Sabtu, 28 Oktober 2017

KOLOM: TEMPE ATAU TÈMPÈ?



AKU pernah mengalami pemakaian huruf è tatkala duduk di bangku Sekolah Rakyat. Entah bagaimana ceritanya, huruf itu dihapus dari khasanah bahasa Indonesia. Pernah suatu ketika aku tanyakan kepada guru bahasa, jawabnya "pelajari yang diajarkan saja..." Nadanya ngga enak oleh sebab itu aku lupakan saja si huruf è ini.

Satu dekade mendatang, tidak ada masalah. Demikian pula dekade kedua. Ketika itu TVRI masih menjadi pemain tunggal. Ada Jus Badudu yang tampil di layar gelas mengawal bahasa Indonesia. Pun para pewartanya clear-clear saja mengucapkan kata-kata dengan benar.

Bahkan Anita Rahman, pembawa berita yang cukup kondang ketika itu, nyaris tanpa salah mengucapkan kata demi kata. Konon ia selalu check and recheck jika menemukan kata yang ia ragu dalam pengucapannya. Termasuk nama-nama tokoh dunia, yang kadang yang tertulis berbeda dengan yang terucap.

Beruntunglah mereka yang sekarang berusia 60 tahun ke atas. Lansia ini tidak ada masalah dalam mengucapkan kata dengan huruf e atau huruf è. Misalnya, "tèmpè". Berbeda dengan orang muda zaman sekarang. Kita mengelus dada ketika ada pewarta tv atau radio yang dengan lantang menyebut "tempe".

Padahal, kata benda itu setiap hari berhubungan erat dengan lauk pauk masyarakat kebanyakan. Seharusnya, tidak boleh salah. Apalagi dalam sejarah, kita hafal sekali Bung Karno mengatakan, "Kita jangan jadi bangsa tèmpè..."

Belum lagi dengan kata-kata yang jarang diujarkan. Misalnya "ketepèl", "perkedèl", "tempèlèng", dan masih banyak lagi contoh lainnya. Memang kita bisa merujuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia. Itu bagi yang rajin dan merasa keren jika berbahasa dengan benar.

Tapi dengar saja yang terujar dari pewarta tv maupun radio. Tidak terbatas soal pemakaian huruf e dan è. Juga penyebutan lainnya. Kuping kita gatal ketika ada yang menyebut nama kota Bojonegoro dengan bunyi "o" yang seragam. Padahal, bunyi dua o yang di depan berbeda dengan dua yang di belakang.

Yang sedihnya lagi, pengucapan salah ini dengan cepat menyebar ke berbagai lapisan masyarakat. Mereka merasa tidak salah ucap, sementara yang mendengar menirukan begitu saja. Maka salahnya berantai, makin lama makin menggelembung. Dan tak banyak yang peduli.

Senyampang saat ini bulan bahasa, yuk belajarlah untuk berucap dengan betul. Banggalah jika bisa membaca tulisan ini dengan benar: Jangan kau tempèlèng aku, lihat sekitar, teman-temanku siap dengan ketepèlnya. Mau jadi tèmpè kau...

Selamat berbahasa yang benar dan baik. (28:10:17)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar