Jumat, 27 Mei 2016

GELAS-GELAS KENANGAN, NGGA SAMPAI LIMA RIBU!



AKU suka mengoleksi barang, terutama sesuatu yang kecil, lucu, dan berfungsi. Jangan tanya apa saja yang aku koleksi, sebab banyak banget ragamnya. Yang terkecil prangko, yang terbesar lukisan. Tentu sebagai wartawan aku juga mengoleksi ballpoint --terutama yang ada logo maupun brand dari sesuatu (lain waktu aku kisahkan tersendiri).

Yang ingin aku ceritakan sekarang adalah gelas kecil yang desainnya cukup unik. Aku ngga bisa menyebut apa namanya, apakah mug tapi kok terlalu kecil, cangkir kok terlalu besar, gelas ya juga enggak lah. Tapi Anda tahu kan apa yang aku maksudkan?

Aku membeli ini karena desainnya cukup unik. Perhatikan bibirnya yang melandai, dan gagangnya yang menyatu dengan bibir. Jadi okay jugalah ketika si penjual menawarkan harga Rp 45 rb. Walau untuk itu terbilang mahal, tak apalah sebagai cinderamata. Maklum aku membelinya di sebuah artshop kota Singaraja, Bali.

Aku mengambil sepasang, hitam untuk istriku dan putih untuk aku. Mengapa aku pilih putih, karena kebiasaanku meneguk kopi. Apa nikmatnya kopi hitam di cangkir hitam,  pikirku saat itu.

Hari-hari berikutnya kalau kangen Bali, kami selalu menggunakan gelas itu. Waktu lain pakai yang kami beli dari Hamilton. Begitulah kelaziman kami memanfaatkan barang kenangan. Namanya kenangan, ya untuk mengenang sesuatu. Bukan sekadar disimpan hingga kehilangan fungsinya.

Nah... suatu saat aku berkendara di Pusat Surabaya. Baru saja akan keluar dari parkiran, mataku melihat kalimat pendek "Diskon 70%" di etalase sebuah toko. Karena masih berada di kawasan parkiran, iseng saja aku turun melihatnya.

Ternyata yang diobral barang pecah belah, dan desain seperti gelasku ada  di antaranya. Aku geleng kepala nyaris tak percaya. Harganya cuma dibandrol Rp 14.850, jauh di bawah harga waktu aku beli dulu. Plus diskon 70%, aku cukup membayar Rp 4.455!

Pada saat aku memilih --karena banyak desain yang unik dan tentu saja super murah setelah rabat sebesar itu-- baru sales girl-nya bilang, syarat diskon harus bisa menunjukkan kartu pelajar atau kartu mahasiswa.

Wah... aku dan keponakanku saling pandang. Dia sudah tak muda lagi, sementara aku sudah kakek-kakek, mana punya kartu pelajar. Si sales girl pun juga tak punya, sebab kalau dia punya aku mau meminjamnya...

Akhirnya, aku harus pulang dengan kecewa. Sampai beberapa hari kemudian, seorang teman yang baru membuka cafe "Kopi Ten", tertarik ceritaku. Kebetulan salah satu karyawannya punya kartu pelajar.

Kami pun menuju toko tersebut, dan memborong sejumlah barang. Khusus gelas yang kumaksudkan, aku memborong sepuluh biji. Dua untuk keponakanku, empat untuk temanku, empat lainnya untuk melengkapi koleksiku yang di rumah.

Siapa tahu suatu saat nanti anak-anak dan kedua menantuku bisa ngopi bareng di hunianku... entah kapan itu bisa terjadi sebab mereka tinggal jauh di rantau.

Apakah benda itu masih menjadi barang kenangan? Memang tak lagi untuk mengenang Bali. Justru keunikan aku mendapatkannya kemudian --apalagi dengan harga yang sangat murah-- menjadikannya sebagai kenangan tersendiri.

Ini mengingatkan aku dengan motto yang selalu aku coba terapkan, "Kalau ada yang murah, mengapa harus beli yang mahal." (27:05:16)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar