Rabu, 08 Februari 2012

JIMBARAN SURGA KULINER

Hasil panggangannya tak kalah dengan yang di bibir pantai, namun soal harga
kadang tak sampai separonya.

Pilih Rasa atau Suasana?

NASIB Jimbaran tampaknya mengikuti kisah sukses Kuta. Kampung nelayan itu sekarang berubah wajah menjadi surga bagi penggemar seafood. Padahal tigapuluh tahun lampau tidak ada apa-apa di pantai berbentuk teluk di seberang utara Bandara Ngurah Rai itu. Sebenarnya Jimbaran masih satu rangkaian dengan pantai eksotik Seminyak-Legian-Kuta. Keberadaan gerbang masuk lewat udara itulah yang memisahkannya dengan destinasi yang sudah kondang duluan.

Jimbaran mulai dikenal orang limabelas tahun belakangan. Awalnya hanya kedai biasa yang menyediakan tempat duduk di tepi pantai. Karena buka hanya di malam hari, maka mereka memasang obor dan lampu meja berbahan bakar minyak kelapa. Kita tahu, apapun yang berbau kreasi Bali, selalu menarik perhatian para pendatang. Demikian pula lampu-lampu dan hidangan yang disajikan. Terlebih mereka juga mendatangkan pemusik jalanan. Lengkaplah sudah sebagai daya tarik tersendiri.

Sebenarnya, rumah makan seafood yang terbilang istimewa banyak tersedia di Kuta maupun Sanur. Misalnya, Mini Restaurant yang ada di Legian. Nyaris tak pernah ada kursi kosong sepanjang malam. Mulai senja, turis berbondong datang ke tempat ini. Mereka bisa memilih sendiri ikan-ikannya –juga udang windu hingga lobster– dan memesan jenis masakannya. Demikian terkenalnya, sampai-sampai tempat ini juga menjadi “meeting point” bagi wisatawan domestik.

Namun apa yang terjadi setelah Jimbaran dikenal orang? Ya tetap lakulah... namun tidak selaris dahulu. Pelanggan lama tetap mencari Mini Restaurant, namun pendatang baru termakan kebesaran nama Jimbaran. Konon ada pameo bagi penggemar makanan laut, belum ke Bali kalau tidak mampir Jimbaran.

Bagaimana wajah Jimbaran sekarang? Kalau Anda pernah melihatnya dua puluh tahun lampau, kini tak bisa lagi memandang luas dan indahnya pantai itu. Tak bisa berenang dan berjemur sambil menikmati keheningan pantai. Apalagi duduk termenung mencari inspirasi untuk sebuah karya seni. Sebagian tepinya sudah tertutup puluhan bangunan warung. Kalau ingin melihat pantai, hanya ada sepotong yang tersisa. Namun ya itu tadi, Anda tak bisa lagi menikmatinya seperti puluhan tahun lampau.

Pasar Malam
Objek wisata ini memang sudah berubah wujud. Jauh dari keindahan di siang hari, namun eksotik di malam hari. Sepanjang pantainya penuh dengan kemerlip lampu, dan ratusan orang dari berbagai negeri menikmati hidangan yang tersaji dengan bermacam sensasinya. Musik pun dimainkan orang.

Suasana bak pasar malam itu terjadi hanya beberapa saat setelah mentari terbenam di ufuk barat. Mereka yang tadinya berada di Kuta, Nusa Dua, Sanur, pun tempat-tempat lainnya, berbondong menuju Jimbaran dengan satu tujuan: Makan Malam.

Kalau dahulu kita nyaman-nyaman saja mencari tempat parkir, sekarang –terutama pada musim liburan– kendaraan harus merambat memasuki areal Jimbaran. Sesudah itu, masih harus berebut tempat parkir. Atau, dapatkan tempat parkir milik warung-warung itu, dengan syarat harus mengudap di tempat mereka.

Suasana meriah itulah yang menjadi nilai tambah Jimbaran. Terlebih pada saat terang bulan. Orang akan terbuai dengan apa yang mereka peroleh, tidak peduli lagi berapa yang harus mereka bayar. Bagi yang terpuaskan, uang bukan masalah. Namun bagi mereka yang sudah berulang kali datang kesana, hitung-hitungan mulai dilakukan. Ternyata tidak murah untuk mendapatkan suasana seperti itu. Bahkan terkadang, kita masih dicurangi.

“Cobalah tengok, apa yang kita pilih tadi tidak sebanyak yang terhidang disini,” ujar Mrs. Gutter sambil menunjuk piring berisi udang windu bakar pesanannya. Ia ingat sekali tadi ada 14 ekor untuk ukuran satu kilogram yang ia bayar. Namun yang terhidang hanyalah delapan ekor.

“Lari kemana yang enam ekor?” protesnya kepada pelayan. Pertanyaan itu dijawab dengan cengengesan saja, mungkin dengan berpura-pura tak mengerti bahasa Inggris.

Ada sejumlah tips cukup bijak yang perlu diingat, di antaranya tanyakan terlebih dahulu harga makanan yang dipesan. Perhatikan benar-benar timbangan ikan pilihan Anda, serta ketahuilah harga yang umum di seputar situ. Namun kalau itu semua bukan masalah bagi Anda, ya nikmati sajalah makan malam ala Jimbaran.    

Kuliner Petualangan
Kalau ingin murah dan sedikit berpetualang, kunjungilah pasar ikan Jimbaran. Lokasinya mudah ditemukan. Dari pantai, jalan saja ke arah utara sampai menemukan SPBU khusus untuk nelayan. Persis sesudah itulah pasar tersebut berada.

Di tempat yang cukup luas ini tersedia bermacam ikan segar, mulai lemuru, dorang, baronang, cakalang, kakap, barakuda, tuna dan kawan-kawannya. Mulai yang ukuran kecil hingga yang besar. Bahkan udang dan lobster pun tersedia.

Tinggal tentukan pilihan Anda, dan tak perlu khawatir soal harga. Jangan pernah ragu untuk menawar karena sistemnya memang begitu. Kalau tidak boleh di pedagang yang satu, cobalah di yang lainnya. Dengan demikian, sekalian untuk mengetahui harga sebenarnya dari ikan-ikan itu. Pastikan Anda mendapatkan harga terbaik dengan harga termurah.

Setelah itu, carilah tempat pembakaran ikan tak jauh dari pasar. Ada dua tempat, satu di antaranya lebih besar dari yang lain. Pilihlah yang pertama, dengan dapur pembakaran serba terbuka dan cukup besar. Serahkan ikan-ikan itu kepada mereka, dan bayar Rp 12.500,-/kg untuk urusan bakar-membakar, tidak peduli jenis ikannya.

Di tempat itulah kita bisa menyantap ikan pilihan sepuas-puasnya, atau dibungkus dibawa pulang. Kalau dahulu hanya turis-turis domestik yang datang ke sana, sekarang tak jarang mereka dari mancanegara pun ikut bergabung. Selain lebih sedap –karena ikannya lebih segar– harganya pun jauh lebih murah.

Tinggal sekarang apa maksud kita datang ke Jimbaran, sekadar untuk menikmati hidangan seafood, atau ingin merasakan suasana hingar bingar Jimbaran by nite. Kalau pilihan kita yang pertama, cobalah kuliner petualangan ini. Namun kalau yang kedua, pilihlah warung-warung tepi pantai sebab yang di dekat pasar ikan hanya melayani pesanan terakhir pukul 19.00. (Yuleng Ben Tallar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar