Kamis, 20 Juli 2017

MENGGAPAI SURGA: PUNYA IMAJINASI YANG KUAT


Oleh: Amang Mawardi

WARTAWAN, cepat atau lambat, akan pensiun dari tempat di mana dia bekerja. Tetapi sebagai person dia tidak pernah pensiun. Itulah hakikat wartawan sejati yang tidak akan berhenti menulis, sebagaimana dilakukan sejumlah rekan jurnalis, termasuk salah satu di antaranya Yuleng Ben Tallar.

Sejak pensiun sebagai redaktur pelaksana harian Surabaya Post sekian tahun lalu, saya mendengar Mas Yuleng meng-"konversi" dirinya dari seorang wartawan menjadi pengarang. Berubah haluan? Sebetulnya tidak begitu-begitu amat. Masih sama-sama di dunia kepenulisan. Bedanya yang pertama berobyek fakta, yang terakhir berkutat pada dunia imajinasi (meski dunia ini seringkali berkelindan, kawin-mawin, dengan dunia nyata/fakta).

Tetapi yang tidak saya duga-duga, yang saya pikir jurnalis yang seniman ini baru menghasilkan 2-3 judul novel, ternyata telah  5 judul novel yang ditulisnya.

"Menggapai Surga" adalah  novel kelimanya yang Kamis pagi/siang kemarin (20/7-17) diluncurkan dan didiskusikan di Garden Palace Hotel, Surabaya.

Bertindak sebagai pembahas wartawan senior dan pengamat budaya Toto Sonata, Dr Aqua Dwipayana motivator nasional, dan keynote speaker adalah Dahlan Iskan, tokoh pers nasional yang pernah menjabat Menteri BUMN.

Hadir sejumlah wartawan dan teman-teman pengarang novel ini, seperti Hadiaman Santoso, Moh Anis, Ali Salim, Yamin Akhmad, Djoko Pitono Hadiputro, Andika Adek, Silokrauf/ Soesilo Marsidik, Adriono Ono, Arifin BH, Mas Eko, Maria Andriana, Yousri Raja Agam, Jil Kalaran, Sutan Kasidhal, Iwan Syafii, Sunarko Surya, Mep Yusron,  dan masih sekian lagi. O ya, ada juga saya lihat Rizki Daniarto.

Novel setebal 308 halaman ini digambarkan Toto Sonata sebagai novel relijius tetapi tidak mendakwai. Menceritakan perjalanan umroh Marce Marcona yang "dikuntit" Abdul Qaidir dari Surabaya, Kuala Lumpur, Madinah, hingga Makkah.

Dr Aqua Dwipayana menyimpulkan sebagai novel yang menggambarkan pelakunya sebagai sosok-sosok yang penuh rasa syukur dan ikhlas.

"Semula saya mengira ini novel jurnalistik, ternyata novel beneran," tutur Dahlan Iskan. Yuleng memiliki imajinasi kuat untuk mengembangkan tingkah laku tokoh-tokohnya, tambah Dahlan.

Dalam sesi tanya jawab Arifin BH menggambarkan sosok Yuleng yang ekspresif. Sementara Maria  Andriana,  wartawati senior Antara yang antara lain pernah 4 tahun koresponden di Jepang, melukiskan "Menggapai Surya" begitu deskriptif. "Ditunggu karya berikutnya, Mas ..." ujar Maria yang santun.

Menarik gugatan Mas Eko, kenapa ya  di Surabaya belum muncul novel "subversif"? Atas pertanyaan ini, saya pun mbatin, "Bukankah karya-karya Budi Darma menggambarkan subversifitas yang acapkali meneror batin pembaca?". Namun demikian Mas Eko memuji novel ini sebagai novel misteri yang layak baca.

Menarik mendengar pesan Dr  Aqua Dwipayana yang telah menulis 15 judul buku ini yang rata-rata best seller jelang akhir acara yang ditujukan kepada audience, bahwa menulis-lah dengan batin yang kuat, insya Allah akan menghasilkan karya-karya berkualitas.

Sementara Yousri  menyarankan untuk selanjutnya jika ada acara semacam ini bisa mengundang wartawan dan penulis muda, agar yang senior bisa menularkan ilmunya. (Mungkin yang senior juga  perlu  belajar ke yunior ya, Pak Yous ...).

Sebagai pembicara beberapa kali telah saya lakukan. Tetapi sebagai moderator baru kali ini, di tengah badan nggreges lantaran sedang flu berat. (Yaopo Pak Toto, wis tepak opo durung aku dadi moderator?).

Go Ahead, Mas Yuleng  !
Maju terus, terus semangat !

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1463988390351474&id=100002209826190

Tidak ada komentar:

Posting Komentar