rapopo.

Bagi yang kurang familiar dengan transmisi otomatis, dalam posisi "N", kendaraan tak kemana-mana walau digas. Saat parkir, kendaraan bisa didorong-dorong (tapi ada merek tertentu yang ogah ke posisi "N" saat engine-off). Sementara di posisi "D", lepas rem mobil jalan. Apalagi digas. Macam boom-boom car-lah!

Dan kejadian ini membuktikan. Ia hanya mengandalkan rem kaki supaya kendaraan tak bergerak maju. Dalam keadaan bosan (karena lampu hijau tidak segera menyala), kantuk yang tak tertahan, lemas karena puasa, dan kaki benar-benar kehilangan tenaga, itulah kunci masalahnya!

Ternyata banyak teman aku lainnya, yang melakukan hal serupa di pemberhentian traffic light. Mereka tidak sadar, kapan saja injakan kaki di tuas rem bisa melemah. Karena berbagai faktor. Mengantuk, melamun, sekejap tak sadar, atau bahkan dering telepon.

Usai kejadian, teman aku merasa bersalah. Membenarkan pendapatku. Ngga ngeyel lagi. Mudah-mudahan benar-benar sadar. Atau rasa terima kasihnya karena aku bisa menyelesaikan persoalan secepatnya. Sementara dia hanya tercenung di balik kemudi. Kasih tangan ke korban setelah semuanya selesai.

(20:06:18)
* Kejadian empat Ramadhan lampau.

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10211263365689380&id=1516544459

Sabtu, 16 Juni 2018

PUNCAK PENENTU CINTA




KAMI berpacaran di tempat ini. Abad yang lalu. Persisnya, 1972. Naik Suzuki A-4, yang keren pada zamannya. Masih gres. Nomor pun, masih sementara. Plat putih bertuliskan merah.

Lokasinya, di salah satu puncak, di punggung gunung Argopuro. Di seputar belantara kebun kopi. Di ketinggian 700-an, di atas permukaan laut. Di kedinginan yang menyejukkan. Di posisi 200-an kilometer, dari rumah kami di Surabaya.

Di antara cumbu berkasih, kami banyak buat foto. Di dangau yang menghadap lembah luas. Di kandang sapi perah. Di semak tumbuhan kopi. Di depan hasil panenan buah. Semuanya serba di alam pedesaan. Asyik seolah pasangan Rommy dan July.

Bedanya, tak satupun kami foto berdua. Pamali... kata pasanganku yang berdarah Sunda-Jawa. Yo rapopo batinku, aku lilo kok! Toh aku berdarah Jawa, nrimo wae.

Setahun kemudian, 1973. Masih abad 20. Aku beranikan melamarnya. Heboh. Kakak-kakakku berguncing. Keluarga pacarku apalagi. Papaku hanya tanya pendek: mantap? Aku mengangguk. Masalahnya: To Young to be Marry. Tapi aku punya komitmen!

Dan aku pilih, menikah bertepatan pada hari kelahirannya. 14 Juni. Dengan perhelatan sederhana. Waktu papa mau bikin resepsi, aku minta uangnya saja. Lumayan bisa untuk bekal bangun rumah.

Tapi mama tetap ingin resepsi. Dan digelar. Di rumah kami, Jl. Raya Ketabang no. 31. Tidak sampai menutup jalan, walau tamunya banyak. Teman papa, teman kami. Undangan, cetakan biasa. Malah ke teman-teman, tulisan tangan.

Alhamdulillah, 16 Juni setahun kemudian, anakku lahir. Laki, kuberi nama Arya Suryawan. Panggilannya Rio. Kata papa, nama Arya kok persis dengan leluhurku. Yang di kaki Argopuro. Yang berasal dari seberang. Kota bandar Parindu. Naik ke gunungnya. Lukguluk.

Alhamdulillah lagi, setahun kemudian, lahirlah Yusthitani Maharani. Keren ya namanya. Sekeren kelahirannya --Sabtu Pahing. Orang Jawa paham artinya.

Dan tadi pagi seusai subuh, aku berucap syukur kepada Rabb-ku. Alhamdulillah, benih cinta dulu tak terasa 45 tahun sudah kami lalui. Tepat hari ini.

Saat Maharani, suami dan puteranya ada di sini, sejak kemarin dulu. Nanti abangnya, datang bersama istri dan putrinya, 17 Juni. Setelah merayakan riyaya, dan ulang tahun, di kampung halamannya sekarang, Pekanbaru.

Duh... Nikmat apa yang kudustakan ya Rabb. Sungguh pemberian-Mu tiada tara. Alhamdulillah aku bisikkan. Berulang kali. Dalam doa maupun hati. Aku bangga melihat anak, menantu, dan cucuku. In sya Allah lebaran kedua, bersua anak, menantu, dan cucu satunya.

Dari tempat yang aku datangi tahun lalu --kali ini boleh foto berduaan karena sudah menikah, tidak pamali lagi-- aku masih merasakan atmosfer cinta.

Hawa sejuknya, tebal-tipis kabutnya, hembusan angin spoi dingin, juga ujung cemara yang menggapai tinggi.

Puncak Rembangan. Tempat cinta kami bersemi.

(14:06:18)

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10211231491492545&id=1516544459

Rabu, 13 Juni 2018

JAKARTA-SURABAYA HANYA SEBELAS JAM!



JAKARTA-SURABAYA HANYA SEBELAS JAM!

SELASA petang aku mendapatkan Big Surprise. Anak, menantu, dan cucu datang membezoek. Mereka mudik dari Depok, Jawa Barat.

Ngetol! Padahal sudah aku wanti-wanti, pakai transportasi konvensional saja. Alhamdulillah, lancar-car! Kata Rani, anakku.

https://novelyuleng.blogspot.com/2018/06/tol-lebaran-rame-rame-ingin-mencoba.html

Hanya padat saat keluar Jakarta. Merayap ke Cikampek. Juga beberapa tempat, utama dekat rest area. Lainnya lancar. Bremix juga. Sampai Semarang enam jam.

"Kami pilih bermalam, sengaja cari hotel dekat-dekat pintu tol. Agar esok ngga ribet. Isi penuh BBM, ngetol lagi...," ujar Rani seru.

Semarang-Salatiga lancar, kadang padat. Terutama saat mengarah Yogyakarta. Tapi waktu pisah ke arah Jawa Timur, mulai lebih lengang.

Agak merambat saat keluar Nganjuk karena tol belum siap. Lewat jalan propinsi yang bopeng-bopeng tak mulus. Dan berseliweran sepeda motor.

Tapi ketika masuk tol di gate Kertosono, no any problem. Lancar banget. Malah bisa ngebut. Total perjalanan dari Semarang sampai rumah di pusat kota, hanya lima jam!

Sebenarnya mereka santai. Kadang 80 km per jam sesuai speed limit. Bisa nyopet batas kecepatan, ke 100 km. Malah 120 km! Duh... nyolongnya kebanyakan.

Soal pengamanan, sangat bagus. Terlihat banyak polisi dengan motor trail. Siaga dekat jembatan, seputar rest area, lokasi rawan, atau mereka mobile berpatroli. Membuat pemudik merasa terlindungi.

Memang SPBU terbatas, namun di beberapa rest area tersedia kios Pertamax. Menyediakan paket kemasan. Atau disuplai gunakan truk tangki BBM. Suasana kayak festival, dengan bendera umbul-umbul. Meriah.

Arah Salatiga, ada ruas tol belum siap. Harusnya melalui jembatan. Tiangnya siap, bentangnya belum terpasang. Padahal kedua sisi jalan sudah mulus. Bentang itu cukup panjang. Mungkin empat lima km.

Nah..., antisipasinya, dibuat jalan darurat turun sungai dan naik lagi. Cukup curam, dengan sudut sekitar 30°.

Tempo hari ada video viral sebuah city car kerepotan naik. Megap-megap di tengah tanjakan. Sampai ditolong petugas. Dorong ganjel silih berganti.

Mantuku sempat lihat videonya. Mobilnya persis yang ia pakai. Ayla dari Daihatsu. Miris juga. Jadi enggak jadi enggak, pikir mereka. Tapi waktu ingat Daihatsu spesialis jago di mobil-mobil kecil, no way, tetap pergi. Depend the driver... dan Aldo yakin bisa.

"Ya waswas juga sih. Namun persiapannya simple. Matikan AC, buka kaca jendela. Radio juga off. Ambil ancang-ancang, siap pindah gigi rendah tepat waktu. Alhamdulillah, berhasil. Senang juga disoraki para penyemangat sepanjang jalan darurat. Terutama saat tanjakan," ujar anakku.

Mereka berteriak, "Ayla... Pasti bisa! Ayla... Pasti bisa!" kepada setiap pengemudi Ayla yang lewat. Rupanya, sebelumnya, banyak pengemudi Ayla ragu melihat tanjakan itu. Kecut mengingat Ayla yang viral gelagepan...

Dari semua kisahnya, aku menilai pemerintah tampak serius tangani mudik kali ini. Termasuk di jalan tol arah timur, yang tahun ini sudah memanjang sampai Surabaya.

Semoga pengamanan di jalan bawah juga tak kalah. Agar jumlah kecelakaan berkurang. Korban --terutama pesepeda-motor-- tak sebanyak tahun lalu. Pemudik bahagia, aku ikut bahagia. Subhanallah.

Kita sambut suasana nyaman ini. Semoga lebaran kali ini membahagiakan banyak orang. Langkah pemerintah patut diapresiasi.

Khusus bagiku, kehadiran anak menantu cucuku ini membuat nyenyak tidurku. Kepada Aldo, mantuku, kubisikkan, "Papa senang kalian datang". Dan memang aku benar-benar bahagia. Terimakasih ya Allah. Alhamdulillah. (13:06:18)

Keterangan foto: "Atraksi" di Jembatan Kali Kenteng, Salatiga-Kertosono. Bikin keder mobil kecil. Matikan AC, buka jendela, siaga kapan harus ganti gigi. Untuk transmisi otomatis, sebaiknya pakai manual L2 dan siap-siap ke L1 jika mesin ngga kuat. (Video: Yusthitani Maharani)


https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10211244631421035&id=1516544459

Rabu, 06 Juni 2018

TOL LEBARAN, RAME-RAME INGIN MENCOBA?


SEPANJANG mata memandang, hamparan jalan beton masif yang kerap membuat bosan. "Untung" tak semata rata sehingga mobil sedikit terguncang. Paling tidak, tak membuat ngantuk dan tetap waspada.



YANG baru Lebaran 2018?
Apalagi kalau bukan tol panjang Jakarta-Surabaya. Bahkan sampai Pasuruan arah Probolinggo. Atau Pandaan arah Malang.

Yang konon tarifnya setengah juta. Dengan imingan nyaman berkendara tanpa hambatan. Maunya.

Sah-sah saja kalau kemudian banyak orang menyiapkan diri. Termasuk anakku yang hendak mudik Depok-Surabaya, bertiga anaknya. Yang aku larang. Kuanjurkan konvensional saja --pesawat atau kereta api.

Bukankah tol bebas hambatan? Benar! Dan itu pikiran banyak orang. Apalagi sudah tembus sampai Kota Pahlawan, tentu kasus Brebes Exit tak lagi terulang! In sya Allah.

Aku bayangkan, malah, jumlah yang lewat berlipat-lipat. Melebihi lebaran tahun lalu. Mereka lewat tol-tol baru. Terutama yang arah-arah timur. Panjang seolah tak berujung. Bisa menjemukan. Bisa membuat lupa.

Lupa ngaso. Ingatlah, rest areanya terbatas. Dan kecil. Lupa buka kaca untuk ganti oksigen dalam kabin mobil. Justru ini banyak orang yang ngga sadar. Lupa ngerem padahal lalu lintas sarat. Dan lupa berapa sisa tangki bahan bakar!

Padahal nyaris tak ada SPBU. Terutama di tol-tol baru-baru itu. Setidaknya, yang aku tahu --antara Kertosono-Waru. Juga Nganjuk-Kertosono. Mungkin begitu pula Ngawi-Nganjuk.

Jadi waspadalah. Teliti semua sebaik mungkin. Kehabisan bensin di tol, sumpah tersiksa. Apalagi tol baru. Panas, ngga ada pepohonan. Menunggu suplai yang mungkin cepat, mungkin lambat.

Dan ini perjalanan pertama Anda, kan? Tentu belum hafal situasi. Di mana pintu keluar, rest area, dan in sya Allah, SPBU tadi.

Kebetulan Aku beberapa kali melaju di tol Waru- Kertosono, bablas Nganjuk lewat jalan Propinsi yang goyang-goyang (tak) sedap.

Harus keluar sebab tol Kertosono-Nganjuk belum tersambung. Nganjuk-Ngawipun baru sambung sebagian. Entah yang Ngawi-Solo.

Lebaran nanti, konon nyambung --bung. Berbayar. Sepotong-sepotong saja yang gratis. Yang belum operasional penuh. Misalnya sebagian Ngawi-Nganjuk. Juga Nganjuk-Kertosono.

Nah... di yang gratis ini, tentu belum ada SPBU. Lha yang berbayar, seingat aku juga tak tampak SPBU. Dengan lain kata, Ngawi-Waru yang berjarak 200-an km boleh jadi tanpa SPBU. Mungkin, idem dito tol-tol baru lainnya.

Aman-aman saja kalau tidak macet. Makin merambat makin menyedot bahan bakar. Apalagi berhenti --yang tentu mesin jalan terus kan? Lama-lama bensinnya habis. Mesin pun berdiam diri. Greg!

Katanya, sih. Ada SPBU wira-wiri. Ke sana ke mari untuk layani yang kehabisan bensin. Mudah-mudahan armadanya mencukupi, mengimbangi yang kehabisan.

Tapi ada baiknya, waspada. Keluarlah dari tol sebelum tangki benar-benar kosong. Nanti masuk lagi. Repot? Yang penting selamat.

Dan ini tips meninggalkan Surabaya balik Jakarta. Tak banyak SPBU arah Bundaran Waru --ujung tol yang ke arah mana-mana itu.

Kalau Anda dari tengah kota (Tunjungan Plaza), mampirlah di SPBU Jl. Kayoon. Kalau dari Nginden, isi di Jl. Jemursari. Kalau dari arah Rungkut, singgah di Kawasan SIER. Dan dari arah Sidoarjo, masih sempat di kawasan Pepelegi.

Selamat berlebaran, selalu waspada di jalan. Berdoalah, Allah selalu berada di dekat kita, dan mendengar.

Alhamdulillah, anak-cucuku mudik pakai jalur konvensional. No tol, biarkan lain waktu saja. (06:06:18)

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10211188801905332&id=1516544459

Sabtu, 02 Juni 2018

Sirikit Syah: Mas Yuleng Sangat Menginspirasi



JUMAT sore pekan lalu aku dan Cak Anam sambang mas Yuleng Ben Tallar di rumahnya yang asri, di Taman Potroagung.

Ditemani Mbak Nunung, kami ngobrol ngalor ngidul sampai lupa waktu.

Syukurlah Mas Yuleng kelihatan berseri-seri, dan masih lancar bercerita. Dan kabarnya memang kondisi kesehatannya terus membaik.

Yang paling istimewa, aku pulang disangoni buku novel terakhirnya ini. "Menggapai Surga". Akan aku baca selesai ujian terbuka nanti.

Mas Yuleng sangat menginspirasi. Orang sakit paling produktif yang pernah saya kenal. Mantan wartawan yang juga paling produktif nulis buku (setelah mas Amang Mawardi tentunya).

Semoga tulisan-tulisannya bermanfaat bagi para pembaca. Kami tunggu novel terbaru yang kabarnya sudah pada proses layout.

Awet sehat ya mas Yuleng.