Sabtu, 07 Juli 2018

MENANTI PELUKAN KASIH DI SAAT LANSIA



Keterangan foto: Nunung Bakhtiar di depan gedung Erasmus Universiteit Rotterdam. Di sela-sela padatnya waktu kuliah, ia sempatkan lari sejenak setelah acara makan siang, untuk sebuah foto.



DENGAN berat hati dia minta izin. Ikut short courses di Erasmus Universiteit Rotterdam. Di Belanda. Dengan ringan hati, aku izinkan. Mengapa?

Waktu dia, selama ini banyak tersita untukku. Berbagi dengan dinasnya yang cukup padat. Ada sela waktu sesaat, ia buru-buru pulang. Tak tega meninggalkan aku sendirian.

Pernah sehari ia harus hadir di berbagai tempat. Pagi-pagi kunjungan ke RS BDH. Di Tandes sana. Lalu ke DPD Golkar Jl. Adityawarman. Kemudian ke DPRD Pemkot Surabaya. Kantornya. Kemudian jenguk aku di RS Soewandhie.

Usaikah? Nanti dulu! Sesaat kemudian berangkat bagi takjil di daerah pemilihannya. Di Kapas Madya yang padat penduduk. Lalu ngurusin tim pembagi takjil. Untuk buka puasa.

Sebentar kemudian dia ngacir ke Gardu Inspirasi, Lembah Setyowati --ini nama di KTP. Persis di belakang hunian kami. Di sana, sudah menunggu sejumlah ustadz. Juga tim suksesnya. Acaranya, buka bersama. Waktu dia tiba, para tamu sudah selesai shalat Magrib. Sudah berbuka dengan makanan prasmanan yang tergelar di karpet.

Tinggal dia bicara sesaat. Lalu berdoa. Lalu ngobrol sana sini. Ada yang ajukan usulan. Yang kecil-kecil langsung disetujuinya. Yang besar, nanti dulu. Dipikirkan. Setelah para tamu pulang, baru dia kembali ke aku.

Nah yang gini-gini membuat aku trenyuh. Di tengah kesibukannya, masih nyempetin menengok aku. Apakah aku harus melarangnya pergi?

Tidak. Aku ridho. Ikhlas mengizinkan pergi. Mungkin orang lain mbatin: Nunung kok tega ninggalin bojonya dalam keadaan kurang sehat? (Aku baru keluar dari opname persis malam takbiran). Tapi 100% aku ridho. Mengizinkan. Ya itu tadi, selama ini ia banyak mengorbankan waktunya untukku.

Aku tak akan menghalangi kepergiannya --yang cukup penting bagi kariernya. Apalagi bidang yang ia ambil, smart city. Yang perlu --dan harus-- diterapkan di Surabaya nanti. Apalagi, Belanda memang jagonya. Aku ngga bisa jelaskan apa itu smart city. Nunggu dia kembali.

Inilah balada lansia. Suatu saat kalian juga merasakan. Hidup memang perlu berbagi. Bukan dalam keegoisan. Namun pengertian dan kasih sayang.

Aku beruntung masih kedatangan teman-teman. Hamida Prakosa dengan suaminya. Djaya yang walau lansia tapi masih kayak anak muda. Rita Rahmawati yang dulu sekantor dengan aku. Diantar suaminya yang gagah perkasa.

Dan keponakanku --yang udah seperti anak sendiri-- Eti Mulyati, datang dari Bali. Persisnya Singaraja. Di suatu desa bernama Sambangan. Dekat air terjun Aling-aling. Yang lagi sering fotonya masuk Instagram. Indah sekaligus seram. Udah beberapa kali menelan korban. Semuanya masih perjaka.

Indri Karani, kakak sulungku juga datang. Padahal ia juga baru keluar dari opname. Dr Lidwina Paramita juga mampir. Kita ngobrol sampai malam. Dia pulang membawa buah tangan, pisang dan mangga gadung. Hasil panen kebun samping rumah.

Aku sabar menanti. In sya Allah pekan depan sudah kembali. Aku menunggu pelukannya. Pelukan-pelukan yang setiap hari kami lakukan. Sambil membisikkan kata cinta. Di telinga masing-masing.

Jangan katakan ini lebay, kawan. Kalian akan merasakan indahnya cinta di kala lansia. Ketika anak-anak sudah tak di rumah lagi. Membangun koloni di tempat baru. Jauh nun di luar kota. Di luar pulau. Kalian tinggal berdua. Di rumah tempat selalu bertemu. Dan aku sekarang menunggu. Datangnya si buah hati...
(07:07:18)

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10211378034156020&id=1516544459


Tidak ada komentar:

Posting Komentar