Rabu, 08 Agustus 2018

SI BEMO KETIKA ITU TAKSI METROPOLITAN



Keterangan foto: Aku, kakakku Indri Karani, dan sepupuku, Kiddy, menjadi saksi peradaban abad lalu di seputaran Senayan. Kini kami (tengah) sudah pada tua, tak ada tenaga jalan kaki ke sana lagi...


ABAD lalu, Jl. Soedirman masih berdebu. Kering kerontang. Juga jalanan sekitar. Tapi justru kondisi ini yang membuat Istora --Istana Olahraga-- terlihat kinclong. Gemerlap. "Tjantik", tulis awak pers di masa itu.

Apalagi, nama Bung Karno tak lepas dari penggagas pesta olahraga Asian Games, yang dalam penyelenggaraan sebelumnya Indonesia menyabet Runner Up.

Jakarta yang konon modern itu, ya hingar di seputaran Senayan. Seingatku, hanya kompleks bangunan megah olahraga itu yang ramai dikunjungi.

Aku bangga berada di saat-saat penyelenggaraan akbar itu terjadi. Pada 24 Agustus, 1962. Muhibah dari kampung halaman di Surabaya, khusus nonton Asian Games. Bersama papa mama, juga tiga saudaraku.

Naik mobil yang masih gres, Morris Oxford. Buatan Inggris. Lancar jaya walau belum ada tol. Dan tetap bangga saat berdamping dengan taksi resmi pertama negeri impian. Buatan Jepang. Bemo.

Bener... si Bemo roda tiga itu yang menjadi taksi metropolit masa itu.  Dengan warna khasnya, apple green. Dengan tulisan TAXI di atapnya. Masih pakai kanvas di bak belakangnya. Dan berkeliaran seputar Senayan mengangkut penumpang.

Bus kotanya? Robur yang gembul pendek itu. Berjalan perlahan kayak kawanan gajah. Tapi di mata aku saat itu, Bemo (Daihatsu) dan Robur adalah bentuk-bentuk futuristik.

UJI-COBA

Semua bicara tentang hebatnya Senayan. Yang kala pembukaan Asian Games dihadiri 100.000 orang. Tentu di antara mereka, lima orang rombonganku dari Surabaya. Dan itu aku catat di notes --buku kecil yang biasa di kantong wartawan-- yang dibagi papa sebelum pergi.

"Buatlah catatan apa saja yang kau lihat dan kau suka...," perintahnya. Dasar wartawan senior, maunya tentu begitu...

Dan aku gambar Stadion Utama. Lengkap dengan garis-garis seolah bersinar. Juga para atlet yang berpakaian ketat. Penonton yang bergembira. Tak ketinggalan si Robur dan si Bemo.

Dan catatanku menyebutkan, kami --aku, saudaraku, juga sepupuku-- pulang ramai-ramai jalan kaki dari Senayan ke blok P-5, Kebayoran Baru.

Kalau sekarang, itu tuh deket-deket rumah Pak JK. Jalan kaki lho, baik saat uji coba pembukaan pada 23 Agustus 1962, maupun acara-acara lainnya.

Ngga naik taksi? Ya ngga kebagian. Konon cuma seratusan Bemo. Maunya naik becak, kalau siap antre. Dan bayar mahal. Tapi karena kami rame-rame, ya jalan kaki ngga terasa. Jalan sambil berlarian.

Bagaimana kalau itu terjadi di abad sekarang?
Oh no..., thanks. Mana tahan...

(08:08:2018)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar