Rabu, 10 Oktober 2018

FEELING AQUA!


AKU DAN AQUA... DI GENGGAMANNYA, NOVELKU, "GADIS TIYINGTALI"

Jangan pergi Jakarta Senin
kalau tak perlu-perlu amat...
Penerbangan padat dan semua pada bergegas...
Itu nasihatku!

Ternyata, istriku harus ke Jakarta.
Senin, karena itu hari ada perlu.
Pagi berangkat, sore pulang.
Masih dapat Garuda di pagi, tapi nihil sore harinya.

Apa boleh buat... Ia cari penerbangan lain. Dapat Sriwijaya. Waktu ia katakan itu, aku ingat Aqua Dwipayana. Itu motivator kondang penulis buku super best seller... "The Power of Silaturahim: Rahasia Sukses Menjalin Komunikasi",  dan "Produktif Sampai Mati".

Ingat, karena pemilik Sriwijaya Air teman baik Aqua. Yang ikut membantu mengangkut jamaah umroh. Yang diberangkatkan Aqua dari penjuru Nusantara. Gratis.

Juga ikut angkut buku-buku Aqua ke seluruh penjuru tanah air. Teman 'plek'. Harus saling membantu. Arti sebuah silaturahim. Maklumlah.

Entah mengapa, aku pesan ke Istri: Ini aku kasih nomor telepon Mas Aqua... Mungkin perlu. Dia sempat  heran, tapi diterima saja. Toh tidak ada jeleknya.

Urusan tiket dan boarding beres. Terbang pukul 18.40, sampai Surabaya 75 menit kemudian. Itu jadwalnya. Sayang delayed dua jam. Terminal padat-dat. Ada beberapa penerbangan terlambat. Ke Semarang, juga Surabaya.

Tapi dapat roti plus Aqua gelas. Dan tidur di pesawat. Kendati kemalaman juga sesampai Surabaya. Setelah orang-orang yang tak sabar adu cepat keluar pesawat.

Dan baru sadar ada yang ngga kebawa. Satu tas plastik yang ditaruh di atas tempat duduk. Setelah istri sampai di tempatku bermalam. 23.30 WIB.

Isinya... bagi orang lain mungkin ngga penting. Dua hand bag, sepotong baju, kosmetik, dan uang delapan ribu!

Tapi... kosmetiknya itu yang ia sesali. Baru saja beli pagi tadi. Baru dicoba sekali. Harganya... aku sendiri baru 'ngeh' ada yang seharga itu...

Aku yang bangun tidur... Senang melihat istriku datang... Kendati feeling ada yang ngga beres... Ternyata benar...  yaitu tadi, barangnya tertinggal di pesawat.

Melihat muram durjanya, aku tak tega. Letih setelah pergi sejak subuh. Capai urusan di Jakarta. Sekarang lesu kehabisan tenaga. Kehilangan kosmetik pula...

Waktu menunjukkan pukul 22.30. Terlalu malam. Tapi kasihan juga lihat wajah sang Istri. Yang besok pagi berencana balik bandara. Untuk cari di Lost and Found.

Akhirnya aku beranikan telepon Mas Aqua. Bel ke delapan baru diangkat. Suaranya masih mantap. Menyebut namaku. Alhamdulillah.

Aku cerita masalah istriku. Dia sangat tanggap. Minta aku kirim datanya. Dan ia akan komunikasikan dengan pihak Sriwijaya.

Bingo! Esoknya foto-foto terpampang di WhatsApp-ku. Persis. Diiyakan istriku. Yang kemudian mendapat contact person yang harus dihubungi: Pak Zayyadi. Di terminal kedatangan. Kantor Sriwijaya Air.

Dan barang-barang istriku diterima komplet-plet. Ia pulang dengan senang. Bawain aku ayam goreng yang dibeli di perjalanan.

Memang Aqua!
Feeling Aqua tak berlebihan.
Aku ingat begitu istri sebut Sriwijaya.
Ternyata... kami butuh bantuannya --dan sangat terbantu.
Itulah feeling silaturahim...
Aku sebut Feeling Aqua!
(10:10:18)

Kamis, 04 Oktober 2018

THE NEWSROOM, DI ETALASE GRAMEDIA



WARTAWAN hanyalah menulis kejadian menyangkut orang lain. Mengenai diri sendiri, akan disembunyikan di laci terdalam --jangan sampai orang lain tahu. Padahal kisah mereka banyak yang menggelikan. Nah, dalam THE NEWSROOM, aku bercerita tentang mereka! Buku ini bisa didapat di TB Gramedia. Don’t Miss It!

Rabu, 03 Oktober 2018

OBRAL ROTI, YUK SERBU...



ROTI kok diobral...
Lha kok diserbu...
Jangan nyinyir dulu sebab ada banyak alasan di balik itu...

Masa lalu, ada hari tertentu roti tawar dapat rabat 50%. Di supermarket. Di akhir pekan. Banyak yang memindahkan roti-roti ke troley. Dan bawa pulang sambil senyum-senyum. Kami hanya bawa tiga potong. Padahal mereka tiga puluhan...

Gerangan apa gaya hidup di Makati ini? Ngga Pilipinos, ngga bule-bule Yankie. Sama-sama memborong roti. Khusus di hari diskon. Di luar hari itu mereka hanya beli dua tiga pak saja. Normal, seperti saat aku beli walau di saat kortingan.

Lama-lama penasaran. Tanya ke tetangga yang orang Thailand. Ternyata ada cara ampuh simpan roti obralan. Yakni, masukkan ke dalam freezer. Bisa awet. Bisa sepekan. Bahkan sebulan.

Dan harap maklum, gaya hidup setempat memang sarapan roti. Bahkan makan siang pun roti. Namanya sandwich. Roti tawar isi. Macam-macam. Ada ham, ayam potong tipis, mayo, acar mentimun rajah, tomat, selada, lectuse.

Rotinya dipotong sepertiga. Tapi dilapis lima susun. Dikemas plastik. Diberi nama. Dijual lewat mesin penjual otomatis. Kita masukkan koin, sesuaikan dengan harga roti yang kita mau. Eng ing eng... kau dapat roti yang kau mau.

Jadi, roti diskonan perlu. Roti perlu dirabat. Sejak saat itu aku menjadi pemburu roti. Roti kortingan... Hingga sekarang. Bukan karena rupiah. Tapi sudah terbiasa dari sananya. Mengapa beli mahal kalau tahu no-how dapat yang murah?

Di sini, di Surabaya, jelang libur panjang toko roti jual obral dagangan. Juga hotel bintang. Mereka tak mau simpan stok. Ngga mau rebyek.

Bagi aku, saatnya hunting kortingan. Mulai tart hingga black forest. Juga roti daging yang biasanya mahal-mahal.

Kalau untuk harian, bisa ke toko ritel yang tersebar itu. Rajin-rajin cari roti tawar yang didiskon jelang jam tutup toko. Atau hotel tertentu. Menunggu bunyi bel berdentang. Tanda harga obralan dimulai. Asyik juga kok. Dan ngga usah sungkan. Sana jual kita beli. Ngutang pakai kartu kredit juga bisa kok.

Kalau yang kemarin, BreadTalk punya gawe. Harga tunggal 7K asal beli delapan. Kebetulan lagi nyari roti krenten favorit yang biasa dibandrol 10K. Ya diborong lah, oleh istriku...

(03:10:18)

Jumat, 07 September 2018

UBUD DAN BREAKFAST GRATIS



UBUD 33 tahun lampau. Masih sepi. Satu dua mobil saja berlalu. Sepeda pancal banyak dipakai. Atau berjalan kaki. Kemana-mana. Ya sah-sah saja sebab desa ini tak terlalu luas. Menempuh sebagian jalan, sebagian pematang sawah.

Hawa masih sejuk. Kabut pagi di mana-mana. Menyelimut hamparan sawah. Muncul dari sungai Ayung. Membuat hati tenang. Mungkin itu pula yang membuat banyak kerasan seniman. Melukis di pagi hari, lantas nyeruput kopi.

Aku tidak cerita tentang seniman. Sudah banyak yang tahu. Kali ini tentang penginapan. Yang di depannya tertulis "Home Stay". Semisal Dewa Home Stay, Made Home Stay, dan nama-nama lugu lainnya. Mengacu nama pemilik.

Home stay banyak terdapat di beberapa spot. Terutama yang masih membaur dengan sawah. Atau perkampungan penduduk.

Ada yang harus tinggalkan mobil di pinggir jalan, lalu jalan kaki menuju home stay. Naik tangga jalan desa 53 tapak dulu. Lalu meniti pematang sawah --yang kiri sawah yang kanan sungai kecil. Kadang disapa babi di kandang penduduk.

Butuh seperempat jam baru ketemu Melasti home stay. Kerap penuh sebab pemandangannya bagus. Kamarnya? Ya biasa-biasa saja. Apalagi untuk ukuran hari ini.

Satu ketika kita bermalam di Jati home stay. Di pinggir jalan, dekat monkey forest. Di bagian depan ada cafe. Disebut cafe karena lebih bagus dari warung kopi. Kursi tinggi seperti bar. Ada musik klenengan. Juga topeng-topeng. Padahal kopinya sama, kopi Bali --di mana-mana orang sebut kopi, ya kopi Bali.

Tak lama Joop Ave lewat. Naik jip terpal terbuka. Ia melihat kami dan melambai. Aku balas. Tak lama Joop balik dan bergabung. "Suwe ora jamu..." ujarnya menyambut tanganku. Istriku mesem.

Kita pun ngobrol ngalor-ngidul. Tentu soal penginapan. Yang masih belum bernama hotel itu. Yang masih harus dipertanyakan, apakah Ubud perlu yang seperti itu? Atau cukup home stay namun setara hotel bintang. Cuma kamarnya ngga usah banyak-banyak. Biarkan menyebar seperti saat itu.

Ubud 33 tahun lampau. Memang bersahaja. Namun sahaja itu yang menjadi daya tarik. Tamu hotel --ups..., home stay-- hanya perlu kamar di malam hari. Siang sudah berkelana sendiri-sendiri.

Jalan-jalan di persawahan, ke monkey forest, melihat aktivitas penduduk, datang ke galeri-galeri, atau museum lukisan. Sedikitnya ada tiga ketika itu: Museum Ratna, Neka, dan Antonio Blanco.

Ada juga pertunjukan tradisional, atau tur ringkas-ringkas ke Goa Gajah, istana Tampaksiring, Kintamani. Kalau sudah puas, nongkrong ke cafe.

Ada yang jual arak Bali. Sebagian dari mereka bisa berjam-jam minum minuman keras. Anehnya, tidak mabuk. Beda dengan orang kita. Baru segelas sudah menggelepar...

Ubud 33 tahun lampau. Menginap di home stay masih sangat murah. Gratis makan pagi. Mereka menyebutnya breakfast. Itulah daya tarik. Breakfast gratis.

Jangan bayangkan makan pagi seperti di rumah sendiri. Apalagi hotel bintang --saat itu, pun saat ini. Yang muncul cuma secangkir kopi (atau teh) dan dua potong roti. Diberi mentega dan ditaburi gula. Gitu saja, atau dipanggang.

Istriku geli melihatnya. Breakfast gratis! Ya... gratis breakfast... Lalu ia ajukan komplain. Mengapa tidak ditambah buah. Kan ada pisang. Pepaya, atau mangga, dan jambu. Dipotong kecil-kecil, disajikan bersama roti dan kopi. Kasih bunga kamboja sebagai elemen estetika.

Ubud 33 tahun lampau. Aku teringat kisah ini setelah Rio anakku menulis di WA Family belum lama ini: Aku inget pas itu mama cerita ke aku, kalo mama abis komplain ke pihak pengelola hotel, kok breakfast-nya hanya begitu?

Dan mama yg ngajarin supaya bikin breakfast buah, dengan potongan-potongan buah pisang, semangka, pepaya. Jadi di zaman itu, mama sudah menjadi hotel consultant/UKM consultant, walau gratis ga dibayar. Yah itulah amal kebaikan, pasti ada balasannya dari Allah SWT.

Ubud 33 tahun lampau... so sweet.

* Joop Ave ketika itu Dirjen Pariwisata zaman pemerintahan Soeharto

(07:09:18)

Rabu, 15 Agustus 2018

BERLIN MUNGIL BERUBAH BENTUK DI RUMAHKU



Keterangan foto; Yang begini, aku tak kuat mengangkat sendiri. Biasanya, aku panen sendiri, aku angkat, dan dengan gagah aku selfie. No way untuk kali ini...


AKU punya banyak pohon pisang. Sejak dulu memang suka. Apalagi itu pohon tak banyak menuntut perawatan. Tanami saja setiap jengkal tanah kosong, kapan-kapan nikmati panenannya.

"Apa ngga khawatir diambil orang, Pak?" tanya Pak Lastri polos. "Di sini orang merasa ngga bersalah mengambil hasil kebun orang," ujarnya sambil memberi contoh ada pisang yang ia gadang-gadang untuk selamatan, eh amblas.

Kalau begitu, tanami juga pinggir jalan itu. Untuk memudahkan mereka yang butuh, ujarku disambut tertawa Pak Lastri. "Lho serius ini, Pak..." Ia tetap tertawa...

Aku tertawa juga lihat gaya Pak Lastri, tukang kebunku di gubuk singgahku di Wilo, Genteng, Pandaan. Hanya selemparan batu ke Taman Dayu, kata orang desa.

Gubugku mewah. Gubug kayu Mepet Sawah. Kanan kiri tanah kosong. Yang kiri punya orang. Yang kanan juga punya orang. Tapi lebih ke kanan, milik aku.

Yang di belakang, melembah, sepanjang mata memandang hamparan persawahan. Punya aku? Bukan. Tapi aku ikut menikmati lambaian daun padinya. Gratis. Alhamdulillah, nikmat apa yang tak harus aku syukuri...

Nah kembali ke pisang. Di halaman induk memang ada beberapa pisang Raja. Ada juga satu dua pisang lokal. Namanya pisang Berlin --disebut juga Barlin.

Pisang Raja semua tahu kan? Panjang, besar dan gemuk. Manis rasanya. Enak dimakan begitu saja. Tapi bisa juga digoreng. Harga goreng Raja bisa Rp 6.000. Bahkan lebih. Kalau yang segar, Rp 50.000 sewirang baru dilepas. Namanya juga Raja.

Nah yang Berlin ini, agak apes nasibnya. Buahnya kecil seperti pisang Emas. Ujungnya lebih runcing. Kuningnya agak pudar. Kurus. Manis sih, tapi agak asam. Yang jual pun kadang bilang Emas KW-2.

Pisang-pisang yang begini yang jadi sasaran orang. Mudah dibawa pulang tanpa ketahuan. Apalagi pohonnya tak terlalu tinggi.

Makanya aku bilang ke Pak Lastri... Tanamlah pohon ini. Jika hasilnya diambil orang, mungkin dia memang butuh. Kita juga tidak bisa memakan semuanya. Anggaplah sedekah...

Masih dengan manggut-manggut, Lastri mengerjakan juga. Saya lebih tertawa lagi, saat tetangga depan kasih tahu, "Pak Lastri kan selalu adzan. Malingnya tahu Lastri ngga di rumah, ya pisangnya diambil..."

BERMUTASI?

Apes banget kan nasib si Berlin. Aku kasihan, dan minta dua bibit untuk dibawa pulang Surabaya. Untuk menambah koleksi di rumah. Toh tubuh batangnya relatif kecil. Mungil. Semungil pohon pisang kayu buatan orang Bali.

Karena aku tanam di halaman belakang yang mentarinya hanya 50%, tumbuhnya agak lama. Berbuahnya juga lama. Tapi ajaibnya, wajah Berlin yang runcing tak tampak. Dia malah cenderung gendut. Warna kuningnyapun enak dipandang.

Rasanya? Ini dia! Dagingnya tak sekeras pisang Emas. Malah lebih empuk dan renyah. Masam? Enggak juga. Manis, empuk, dan enak dikonsumsi begitu saja. Memang tak selegit Emas, yang ini cenderung mendekati pisang Susu.

Persis! Ini pisang Susu. Bagaimana ia bisa bermutasi di halaman rumahku? Entahlah. Toh aku juga pernah mencangkok mangga Manalagi. Hasilnya aku tanam di tempat yang lain.

Keluar buah mangga? Lha iyalah. Cuma bukan Manalagi, tapi mangga Lalijiwo. Kecil hitam agak metekel. Dagingnya keras, tapi sejak muda sudah manis-masem.

Dulu banget, buk Madura suka jualan ini di depan toko-toko mewah di Tunjungan. Saat masih rame! Tahun 60-an. Paling tidak sampai 70 akhir...

Balik ke pisang ya. Karena si Berlin tumbuh di bawah pepohonan mangga, yang sinar mentarinya cuma 50%, maka aku berniat memindahkan ke depan. Yang dapat 100% sinar, dan di bekas tempat pembuangan sampah dapur.

Hasilnya? Luar biasa. Bukan Berlin lagi. Ini benar-benar Susu. Pun Susu Super. Belum pernah merasakan yang begini. Mereka yang kebagian, selalu berseru "Susu sebesar ini?" Termasuk kakakku yang akhir-akhir ini mulai doyan pisang.

Kalau sudah begini, aku jadi ingat Pak Lastri. Betapa senang jika ia bisa melihat Susu Superku. Yang di sana kecil digadang-gadang, disini besar luar biasa. Jika yang di Welo bisa sebesar ini --dan diambil orang-- betapa kesalnya hati Pak Lastri.

Tapi kalau ia paham pesanku, justru amal itu yang bisa mengiringinya ke akhirat. Selamat jalan Pak Lastri, bibit yang kau siapkan ini juga punya amalanmu. Alfatihah.
(15:08:18)


Rabu, 08 Agustus 2018

SI BEMO KETIKA ITU TAKSI METROPOLITAN



Keterangan foto: Aku, kakakku Indri Karani, dan sepupuku, Kiddy, menjadi saksi peradaban abad lalu di seputaran Senayan. Kini kami (tengah) sudah pada tua, tak ada tenaga jalan kaki ke sana lagi...


ABAD lalu, Jl. Soedirman masih berdebu. Kering kerontang. Juga jalanan sekitar. Tapi justru kondisi ini yang membuat Istora --Istana Olahraga-- terlihat kinclong. Gemerlap. "Tjantik", tulis awak pers di masa itu.

Apalagi, nama Bung Karno tak lepas dari penggagas pesta olahraga Asian Games, yang dalam penyelenggaraan sebelumnya Indonesia menyabet Runner Up.

Jakarta yang konon modern itu, ya hingar di seputaran Senayan. Seingatku, hanya kompleks bangunan megah olahraga itu yang ramai dikunjungi.

Aku bangga berada di saat-saat penyelenggaraan akbar itu terjadi. Pada 24 Agustus, 1962. Muhibah dari kampung halaman di Surabaya, khusus nonton Asian Games. Bersama papa mama, juga tiga saudaraku.

Naik mobil yang masih gres, Morris Oxford. Buatan Inggris. Lancar jaya walau belum ada tol. Dan tetap bangga saat berdamping dengan taksi resmi pertama negeri impian. Buatan Jepang. Bemo.

Bener... si Bemo roda tiga itu yang menjadi taksi metropolit masa itu.  Dengan warna khasnya, apple green. Dengan tulisan TAXI di atapnya. Masih pakai kanvas di bak belakangnya. Dan berkeliaran seputar Senayan mengangkut penumpang.

Bus kotanya? Robur yang gembul pendek itu. Berjalan perlahan kayak kawanan gajah. Tapi di mata aku saat itu, Bemo (Daihatsu) dan Robur adalah bentuk-bentuk futuristik.

UJI-COBA

Semua bicara tentang hebatnya Senayan. Yang kala pembukaan Asian Games dihadiri 100.000 orang. Tentu di antara mereka, lima orang rombonganku dari Surabaya. Dan itu aku catat di notes --buku kecil yang biasa di kantong wartawan-- yang dibagi papa sebelum pergi.

"Buatlah catatan apa saja yang kau lihat dan kau suka...," perintahnya. Dasar wartawan senior, maunya tentu begitu...

Dan aku gambar Stadion Utama. Lengkap dengan garis-garis seolah bersinar. Juga para atlet yang berpakaian ketat. Penonton yang bergembira. Tak ketinggalan si Robur dan si Bemo.

Dan catatanku menyebutkan, kami --aku, saudaraku, juga sepupuku-- pulang ramai-ramai jalan kaki dari Senayan ke blok P-5, Kebayoran Baru.

Kalau sekarang, itu tuh deket-deket rumah Pak JK. Jalan kaki lho, baik saat uji coba pembukaan pada 23 Agustus 1962, maupun acara-acara lainnya.

Ngga naik taksi? Ya ngga kebagian. Konon cuma seratusan Bemo. Maunya naik becak, kalau siap antre. Dan bayar mahal. Tapi karena kami rame-rame, ya jalan kaki ngga terasa. Jalan sambil berlarian.

Bagaimana kalau itu terjadi di abad sekarang?
Oh no..., thanks. Mana tahan...

(08:08:2018)


Jumat, 13 Juli 2018

BAPAK NAKAL... AKU MENANGIS...


Keterangan foto: Alhamdulillah mendapat kunjungan Dr. Anin, yang sekaligus membawa kabar aku boleh pulang...


"BAPAK nakal!"
Ini pertama kali komentar yang terucap dari dr. Anin. Ketika itu, ia menjenguk aku di ruang Tulips 328, RS. Dr. Soewandhie.

"Bapak membuat saya menangis...," ujar dokter Spesialis Paru ini.

Apa pasal? Lebaran tempo hari, aku memberi dia hadiah sebuah novel karyaku, "Gadis Tiyingtali" (2012). Novel bergenre seni lukis yang bercerita tentang seorang anak merindukan sosok ibunya.

Berhasilkah? Pertemuan itu sejatinya tidak disengaja. Kebetulan sebuah lukisan "menggiring" reuni keluarga --seorang ibu berjumpa dengan anak gadisnya.

Kisah Gadis Tiyingtali inilah --Tiyingtali terletak di lereng Gunung Agung, Kab. Karangasem, Bali-- yang membuat Dr. Anin menangis.

Dan "menyalahkan" diriku... Berulang kali ia katakan, "Bapak nakal..."

Anin sebenarnya penyuka buku bacaan. Tapi yang sebangsa Ko Ping Ho... Penuh action. Keras. Serba 'siat...', gitulah! Bukan yang mendayu...

Toh Gadis Tiyingtali ia selesaikan juga. Sampai titik terakhir. Sampai mbrebes mili. Sampai menangis. Terurai air mata.

Seketika ia tersadar, lho air mataku koq menetes... Jadi komentar yang tepat ya memang itu... "Bapak nakal..."

Karena aku surprised akan komentarnya, maka aku berikan hadiah lain, novel karya terbaruku, "Menggapai Surga".

Ia menyambutnya dengan antusias. Tapi tetap saja mengatakan, "Bapak nakal..."

Dalam hati aku geli membayangkan. Kalau Gadis Tiyingtali aja membuat dia menangis, belum tahu si dokter ini bagaimana jalan cerita Menggapai Surga.

Sebab... aku saja --the auctor, si pengarang-- beberapa kali mencucurkan air mata saat membaca ulang kisah Marce Marconna dan Abdul Qaidir ini. Mbrebes mili, sesenggukan, dan benar-benar menangis.

Nah Dok... Selamat mengikuti kisah Marce dan Qaidir... Tak bisa aku bayangkan, apa lagi ucapmu setelah itu, selain "Bapak nakal..."
(13:07:18)

Senin, 09 Juli 2018

DI RUMAH SAKITPUN NYRUPUT KOPI BARENG



Sebuah persahabatan-- Roti 'O dan kopi tubruk tanpa gula. Nyaman ngobrolnya tak kalah di Koffee Cafe.-


SAMA-SAMA Aki dua cucu, dan Datuk dua cucu. Cucu-cucunya di luar kota. Depok, Pekanbaru, dan Jakarta. Istri-istrinya wanita karier. Aki dan Datuk pension-man. Dari profesi sama, journalist.

Biasanya siang-siang pergi ke Cafe Koffee. Nyruput sambil ngobrol. Tak mau yang manis. Kopi pahit konon perpanjang umur. Kadang expresso. Atau Vietnam driff. Kadang kopi tubruk. Lihat anginlah. Yang penting, silaturahimnya.

Kendalakah saat Aki tergeletak di Rumah Sakit? No problem, pikir si Datuk. Ia bawakan kopi tubruk. Pahit tentunya. Juga Roti 'O. Manis-manis, pendamping yang pahit. Nyaman nyruputnya, gayeng ngobrolnya. Tak terasa dua setengah jam kita bicara ngalor-ngidul.

Itulah kalau dua sahabat berjumpa. Mengisi hari menjadi berarti. Di hari tua yang tak harus diam. Seolah kita akan hidup seratus tahun lagi. Wallahualam. In sya Allah kalau Sang Khaliq izinkan... beberapa tahun lagi.

Demi persahabatan. Hari tua yang indah. Hari-hari yang menyenangkan.
(09:07:17)

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10211391505972807&id=1516544459



Sabtu, 07 Juli 2018

MENANTI PELUKAN KASIH DI SAAT LANSIA



Keterangan foto: Nunung Bakhtiar di depan gedung Erasmus Universiteit Rotterdam. Di sela-sela padatnya waktu kuliah, ia sempatkan lari sejenak setelah acara makan siang, untuk sebuah foto.



DENGAN berat hati dia minta izin. Ikut short courses di Erasmus Universiteit Rotterdam. Di Belanda. Dengan ringan hati, aku izinkan. Mengapa?

Waktu dia, selama ini banyak tersita untukku. Berbagi dengan dinasnya yang cukup padat. Ada sela waktu sesaat, ia buru-buru pulang. Tak tega meninggalkan aku sendirian.

Pernah sehari ia harus hadir di berbagai tempat. Pagi-pagi kunjungan ke RS BDH. Di Tandes sana. Lalu ke DPD Golkar Jl. Adityawarman. Kemudian ke DPRD Pemkot Surabaya. Kantornya. Kemudian jenguk aku di RS Soewandhie.

Usaikah? Nanti dulu! Sesaat kemudian berangkat bagi takjil di daerah pemilihannya. Di Kapas Madya yang padat penduduk. Lalu ngurusin tim pembagi takjil. Untuk buka puasa.

Sebentar kemudian dia ngacir ke Gardu Inspirasi, Lembah Setyowati --ini nama di KTP. Persis di belakang hunian kami. Di sana, sudah menunggu sejumlah ustadz. Juga tim suksesnya. Acaranya, buka bersama. Waktu dia tiba, para tamu sudah selesai shalat Magrib. Sudah berbuka dengan makanan prasmanan yang tergelar di karpet.

Tinggal dia bicara sesaat. Lalu berdoa. Lalu ngobrol sana sini. Ada yang ajukan usulan. Yang kecil-kecil langsung disetujuinya. Yang besar, nanti dulu. Dipikirkan. Setelah para tamu pulang, baru dia kembali ke aku.

Nah yang gini-gini membuat aku trenyuh. Di tengah kesibukannya, masih nyempetin menengok aku. Apakah aku harus melarangnya pergi?

Tidak. Aku ridho. Ikhlas mengizinkan pergi. Mungkin orang lain mbatin: Nunung kok tega ninggalin bojonya dalam keadaan kurang sehat? (Aku baru keluar dari opname persis malam takbiran). Tapi 100% aku ridho. Mengizinkan. Ya itu tadi, selama ini ia banyak mengorbankan waktunya untukku.

Aku tak akan menghalangi kepergiannya --yang cukup penting bagi kariernya. Apalagi bidang yang ia ambil, smart city. Yang perlu --dan harus-- diterapkan di Surabaya nanti. Apalagi, Belanda memang jagonya. Aku ngga bisa jelaskan apa itu smart city. Nunggu dia kembali.

Inilah balada lansia. Suatu saat kalian juga merasakan. Hidup memang perlu berbagi. Bukan dalam keegoisan. Namun pengertian dan kasih sayang.

Aku beruntung masih kedatangan teman-teman. Hamida Prakosa dengan suaminya. Djaya yang walau lansia tapi masih kayak anak muda. Rita Rahmawati yang dulu sekantor dengan aku. Diantar suaminya yang gagah perkasa.

Dan keponakanku --yang udah seperti anak sendiri-- Eti Mulyati, datang dari Bali. Persisnya Singaraja. Di suatu desa bernama Sambangan. Dekat air terjun Aling-aling. Yang lagi sering fotonya masuk Instagram. Indah sekaligus seram. Udah beberapa kali menelan korban. Semuanya masih perjaka.

Indri Karani, kakak sulungku juga datang. Padahal ia juga baru keluar dari opname. Dr Lidwina Paramita juga mampir. Kita ngobrol sampai malam. Dia pulang membawa buah tangan, pisang dan mangga gadung. Hasil panen kebun samping rumah.

Aku sabar menanti. In sya Allah pekan depan sudah kembali. Aku menunggu pelukannya. Pelukan-pelukan yang setiap hari kami lakukan. Sambil membisikkan kata cinta. Di telinga masing-masing.

Jangan katakan ini lebay, kawan. Kalian akan merasakan indahnya cinta di kala lansia. Ketika anak-anak sudah tak di rumah lagi. Membangun koloni di tempat baru. Jauh nun di luar kota. Di luar pulau. Kalian tinggal berdua. Di rumah tempat selalu bertemu. Dan aku sekarang menunggu. Datangnya si buah hati...
(07:07:18)

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10211378034156020&id=1516544459


Minggu, 24 Juni 2018

SAMBUNG SILATURAHIM, INGAT SEKAMAR SAAT HAJI 1996


SALING kunjung terus berlanjut. Kemarin, tak disangka kedatangan teman lama. Mbak Marmi dan Mas Wiyasin. Bagiku, mereka "bukan orang lain".

Kami sekamar waktu berhaji 1996. Bersama Cak Dar Darmantoko. Juga beberapa lainnya. Maklum zaman itu. Sekamar sepuluh orang. Tetap Alhamdulillah.

Yang aku salut, dalam usia 78, masih sehat dan penuh semangat. Bicaranya penuh gairah. Daya ingat ke masa lalu, masih sangat bagus. Bahkan, ini kali kedua datang. Setelah kemarinnya, menjumpai aku tidur. Istriku dinas ke Ngawi.

Mas Wiyasin dulu di Kantor Humas Pemda Tk. I Jawa Timur. Mbak Marmi teman sekantor aku. Tahun 70-an awal. Di Kantor Berita Antara. Yang kantornya di Jl. Pahlawan. Gedung heritage. Yang fotonya aku jadikan sampul depan novelku: Cinta Retro.

Setelah aku hijrah ke mana-mana, tahun 1986 dapat SK balik Surabaya. Memimpin Antara Biro Surabaya. Mbak Marmi sempat gembira.

Sementara aku tolak SK itu. Ada pekerjaan yang belum selesai di biro lama yang aku pimpin. Mbak Marmi getun, walau akhirnya yo rapopo.

Hubungan tetap berlanjut. Beberapa kali masih bertemu. Termasuk pergi bareng berhaji. Aku bersama mama dan istriku. Mbak Marmi juga kenal baik dengan mama. Sebelumnya. Sejak lama sebelum haji itu. Sebelum aku kenal beliau. Bahkan mbak Marmi ikut merawat mama saat jatuh sakit di Tanah Suci.

Lain waktu, aku jumpa salah satu putri beliau. Oentari Suwandajani. Di tempat kerjaku yang baru. Ia jadi anak buahku. Sampai suatu ketika, kantor itu dilikuidasi. Surabaya Post.

Koran sore yang legendaris. Yang walau korannya sudah lama mati (2002), semangat eks karyawan tetap menggebu. Tetap bertemu, minimal setahun sekali. Reuni atau halal bihalal usai lebaran.

Terima kasih Mbak Marmi, matur nuwun Mas Wiyasin. Kali ini aku --yang jauh lebih muda-- tak berdaya sowan ke rumah. Itu sebab,  silaturahim siang itu aku rasa sangat istimewa. Itulah makna sebuah silaturahim.
(24:06:18)

Sabtu, 23 Juni 2018

UQ: SAYA BUKAN MUSLIM, TAPI NIKMATI...




NOVEL: Menggapai Surga

Good to hear that...
Keep healthy ya kak,
Kapan keluar buku yang selanjutnya?

Buku yang terakhir, "Menggapai Surga", saya suka sangat...
Buku sebelumnya juga suka sih...

Saya bukan muslim...
Tapi membaca buku kakak, saya bisa membayangkan indahnya menjalankan ibadah di tanah suci.

Cafe tempat mereka pergi, juga
Such a great story

Buku kakak menemani perjalanan saya selama dari erpot Jakarta ke Johor Baru.

Banyak pengetahuan mengenai Islam, dan indah.

-- OKANA UQ

Kamis, 21 Juni 2018

TAKUT KEHILANGAN SAAT BEPERGIAN?



BEPERGIAN tentu menyenangkan. Apalagi di libur panjang. Seperti sekarang. Menginap di hotel, atau famili. Tapi karena banyak hotel baru, dan ongkosnya murah, mengapa tidak dicoba. Agar tak repotkan famili. Dan praktis.

Yang kadang bikin kepikiran, kalau bawa barang berharga. Laptop, hardisk, perhiasan, kamera, uang, dkk-nya. Masak harus bawa semua ketika sarapan. Atau berenang. Atau sekadar duduk di lounge. Pasti ditinggal di kamar. Dalam koper, dikunci. Repot dan menyebalkan.

Hotel paham masalah ini. Maka mereka beri pelayanan ekstra, safety deposit box namanya. Kotak pengaman. Dulu banget, letaknya di front office. Boksnya mirip PO. Box di kantor pos (jangan-jangan ngga bisa bayangkan juga). Sederetan laci-laci kecil diberi kunci.

Kuncinya canggih. Laci-laci itu produk impor. Dari pabrikan khusus pengaman barang berharga. Brand yang sangat terkenal, sayang lupa namanya. Maklum sudah dulu banget.

Yang jelas, mahal harganya. Sebab untuk memanfaatkan, kita harus beri uang jaminan. Anda kembali kan kunci, uang jaminan juga balik. Begitu aturannya.

Kala itu, lazim untuk menyimpan travel check (sekarang nyaris ngga ada ya), uang kontan, perhiasan, kartu kredit, dan benda berharga lainnya. Sayang laptop ngga muat, apalagi kamera profesional.

Beberapa kali aku manfaatkan fasilitas ini, fine-fine saja. Suatu saat di Mekkah, tanya reception apa mereka punya safety deposit box. Dia mengangguk sambil bertanya berapa real/US dollar yang mau disimpan.

Aneh pertanyaannya. Ketika aku minta kunci, dia ngotot meminta uang yang hendak disimpan. Cash? Berarti dollar yang mulus-mulus, bisa-bisa kembali bukan yang itu? Kumal dan bengkok-bengkok? Belum tahu dia, dollar bobrok di negeri kita nilainya turun beberapa point. Belum lagi, kalau uang itu palsu. Alamak!

ERA DIGITAL

Safety deposite box bermutasi di zaman digital. Tidak lagi di front office. Tapi di kamar. Letaknya di lemari pakaian, di bagian bawah. Sedikit lebih besar dari kotak sepatu pria.

Ada sederetan tombol angka seperti pada telepon. Kita harus masukkan password, sebanyak empat digit. Prosesnya dua kali. Sekali angka yang dimaui, kedua konfirmasi. Ceklik! Aman barang di dalam. Pikir kebanyakan tamu.

Benarkah? Nanti dulu. Kalau tamu telanjur mengunci, dan meninggalkan hotel selamanya, bagaimana nasib si Box? Harus dibongkar? Ya tidak. Mereka punya "master key" berbentuk password. Ceklik!

Tentunya, pemilik master password pihak manajemen. Ada yang diserahi. Orang kepercayaan. Tapi bisa saja ia salah gunakan jabatan. Membuka saat tamu ada di dining room. Tak ada yang tahu. Sebab tidak ada CCTV.

Loh... berburuk sangka? Ada alasannya. Suatu ketika baca: Manajemen tidak bertanggung jawab kehilangan di safety deposit box. Hadeuw... Padahal hotel bintang!

Lalu harus bagaimana? Ya waspada. Memang tak semua (petugas) hotel begitu. Tapi kalau menyimpan berlian, dan hilang?  Itulah perlunya kewaspadaan.

Kenapa tidak dipakai saja? Atau simpan di safety case sedan Anda. Mercedes Benz atau mobil mewah lain, biasanya punya perlengkapan ini.

Jika tetap hilang? Anggap saja sudah jalannya. Sesal berkepanjangan juga tak guna. Bikin kotor hati. Datangkan penyakit. Jangan-jangan, sakit itu lebih mahal dari barang yang hilang. Ceklik!
(21:06:18)

Senin, 18 Juni 2018

KAKI MELEMAH, 'BRAK', KENDARAAN DI DEPAN RINGSEK




MATAHARI baru saja terbit ketika sampai di perempatan Kertosono. Lampu merah menyala, dan kami pun berhenti. Di depan ada satu-satunya kendaraan, Daihatsu yang terlebih dahulu stop.

Nyala bangjonya --istilah Solo untuk traffic light-- menyala cukup lama. Bosanlah, bagi pejalan jauh. Kami dari arah Semarang, menuju Surabaya. Sejak pagi buta, dan belum meneguk kopi. Harapannya cepat-cepat sampai.

Aku yang duduk di samping pengemudi, terkejut. Tiba-tiba mobil kami menggelinding ke depan. Merayap, sebab tak terlalu cepat. Toh demikian, tidak ada kesempatan menarik rem tangan. Reflekku lambat, tangan hanya sampai ke tuas. Tidak sampai menariknya.

Tak ayal, kendaraan di depan terbentur. Persisnya tertabrak. Kendati benturan perlahan, namun Toyota VX yang besar itu, yang bempernya Off-roader itu, memporakporandakan pintu belakang Daihatsu.

Pengendara di depan kaget bukan kepalang. Apalagi sebelumnya, ia sempat menengok kaca spion. Melihat kendaraan yang datang dari belakang. Dan mbatin (ini bahasa Jawa, apa ya Indonesianya?), besar amat! Sejenak bergidik.

Persis benturan itu, tidak saja kaget. Segera ingin tahu nasib pantat kendaraannya. Tergesa membuka pintu. Dan 'brak!' Sepeda motor nyangkut di daun pintu. Akibatnya, ngga bisa ditutup sempurna.

Drama sejenak ini, segera aku selesaikan. Turun, dan minta maaf. Aku tanya hendak ke mana, ternyata sama: Surabaya. Aku usul, masuk bengkel di kota tujuan daripada di Kertosono. Deal, kami bertukar nomor HP dan KTP. Aman sampai di totok-magig Jl. Raya Gubeng.

INI PENYEBABNYA

Rupanya, teman aku --yang menggantikan aku mengemudi setengah jam yang lalu-- masih mengantuk. Terlebih terkena sinar mentari pagi.

Kendaraan kami bertransmisi otomatis. Ketika berhenti, sejenak apalagi lama, seharusnya posisi tuas berada di "N" (neutral).

Namun banyak yang tak hirau dengan ketentuan ini. Si teman aku, juga begitu. Ia membiarkan di posisi "D" (drive). Padahal, kami kerap berdebat masalah ini. Ia ngeyel. Aku rapopo.

Bagi yang kurang familiar dengan transmisi otomatis, dalam posisi "N", kendaraan tak kemana-mana walau digas. Saat parkir, kendaraan bisa didorong-dorong (tapi ada merek tertentu yang ogah ke posisi "N" saat engine-off). Sementara di posisi "D", lepas rem mobil jalan. Apalagi digas. Macam boom-boom car-lah!

Dan kejadian ini membuktikan. Ia hanya mengandalkan rem kaki supaya kendaraan tak bergerak maju. Dalam keadaan bosan (karena lampu hijau tidak segera menyala), kantuk yang tak tertahan, lemas karena puasa, dan kaki benar-benar kehilangan tenaga, itulah kunci masalahnya!

Ternyata banyak teman aku lainnya, yang melakukan hal serupa di pemberhentian traffic light. Mereka tidak sadar, kapan saja injakan kaki di tuas rem bisa melemah. Karena berbagai faktor. Mengantuk, melamun, sekejap tak sadar, atau bahkan dering telepon.

Usai kejadian, teman aku merasa bersalah. Membenarkan pendapatku. Ngga ngeyel lagi. Mudah-mudahan benar-benar sadar. Atau rasa terima kasihnya karena aku bisa menyelesaikan persoalan secepatnya. Sementara dia hanya tercenung di balik kemudi. Kasih tangan ke korban setelah semuanya selesai.

(20:06:18)
* Kejadian empat Ramadhan lampau.

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10211263365689380&id=1516544459

Sabtu, 16 Juni 2018

PUNCAK PENENTU CINTA




KAMI berpacaran di tempat ini. Abad yang lalu. Persisnya, 1972. Naik Suzuki A-4, yang keren pada zamannya. Masih gres. Nomor pun, masih sementara. Plat putih bertuliskan merah.

Lokasinya, di salah satu puncak, di punggung gunung Argopuro. Di seputar belantara kebun kopi. Di ketinggian 700-an, di atas permukaan laut. Di kedinginan yang menyejukkan. Di posisi 200-an kilometer, dari rumah kami di Surabaya.

Di antara cumbu berkasih, kami banyak buat foto. Di dangau yang menghadap lembah luas. Di kandang sapi perah. Di semak tumbuhan kopi. Di depan hasil panenan buah. Semuanya serba di alam pedesaan. Asyik seolah pasangan Rommy dan July.

Bedanya, tak satupun kami foto berdua. Pamali... kata pasanganku yang berdarah Sunda-Jawa. Yo rapopo batinku, aku lilo kok! Toh aku berdarah Jawa, nrimo wae.

Setahun kemudian, 1973. Masih abad 20. Aku beranikan melamarnya. Heboh. Kakak-kakakku berguncing. Keluarga pacarku apalagi. Papaku hanya tanya pendek: mantap? Aku mengangguk. Masalahnya: To Young to be Marry. Tapi aku punya komitmen!

Dan aku pilih, menikah bertepatan pada hari kelahirannya. 14 Juni. Dengan perhelatan sederhana. Waktu papa mau bikin resepsi, aku minta uangnya saja. Lumayan bisa untuk bekal bangun rumah.

Tapi mama tetap ingin resepsi. Dan digelar. Di rumah kami, Jl. Raya Ketabang no. 31. Tidak sampai menutup jalan, walau tamunya banyak. Teman papa, teman kami. Undangan, cetakan biasa. Malah ke teman-teman, tulisan tangan.

Alhamdulillah, 16 Juni setahun kemudian, anakku lahir. Laki, kuberi nama Arya Suryawan. Panggilannya Rio. Kata papa, nama Arya kok persis dengan leluhurku. Yang di kaki Argopuro. Yang berasal dari seberang. Kota bandar Parindu. Naik ke gunungnya. Lukguluk.

Alhamdulillah lagi, setahun kemudian, lahirlah Yusthitani Maharani. Keren ya namanya. Sekeren kelahirannya --Sabtu Pahing. Orang Jawa paham artinya.

Dan tadi pagi seusai subuh, aku berucap syukur kepada Rabb-ku. Alhamdulillah, benih cinta dulu tak terasa 45 tahun sudah kami lalui. Tepat hari ini.

Saat Maharani, suami dan puteranya ada di sini, sejak kemarin dulu. Nanti abangnya, datang bersama istri dan putrinya, 17 Juni. Setelah merayakan riyaya, dan ulang tahun, di kampung halamannya sekarang, Pekanbaru.

Duh... Nikmat apa yang kudustakan ya Rabb. Sungguh pemberian-Mu tiada tara. Alhamdulillah aku bisikkan. Berulang kali. Dalam doa maupun hati. Aku bangga melihat anak, menantu, dan cucuku. In sya Allah lebaran kedua, bersua anak, menantu, dan cucu satunya.

Dari tempat yang aku datangi tahun lalu --kali ini boleh foto berduaan karena sudah menikah, tidak pamali lagi-- aku masih merasakan atmosfer cinta.

Hawa sejuknya, tebal-tipis kabutnya, hembusan angin spoi dingin, juga ujung cemara yang menggapai tinggi.

Puncak Rembangan. Tempat cinta kami bersemi.

(14:06:18)

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10211231491492545&id=1516544459

Rabu, 13 Juni 2018

JAKARTA-SURABAYA HANYA SEBELAS JAM!



JAKARTA-SURABAYA HANYA SEBELAS JAM!

SELASA petang aku mendapatkan Big Surprise. Anak, menantu, dan cucu datang membezoek. Mereka mudik dari Depok, Jawa Barat.

Ngetol! Padahal sudah aku wanti-wanti, pakai transportasi konvensional saja. Alhamdulillah, lancar-car! Kata Rani, anakku.

https://novelyuleng.blogspot.com/2018/06/tol-lebaran-rame-rame-ingin-mencoba.html

Hanya padat saat keluar Jakarta. Merayap ke Cikampek. Juga beberapa tempat, utama dekat rest area. Lainnya lancar. Bremix juga. Sampai Semarang enam jam.

"Kami pilih bermalam, sengaja cari hotel dekat-dekat pintu tol. Agar esok ngga ribet. Isi penuh BBM, ngetol lagi...," ujar Rani seru.

Semarang-Salatiga lancar, kadang padat. Terutama saat mengarah Yogyakarta. Tapi waktu pisah ke arah Jawa Timur, mulai lebih lengang.

Agak merambat saat keluar Nganjuk karena tol belum siap. Lewat jalan propinsi yang bopeng-bopeng tak mulus. Dan berseliweran sepeda motor.

Tapi ketika masuk tol di gate Kertosono, no any problem. Lancar banget. Malah bisa ngebut. Total perjalanan dari Semarang sampai rumah di pusat kota, hanya lima jam!

Sebenarnya mereka santai. Kadang 80 km per jam sesuai speed limit. Bisa nyopet batas kecepatan, ke 100 km. Malah 120 km! Duh... nyolongnya kebanyakan.

Soal pengamanan, sangat bagus. Terlihat banyak polisi dengan motor trail. Siaga dekat jembatan, seputar rest area, lokasi rawan, atau mereka mobile berpatroli. Membuat pemudik merasa terlindungi.

Memang SPBU terbatas, namun di beberapa rest area tersedia kios Pertamax. Menyediakan paket kemasan. Atau disuplai gunakan truk tangki BBM. Suasana kayak festival, dengan bendera umbul-umbul. Meriah.

Arah Salatiga, ada ruas tol belum siap. Harusnya melalui jembatan. Tiangnya siap, bentangnya belum terpasang. Padahal kedua sisi jalan sudah mulus. Bentang itu cukup panjang. Mungkin empat lima km.

Nah..., antisipasinya, dibuat jalan darurat turun sungai dan naik lagi. Cukup curam, dengan sudut sekitar 30°.

Tempo hari ada video viral sebuah city car kerepotan naik. Megap-megap di tengah tanjakan. Sampai ditolong petugas. Dorong ganjel silih berganti.

Mantuku sempat lihat videonya. Mobilnya persis yang ia pakai. Ayla dari Daihatsu. Miris juga. Jadi enggak jadi enggak, pikir mereka. Tapi waktu ingat Daihatsu spesialis jago di mobil-mobil kecil, no way, tetap pergi. Depend the driver... dan Aldo yakin bisa.

"Ya waswas juga sih. Namun persiapannya simple. Matikan AC, buka kaca jendela. Radio juga off. Ambil ancang-ancang, siap pindah gigi rendah tepat waktu. Alhamdulillah, berhasil. Senang juga disoraki para penyemangat sepanjang jalan darurat. Terutama saat tanjakan," ujar anakku.

Mereka berteriak, "Ayla... Pasti bisa! Ayla... Pasti bisa!" kepada setiap pengemudi Ayla yang lewat. Rupanya, sebelumnya, banyak pengemudi Ayla ragu melihat tanjakan itu. Kecut mengingat Ayla yang viral gelagepan...

Dari semua kisahnya, aku menilai pemerintah tampak serius tangani mudik kali ini. Termasuk di jalan tol arah timur, yang tahun ini sudah memanjang sampai Surabaya.

Semoga pengamanan di jalan bawah juga tak kalah. Agar jumlah kecelakaan berkurang. Korban --terutama pesepeda-motor-- tak sebanyak tahun lalu. Pemudik bahagia, aku ikut bahagia. Subhanallah.

Kita sambut suasana nyaman ini. Semoga lebaran kali ini membahagiakan banyak orang. Langkah pemerintah patut diapresiasi.

Khusus bagiku, kehadiran anak menantu cucuku ini membuat nyenyak tidurku. Kepada Aldo, mantuku, kubisikkan, "Papa senang kalian datang". Dan memang aku benar-benar bahagia. Terimakasih ya Allah. Alhamdulillah. (13:06:18)

Keterangan foto: "Atraksi" di Jembatan Kali Kenteng, Salatiga-Kertosono. Bikin keder mobil kecil. Matikan AC, buka jendela, siaga kapan harus ganti gigi. Untuk transmisi otomatis, sebaiknya pakai manual L2 dan siap-siap ke L1 jika mesin ngga kuat. (Video: Yusthitani Maharani)


https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10211244631421035&id=1516544459

Rabu, 06 Juni 2018

TOL LEBARAN, RAME-RAME INGIN MENCOBA?


SEPANJANG mata memandang, hamparan jalan beton masif yang kerap membuat bosan. "Untung" tak semata rata sehingga mobil sedikit terguncang. Paling tidak, tak membuat ngantuk dan tetap waspada.



YANG baru Lebaran 2018?
Apalagi kalau bukan tol panjang Jakarta-Surabaya. Bahkan sampai Pasuruan arah Probolinggo. Atau Pandaan arah Malang.

Yang konon tarifnya setengah juta. Dengan imingan nyaman berkendara tanpa hambatan. Maunya.

Sah-sah saja kalau kemudian banyak orang menyiapkan diri. Termasuk anakku yang hendak mudik Depok-Surabaya, bertiga anaknya. Yang aku larang. Kuanjurkan konvensional saja --pesawat atau kereta api.

Bukankah tol bebas hambatan? Benar! Dan itu pikiran banyak orang. Apalagi sudah tembus sampai Kota Pahlawan, tentu kasus Brebes Exit tak lagi terulang! In sya Allah.

Aku bayangkan, malah, jumlah yang lewat berlipat-lipat. Melebihi lebaran tahun lalu. Mereka lewat tol-tol baru. Terutama yang arah-arah timur. Panjang seolah tak berujung. Bisa menjemukan. Bisa membuat lupa.

Lupa ngaso. Ingatlah, rest areanya terbatas. Dan kecil. Lupa buka kaca untuk ganti oksigen dalam kabin mobil. Justru ini banyak orang yang ngga sadar. Lupa ngerem padahal lalu lintas sarat. Dan lupa berapa sisa tangki bahan bakar!

Padahal nyaris tak ada SPBU. Terutama di tol-tol baru-baru itu. Setidaknya, yang aku tahu --antara Kertosono-Waru. Juga Nganjuk-Kertosono. Mungkin begitu pula Ngawi-Nganjuk.

Jadi waspadalah. Teliti semua sebaik mungkin. Kehabisan bensin di tol, sumpah tersiksa. Apalagi tol baru. Panas, ngga ada pepohonan. Menunggu suplai yang mungkin cepat, mungkin lambat.

Dan ini perjalanan pertama Anda, kan? Tentu belum hafal situasi. Di mana pintu keluar, rest area, dan in sya Allah, SPBU tadi.

Kebetulan Aku beberapa kali melaju di tol Waru- Kertosono, bablas Nganjuk lewat jalan Propinsi yang goyang-goyang (tak) sedap.

Harus keluar sebab tol Kertosono-Nganjuk belum tersambung. Nganjuk-Ngawipun baru sambung sebagian. Entah yang Ngawi-Solo.

Lebaran nanti, konon nyambung --bung. Berbayar. Sepotong-sepotong saja yang gratis. Yang belum operasional penuh. Misalnya sebagian Ngawi-Nganjuk. Juga Nganjuk-Kertosono.

Nah... di yang gratis ini, tentu belum ada SPBU. Lha yang berbayar, seingat aku juga tak tampak SPBU. Dengan lain kata, Ngawi-Waru yang berjarak 200-an km boleh jadi tanpa SPBU. Mungkin, idem dito tol-tol baru lainnya.

Aman-aman saja kalau tidak macet. Makin merambat makin menyedot bahan bakar. Apalagi berhenti --yang tentu mesin jalan terus kan? Lama-lama bensinnya habis. Mesin pun berdiam diri. Greg!

Katanya, sih. Ada SPBU wira-wiri. Ke sana ke mari untuk layani yang kehabisan bensin. Mudah-mudahan armadanya mencukupi, mengimbangi yang kehabisan.

Tapi ada baiknya, waspada. Keluarlah dari tol sebelum tangki benar-benar kosong. Nanti masuk lagi. Repot? Yang penting selamat.

Dan ini tips meninggalkan Surabaya balik Jakarta. Tak banyak SPBU arah Bundaran Waru --ujung tol yang ke arah mana-mana itu.

Kalau Anda dari tengah kota (Tunjungan Plaza), mampirlah di SPBU Jl. Kayoon. Kalau dari Nginden, isi di Jl. Jemursari. Kalau dari arah Rungkut, singgah di Kawasan SIER. Dan dari arah Sidoarjo, masih sempat di kawasan Pepelegi.

Selamat berlebaran, selalu waspada di jalan. Berdoalah, Allah selalu berada di dekat kita, dan mendengar.

Alhamdulillah, anak-cucuku mudik pakai jalur konvensional. No tol, biarkan lain waktu saja. (06:06:18)

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10211188801905332&id=1516544459

Sabtu, 02 Juni 2018

Sirikit Syah: Mas Yuleng Sangat Menginspirasi



JUMAT sore pekan lalu aku dan Cak Anam sambang mas Yuleng Ben Tallar di rumahnya yang asri, di Taman Potroagung.

Ditemani Mbak Nunung, kami ngobrol ngalor ngidul sampai lupa waktu.

Syukurlah Mas Yuleng kelihatan berseri-seri, dan masih lancar bercerita. Dan kabarnya memang kondisi kesehatannya terus membaik.

Yang paling istimewa, aku pulang disangoni buku novel terakhirnya ini. "Menggapai Surga". Akan aku baca selesai ujian terbuka nanti.

Mas Yuleng sangat menginspirasi. Orang sakit paling produktif yang pernah saya kenal. Mantan wartawan yang juga paling produktif nulis buku (setelah mas Amang Mawardi tentunya).

Semoga tulisan-tulisannya bermanfaat bagi para pembaca. Kami tunggu novel terbaru yang kabarnya sudah pada proses layout.

Awet sehat ya mas Yuleng.

Jumat, 18 Mei 2018

(SETELAH) DUA PEKAN MENGHILANG



AKHIRNYA... tak ada tenaga yang tersisa. Paruku yang sakit tak mampu mengisi oksigen ke darahku secara maksimal. Jauh di bawah batas aman, 95%. Lemas. Tanpa tenaga.

Senin tengah malam awal bulan ini. Istriku melarikan aku ke RS Dr Soewandhie. Padahal aku memohon, ke Prof. Isnu Pradjoko saja. Esok, waktu dia praktek. Beliau yang menemukan ada jamur di paruku, setelah cukup lama tenaga medis curiga aku kena TBC. No way, menurut istriku, kondisiku memburuk. Yach.... apa boleh buat.

Begitu sampai IRD, semua siap. Maklum aku sudah beberapa kali opname di RS milik Pemkot ini. Tabung oksigen, foto torak, serta bantuan medis lainnya. Selasa dini hari aku sudah di kamar, dan tak sadarkan diri.

Awalnya, aku akan dipindah ke ICU. Dengan pengawasan intens. Dengan pemasangan sejumlah alat bantu. Tapi istriku menolak. Ia tahu aku tidak setuju. Kakakku membenarkan tradisi keluarga. Biarkan mengalir seadanya. Baru 13 jam kemudian, aku sadar. Alhamdulillah.

Beberapa hari ke depan masih tak berdaya. Anak bungsuku datang dari Jakarta. Ikut menunggu. Juga mendoakan. Padahal anaknya jelang ujian.

Sejumlah teman eks sekolah datang pula menjenguk. Juga teman pengajian mendoakan. Termasuk ustad Kholil dan cs-nya. Juga Pak Umar, dan Gus Wachid. Hubungan ke dunia Maya terputus. Setidaknya sampai kemarin dulu. Menghilang.

Ngamar kali ini terbilang yang terparah. Juga (bakal) terpanjang. Mestinya siang ini bisa pulang. Tapi kondisi belum 100% clear. Terutama di alat bantu. Semisal tabung oksigen yang kurang. Pengukur oksigen darah juga belum ada. Wheelchair. Termasuk suster. Mungkin baru siap Senin. Paslah, dua pekan.

Padahal aku sudah ingin cepat pulang. Untuk koreksi akhir dammy novel terbaruku, "Isyarat Mimpi". Kau harus membacanya. Aku cerita tentang arwah. Tentang kehidupan di negeri Jepang. Di Paris. Di New Zealand. Di Bali. Di angan-angan seorang wanita muda dengan tiga pribadi yang beda. Sedikit horor. Dan cinta konyol.

Asyik kok... kali ini aku tak janjikan air mata. Yang telah habis di novel-novel sebelumnya --Gadis Tiyingtali, Cinta Retro, dan Menggapai Surga. Semoga aku bisa segera selesaikan koreksi, dan menerbitkan selepas lebaran nanti. Sebagai hadiah 45 tahun pernikahan kami. In sya Allah. (19:05:18)



Keterangan foto:
Saat dijenguk teman-teman sekerja, dulu. Di Surabaya Post. Yang jelang puasa mengundangku maksi bersama. Karena ngga ada jawab, mereka selidiki. Baru ketahuan, aku tanpa daya.

Wajahku sengaja aku sembunyikan. Sebelumnya, ada fotoku dalam kondisi tak enak dilihat, menyebar ke medsos. Maaf atas ketidaknyamanan ini. Menyebar tanpa sepengetahuanku... Ya ngga apa-apa, sudah telanjur.

Aku ucapkan terima kasih kepada teman-teman yang datang, tapi tidak bisa bertemu, yang ikut mendoakan, yang ikut berempati, yang ikut membantu, semuanya. Aku berhutang Budi, Allah lah yang bakal membalas. In sya Allah.

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10211069455361743&id=1516544459

Kamis, 03 Mei 2018

BERBURU PECEL TUMPANG, DAPATNYA SOTO 'DOK'




PECEL tumpang. Penganan ini terkenal di Kediri. Pecel biasa, tapi ada tambahan sambal tumpang --dari tempe yang difermentasi.

Konon enak. Aku lupa-lupa ingat rasanya, sebab terakhir makan sepuluh tahun lampau. Masih suka nggowes ketika itu, ikut lomba down hills ke luar kota, termasuk di Kediri.

Kemarin (3/5), nyari itu pecel. Maklum lagi di Kediri. Kenangan lama tak terkuak. Jadi mesti tanya si Google letak penjual pecel tumpang.

Banyak. Di mana-mana ada. Jadi yang terdekat aja didatangi. Ternyata tak ada tanda-tanda orang jual pecel. Sebuah kursi pun tak terlihat, apalagi rombongnya.

Pindah lain tempat. Idem dito. Demikian tempat-tempat lainnya. Tak tampak seorang pun penjual pecel. Terpaksa turun mobil dan tanya-tanya. Di tempat yang ada tanda jual pecel versi Google.

"Kurang pagi, Pak!," ujar tukang parkir. Padahal jam baru pukul sepuluh. Lalu di mana rombongnya? "Tuh... di emperan toko. Karena toko waktunya buka, pecelnya kukut...," ujar si parkir terkekeh...

Baru ngeh. Jadi warung pecel tumpang versi Google itu bukanlah permanen. Paling tidak, sebagian besar. Lha yang permanen itu yang sulit dicari. Maka diputuskan, makan pecelnya ditunda aja.

SOTO DOK

Telusur kuliner kemudian diarahkan ke depot Soto Podjok di Jl. Dhoho. Tempatnya mungil, di pojok jalan. Bangunan permanen, sih. Tapi benar-benar Unyil dibanding sekitarnya.

Aku datang sudah lewat jam makan siang orang kantoran. Jadi ngga terlalu ramai. Ada enam orang dari kapasitas tempat duduk 50-an orang. Lengang, tak terlalu panas.

Soto Podjok dikenal pula dengan sebutan Soto Dok. Seperti yang tertulis di satu sisi temboknya. Seperti yang terdengar 'dok' setiap saat si peracik usai menuangkan kecap.

Saat kami makan, masuk serombongan besar. Delapan orang. Maka 'dok, dak, dok' meriah pula suaranya. Sedikit bising, tapi mantaplah!

Lalu bagaimana rasanya? Cerita dulu racikannya ya. Tempatnya mangkok besar, lebih besar dari mangkok soto di Surabaya. Tapi isinya tak sebanyak itu.

Nasi ditaruh di tepiannya. Lalu atasnya ditaburi suwiran daging ayam kampung. Lalu ada kecambah muda. Daun-daunan penyedap. Baru dituangi kuah yang tidak sampai menenggelamkan kawanan nasi. Dan 'dok' setelah dikecapi.

Itu versi original. Berdasarkan pesanan, bisa ditambah telur ayam yang belum bercangkang, jeroan, suwiran empal, dan macam-macam lainnya. Tentu ongkosnya ekstra.

Dan... di depanku ada lodong, itu tempat menyimpan kerupuk. Macam kerupuk kampung warna putih, tapi yang ini kekuningan dan lebih padat. Ikan tenggiri bahannya. Cocok banget menemani makan soto dok.

Dan... 'dok'! Aku bawa pulang beberapa kerupuk. Juga keripik pisang yang crispy banget. Buah tangan dari Soto Podjok yang buka sejak 1926. Yang dikelola generasi keempat. 'Dok!', sekian kisah aku siang itu mojok. (04:05:18)

Senin, 23 April 2018

AMARELO DI PUSAT KOTA SOLO



Keterangan Foto: Jangan perhatikan foto wanitanya! Coba liat kotak kaca di belakang dia. Itu adalah lift yang menghubungkan ke setiap lantai. Terbuat dari kaca, termasuk kedua pintunya.


AMARELO. Hotel ini terletak di pusat kota Solo. Untuk mengingat namanya, agak sedikit sulit. Aku beberapa kali salah sebut. Malah sempat ngga ingat sama sekali. Tentu aku kesulitan pulang. Bagaimana bisa menulis tujuan di aplikasi Grab.

Ketika mulai mengingat nama ini, aku pikir Amarelo masih satu grup dengan Amankila, Amandari, dan Aman-Aman lainnya. Ternyata bukan. Tapi aku pikir nih hotel eksklusif juga. Bangunannya antik, interiornya etnik. Ada mural keraton Solo, tapi juga poster ngepop.

Dan suasana ruang makannya, Solo banget. Iringan lagu-lagu Oldies yang diiramakan kroncong. Entah siapa penyanyinya, tapi lagunya mengajak kita mengikuti syairnya.

Di roof top, ada tempat makan berpayung langit. Menu steak dan lagsana, termasuk spaghetti. Ada pula spa --tentunya dengan ramuan Jawa.

Aku dua malam tinggal di sini dan sempat mau hijrah ke Hotel Alila --yang tiga bulan lampau aku kunjungi. Mengapa tidak jadi? Karena Amarelo dekat mana-mana.  Dekat Masjid Agung, Pasar Barang Bekas Triwindu, restoran 24 jam, angkringan, stasiun Solo Balapan, dan gudeg Adem Ayem kesukaanku.

Oya, tinggal menyeberang sampailah di gerai batik Danar Hadi. Tapi bagi ibu-ibu tentu ada yang lebih menarik. Tak jauh dari Amarelo terletak Pasar Klewer. Pusat batik dengan harga merakyat. Pilihannya macam-macam yang konon kalau pandai menawar ya murah banget.

Amarelo memang tak bisa dibandingkan dengan Alila --beda kelas! Tapi cukup recommended, terutama soal tarif. Untuk yang Rp 300K luas kamarnya lumayan, tidak sesempit hotel budget. Yang 450K malah terbilang jembar.

Untuk jalan-jalan, di depan hotel mangkal sejumlah becak. Tapi kalau Anda kuat mancal sendiri, hotel menyediakan sepeda yang bisa disewa, 15K per jam. Sayangnya, aku belum melihat sepeda listrik yang disewakan.

Solo memang beda ama Oslo. Tapi kota ini tetaplah menawan. Buktinya, dalam tahun ini aku dua kali kemari. Kangen suasana, juga rindu kulinernya.  (23:04:18)





Mural di selasar hotel.

Jumat, 20 April 2018

DASAR KOPLAK!


Keterangan Foto: Saat berkereta dari Solo ke Surabaya, aku cerita ke istriku, kisah yang pernah aku dengar dari papa. Entah itu kisah sejati atau bukan, aku tak sempat bertanya.


ORANG tua itu menolong gadis manis menempatkan koper pakaian di tempat penyimpanan barang. Belum sepenuhnya koper terangkat, seorang pemuda yang duduk di depannya cepat-cepat mengambil alih.

Rupanya si pemuda ada maunya. Sebab setelah koper tersimpan, ia cepat-cepat mempersilakan wanita muda itu duduk di sampingnya --padahal sesuai dengan nomor kursi, disamping Pak Tua.

Tentu Si Gadis menolak. Demikian pula Pak Tua yang diminta pindah posisi dengan Si Pemuda. Segala rayuan ditebar, sampai akhirnya muncul ucapan yang menyengat: Kalau bukan aku, mana kuat Pak Tua mengangkat kopermu!

Pak tua tersinggung. Ya tentulah. Dirinya pernah muda, tapi tak pernah kurang ajar. Apalagi dengan orang tua. Tak kenal lagi... Tapi itulah generasi sekarang.

Satu jam kemudian, si gadis kegerahan. Kipas-kipas. Maklum, keretanya tak pakai AC. Kipas angin tak mampu memberi manfaat. Pak Tua bertanya, panas ya? Nadanya kencang, sampai Si Pemuda yang tidur terbangun.

Pak Tua berdiri. Ia menarik tuas. Namun tak kuat. Berusaha lagi, tak bisa. Si Pemuda berdiri dan menepis tangan Pak Tua. "Sana Pak... Serahkan saya," sambil memainkan matanya ke Si Gadis.

Sekali sentak, tuas tertarik. Si Pemuda bangga sambil memandang Si Gadis. Sekaligus memandang sinis ke Pak Tua.

"Kena kau..." pikir Pak Tua sambil tertawa di dalam hati. Kereta pun berhenti.

Tak lama kemudian sejumlah petugas keamanan datang tergesa. "Siapa yang menarik ini," ujar yang paling gagah dan tampak galak.

Si Pemuda yang belum sadar mengangkat tangan. "Belum tahu kau siapa aku," gumamnya di dalam hati.

"Kenapa?" sergah Si Galak. "Mau buka jendela," ujar Si Pemuda tak kalah garang. "Dasar koplak! Ayo ikut," ujar petugas yang langsung menyeret turun pemuda tadi.

Si Gadis yang tampak bingung bertanya ke Pak Tua. "Ada apa sebenarnya, Pak?" Sambil terkekeh Pak Tua mengatakan, lha Rem Bahaya koq dia tarik, ya berhenti nih kereta...

Moral cerita, selalu pakai otak, jangan hanya andalkan otot. (20:04:18)


Sebelum berangkat ke
Surabaya, ngopi dulu
sambil menunggu kereta
datang dari Jakarta

ESSAI: SOLO BALAPAN


Keterangan Foto: Solo terkenal murah. Termasuk kulinernya. Segelas kopi Robusta pahit, cuma Rp 7.000,- Padahal di area dalam stasiun ---yang biasanya serba mahal.



Di tepi jalan aku sarapan
Dekat stasiun Solo Balapan
Nasi gudeg gulai ayam
Pelengkap kenangan di negeri kraton

Jumat pagi yang sepi...
Ku pun duduk di tepi peron
Tentu tiada hari tanpa kopi
Sambil menunggu spur datang
Nikmat yang sungguh dinikmati

Segelas kopi Robusta
Rasa loko
Hanya tujuh ribu
Monggo nyruput,
Den Bagus...

Solo, 20 April 2018

Senin, 16 April 2018

KETIKA SYAITAN NGGA TERIMA


Keterangan Foto: Selalu ingat Allah, kau akan selamat. Ketika lengah, syaitan mengambil peran. Tak peduli kau hendak ke masjid...


KEMARIN temanku bertanya, "Mengapa selingkuhan koq lebih asyik dibanding dengan istri sendiri ya?" Suatu pertanyaan yang tak perlu dijawab sebab aku yakin dia asal ngomong...

Tapi kemudian akupun bertanya di dalam hati, "Iya... mengapa ya? Benarkah demikian? Jangan-jangan hanya alasan pembenar..."

Mari kita telaah. Selingkuh itu hubungan terlarang. Ngga boleh oleh Tuhan. Tapi syaitan suka menjerumuskan manusia. Itu sudah janjinya sejak dahulu.

Maka syaitan ikut berperan. Entah itu selaku pembisik, atau ikutan merangsang syahwat. Membuat manusia terkesima. Walau istrinya jauh lebih okay dari selingkuhnya.

Syaitan akan tepuk tangan jika misi berhasil. Lalu manusia berkilah, "Itu kan bujukan syaitan..."

Tentu si syaitan ngga terima. "Lho... kamu yang lakukan, kamu yang nikmati, koq aku yang disalahkan? Tugasku hanya menjerumuskanmu. Dosamu ya kamu yang tanggung... Fair kan?"

Namanya juga syaitan... Makanya jangan selingkuh, Jal! (16:04:18)


Siraman Rohani:

• MAKSIAT YANG DIAMPUNI

Ingin menzinahi wanita muda tanpa mengawini? Boleh-boleh saja asal itu terbatas keinginan. Bahkan membayangkan melakukan hubungan intim, sah-sah saja. Asal ya itu tadi, terbatas membayangkan.

Berdosakah? Ketika hal ini ditanyakan kepada Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, beliau menjawab, sebenarnya kalau hanya punya pikiran untuk bermaksiat, hal ini tidak dianggap sebagai suatu perbuatan dosa.

Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allah memaafkan umatku jika hanya terlintas dalam dirinya, selama tidak diamalkan atau tidak dibicarakan. (HR. Abu Daud)

Ketika seseorang bertekad bermaksiat, namun ia berhasil menahannya semata-mata karena takut kepada Allah, maka yang seperti itu dicatat sebagai satu kebaikan yang sempurna.

Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah mencatatnya sebagai kebaikan yang sempurna. Yang demikian itu disebut, ia telah meninggalkan maksiat karena Allah.

Sebaiknya seseorang yang ingin bermaksiat, sesegera  memalingkan diri dari pikiran demikian. Sebab kalau dibiarkan, bisa berkembang dan semakin parah, sehingga menjadi tekad  yang kuat yang akhirnya berujung pada amalan maksiat.

Kalau sudah demikian, yang bisa selamat hanyalah orang-orang yang memang diselamatkan oleh Allah.

Allahumma inna nas-aluka ‘ilman naafi’a. Ya Allah, kami memohon pada-Mu ilmu yang bermanfaat. (*)

Sabtu, 14 April 2018

ROCK BALANCING

I have a hobby of collecting 'krikil' - a small stone. Every walk, and find a beautiful stone, I picked up. I collect in a glass cabinet, together  with a collection of clamshells, small glasses, souvenirs from abroad, and "Keris" - the sharp weapons of warriors of the past.

I never knew what I was going to do with those little stones. Except look at it, and I like the shape and color. It reminds me of my Lord, the Creator.

Until one day, I fooled the stone by arranging it. Two stacks ... then three ... and managed to compose five! I like it because it's not an easy job.

If the stones in the rivers --know as rock balancing-- are easy to do, my mine is hard. This is because the stone surface is quite slippery. and there is no water to help attach it.

Finally ... I can use my rocks for the game. One that requires patience. And I like it...

Jumat, 13 April 2018

RM SRI DEWI, MAKAN MURAH DI TEMPAT WISATA


Keterangan Foto: Biasa, sambil menunggu hidangan komplit, selfie dulu. Usia kan tidak terhalang tren...


DI KALANGAN temanku, aku dikenal serba tahu tempat makan enak dan murmer. Mungkin karena kebiasaanku untuk mampir di rumah makan yang sepi  dengan maksud agar tak lama menunggu.

Dan ternyata sepi tidak identik masakannya ngga enak. Justru karena sepi itu pula yang mungkin menyebabkan mereka belum berani pasang harga mahal. Tapi maklumi juga lho, ada resto yang sepi karena harga-harganya kelewat mahal. Jadi feeling Anda harus jalan.

Nah medio pekan ini, kami sedang berada di Batu. Untuk makan malam, sengaja menuju rumah makan yang biasanya sepi, berlokasi di tengah kota. Namanya RM Sri Dewi, terletak di Jl. Imam Bonjol Bawah (Googling aja, ada koq).

Benar, malam itu tak ada seorangpun pengunjung. Pelayan juga tak tampak batang hidungnya. Aku berteriak "assalamualaikum..." untuk memanggil mereka. Bukankah itu adab masuk ke suatu tempat yang tak ada tanda-tanda penghuninya.

Ternyata mereka bercengkerama di dapur. Mungkin jenuh juga karena tak ada tamu datang kendati masih berada pada jam praktek. Mereka bergegas menyambut kami.

Aku memesan lele goreng crispy dan jangan asem, istriku lebih tertarik ayam penyet lalapan. Sedang sopir kami pesan telor ceplok plus jangan asem --rupanya diet mengingat badannya terbilang tambun untuk usia 25-an.

Minumnya STMJ --susu telor madu jahe. Konon ke Batu harus minum ini supaya badan hangat dan terasa lebih fit. Istriku lebih suka jeruk manis panas. Jeruknya buah segar, bukan jeruk dalam kemasan.

Sebetulnya ada menu-menu hebat lainnya (kami pernah dua kali mencobanya tiga tahun silam). Tapi malam itu kami ingin makan sederhana saja. Dan ternyata cukup nikmat dan istriku memuji sebab aku bisa meludeskan semua pesananku.

O iya, yang menambah nikmat malam itu, lagu-lagu pengiring makan malam kami musik Oldies, termasuk "Andaikan" yang populer lewat suara alm Harry Noerdi.

Hingga kami selesai makan malam, tak ada tamu lainnya yang datang. Jangan-jangan, kami tamu tunggal malam itu.

Murmer juga lho, untuk pesanan itu semua, kami hanya membayar Rp 100 ribu. Masih dapat uang kembali. Parkir gratis sebab ngga ada yang jaga.

Nah... kalau suatu saat Anda ingin mencoba, mudah koq menemukannya. Dan ngga usah khawatir kesulitan mendapatkan tempat parkir (ini kan biasanya yang menyebalkan). Halamannya cukup luas. Bisa menampung tiga empat bus, dan beberapa buah sedan.

Rupanya, RM Sri Dewi jadi langganan travel-travel yang membawa wisatawan plesir seharian ke kota Batu. Dhus untuk makan siang, hindari saat rombongan travel datang. Kecuali Anda sabar menunggu pesanan terhidang. (13:04:18)

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10210839924863624&id=1516544459




Sabtu, 07 April 2018

TUR AKHIR MUSIM DURIAN


Keterangan Foto: Quality time sesama kakek-kakek. Usia boleh menua, semangat masih seperti yang lalu...



DEMI seporsi buntut, rela mengejar hingga ke Mojokerto. Tadinya kita mau makan di RM Melati, Krian. Sup buntutnya yummy banget. Sayang menurut si pemilik, sup baru siap pukul 13.00 atau tiga jam lagi. Sementara menu lainnya kita kurang familiar, takut ngga cocok. Apalagi dari Surabaya sudah ngebayangin sup buntut.

Apa boleh buat, melaju beberapa kilo lagi ke RM Anda di Mojokerto. Alhamdulillah, sup panas tersaji dengan dagingnya yang 'prul'. Tak sia-sia jauh-jauh ke sana, sebelum hunting durian ke Trawas.

Dan di Trawas setelah lewat jalan pintas, tersaji durian berdaging tebal. Manisnya bukan main. Matangnya pas. Besarnya juga pas --tiga buah cukup untuk berempat. Kami puas-puaskan karena ini The Last Durian Tour menjelang berakhirnya musim durian.

O ya... menemani makan durian, terhidang kopi hitam tanpa gula, jenis Arabika dari Papua. Nikmat apa lagi yang kau dustakan, Bung! Edisi silaturahim empat kakek jalan-jalan di jam kerja, maklum kami semua pensiunan. (07:04:18)


Keterangan Foto: Dangau ini milik Bu Dum, terletak di tepi hutan Pinus. Kita bisa duduk berlama-lama menikmati kesejukan alam. Durian tersaji, tapi alamlah yang kita kagumi. Subhanallah...


Kamis, 05 April 2018

PIZZA DI KEDAI KOPI


AKU bukan penggemar pizza. Tapi kali ini, benar-benar bisa menikmati dan merasakan enaknya. Bahkan aku acungkan jempol. Ternyata anak dan cucuku sepakat bilang pizza ini enak. Bahkan anakku yang milenia memuji pizza lokal ini lebih enak daripada pizza favoritnya. OHpizza... enak sambil nyruput kopi pahit. (*)

Jumat, 30 Maret 2018

INMEMORIAM: HANNY PESEPEDA PENYENDIRI



Keterangan Foto: Hanny menulis, "Sebuah novel dari penulis hebat..."


AKU memanggilnya Hanny... kadang lebih singkat lagi, Han. Kita sama-sama sekolah di kompleks Wijaya Kusuma. Dia di SMAN-2, aku di SMAN-5.

Pada tahun 1971, siapa yang tak kenal satu sama lain walau beda sekolah. Terutama mereka yang bekend di lingkungannya. Kebetulan kami sama-sama di Lord Music Company. Bukan nama perusahaan, tapi nama gank anak muda ketika itu.

Dalam perjalanan hidup kemudian, kita tak saling bertemu. Justru di usia senja, silaturahim kembali terjalin. Kami punya hobi sama, yaitu bersepeda. Aku sepeda gunung dan paling nge-fans down hills, sedang Hanny Long distance touring --bersepeda santai jarak jauh.

Bedanya, aku sudah pensiun dari hobi itu tujuh tahun lampau --karena sadar tulang-tulang tak kuat lagi menahan getaran bersepeda down hills-- sedang Hanny terus mengayuh. Malah aku dengar dia pergi dari rumahnya di Sidoarjo, menuju Pulau Karimunjawa, nggowes. Bukan main!

Kalau tahun-tahun terakhir aku beralih menulis novel, Hanny yang masih mancal tipis-tipis --ke Trowulan, Welirang-- sendirian, ternyata juga penggemar novel. Tentu saja termasuk karyaku.

Dia menikmati, dan ini mengingatkanku ke zaman sekolah dulu, pernah sembunyi-sembunyi membaca novel di bangku sekolah. Di saat pelajaran masih berlangsung.

Hari ini (30/3-18) aku mendengar kabar duka. Hannytiasto Swasono Adhi meninggal dunia setelah berjuang keras melawan stroke yang dideritanya. Selamat jalan kawan, semoga amal ibadahmu diterima Allah, demikian pula dosa-dosamu diampuni. Amin ya rabbal alamin. (30:03:18)

Kamis, 29 Maret 2018

MENIKAH DI USIA SENJA

CERITA AKHIR PEKAN


NEWSROOM kali ini lebih padat dari biasanya. Tampak wajah-wajah muda duduk mengelilingi meja oval. Biasanya hanya kursi di deret terdepan yang terisi. Sekarang deret kedua dan ketiga pun tak ada yang kosong. Malah ada tambahan kursi di sisi belakang.

 Sabtu siang yang biasanya bebas dari rapat redaksi, diisi acara khusus, in house training. Peserta biasanya wartawan junior, tapi tak jarang wartawan senior juga hadir. Kadang mereka sharing pengalaman, namun tak jarang juga mengambil pelajaran dari pengalaman juniornya. Bagi wartawan, tiada hari tanpa menambah ilmu. Terlebih di zaman yang serba instan, kerap wartawan junior lebih cepat mendapatkan informasi dibandingkan senior mereka.

Selain wartawan, ada bagian lain yang berminat mengikuti pelatihan. Ada dari bidang usaha, pemasaran, bahkan distribusi. In house training punya daya tarik tersendiri karena selalu ada hal-hal baru yang diungkap. Pemberi presentasi pun dari berbagai kalangan. Kadang dari internal, tidak jarang mengundang pembicara luar. Termasuk Mario Teguh, Hermawan Kertajaya, bahkan Peter Ong dari negeri tetangga.

Topik bahasan dalam pertemuan kali ini, “Koran Kuning Libas Koran Serius.” Yang membawakan Singgih Soeharman, wartawan empat zaman –Belanda/Jepang, Kemerdekaan, Angkatan ’66, dan Reformasi. Kendati usianya sudah 85 tahun, semangat untuk memajukan media masih sangat besar. Dengan suaranya yang bariton ia kerap lantang bicara, mengalahkan anak-anak muda yang biasanya merasa lebih pintar karena menguasai masalah di lapangan.

Singgih ikut membesarkan koran ini sejak didirikan pada 1950, dan pensiun ketika usianya mencapai 60 tahun. Namun ia tidak berhenti masuk kantor, dan mengerjakan apa saja yang menurut dirinya perlu dilakukan. Pemimpin Redaksi memberi kebebasan karena tahu apa yang dilakukan Singgih sangat bermanfaat bagi kesehatan orang tua itu. Kalau tinggal di rumah, Singgih justru sakit-sakitan.

Karena dedikasi ini pula, perusahaan merasa tidak rugi memberikan uang pensiun beberapa ratus ribu lebih banyak dibandingkan peraturan yang berlaku. Sementara bagi Singgih, kesempatan tetap berada di lingkungan kantor sangatlah berarti. Seperti siang itu, dengan semangat ia mengupas bagaimana gencarnya koran kuning menguasai eceran.

“Mereka memasang judul-judul bohong hanya untuk menarik perhatian calon pembaca,” ujarnya. “Malah si pengasong dengan berani menambahkan informasi yang bombastis... padahal sama sekali tidak ada dalam tubuh berita,” tambahnya.

“Bayangkan! Judulnya saja, ‘Pembantu Rektor Diperkosa’. Ini kan berarti seorang pejabat di universitas menjadi korban pemerkosaan. Sebagai sebuah berita tentu punya nilai lebih. Padahal yang dimaksudkan di dalam berita itu, pembantu rumah tangga seorang rektor yang terkena musibah pemerkosaan. Pada saat kejadian, pembantu itu sudah tidak bekerja di rumah sang rektor. Tidak ada lagi sangkut pautnya dengan rumah tangga rektor.”

Peserta in house training tertawa mendengarnya. Kasus seperti ini menjadi sesuatu yang aneh karena tempat mereka bekerja terbilang koran serius yang ber-basic pada pelanggan. Hanya sepuluh persen dari koran yang dicetak yang dilempar ke pasar jalanan. Itupun sekadar untuk memberi kesempatan kepada pembeli eceran, sekaligus membangun image di masyarakat bahwa koran ini masih ada.

“Mengapa kita tidak coba judul-judul ‘lher’ untuk meningkatkan pasar eceran?” tanya Karmin dari bidang usaha, saat kesempatan tanya-jawab dibuka. Lher yang dimaksud adalah judul bombastis yang berbau selera rendah. “Sayang kan, kita punya kesempatan menambah pasar eceran.”

“Kasihan pelanggan kita,” sahut Rianti, wartawan muda, dengan wajah tidak senang. “Mereka sangat sensitif dengan hal-hal demikian.”

Singgih hanya tersenyum. Ia biarkan mereka adu argumentasi. Rupanya Karmin tak mau kalah. Kalau ada peluang, mengapa tidak diambil. Dia sehari-hari bergulat di lapangan, memotifasi para pengecer menjajakan koran di lampu setopan.

Kendala yang dihadapi tidak sekadar Satpol PP yang mengusiri para penjaja, juga koran lain yang lebih laris. Padahal koran itu tidak terkenal, dan tidak jelas asal muasal penerbitannya. Mereka hanya menjual gambar dan judul-judul bombastis.

“Yang beli ‘Pembantu Rektor Diperkosa’ justru bapak-bapak bermobil. Bukan naik Katana atau DX, namun Alphart atau Camry. Apakah mereka bukan kaum intelektual seperti pembaca koran kita?”

Karmin berada di atas angin setelah Rianti kesulitan menepis jawabannya. Selama ini Rianti hanya mendapat informasi dari atasannya. Bahwa pembaca umumnya kaum intelektual, mapan, dan sangat sensitif akan hal-hal yang vulgar. Oleh sebab itu berita yang dihasilkan hendaknya menjauhi ketidaksukaan pelanggan. Singgihlah yang kemudian tampil sebagai penengah.

“Koran yang kita hasilkan memang untuk pelanggan. Pelanggan kita kalangan  intelektual. Namun bukan berarti kalangan itu anti judul-judul ‘lher’. Mereka juga manusia. Setinggi-tinggi status sosial mereka, ada secercah sisi nakal, ingin tahu, bahkan yang jorok sekalipun. Namun mereka tidak mau terang-terangan dalam mendapatkannya.”

“Nah... mereka beli eceran hanya memenuhi kebutuhan sesaatnya kan?” ujar Rianti.
Singgih tersenyum dan mengangguk. Giliran Rianti berada di atas angin. Sebaliknya, wajah Karmin tampak menggerutu. Namun buru-buru ia menyela, “Tetap ada peluang untuk merebut eceran...”

“Semangat kamu patut diacungi jempol, Karmin!” ujar Singgih. “Namun apa yang harus kita lakukan, semuanya demi kepentingan yang lebih besar. Pelanggan! Jangan sampai pelanggan jadi risi, dan berakibat mereka berhenti berlangganan.”

“Termasuk membuat judul yang berbau janda? ‘Seorang Janda Ditemukan Tewas’?” balas Karmin dengan nada nyinyir. Pertanyaan itu muncul karena selama ini pihak redaksi hanya menolerir kalimat serupa untuk pasar eceran. Konon... kata janda selalu menarik hasrat lelaki untuk membacanya. Entah  sampai dimana kebenarannya. Singgih tertawa...

“Janda tidak hanya menarik perhatian pembaca lelaki. Janda juga menarik umumnya kaum pria,” ujar seorang wanita dari arah belakang. Sebagian tertawa, sebagian menoleh ke arah belakang.

Di sana tampak Marcela duduk tenang sambil memutar-mutar pensil tidak jauh dari wajahnya. Senyumnya cukup memberi pengertian akan ada kata-kata nakal lainnya yang bakal meluncur dari mulutnya. Ternyata benar. Setelah menggeser letak duduknya, Marcela mulai menyusun kata demi kata.

“Tadi Pak Singgih katakan, koran kuning lebih suka mengungkap skandal. Berbeda dengan koran serius. Jadi... kita disini tabu membicarakan skandal yang tidak jelas sumbernya. Terlebih menyangkut diri seorang janda...”

Hadirin kembali tertawa. Mereka yakin, buntutnya pasti mengena pada seseorang. Mereka hafal akan kelakuan Marcela, Si Pembuat Onar. Masalahnya, siapa kali ini yang menjadi “sasaran tembak”?

“Tentu tak baik kalau kita bergosip. Betul kan? Apalagi menyangkut seorang janda. Nah... kalau boleh tahu, mengapa Pak Singgih mengawini janda pada saat usia sudah tidak muda lagi? Kami bertanya karena belum pernah mengalami masa seperti itu, sekaligus menjaga janganlah ada gosip di koran serius...”

Hadirin kembali tertawa. Bahkan Pak Singgih ikut tertawa. Ia sempat menggelengkan kepala. Sungguh cerdik Marcela menyusun kalimatnya. Mau tidak mau ia harus menjawab. Tidak bisa ia berkilah dengan mengatakan “tak bersedia menjawab karena keluar konteks”. Justru kata-kata akhir Marcela membuatnya tidak berkutik... ”Jangan ada gosip di koran serius.”

“Baiklah,” ujar Singgih dengan nada seolah pasrah. Kawan-kawan senior tertawa paling keras. Sebenarnya mereka juga ingin mengetahui alasan Singgih, cuma faktor pertemananlah yang membuat diri mereka enggan bertanya. Jadi kali ini mereka berhutang budi pada Marcela, si anak kemarin sore.

 “Kalian tahu... saya menduda sejak usia 73. Berarti hampir duabelas tahun saya hidup sendiri. Tentu sudah teruji di segala bidang. Soal makanan, bersih-bersih rumah, bayar ini-itu, bahkan kehidupan pribadi. No problem dengan semua itu. Kalau ada masalah, bisa-bisa  dalam tahun ketiga saya sudah dhut. Sudah mati!” ujar pria berambut hitam itu dalam kesunyian hadirin yang menyimaknya.
 “Sampai suatu ketika...”

“Bertemu dengan ibu baru?” sela Marcela.
Ruangan kembali gemuruh. Yang muda-muda bersuit. Yang tua terpingkal. Singgih tak kalah seru... ia bahkan terbahak. Dalam dunia jurnalis, tidak ada strata usia. Semuanya sama. Terlebih dalam urusan gojlok-menggojlok. Asal tidak kurang ajar, semuanya sah-sah saja. Dan itulah yang terjadi sore itu. Marcela benar-benar menjadi algojo.

Setelah tawa mereda, Singgih melanjutkan kisahnya. “Begini... sampai suatu ketika saya memikirkan nasib orang-orang tua yang tidak sebaik saya. Saya hidup berkecukupan, kalau sakit ada yang menanggung, dapat pensiun, dan punya kalian! Di luar sana... banyak yang tidak punya apa-apa. Kalau tak punya uang, berusaha menahan lapar. Ketika sakit hanyalah pasrah dalam doa. Mana berani mereka berobat, meski hanya datang ke Puskesmas?”

“Berhari-hari saya memikirkan hal ini. Saya harus bisa berbuat sesuatu untuk mereka. Sesuatu yang terbaik dan bermanfaat. Saya catat semua ide yang saya peroleh, dan kaji satu persatu pada saatnya nanti. Sampai akhirnya saya menemukan jawabannya. Saya harus bisa memberikan sesuatu kepada seseorang, yang orang itu masih mempunyai tanggungan yang lain. Orang itu haruslah yang mempunyai semangat sebab bantuan saya terbatas mengimbangi semangatnya. Bukan menjadi satu-satunya yang bisa dijagakan.”

Kali ini benar-benar hening. Marcela malah dengan serius mendengarkan sambil sesekali menulis di buku catatannya. Singgih melanjutkan ceritanya dengan hati-hati agar tak ada salah ucap yang mendatangkan salah paham.

“Saya harus menemukan orangnya. Siapa pun, dia harus pekerja keras, membiayai anak-anak yang masih kecil, dan usahanya hanya menghasilkan keuntungan pas-pasan untuk hidup sederhana. Maka berangkatlah saya ke pasar dan mulai melakukan survei kecil-kecilan. Ada seorang ibu yang memenuhi kriteria itu, namun sayang gaya hidupnya sedikit boros. Saya coret. Ibu yang lain juga memenuhi beberapa syarat, sayangnya tidak punya momongan.”

Singgih berhenti bercerita, dan mengambil sapu tangan untuk mengelap dahinya. Sebenarnya tak ada keringat di sana sebab ruangan sore itu cukup dingin. Ia hanya ingin memberi kesempatan mereka yang hadir guna menyerap kisahnya. Setelah berbatuk sekali dua kali, ia meneruskan ceritanya.

“Saya akhirnya bertemu ibu. Waktu saya tanya berapa anaknya, ada tiga masih di sekolah dasar semua. Berapa penghasilannya, ternyata tak sampai Rp 25.000,- sehari. Apakah cukup? Dia hanya tersenyum sambil mengatakan, ‘kalau bukan ridha Allah tentu tidaklah cukup’. Jawaban ini sangat menggugah perasaan saya.”

“Orang seperti inilah yang saya cari. Maka saya tanyakan, apakah bersedia kalau saya jadikan istri? Ia terkejut, dan sama sekali tidak percaya. Katanya, ‘Bapak ini seorang priyayi, apakah pantas hidup berdampingan dengan seorang bakul?’ Ia pikir saya bercanda, kendati saya berusaha meyakinkannya. Kepada Ibu saya katakan, tidak usah dijawab sekarang. Minggu depan saya akan datang lagi.”

Pada saat Singgih mengambil jedah, yang hadir tampak tegang menahan nafas. Tak ada komentar nakal seperti sebelumnya. Mereka benar-benar ingin tahu. Mengapa seorang Singgih –yang sudah mewawancarai pejabat papan atas, meliput peristiwa nasional, bahkan pergi keliling dunia– bisa jatuh cinta dengan Si Mbok. Angan apa yang ada di kepalanya? Apakah pria ini masih membutuhkan teman guna memenuhi kebutuhan seksnya? Dan yang terpenting, apakah pria setua itu masih memikirkan seks?

“Singkat cerita, Ibu menerima lamaran. Perkawinan pun berlangsung dengan beberapa persyaratan, di antaranya pisah harta, dan kita tinggal di rumah masing-masing.”

“Lho!” teriak Cornie yang sedari tadi diam di sudut ruangan. Suasana yang tadinya sepi, terpecah dengan gelak tawa. “Lalu... apa arti dari perkawinan ini?”

Setelah menunggu hadirin tenang, Singgih berkata dalam tekanan suara yang penuh kehati-hatian. “Disinilah kunci dari perkawinan ini. Saya mencari istri bukan untuk kawan tidur. Bukan untuk kebutuhan seks. Bukan untuk happy-happy. Semua itu sudah lewat, sudah menjadi masa lalu saya...”

“Saya hanya ingin mewariskan pensiun saya kepada orang yang benar-benar membutuhkan. Pensiun janda... Walau nanti jumlahnya tidak seberapa, namun akan sangat berarti bagi seorang ibu dengan tiga anak... Itulah sebabnya, saya mencari janda yang benar-benar pekerja keras membesarkan anak-anaknya...”

Tak ada kata-kata lagi. Singgih menyudahi kisahnya. Mereka yang hadir meresapinya dengan haru. Seorang pria tua, punya pemikiran yang mulia. Mengangkat derajat seorang janda sebagai penerima pensiun ketika dirinya telah tiada.

Adalah Marcela yang kemudian berdiri dan menghampiri Singgih. “Hatimu sungguh mulia, Pak,” ujar Marcela sambil mencium pipi lelaki yang pantas menjadi kakeknya itu. Mereka kemudian berpelukan. Satu persatu yang hadir juga maju ke depan menjabat tangan Singgih –Pak Tua yang peduli nasib Sang Janda. (*)