Kamis, 14 Juni 2012

QUEEN OF CANCER COTROL: Diakah Perobek Bendera Belanda?


Tinggal di ’Gudang Senjata’


PEROBEKAN bendera Belanda
menjadi Sang Dwi Warna
jadi pemicu Perang Surabaya.



Saya menjumpai ibu menangis berkepanjangan.
 Saat mencuri dengar, saya tahu kakak terlibat
  perobekan bendera di Hotel Yamato.
Roem Soedoko


Sebenarnya saya bukan siapa-siapa. Hanyalah gadis desa yang dilahirkan di Blitar pada saat negeri ini masih dijajah Belanda. Dari keluarga sederhana, Ayah seorang guru dan Ibu mengurus rumah tangga. Selagi di Blitar kami delapan bersaudara, namun dua di antaranya meninggal dunia selagi bayi. Saya sendiri sejak kecil sakit-sakitan. Bahkan ketika remaja dan dewasa, kondisinya masih seperti itu.
Ketika saya duduk di Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar), Ayah dipindahkan ke Trenggalek sebagai guru HIS (sekolah rakyat Belanda). Tidak terlalu banyak kenangan yang saya ingat. Yang masih membekas hanyalah kebiasaan Ayah yang suka tirakat. Beliau jarang makan, kalau toh makan sekadar mutih –yakni makan nasi dan minum air putih saja.
Beliau juga jarang tidur. Beberapa kali saya memergoki Ayah mengambil meja lipat dan membukanya di teras depan. Ada dua meja seperti itu. Lalu keduanya dijadikan alas untuk meletakkan badan. Ia lakukan itu setelah seisi rumah masuk ke pembaringan. Dan mengemasinya lagi sebelum yang lain-lain bangun tidur. Dengan demikian, tak banyak saudara-saudara yang tahu. Dalam hati, saya suka bertanya-tanya mengapa Ayah harus seperti itu.
Sampai suatu ketika Ayah jatuh sakit dan dilarikan ke dokter Saleh. Kami biasa memanggil beliau Eyang. Dari Eyang pula kami mendapat kabar Ayah kekurangan gizi akibat tirakat yang berlebihan. Ayah memerlukan perawatan cukup lama. Hampir tujuh bulan, dan selama itu pula tidak pulang. Kami hidup dalam keadaan serba kekurangan.
Dalam penjelasan kemudian, barulah saya tahu mengapa Ayah sampai tirakat. Sampai mutih, sampai sakit. Rupanya, beliau melakukan ini semua semata-mata ingin anak-anaknya kelak mencapai sukses di jalan Allah. Ketika itu saya belum mengerti apa sebenarnya arti semua itu. Kelak setelah menjadi orang barulah saya menyadari betapa besar pengorbanan Ayah demi kami semua.
Setelah kesehatan Ayah pulih, beliau terpilih untuk disekolahkan Belanda ke Yogyakarta. Pendidikan itu mengubah status Ayah dari seorang guru HIS menjadi penilik sekolah. Tak lama kemudian beliau dipindahkan ke Kepanjen. Kami sekeluarga ikut serta, menggunakan kendaraan bermotor boyongan dari Trenggalek. Karena mobil tak cukup mengangkut seluruh anggota keluarga, maka saya disatukan dalam kendaraan yang mengangkut barang-barang dan para pembantu.
Tak seperti kakak-kakak saya lainnya, saya tidak protes. Mungkin karena masih kecil, dan termasuk penurut. Tapi dalam hati sempat berpikir, mengapa saya kok tidak bersama Ayah dan Ibu serta kakak-kakak?
Ya sudahlah, tidak mengapa. Tapi ketika kendaraan yang saya tumpangi mengalami kecelakaan dan terendam di dalam sungai, kembali saya bertanya-tanya mengapa saya tidak bersama orang tua? Jika bersama mereka, bukankah saya tidak mengalami kecelakaan? Beberapa kali pikiran itu mengganggu diri saya, sampai akhirnya saya menjadi tenang setelah muncul pemikiran yang lain. Jangan-jangan jika saya berada bersama mereka, justru kami sekeluarga yang celaka.
Kami tak lama di Kepanjen. Ayah dipindahkan lagi, kali ini ke Malang. Juga sebagai penilik sekolah. Bedanya, sekolahnya lebih besar, dan kami juga mendapat rumah besar di pojok (sekarang) Jl. Guntur 33. Dan situasi politik pun berubah. Belanda jatuh, Jepang mulai berkuasa. Rumah kami justru bertetangga dengan interniran Belanda, dipisahkan dengan kawat berduri.

Insiden Yamato
Saya masih ingat, tentara Jepang yang berjaga tak jauh dari rumah kerap mengajak saya bermain. Mungkin karena ketika itu saya lucu-lucunya. Gadis umur delapan tahun, kecil, mungil, sakit-sakitan sehingga harus mengenakan mantel. Mereka kerap mengajak pergi setelah meminta izin ke Ibu. Saya pun terbiasa dengan mereka. Setelah saya dewasa, barulah mengerti apa yang kira-kira para serdadu itu rasakan.
Jauh dari keluarga tentu tak menyenangkan. Apalagi berada di negeri orang dalam keadaan perang. Ingatan akan melayang ke anak-anak nun jauh di negeri seberang. Kalau kemudian mereka menyenangi saya –yang kemungkinan sepantaran anak mereka— semata-mata untuk melepas kerinduan.
Lain saya, lain Kakak. Dia selalu membuang muka setiap kali lewat pos penjagaan Jepang. Boro-boro memberi hormat seperti ketentuan umum yang berlaku. Tanpa gentar ia lewat begitu saja. Kakak memang temperamental. Ia kerap datang dan pergi, terutama setelah kami pindah rumah di Jl. Lawu 6. Temannya banyak, dan suka berada di rumah kami di saat Kakak bepergian. Mungkin menumpang tempat, tapi saya lebih percaya mereka menjaga keamanan kami.
Mengapa saya sampai berpikiran demikian? Diam-diam saya menemukan banyak bendera merah putih di lemari Ibu. Saudara-saudara tidak ada yang tahu karena Ayah Ibu merahasiakannya. Saya bisa tahu karena sering ditinggal sendirian di rumah akibat sakit. Dalam kesendirian itulah saya suka “bergerilya” di rumah.
Bukan itu saja penemuan saya. Beberapa waktu kemudian, saya juga menjumpai berbagai macam senjata tersimpan di dalam satu ruangan. Lengkap dengan peluru, granat, dan benda yang saya yakini sebagai bom. Sebenarnya ruangan itu selalu terkunci. Tapi suatu ketika ada yang teledor tidak menguncinya. Saya masuk dan menjumpainya. Masya Allah.
Kembali ke masalah bendera. Ketika Ibu tersadar saya sempat mengetahui, beliau wanti-wanti agar merahasiakannya. Merah putih, kata beliau saat itu, adalah bendera terlarang. Terlarang untuk menyimpannya, apalagi mendistribusikan dan mengibarkan. Asli saya memang tak ingin cerita siapa-siapa karena dasarnya saya memang pediam. Jadi peristiwa itu benar-benar saya simpan sendiri.
Sampai suatu ketika, saya jumpai Ibu menangis berkepanjangan. Beliau sedih dan khawatir. Saat mencuri dengar, saya tahu Kakak terlibat peristiwa perobekan bendera di menara Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit) di Surabaya. Ibu khawatir akan keselamatannya. Dan Ibu tahu, Kakak memang sangat berkeras untuk mengganti bendera Belanda menjadi sang dwiwarna.
Ayah hanya bisa menenteramkan hati Ibu dengan mengatakan, “Sudahlah... sudahlah... relakan anak kita.” Bukannya Ibu menjadi tenang, akan tetapi makin menangis menjadi-jadi. Ayah sempat kesulitan menenangkan Ibu. Beberapa saat dalam keadaan tak menentu. Sampai akhirnya Ayah mengajak Ibu untuk mendoakan keselamatan Kakak.
Dalam usia sembilan tahun saya tidak mengerti apa arti semua pembicaraan ini. Juga tidak berani menanyakannya kepada Ayah, apalagi Ibu. Baru setelah agak dewasa saya mulai tahu apa sebenarnya yang terjadi. Pada hari-hari itu, menjadi buah bibir orang banyak mengenai peristiwa heroik di Surabaya.
Jepang saat itu kalah perang. Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia. Pasukan Sekutu di bawah komando Inggris melucuti tentara Jepang. Dalam keadaan demikian, Belanda mengambil kesempatan. Tim Palang Merah mereka mengibarkan bendera rood-wid-en blauw di Menara Yamato. Tindakan ini menyakitkan hati pemuda Indonesia. Mereka menaiki menara dan merobek bagian biru dan mengibarkan kembali sisanya, merah putih. Insiden Rabu Wage, 19 September 1945 itu menimbulkan korban jiwa empat orang di pihak Indonesia, dan seorang di pihak Belanda.
Ibu sangat sedih karena para pelakunya dicari-cari pihak sekutu. Dari kesedihan yang demikian itu saya meyakini Kakaklah salah satu pelakunya. Sangat... sangat yakin, kendati tidak bisa mendapatkan saksi maupun bukti. Hanya tangis dan ketakutan ibulah salah satu kesaksian yang saya peroleh. Dan sejak itu Saestuhadi, Kakakku, memang jarang pulang ke Malang.
Mengenai “gudang senjata”, lain lagi ceritanya. Tak lama sesudah peristiwa perobekan bendera, Malang mendapat giliran serangan dari tentara Sekutu dengan Belanda membonceng di belakangnya. Kebakaran terjadi di mana-mana. Ayah memerintahkan kami keluar rumah. Beliau khawatir terjadi apa-apa dengan rumah di pojok Jl. Lawu itu.
Saya juga ngeri sebab seusia itu sempat menyaksikan sendiri bagaimana bangunan terbakar terkena ledakan bom. Dengan pengetahuan yang masih terbatas, saya merasa waswas kalau tumpukan bom di rumah ikutan meledak. Apalagi melihat raut muka Ayah yang tegang sepanjang hari.
Sampai suatu ketika Ayah memutuskan untuk mengungsi. Pada tengah malam, Ayah dan Ibu membawa kami yang umumnya masih kecil-kecil meninggalkan Malang menuju Pakisaji. Rumah kami ditinggalkan kosong. Dan ternyata benar, pagi harinya Malang dibombardir dari segala penjuru. Terjadi kebakaran di mana-mana, termasuk di dekat rumah. Beberapa bangunan di Jl. Kayutangan hangus.
Pengungsian dilanjutkan ke Sumber Pucung. Pada saat Belanda masuk Malang, kami meneruskan pengungsian ke pedalaman. Ayah dicari-cari Belanda. Mereka bermaksud mengajak Ayah kembali menghidupkan sekolah. Ayah tak bersedia dan memilih tetap di pengungsian.
Sampai akhirnya Ayah tertangkap dan dibawa ke Malang. Dalam keadaan tertekan akhirnya Ayah bersedia membuka sekolah. Pertimbangan warasnya, anak-anak yang masih kecil-kecil sulit diajak mengungsi. Dan lagi Ibu baru saja melahirkan di pengungsian. Akhirnya kami semua kembali ke Malang.
Rumah kami aman, dan tak ada informasi mengenai dijadikannya bangunan itu sebagai gudang senjata. Kemungkinan, pada saat kita mengungsi dan pertempuran menjadi-jadi, teman-teman Kakak dari PETA memanfaatkan peralatan perang itu untuk bertahan. Ketika Belanda benar-benar menahlukkan Malang, semua senjata sudah dibawa bersama mundurnya gerilyawan. Dengan demikian, rumah kami clear. (*)


Catatan: Tulisan ini adalah bab satu dari 28 bab "Queen of Cancer Control",
               biografi dari Prof. Dr. dr. Roemwerdiniadi Soedoko, SpPA (K), 
               Guru Besar Universitas Airlangga, Surabaya. Ia adalah wanita
               Indonesia pertama yang mendapat penghargaan dari WHO. 
               Buku karangan Yuleng Ben Tallar ini (306 hlm), bisa di pesan 
               di sini dengan harga Rp 60.000 plus ongkos kirim.