Jumat, 08 Februari 2013

NGGA KALAH SAMA SANDRA BROWN, DANIELLE STEEL...

Menunggu giliran tanda tangan saat soft launching
Gadis Tiyingtali di Resto Hari-Hari


‘Aku Mulai Menangis Sesenggukan...’ 


ADA untung ruginya memasarkan novel secara indie –langsung ke pembaca tanpa melalui jaringan toko buku. Ruginya, peredaran tidak bisa cepat (dan banyak). Namun keuntungannya, sebagai penulis saya bisa melakukan interaktif langsung dengan pembaca. Mereka bisa mengenalku secara pribadi –walau terbatas lewat facebook, tweeter, blogspot, bahkan BBM dan SMS.
Mereka juga mengomentari langsung novelku –baik yang memuji maupun yang mengkritik. Semuanya itu sangat bermanfaat bagi penulis karena bisa menjadi pemacu untuk karya-karya selanjutnya. Apapun komentar mereka, merupakan hal yang sangat berharga bagi diriku. Jauh melebihi senangnya jika novel ini dipasarkan melalui toko buku.
Berikut beberapa komentar yang saya terima dari pembacaku, yang menuliskannya dari berbagai daerah di tanahair. Sengaja aku lampirkan di blogspotku sebagai rasa terima kasihku kepada mereka. 


Happy Tatty, Surabaya:

BUKU Anda sudah saya baca langsung dalam waktu dua setengah jam... Menurut saya, Gadis Tiyingtali adalah karya sastra kelas tinggi dengan bahasa lukisan dan bahasa sastra yang bagus... Gadis Tiyingtali mempunyai alur cerita yang enak dibaca sehingga kita enggan untuk melepas buku tersebut hingga tulisan terakhir...
Aku baca semua isi buku Anda, tidak sekadar scanner... Bahkan beberapa dialog dan ekspresi masih aku ingat dengan jelas. Bahasa Anda bagus, bukan sekadar  loe-gue..., melainkan bahasa yang dipakai sehari-hari oleh rakyat Indonesia di manapun berada. Aku jadi ingin membaca buku Anda yang lainnya.
O ya, aku kaget Anda pakai kata "senyampang", kukira cuma aku saja yang tahu kata itu... Di sekolah, Bahasa Indonesiaku selalu seratus. Kalau dapat 95 aja, aku getun... (*)


Indah Setijawati, Purwokerto:

MAS Yuleng Ben Tallar, terima kasih ya. Udah kubaca Gadis Tiyingtali...
Wouw... nggak menyangka panjenengan bisa mengungkapkan tokoh cerita tersebut dengan bahasa yang santun tapi cukup gaul. Saya sedih dan terharu ketika membaca Bu Rus bertemu Rahma, yang konon anaknya.
Umumnya penulis novel roman adalah seorang perempuan... hahaha... Ini laki-laki! Tapi enggak kalah ama Sandra Brown, Danielle Steel, dan yang bikin terlarut adalah nuansa Indonesianya itu lho (biasanya aku membaca novel dengan nuansa barat).
Well...  aku tunggu novel berikutnya, Ngaruawahia. (*)


Anin Saleh, Cibubur:

SAYA baru saja selesai membaca novel Gadis Tiyingtali... Satu kata, Asyik!
Yang bikin penasaran membaca karya Yuleng Ben Tallar ini, bahasanya mengalir indah, tetap membumi, dan aktual sehingga mudah dicerna bagi kita pembacanya...
Persis di bagian ending –dua bab terakhir aku mulai menangis sesenggukan saat tokoh Rahma punya feeling kuat bahwa Bu Rus adalah sosok ibu yang dia cari selama hidupnya... Aku nangis sesenggukan, membayangkan kalau aku berada pada posisi Rahma, bahwa perempuan yang ada di hadapanku itu adalah ibu yang aku cari-cari selama ini...
Oh... so dramatic, dan haru biru abizzz... hikz... hikz... Ternyata benar yang Anda katakan, ikatan batin itu akan selalu ada sampai kapanpun...
Sukses Pak Yuleng. O ya, nanti kalau novel berikutnya, Ngaruawahia, sudah beredar, aku pesan duluan ya Pak. Baca resensinya bikin aku jadi currious... (*)


Tipuk Bank, New Zealand:


IBU, tolong sampaikan ke bapak, saya sangat menikmati novel Gadis Tiyingtali. Saya sampai tidak bisa menahan air mata waktu membacanya. Sekarang saya berada di Singapore, dan sangat menantikan novel berikutnya, Ngaruawahia. Terima kasih untuk ibu dan bapak atas semua hospitality-nya selama saya berada di Surabaya. (*)


Ali Salim, Surabaya:


BAGAIMANA orang-orang yang bergumul dengan lukisan terbelit dalam sebuah kisah misteri? Lukisan berjudul Mebanten seakan memiliki roh magis di tangan seorang penulis seperti Yuleng Ben Tallar. Latar belakang penulis  membuat dia leluasa mengobok-obok fantasi pembaca untuk mengikuti novel ini sampai tuntas.
Di sana ada Novie, Sandra dan Rahma, tiga wanita yang mencoba memberi arti pada lukisan karya Ruspandi sesuai dengan pengalaman dan intuisinya, sekaligus membuat harga lukisan menjadi tak ternilai. Penulis juga mengungkap rekayasa-sosial dalam bisnis lukisan yang dipaparkan secara sempurna, karena ia memang sangat akrab dengan dunia lukisan sejak masa kecil sampai saat ini. (*)


Zachrie Aandria Selian, Kuta Cane, Aceh:


PAK YULENG,  terima kasih Gadis Tiyingtali-nya, ceritanya bagus banget. Dalam dua hari udah selesai ZAS baca, bahasanya ringan, nggak ribet, dan mudah dicerna. Nangis tentu tidak Pak, cuma hampir..., terutama pada bagian yang menyatakan, "kamu gadis Tiyingtali itu ya..." Mengharukan sekali Pak, berlinang air mata pasti lah Pak...


Tjahjono K-Theslowbutsure, Yogyakarta:


Cak Yuleng... Justru imajinasi Sang Penulis yang saya kagumi. Mengapa? Ini disebabkan karena alur ceritera yang demikian jelas, dengan lokus seakan-akan nyata --meski itu mungkin hasil imajinasi penulis. Selain itu, penokohannya dengan karakter yang spesifik dan natural, yang mungkin juga membuat alur cerita menjadi kuat.
            Gaya bahasa Anda menarik, ada logat Jawatengahan yang medok, ada logat Surabayaan yang khas. Hanya mungkin belum muncul logat/dialek Madura, meski Novie tinggal di Bukit Kwanyar, Madura, sebelah timur Jembatan Suramadu. Selain itu setting waktu saat ini yang memadai, terkait dengan penggunaan teknologi lukis, komunikasi, dan lainnya.
Memang untuk sementara air mataku belum sempat keluar, namun ketika membaca Gadis Tiyingtali saya dapat merasakan (mungkin orang lain belum) betapa untuk menolong seseorang yang sangat membutuhkan financial dalam jumlah besar, perlu suatu pengorbanan tanpa pamrih. Anda sebagai penulis menggambarkan secara pas sekali akan hakiki dari suatu pertolongan, yang pada dasarnya memang itulah yang perlu dilakukan oleh para insani. Ini suatu pembelajaran bagi kita semua pada saat masih diberi kesempatan dan usia oleh Allah SWT.
Di samping itu tampak tersirat dalam ceritera –percaya atau tidak antara anak dan ibu tetap terjalin hubungan batin yang erat. Hanya seizin Allah SWT-lah hubungan itu akan makin terasa mengental, kendati dibatasi oleh jarak seberapa jauhpun. Bisa saja mereka suatu saat dipertemukan kembali melalui berbagai jalan/media. Ini menurut aku logis-supernatural, dan dalam Gadis Tiyingtali terekspresikan dengan jelas sekali.
Ada hal yang ingin saya tanyakan, Anda dalam novel menggambarkan menu masakan berbahan dasar ikan dengan pernak-pernik bumbunya. Di lain sisi, suatu saat Anda upload foto diri di facebook sedang membawa ikan bandeng hasil tangkapan dari laut. Pada posting bersama Gho Soei Ing saat itu, kalian membicarakan yummy-nya menu bandeng.
Anda menulis seperti ini: Bunga kecombrang warnanya pink, agak kaku dan bertangkai panjang. Ini dirajang untuk memberi aroma yang sensasional. Masakan Thai dan Bali kerap memakai bahan tersebut. Bahkan di Bali dirajang halus, dicampur bawang merah, lombok, dan minyak kelapa, jadilah sambal yang yummy menemani bandeng goreng...
Yang ingin saya tanyakan, apakah ada hubungan antara upload tersebut dengan alur ceritera dalam novel Gadis Tiyingtali? he he he… Penasaran, nih. (*)

Terima kasih, Mas Tjahjono. Kebetulan saya suka kuliner, dan senang memasak. Ketika saya menulis novel, kerap pengetahuanku tentang itu ikut mengalir begitu saja. Selain memberi warna pada tulisan, siapa tahu pembaca juga tertarik menerapkan resep masakanku? Salam Gadis Tiyingtali.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar