Menunggu giliran tanda tangan saat soft launching Gadis Tiyingtali di Resto Hari-Hari |
ADA
untung ruginya memasarkan novel secara indie –langsung ke pembaca tanpa melalui
jaringan toko buku. Ruginya, peredaran tidak bisa cepat (dan banyak). Namun
keuntungannya, sebagai penulis saya bisa melakukan interaktif langsung dengan
pembaca. Mereka bisa mengenalku secara pribadi –walau terbatas lewat facebook,
tweeter, blogspot, bahkan BBM dan SMS.
Mereka juga mengomentari langsung novelku –baik yang
memuji maupun yang mengkritik. Semuanya itu sangat bermanfaat bagi penulis
karena bisa menjadi pemacu untuk karya-karya selanjutnya. Apapun komentar
mereka, merupakan hal yang sangat berharga bagi diriku. Jauh melebihi senangnya
jika novel ini dipasarkan melalui toko buku.
Berikut beberapa komentar yang saya terima dari
pembacaku, yang menuliskannya dari berbagai daerah di tanahair. Sengaja aku lampirkan
di blogspotku sebagai rasa terima kasihku kepada mereka.
Happy
Tatty, Surabaya:
BUKU Anda sudah saya baca langsung dalam waktu dua
setengah jam...
Menurut saya, Gadis Tiyingtali adalah
karya sastra kelas tinggi dengan “bahasa lukisan” dan bahasa sastra yang bagus... Gadis
Tiyingtali mempunyai alur cerita yang enak dibaca sehingga kita enggan untuk melepas buku tersebut
hingga tulisan terakhir...
Aku baca semua
isi buku Anda, tidak
sekadar
scanner... Bahkan beberapa dialog dan ekspresi masih aku ingat dengan jelas. Bahasa Anda bagus, bukan sekadar “loe-gue”..., melainkan bahasa yang dipakai sehari-hari oleh rakyat Indonesia di manapun berada.
Aku jadi ingin membaca buku Anda yang lainnya.
O ya, aku kaget Anda pakai kata "senyampang", kukira cuma aku
saja yang tahu kata itu... Di sekolah, Bahasa Indonesiaku selalu seratus. Kalau dapat 95 aja, aku getun...
(*)
Indah
Setijawati,
Purwokerto:
MAS Yuleng Ben Tallar, terima kasih ya. Udah kubaca Gadis
Tiyingtali...
Wouw... nggak menyangka panjenengan
bisa mengungkapkan tokoh cerita tersebut dengan bahasa yang santun tapi cukup
gaul. Saya
sedih dan terharu ketika membaca
Bu Rus bertemu Rahma, yang konon anaknya.
Umumnya penulis novel roman adalah seorang perempuan... hahaha... Ini laki-laki! Tapi enggak kalah ama Sandra Brown, Danielle Steel, dan yang bikin terlarut adalah nuansa Indonesianya itu lho (biasanya aku membaca novel dengan nuansa barat).
Well... aku
tunggu novel
berikutnya, Ngaruawahia. (*)
Anin
Saleh, Cibubur:
SAYA
baru saja selesai membaca
novel Gadis Tiyingtali... Satu kata, Asyik!
Yang
bikin penasaran membaca karya Yuleng Ben Tallar ini, bahasanya mengalir indah, tetap membumi, dan aktual sehingga mudah dicerna bagi kita
pembacanya...
Persis di bagian ending –dua
bab terakhir– aku mulai menangis sesenggukan saat tokoh Rahma punya
feeling kuat bahwa Bu Rus adalah
sosok ibu yang dia cari selama hidupnya... Aku nangis sesenggukan, membayangkan kalau aku berada pada posisi Rahma, bahwa perempuan yang ada di hadapanku itu adalah ibu
yang aku cari-cari
selama ini...
Oh... so dramatic, dan haru biru abizzz... hikz... hikz... Ternyata benar yang Anda katakan, ikatan batin itu akan selalu ada sampai kapanpun...
Sukses Pak
Yuleng. O ya, nanti kalau novel berikutnya, Ngaruawahia,
sudah beredar, aku pesan duluan ya Pak. Baca resensinya bikin aku jadi currious...
(*)
Tipuk Bank, New
Zealand:
IBU,
tolong sampaikan ke
bapak, saya sangat menikmati novel
Gadis Tiyingtali.
Saya sampai tidak
bisa menahan air mata waktu membacanya. Sekarang saya berada di Singapore, dan sangat menantikan novel berikutnya, Ngaruawahia. Terima kasih untuk ibu dan bapak atas semua hospitality-nya selama saya berada di Surabaya.
(*)
Ali
Salim, Surabaya:
BAGAIMANA orang-orang yang bergumul dengan
lukisan terbelit dalam sebuah kisah misteri? Lukisan berjudul Mebanten seakan memiliki roh magis di
tangan seorang penulis seperti Yuleng Ben
Tallar. Latar belakang
penulis membuat dia leluasa
mengobok-obok fantasi pembaca untuk mengikuti novel ini sampai tuntas.
Di sana ada
Novie, Sandra dan Rahma, tiga wanita yang mencoba memberi arti pada lukisan
karya Ruspandi sesuai dengan pengalaman dan intuisinya, sekaligus membuat harga lukisan menjadi tak
ternilai. Penulis juga mengungkap rekayasa-sosial dalam bisnis lukisan yang
dipaparkan secara sempurna, karena ia memang sangat akrab dengan dunia lukisan
sejak masa kecil sampai saat ini. (*)
Zachrie Aandria Selian,
Kuta
Cane, Aceh:
PAK YULENG, terima
kasih
Gadis Tiyingtali-nya, ceritanya bagus banget. Dalam dua hari udah selesai ZAS baca, bahasanya ringan, nggak ribet, dan mudah dicerna. Nangis tentu tidak Pak, cuma hampir..., terutama pada bagian yang menyatakan, "kamu gadis Tiyingtali itu ya..." Mengharukan sekali Pak, berlinang air mata pasti lah Pak...
Tjahjono
K-Theslowbutsure,
Yogyakarta:
Cak Yuleng...
Justru imajinasi Sang Penulis yang saya kagumi. Mengapa? Ini
disebabkan karena alur ceritera yang demikian jelas, dengan lokus seakan-akan nyata --meski itu mungkin hasil imajinasi penulis. Selain itu, penokohannya dengan karakter yang spesifik dan natural, yang
mungkin juga membuat alur
cerita menjadi kuat.
Gaya bahasa Anda menarik, ada logat Jawatengahan yang medok,
ada logat Surabayaan yang khas. Hanya mungkin belum muncul
logat/dialek Madura, meski
Novie tinggal di Bukit Kwanyar, Madura, sebelah timur Jembatan
Suramadu.
Selain itu setting waktu saat ini yang memadai, terkait dengan
penggunaan teknologi lukis, komunikasi, dan lainnya.
Memang untuk sementara air mataku belum sempat keluar, namun ketika
membaca Gadis Tiyingtali saya dapat merasakan (mungkin orang lain belum)
betapa untuk menolong seseorang yang sangat membutuhkan “financial” dalam jumlah besar, perlu suatu pengorbanan tanpa
pamrih. Anda
sebagai penulis
menggambarkan secara pas sekali akan hakiki dari suatu “pertolongan”, yang pada dasarnya memang itulah yang perlu
dilakukan oleh para insani. Ini suatu pembelajaran bagi kita semua pada saat
masih diberi kesempatan dan usia oleh Allah SWT.
Di samping itu
tampak tersirat dalam ceritera –percaya atau tidak– antara anak dan ibu tetap terjalin hubungan batin yang erat. Hanya seizin Allah SWT-lah hubungan itu akan makin terasa mengental,
kendati dibatasi oleh
jarak seberapa jauhpun. Bisa saja mereka suatu saat dipertemukan kembali melalui berbagai jalan/media. Ini menurut aku logis-supernatural, dan dalam Gadis
Tiyingtali terekspresikan dengan
jelas sekali.
Ada
hal
yang ingin
saya tanyakan, Anda
dalam novel menggambarkan
menu masakan berbahan dasar ikan dengan pernak-pernik bumbunya. Di
lain sisi, suatu saat Anda upload foto diri
di
facebook sedang membawa ikan bandeng hasil tangkapan dari laut. Pada posting bersama Gho Soei Ing saat itu, kalian membicarakan yummy-nya
menu bandeng.
Anda menulis seperti ini: Bunga kecombrang warnanya pink, agak kaku dan bertangkai
panjang. Ini dirajang untuk memberi aroma yang sensasional. Masakan Thai dan Bali
kerap memakai bahan tersebut. Bahkan di Bali dirajang halus, dicampur bawang
merah, lombok, dan minyak kelapa, jadilah sambal yang yummy menemani bandeng goreng...
Yang ingin saya tanyakan, apakah ada hubungan antara upload tersebut dengan alur ceritera dalam novel Gadis
Tiyingtali? he he he… Penasaran, nih. (*)
Terima kasih, Mas Tjahjono.
Kebetulan saya suka kuliner, dan senang memasak. Ketika saya menulis novel, kerap
pengetahuanku tentang itu ikut mengalir begitu saja. Selain memberi warna pada
tulisan, siapa tahu pembaca juga tertarik menerapkan resep masakanku? Salam Gadis Tiyingtali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar