Sabtu, 16 Juni 2018

PUNCAK PENENTU CINTA




KAMI berpacaran di tempat ini. Abad yang lalu. Persisnya, 1972. Naik Suzuki A-4, yang keren pada zamannya. Masih gres. Nomor pun, masih sementara. Plat putih bertuliskan merah.

Lokasinya, di salah satu puncak, di punggung gunung Argopuro. Di seputar belantara kebun kopi. Di ketinggian 700-an, di atas permukaan laut. Di kedinginan yang menyejukkan. Di posisi 200-an kilometer, dari rumah kami di Surabaya.

Di antara cumbu berkasih, kami banyak buat foto. Di dangau yang menghadap lembah luas. Di kandang sapi perah. Di semak tumbuhan kopi. Di depan hasil panenan buah. Semuanya serba di alam pedesaan. Asyik seolah pasangan Rommy dan July.

Bedanya, tak satupun kami foto berdua. Pamali... kata pasanganku yang berdarah Sunda-Jawa. Yo rapopo batinku, aku lilo kok! Toh aku berdarah Jawa, nrimo wae.

Setahun kemudian, 1973. Masih abad 20. Aku beranikan melamarnya. Heboh. Kakak-kakakku berguncing. Keluarga pacarku apalagi. Papaku hanya tanya pendek: mantap? Aku mengangguk. Masalahnya: To Young to be Marry. Tapi aku punya komitmen!

Dan aku pilih, menikah bertepatan pada hari kelahirannya. 14 Juni. Dengan perhelatan sederhana. Waktu papa mau bikin resepsi, aku minta uangnya saja. Lumayan bisa untuk bekal bangun rumah.

Tapi mama tetap ingin resepsi. Dan digelar. Di rumah kami, Jl. Raya Ketabang no. 31. Tidak sampai menutup jalan, walau tamunya banyak. Teman papa, teman kami. Undangan, cetakan biasa. Malah ke teman-teman, tulisan tangan.

Alhamdulillah, 16 Juni setahun kemudian, anakku lahir. Laki, kuberi nama Arya Suryawan. Panggilannya Rio. Kata papa, nama Arya kok persis dengan leluhurku. Yang di kaki Argopuro. Yang berasal dari seberang. Kota bandar Parindu. Naik ke gunungnya. Lukguluk.

Alhamdulillah lagi, setahun kemudian, lahirlah Yusthitani Maharani. Keren ya namanya. Sekeren kelahirannya --Sabtu Pahing. Orang Jawa paham artinya.

Dan tadi pagi seusai subuh, aku berucap syukur kepada Rabb-ku. Alhamdulillah, benih cinta dulu tak terasa 45 tahun sudah kami lalui. Tepat hari ini.

Saat Maharani, suami dan puteranya ada di sini, sejak kemarin dulu. Nanti abangnya, datang bersama istri dan putrinya, 17 Juni. Setelah merayakan riyaya, dan ulang tahun, di kampung halamannya sekarang, Pekanbaru.

Duh... Nikmat apa yang kudustakan ya Rabb. Sungguh pemberian-Mu tiada tara. Alhamdulillah aku bisikkan. Berulang kali. Dalam doa maupun hati. Aku bangga melihat anak, menantu, dan cucuku. In sya Allah lebaran kedua, bersua anak, menantu, dan cucu satunya.

Dari tempat yang aku datangi tahun lalu --kali ini boleh foto berduaan karena sudah menikah, tidak pamali lagi-- aku masih merasakan atmosfer cinta.

Hawa sejuknya, tebal-tipis kabutnya, hembusan angin spoi dingin, juga ujung cemara yang menggapai tinggi.

Puncak Rembangan. Tempat cinta kami bersemi.

(14:06:18)

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10211231491492545&id=1516544459

Tidak ada komentar:

Posting Komentar