Rabu, 14 Juni 2017

KETIKA PENGHULU DIDEBAT



MELIHAT VW Beetle berhias bunga membuat kenanganku melalang jauh ke masa muda. Persisnya pada 14 Juni, 44 tahun silam. Aku tercenung di teras depan tatkala beberapa saat sebelumnya papa bertanya, "Kamu nanti naik apa?"

Pilihanku hanya satu, Volkswagen 1600 TL sport yang biasa aku tunggangi. Memang bentuknya beda banget dengan Si Beetle, namun sama-sama dua pintu. Aku harus naik itu, dan mengemudikannya sendiri? Atau meminjam sopir papa, lalu aku duduk di belakang?

Duh repot! Itu yang membuatku tercenung memikirkannya. Karena pagi itu aku akan pergi untuk menikah. Yang tadinya hanya mengenakan pakaian biasa, tiba-tiba datang perias yang membuatku berpakaian Jawa lengkap blangkon dan keris.

Terbayang kan, bagaimana bisa aku mengemudi sendiri dengan keris di pinggang? Kalau pun dengan sopir, dan aku duduk di belakang, juga repot untuk masuk dari pintu depan. Dengan pakaian casual saja repot, apalagi ini pakai kain panjang dengan keris segala.

Di tengah kebingunganku, papa menepuk pundakku dari belakang. "Nanti pergi pakai mobil papa saja, sama Pak Idris," ujarnya. Pak Idris adalah sopir papa yang pada gilirannya nanti ikut aku sampai dia benar-benar tak mampu lagi mengemudi.

Aku tersenyum. Dalam hati aku membatin, mengapa tak sedari tadi. Namun setelahnya aku tersadar, ini pengalaman pertama papaku, juga pengalaman pertama aku. Tentu ada gelisah sehingga berpikir logis tak begitu saja datang.

MENYELA

Persoalan pertama selesai. Aku akhirnya berangkat pakai mobil papa, diiringi kakak tertuaku, oom dan tante mamaku, dan para sepuh di mobil-mobil yang lain. Pagi itu aku menghadap penghulu yang dipanggil ke rumah bakal mertuaku.

Singkat kata, pak penghulu meminta aku mengikuti kata-katanya. Tentu sebelumnya aku diingatkan, bahwa aku dalam keadaan bersumpah di bawah Al Quran. Sampai pada kata-kata, "... tidak akan meninggalkannya...," segera saja aku memotong ucapan sang penghulu.

"Lha kalau saya harus pergi dinas ke luar kota, bagaimana?" Penghulu tercengang memandangiku. Demikian pula bakal mertuaku berikut keluarga besarnya. Kakek dan nenekku, juga para sepuh lainnya, tak kurang kagetnya. Baru kali ini ada ucapan penghulu disela, begitu kira-kira yang ada di pikiran mereka.

Aku tegang, walau merasa benar. Untung pak penghulu segera mencairkan suasana. "Kalau perginya seizin istri, ya ngga apa-apa," ucapnya. Dan aku pun membalas, "Kalau begitu redaksinya diubah, '...tidak akan meninggalkan kecuali seizinnya'...," ujarku serius.

Kontan seruangan tertawa. Bahkan ada yang terpingkal. Pak penghulu memang arif, ia pun menyetujui walau sedikit keluar dari pakem. Maka ijab kabul pun diulang dengan sumpah yang aku maui.

Setelah urusan ritual selesai, dan para tamu menyalamiku, kakak iparku berbisik di telingaku. "Baru kali ini ada calon pengantin mendebat!"

Dalam hati aku juga geli, maklumlah ini pengalaman pertama --dan terakhir. Hari ini, empat puluh empat tahun lalu, masih tetap kuingat peristiwa itu. (14:06:2017)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar