Senin, 12 Februari 2018

FOTO YANG BERBICARA



ADA persyaratan untuk pemuatan sebuah foto di media. Yang paling umum adalah, foto itu harus "berbicara" --tanpa teks sekalipun foto sudah menceritakan sesuatu.

Namun untuk mendapatkan foto yang demikian, tidaklah gampang. Fotografernya harus jeli, cekatan, dan kaya idea. Bahkan faktor keberuntungan sangatlah menentukan.

Tidak setiap hari sebuah suratkabar memuat foto yang demikian. Dalam sepekan bisa dua atau tiga kali saja sudahlah bagus. Yang aku maksud di sini, foto yang dihasilkan wartawannya sendiri. Bukan dari sindikat penyuplai foto.

Lalu foto-foto apa yang dimuat pada hari-hari tanpa "foto berbicara"? Hanyalah foto dokumentasi, di antaranya pejabat menyerahkan hadiah, pembukaan seminar, atau gambar gedung yang akan diresmikan.

Dalam menyiasati kelangkaan foto yang berbicara, bagian design-grafis biasanya merangkai sejumlah foto agar berkisah. Tentu dengan penambahan gambar dan keterangan di sana sini. Kreasi mereka cukup membantu.

Namun ada pula yang kebablasan dengan memasang berbagai foto yang satu sama lain tidaklah nyambung. Pembaca akan bertanya, info apa yang sedang tersaji ini?

Biasanya, hal tersebut terjadi karena redaktur foto kehabisan stok sehingga memaksakan pemasangan foto-foto ala kadarnya.

Kalau hanya sekali dua kali, pembaca maklum. Tapi kalau berulang kali, apa lagi foto itu benar-benar tak menyampaikan pesan sesuatu, mulailah pembaca meragukan kredibilitas media tersebut.

SELFIE

Bagaimana halnya di media sosial? Banyak kok foto-foto yang aku suka, terlebih yang menampilkan suatu budaya sebagai latar belakang.

Foto selfie tak selalu membosankan jika di latar belakang bercerita sesuatu. Misalnya seseorang foto dengan latar belakang hutan Pinus yang rindang. Atau bahkan pasar ikan yang ramai pengunjung.

Malah ada yang suka mengabadikan kehidupan sosial, semisal, orang tua dengan sepeda tuanya istirahat di kursi besi yang tersedia di tepian jalan.

Atau warung makan yang dirubung pembeli yang antre dilayani. Bahkan gaya hidup juppies di mall yang sedang window shopping. Banyak yang indah dan berbicara.

Namun juga ada yang memasang closed up wajahnya dari berbagai sudut. Hampir tiap hari muncul ke layar monitor. Ya sah-sah saja, walau kadang membosankan.

Yang sekarang sedang tren adalah foto reuni atau halal-bihalal sisa lebaran. Mereka foto ramai-ramai, saking serunya satu frame bisa berisi dua puluh tiga puluh kepala!

Nah... ini foto yang berbicara tentang reuni, tentang lebaran. Namun tak berarti bagi suatu dokumentasi sebab wajah mereka terlihat kecil-kecil dan sulit teridentifikasi.

Tetap sah sih... cuma kita harus melotot untuk mencermati. Itu kalau kita berada di dalam frame, atau memang ada yang kita cari. Jika tidak, maka foto itu akan terlewati begitu saja.

Dengan kamera-smarphone sekarang sebenarnya kita lebih leluasa membuat foto bagus. Tidak usah memikirkan kombinasi rana maupun bukaan --yang sudah diurus secara otomatis--, kita tinggal memilih angle dan komposisi.

Tidak puas dengan jepretan pertama, bisa dilakukan jepretan kedua dan selanjutnya. Tak usah takut film habis kan!?

Nah, janganlah takut salah, latih dan latihlah membuat foto yang terbagus. Malah bila perlu, foto yang berbicara menyaingi media mainstream!

Bagaimana dengan foto yang aku pasang di tautan ini? Aslinya, aku mau memasangnya sebagai pengganti foto profil yang lama. Namun kalau aku hanya pasang foto saja (tanpa tulisan ini), nanti dikira "jual tampang". Malu kan...

Nah supaya sedikit ada manfaat, aku tuliskan artikel pendek ini. Mudah-mudahan memang bermanfaat. Selamat bereksperimen. (12:02:18)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar