Sabtu, 04 Maret 2017

KETIKA STAMINA DI TITIK TERENDAH



DENGAN perasaan bersalah saya datang ke tempat praktek dokter karena seharusnya dua hari yang lalu sudah harus bertemu. Pada harinya (Senin) saya tidak bisa berangkat karena letih sekali dan istri rapat sampai magrib. Hari berikutnya saya siap tapi istri dinas luar kota sampai malam hari.

Pada saat berjalan menuju lobi, surat pengantar saya berikan ke istri agar nanti dialah yang mengurus. Ketika menerima dan membaca sambil berjalan, istri saya katakan, "Kita justru on time! Surat ini menunjukkan kita harus ke prakteknya hari ini! Bukan dua hari yang lalu!

Alhamdulillah. Sayangnya di ranjang praktek aku terkejut saat suster memeriksa tensiku yang ternyata melemah, 100 - 60! Toh dokter tetap memberiku semangat sambil ia mengambil alih pemeriksaan.

Rupanya ia sangat terkesan dengan progres penyembuhanku. "Good!" ucapnya berulang kali. Menurut istriku, wajah Prof Isnu Pradjoko optimistis banget. Tidak seperti pemeriksaan-pemeriksaan sebelumnya, yang di keningnya selalu muncul guratan.

"Perkembangan apa, Prof?" tanyaku penuh ingin tahu. "Mesin diesel di dalam sini sudah padam," jawabnya sambil menuding dadaku. Dan aku baru tersadar, memang tak ada gemuruh pada saat aku bernafas, seperti saat parah-parahnya dulu. Nafaskupun terasa lebih ringan dan panjang.

Mengapa ia menyebutnya dengan "mesin diesel?" Dokter ini memang punya selera unik. Sewaktu menjelaskan kasusku di awal pemeriksaan, dia membeber foto torax dan hasil CT-scan. "Ini lho 'terorisnya', kami harus memerangi mereka," ujarnya sambil menunjuk noda putih di materi yang di beber di depan lampu.

Ketika istriku minta izin mengajak aku ikut ke Jakarta --padahal sebelumnya tanpa setahu dokter kami sudah pergi  ke Bali dan Depok-- Prof. Isnu menatap kami sambil berkata, "Lanjutkan..." Kami terkesima sesaat tak mengerti arah pembicaraan. "Lanjutkan ke Jeddah..." ujarnya kemudian...

Amin ya rabbal alamin... ujarku lega. Rupanya Prof Isnu ingat, gara-gara penyakitku kali ini, aku batal umroh awal Januari yang lalu. Dokter yang bersahaja ini memang penuh humor dan sering tindakannya tak tertebak.

Sepulang dari tempat praktek dokter, aku seolah mendapat semangat baru. Benar nafasku makin panjang. Benar pula tidak ada suara berisik di dadaku. Kalau ada sedikit keluhan, batuk-batuk kecil yang tadi dokter memberikan ramuan obat untuk mengatasinya.

Esok harinya, aku beranikan diri pergi bersama Ali Salim, sohiebku. Kita ngopi-ngopi dulu, baru late-lunch. Ada banyak hal yang kita bicarakan setelah cukup lama tidak berjumpa.

Ia punya saran mengambil second opinion di Singapura jika pengobatan di sini tidak berhasil. Jauh-jauh hari aku malah sudah punya pikiran pergi ke Malaka seperti tawaran dari besanku. Tapi aku masih percaya dengan tindakan Prof. Isnu Pradjoko.

Kami ngopi di Toffee Coffee, setelah itu pindah ke resto Pawon Cabe yang jaraknya sekitar empat kilometer. Menurut Ali Salim, aku lebih banyak berbicara saat di Toffee Coffee. Sementara menurut aku, dalam perjalanan pulang justru banyak berdiam diri. Staminaku nyaris habis hehehe...

Dan malam harinya aku merenung. Hampir empat jam kita jumpa dan ngobrol. Ini "prestasi" tersendiri bagiku, setidaknya dalam sebulan terakhir --yang aku mudah lelah, drop, bahkan harus berobat ke dokter dan opname.

Mengapa bisa terjadi? Benar sabda Rasulullah, silaturahim menambah usia. Semangat bertemu itulah yang menimbulkan gairah. Seolah aku tidak sedang dalam proses penyembuhan. Seolah seperti hari-hari kita biasa bertemu.

Aku bisa katakan demikian karena aku pada posisi stamina sangat rendah sekali. Sehingga lebih peka menghadapi perubahan, dibandingkan mereka yang punya stamina berlebih.

Dan aku yakin, itu semua berkat SILATURAHIM seperti sabda Kanjeng Nabi, "Barang siapa yang ingin diluaskan rizkinya, dan diperpanjang umurnya, hendaknya dia menyambung silaturahim (HR Bukhori).

Subhanallah. Maha Besar Engkau ya Allah. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar