Hasil panggangannya tak kalah dengan yang di bibir pantai, namun soal harga kadang tak sampai separonya. |
Pilih
Rasa atau Suasana?
NASIB
Jimbaran tampaknya mengikuti kisah sukses Kuta. Kampung nelayan itu sekarang
berubah wajah menjadi surga bagi penggemar seafood.
Padahal tigapuluh tahun lampau tidak ada apa-apa di pantai berbentuk teluk di
seberang utara Bandara Ngurah Rai itu. Sebenarnya Jimbaran masih satu rangkaian
dengan pantai eksotik Seminyak-Legian-Kuta. Keberadaan gerbang masuk lewat
udara itulah yang memisahkannya dengan destinasi yang sudah kondang duluan.
Jimbaran mulai dikenal
orang limabelas tahun belakangan. Awalnya hanya kedai biasa yang menyediakan
tempat duduk di tepi pantai. Karena buka hanya di malam hari, maka mereka
memasang obor dan lampu meja berbahan bakar minyak kelapa. Kita tahu, apapun
yang berbau kreasi Bali, selalu menarik perhatian para pendatang. Demikian pula
lampu-lampu dan hidangan yang disajikan. Terlebih mereka juga mendatangkan
pemusik jalanan. Lengkaplah sudah sebagai daya tarik tersendiri.
Sebenarnya, rumah makan
seafood yang terbilang istimewa
banyak tersedia di Kuta maupun Sanur. Misalnya, Mini Restaurant yang ada di
Legian. Nyaris tak pernah ada kursi kosong sepanjang malam. Mulai senja, turis
berbondong datang ke tempat ini. Mereka bisa memilih sendiri ikan-ikannya –juga
udang windu hingga lobster– dan memesan jenis masakannya. Demikian terkenalnya,
sampai-sampai tempat ini juga menjadi “meeting
point” bagi wisatawan domestik.
Namun apa yang terjadi
setelah Jimbaran dikenal orang? Ya tetap lakulah... namun tidak selaris dahulu.
Pelanggan lama tetap mencari Mini Restaurant, namun pendatang baru termakan
kebesaran nama Jimbaran. Konon ada pameo bagi penggemar makanan laut, belum ke
Bali kalau tidak mampir Jimbaran.
Bagaimana wajah
Jimbaran sekarang? Kalau Anda pernah melihatnya dua puluh tahun lampau, kini tak
bisa lagi memandang luas dan indahnya pantai itu. Tak bisa berenang dan
berjemur sambil menikmati keheningan pantai. Apalagi duduk termenung mencari
inspirasi untuk sebuah karya seni. Sebagian tepinya sudah tertutup puluhan
bangunan warung. Kalau ingin melihat pantai, hanya ada sepotong yang tersisa.
Namun ya itu tadi, Anda tak bisa lagi menikmatinya seperti puluhan tahun
lampau.
Pasar
Malam
Objek wisata ini memang
sudah berubah wujud. Jauh dari keindahan di siang hari, namun eksotik di malam
hari. Sepanjang pantainya penuh dengan kemerlip lampu, dan ratusan orang dari
berbagai negeri menikmati hidangan yang tersaji dengan bermacam sensasinya.
Musik pun dimainkan orang.
Suasana bak pasar malam
itu terjadi hanya beberapa saat setelah mentari terbenam di ufuk barat. Mereka
yang tadinya berada di Kuta, Nusa Dua, Sanur, pun tempat-tempat lainnya,
berbondong menuju Jimbaran dengan satu tujuan: Makan Malam.
Kalau dahulu kita
nyaman-nyaman saja mencari tempat parkir, sekarang –terutama pada musim
liburan– kendaraan harus merambat memasuki areal Jimbaran. Sesudah itu, masih
harus berebut tempat parkir. Atau, dapatkan tempat parkir milik warung-warung
itu, dengan syarat harus mengudap di tempat mereka.
Suasana meriah itulah
yang menjadi nilai tambah Jimbaran. Terlebih pada saat terang bulan. Orang akan
terbuai dengan apa yang mereka peroleh, tidak peduli lagi berapa yang harus
mereka bayar. Bagi yang terpuaskan, uang bukan masalah. Namun bagi mereka yang
sudah berulang kali datang kesana, hitung-hitungan mulai dilakukan. Ternyata
tidak murah untuk mendapatkan suasana seperti itu. Bahkan terkadang, kita masih
dicurangi.
“Cobalah tengok, apa
yang kita pilih tadi tidak sebanyak yang terhidang disini,” ujar Mrs. Gutter
sambil menunjuk piring berisi udang windu bakar pesanannya. Ia ingat sekali
tadi ada 14 ekor untuk ukuran satu kilogram yang ia bayar. Namun yang terhidang
hanyalah delapan ekor.
“Lari kemana yang enam
ekor?” protesnya kepada pelayan. Pertanyaan itu dijawab dengan cengengesan saja, mungkin dengan
berpura-pura tak mengerti bahasa Inggris.
Ada sejumlah tips cukup
bijak yang perlu diingat, di antaranya tanyakan terlebih dahulu harga makanan
yang dipesan. Perhatikan benar-benar timbangan ikan pilihan Anda, serta
ketahuilah harga yang umum di seputar situ. Namun kalau itu semua bukan masalah
bagi Anda, ya nikmati sajalah makan malam ala Jimbaran.
Kuliner
Petualangan
Kalau ingin murah dan
sedikit berpetualang, kunjungilah pasar ikan Jimbaran. Lokasinya mudah
ditemukan. Dari pantai, jalan saja ke arah utara sampai menemukan SPBU khusus
untuk nelayan. Persis sesudah itulah pasar tersebut berada.
Di tempat yang cukup
luas ini tersedia bermacam ikan segar, mulai lemuru, dorang, baronang,
cakalang, kakap, barakuda, tuna dan kawan-kawannya. Mulai yang ukuran kecil
hingga yang besar. Bahkan udang dan lobster pun tersedia.
Tinggal tentukan
pilihan Anda, dan tak perlu khawatir soal harga. Jangan pernah ragu untuk
menawar karena sistemnya memang begitu. Kalau tidak boleh di pedagang yang
satu, cobalah di yang lainnya. Dengan demikian, sekalian untuk mengetahui harga
sebenarnya dari ikan-ikan itu. Pastikan Anda mendapatkan harga terbaik dengan
harga termurah.
Setelah itu, carilah
tempat pembakaran ikan tak jauh dari pasar. Ada dua tempat, satu di antaranya
lebih besar dari yang lain. Pilihlah yang pertama, dengan dapur pembakaran
serba terbuka dan cukup besar. Serahkan ikan-ikan itu kepada mereka, dan bayar
Rp 12.500,-/kg untuk urusan bakar-membakar, tidak peduli jenis ikannya.
Di tempat itulah kita
bisa menyantap ikan pilihan sepuas-puasnya, atau dibungkus dibawa pulang. Kalau
dahulu hanya turis-turis domestik yang datang ke sana, sekarang tak jarang
mereka dari mancanegara pun ikut bergabung. Selain lebih sedap –karena ikannya
lebih segar– harganya pun jauh lebih murah.
Tinggal sekarang apa maksud
kita datang ke Jimbaran, sekadar untuk menikmati hidangan seafood, atau ingin merasakan suasana hingar bingar Jimbaran by nite. Kalau pilihan kita yang
pertama, cobalah kuliner petualangan ini. Namun kalau yang kedua, pilihlah
warung-warung tepi pantai sebab yang di dekat pasar ikan hanya melayani pesanan
terakhir pukul 19.00. (Yuleng Ben
Tallar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar