Rabu, 28 Februari 2018

SEHARUSNYA AKU DI WHEELCHAIR



Keterangan Foto: Karena aku tidak suka memasang foto pasien di rumah sakit --apalagi kondisinya buruk-- maka tulisan ini aku beri foto perjalananku ke Solo. Tampak aku masih sehat saat selfi di Masjid Agung Surakarta.


KALI pertama terpaksa duduk di wheelchair (kursi roda) dalam penerbangan di dalam negeri aku rasakan empat tahun silam, tepatnya pada 2014, saat menempuh perjalanan dari Jakarta ke Surabaya.

Pelayanan ini aku peroleh mulai saat check in sampai pintu pesawat di bandara keberangkatan, dan dari pintu pesawat hingga ke mobil penjemput di terminal kedatangan.

Aku masih sanggup berjalan sendiri dari pintu ke tempat duduk, dan sebaliknya. Andai tak mampu, petugas akan mengantar hingga ke kursi pesawat. Bahkan bila perlu, menggendong. Itulah aturan pelayanan dari maskapai penerbangan.

Sedemikian parahkah aku sehingga harus pakai kursi roda? Aku terserang demam tinggi sehari sebelum pulang dari umrah, di Makkah. Karena sakit itu pula membuat aku tak mampu melakukan tawaf wada (pamit).

Sesampai di Jakarta, menantuku langsung membawa aku ke rumah sakit. Belum sepenuhnya sembuh, beberapa hari kemudian pulang ke Surabaya. Badan masih lemas, dan istriku meminta kesediaanku pakai wheelchair.

Tak ada pilihan, apalagi luas terminal Soekarno-Hatta melebihi luas lapangan bola. Aku tak peduli kanan kiri memandangiku karena tak ada juga tenaga untuk memikirkan itu.

AKIBAT SUNGKAN

Tulisan ini terilhami kisah Dahlan Iskan yang "merasa sungkan" pakai kursi roda. Padahal ia baru pulang paksa dari umrah --semasih di Madinah, belum sempat ke Makkah.

Setelah tak menemukan penyakit yang menyerangnya --sesak nafas, tak bisa kentut, dan gagal pup sampai berhari-hari-- dia pergi berobat ke Singapura. Berangkat sendirian.

"Saya harus berhenti tiga kali saat keluar dari pesawat. Posisi garbarata agak naik. Maklum, pesawat yang saya naiki jenis Boeing 737 yang lebih rendah dari posisi terminal. Baru sekali ini saya merasakan beratnya nafas. Jalan beberapa langkah harus berhenti," tulis Dahlan Iskan di DI'SWay --website baru mantan Menteri BUMN itu.

"Untungnya banyak yang minta foto bersama. Lumayan. Saya bisa berhenti lagi, dan berhenti lagi, dengan alasan lagi berpose. Padahal sebenarnya, saya memang ingin berhenti. Saya paksakan tersenyum di depan kamera. Mereka tidak tahu tersiksanya dada ini," tambahnya.

Alasan yang masuk akal. Akupun sempat merasakan hal sama saat terbang sendirian beberapa bulan setelah pengalaman pertamaku. Padahal istriku sudah ingatkan, agar pesan kursi roda. Sampai last minute pun ia masih kirim message: Papa HARUS pakai kursi roda ya! --pakai tanda seru.

Pelayanan kursi roda itu merupakan satu paket. Pesannya pada saat kita check in. Nanti di terminal kedatangan secara otomatis dilakukan penjemputan. Gratis! Toh aku tak sampai hati, selalu memberi tips ke petugas yang mendorong.

Benar, ternyata! Aku jalan seperti biasa --cepat, langkah panjang, dan gagah. Belum sampai 25 langkah, nafasku terengah. Dada terasa sesak, membuat aku melambatkan langkah, bahkan berhenti.

Aku berkeringat dingin. Mengkhawatirkan diriku. Ingat cerita orang yang tiba-tiba mati dalam nafas sepotong-sepotong. Aku masih muda ketika itu, 61 tahun. Masih banyak yang harus aku lakukan.

Saat aku menoleh ke belakang, ternyata tak ada lagi penumpang. Aku berada di tengah-tengah garbarata --yang ternyata jalannya menanjak. Yang biasanya dengan mudah aku lalui. Aku harus melipir perlahan sendirian.

Sejak peristiwa itu, aku selalu menggunakan wheelchair. Sepanjang 2016-2017 aku beberapa kali bepergian ke Bali, juga Bandung, Jakarta, Makassar, Jogja, dll. Paling kerap ke Bali. Dan itu selalu di wheelchair.

Aku paksakan, terlebih setelah dokterku menemukan penyakit yang menyerang paru kananku. Hampir 80% tertutup jamur. Dan ini menyebabkan aku mudah sesak, mudah lelah, kalau sudah begitu mudah terkena demam. (Lain waktu aku ceritakan bagaimana penyakit ini terungkap, dan mengapa bisa menyerangku pada 2014).

Kembali ke masalah wheelchair. Rute perjalanan di terminal tidak seperti penumpang regular. Pemeriksaan scanner terakhir pun lewat jalur khusus, tanpa harus turun dari kursi. Dan tidak kelewat ketat pakai harus copot sabuk, arloji, smartphone segala.

Bahkan kalau pesawat tidak menggunakan pelayanan garbarata, aku diantar menggunakan mobil khusus, tidak bercampur penumpang lainnya yang pakai bus.

Biasanya mobil yang dipakai yang lazim untuk penumpang kelas bisnis. Namun suatu ketika, aku dinaikkan mobil yang dilengkapi "lift" khusus untuk menaik-turunkan kursi roda. Karena alatnya unik, sempat jadi tontonan. Salah tingkah juga sih, apalagi penumpang seperti aku ini harus naik/turun pesawat lebih awal.

MENYESAL

Satu ketika, perasaan yang dialami Dahlan Iskan berkecamuk juga di dalam hati. Toh aku merasa lumayan fit. Ketika itu pulang dari Solo, awal 2018. Aku putuskan tanpa pesan wheelcair, padahal istriku sempat melarang.

Setelah lama menunggu pesawat delay, akhirnya naik juga ke pesawat ATR baling-baling yang pintu masuknya di buntut. Karena pesawat kecil dan pendek, garbarata tak bisa menjangkaunya.

Aku turun tangga sambil bawa koper kabin. Beruntung bertemu Gani, anak sahabatku, Sutan Kasidhal, yang menawarkan bantuan. Ia tolong aku hingga pintu pesawat yang jaraknya sekitar 150 meter dari garbarata.

Sesampai bandara Juanda sama saja. Harus berjalan dari pesawat menuju bus penjemput, lalu keluar terminal ke mobil penjemput. Serangkaian panjang ritual di terminal-terminal ini ternyata menguras tenagaku.

Esoknya, tubuhku demam. Sesak nafas. Walau sudah minum obat dan dikompres, tak ada tanda-tanda membaik. Istriku segera menghubungi dokter, dan diperintah segera membawaku ke IRD RS Dr. Soewandhie.

Aku segera mendapat penanganan: diinfus, suntik meredakan sesak, suntik lagi meredakan demam. Harus opname. Harus di ICU. Aku okay dengan yang pertama, tapi menggeleng untuk yang kedua.

Sesaat dokterku bingung. Kondisiku harus selalu terpantau. Menit ke menit. Aku tetap menggeleng --pernah punya pengalaman buruk di ICCU, sebelahku silih berganti almarhum.

Akhirnya dokter memutuskan membawa peralatan ICU ke ruang inapku. Ada monitor detak jantung, tekanan darah, pengukur oksigen pada darah, selang oksigen, dan lainnya. Semuanya bisa dipantau real time. Aku menginap 12 malam, terlama dari biasanya yang cuma sepekan, dan itu terjadi akhir Januari yang lalu.

Menyesal juga aku akhirnya karena demi gengsi harus aku bayar dengan penderitaan panjang. Andai siang itu aku tetap di wheelchair... andai aku turuti nasihat istriku... andai aku tak perlu peduli omongan orang...

Ah, itulah sifat lelaki yang tak ingin kelihatan lemah. Toh ada temannya juga, sekata dengan pendapat Dahlan Iskan! Walau akhirnya kita sepakat dalam pendapat, seharusnya tidak perlu punya gengsi semacam itu. (01:03:18)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar