Sabtu, 03 Februari 2018

SEBAGIAN JIWAKU DI SAMARINDA



* Keterangan foto: Dari ki-ka: Rustam, Lukman, Eddy, Dian, Yani, Indah, dan Ida. Aku di tengah, pakai kaos warna orange.


KISAH ini aku mulai pada saat usiaku 25, di awal tahun 1980. Aku diperintah bosku --seorang jenderal yang suatu saat nanti menjadi Duta Besar RI di Australia-- untuk membuka kantor cabang di Samarinda, Kalimantan Timur. Suatu tempat yang sama sekali tak aku kenal sebelumnya.

Aku memilih tinggal di Hotel Hayani, persis di pusat kota, tidak jauh dari perkantoran pemerintah. Kesepian di hari-hari awalku tertutup keramahan pemilik hotel yang selalu menemani tamu-tamunya di waktu malam. Aku cepat akrab dengan Pak Zainal Donggo, seorang tokoh Kadin Kaltim yang juga pengurus Muhammadiyah setempat.

Kedekatan ini menyebabkan aku bisa membayar hotel seminggu sekali, kemudian sebulan sekali, lalu memperoleh bungalow tersendiri yang cukup luas, dan terakhir dititipi hotel dan anak-anaknya, karena beliau dan ibu hendak menunaikan ibadah haji. Anaknya cukup banyak, dan baru Yani dan Dian yang sudah menikah.

Aku menganggap mereka ini adik-adikku, demikian pula sebaliknya. Pak Donggo dan ibu juga menganggap aku anaknya sendiri, terlebih setelah istriku datang menyusul, dan bekerja di Pasific Consultan International yang berkantor di seberang hotel.

Sampai aku meninggalkan Samarinda tiga tahun kemudian, hubungan tetaplah terjalin. Pak Donggo sekalian pernah bertandang ke tempat tugasku yang baru, dan putra-putra beliaupun masih kerap bertemu dengan kami. Suatu saat aku juga menyempatkan diri berkunjung ke Samarinda untuk membezoek Pak Donggo yang sedang sakit.

Tahun berganti, kami pun disibukkan dengan pekerjaan dan urusan masing-masing. Sampai suatu ketika di tahun 2016, aku berkesempatan ke Balikpapan-Samarinda. Tak aku sia-siakan kesempatan ini untuk menemui mereka. Yani, Dian, dan Ida tak sabar menungguku di Hotel Hayani.

Masing-masing riuh mengulas masa lalu. Ada yang masih aku ingat, namun banyak yang aku sudah lupa. Melalui mereka aku jadi ingat kembali suka duka dahulu di hari-hari awal berada di tempat ini. Senang juga bisa bernostalgia.

Namun yang lebih membuatku senang karena mereka semua hidup dalam bahagia. Yani dan Rustam, maupun Dian dan Eddy sudah beranak cucu. Ida juga bahagia dengan suaminya yang baru kali ini aku mengenalnya. Ada juga Ridha yang sekarang menjaga hotel. Atau Lukman si kecil yang masih ingat bagaimana aku menyimpan sarden di lemari es untuk kebutuhan makanku sehari-hari.

Ketika aku berjumpa mereka, Bapak dan Ibu Donggo sudah tiada. Namun kebersamaan kami sebagai keluarga besar masih tetap terasa. Lukman --yang bersama istrinya, Indah Lukman, membuka restoran Lotus Garden-- mengundang kami untuk makan malam bersama.

Tempatnya sungguh nyaman, dengan interior yang mengikuti zaman. Lukman bercerita panjang lebar bagaimana ia merintis usahanya, sambil sekali-kali menyapa ramah tamu yang baru datang.

Kendati makanan yang terhidang cukup lezat, namun tak mengurangi semangat kami untuk berebut cerita. Ada saja yang disampaikan, dan membuat kami tertawa. Sungguh menyenangkan, seolah peristiwa 35 tahun lampau kembali berkelebat.

Alhamdulillah, aku mensyukuri peristiwa tersebut. Inilah nilai suatu persaudaraan yang tetap terpelihara kendati kita dipisahkan lautan dan waktu yang relatif panjang. Silaturahim yang menyenangkan, dan semoga akan selalu kami kenang. (03:02:18)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar