Sisa
Cinta Masa Silam
Cinta Retro merupakan sekuel pertama, masih ada dua novel lain kelanjutannya. Don't miss it! |
Catatan Pengantar
GAYA
hidup selalu mewarnai masing-masing zaman. Apa yang terjadi di masa silam, tidak
selalu berulang di masa datang. Seperti pameo usang, suatu kesempatan jarang
kembali terulang.
Dalam novel ini dikisahkan sukses seorang pria dalam
meniti kariernya. Ia berhasil meraih posisi sebagai CEO sebuah perusahaan
besar. Ia memimpin duaratusan sarjana, kendati dirinya tak satu pun mengantongi
ijazah perguruan tinggi. Bahkan dulu ia termasuk anak usil, nakal, dan konyol.
Satu-satunya kelebihannya –kalau itu boleh ditonjolkan– adalah sifat kreatif. Ya... ia selalu sarat
dengan kreativitas, bahkan hingga di hari tuanya.
Pria dari zaman 70-an itu, bertemu dengan gadis masa
kini yang baru meniti karier. Dua generasi yang sangat jauh perbedaan sudut
pandangnya. Si gadis berusaha menyelami gaya hidup masa lampau, dan mengorek
kisah-kisah lama yang menurutnya “serba unik”. Menjadi sesuatu yang aneh, yang
mengherankan, tak masuk nalar, dan retro gitulah.
Sampai suatu ketika, Si Gadis menemukan sisa-sisa
cinta yang terpendam, sesuatu yang pernah indah, dan tentunya akan kembali
indah pada pribadi yang tepat. Bisakah ia mendapatkan link tersebut?
Cinta Retro bukan sekadar berkisah tentang sesuatu
yang terjadi empat dekade silam. Novel ini mencoba mengungkap satu hal yang
tetap abadi dari masa ke masa.
Yuleng Ben Tallar
Catatan: Novel Cinta Retro dipasarkan secara semi-indie. Bagi yang berminat, bisa memesan melalui SMS pada nomor 081 215 488 450 atau 08777 088 0277. Harga Rp 35 rb plus ongkos kirim. Sertakan nama pemesan agar buku bisa saya tandatangani dengan mencantumkan nama Anda.
Boypung Tunjungan
Cuplikan dari "Cinta Retro"
SALAH satu sudut Tunjungan yang masih terawat dengan baik |
“...MENGAPA Aki dijuluki ‘Boypung-Tunjungan’?”
Tiba-tiba Okana mengajukan pertanyaan yang membuat Pak Bono terperangah. Tak
lama kemudian pria itu tertawa sambil menggeleng kepala.
“Dari siapa kau tahu cerita itu?”
“Ada aja...
Pasti seru... kan?” jawabnya sambil tertawa.
Wajah Pak Bono sesaat terlihat merah, namun tak lama
kemudian ia kembali tertawa. Sambil mengajak pindah ke ruang depan, Pak Bono
menjawab pertanyaan Okana.
“Sebenarnya, ‘boypung’ itu julukan untuk anak yang norak, udik, nggak gaul. Kependekan dari boy-kampung,
anak kampung. Entah siapa yang memulai, istilah tersebut kemudian menjadi
sangat populer. Bisa untuk olok-olok, tapi kerap juga untuk mengumpat
seseorang. Selain boypung, ada pula girlpung.”
Setelah mereka duduk di teras, Pak Bono melanjutkan
ceritanya. Sore itu, menjelang malam minggu, ia bersama tiga temannya pergi ke
Tunjungan. Mereka berboncengan naik dua sepeda motor. Sebenarnya ada sesuatu
yang hendak dibeli Bono, namun tiga kawannya mengajak buru-buru pergi. Tentu
saja menyebalkan, tapi apa boleh buat, tiga lawan satu.
Yang lebih menyebalkan, ternyata alasan teman Bono
terburu-buru karena mereka melihat serombongan gadis menuju arah selatan. Dua
di antara gadis itu sempat melambaikan tangan. Ini dia, pikir teman-teman Bono.
Rasanya mereka memberi harapan. Tapi bagi Bono yang baru tahu setelah
teman-temannya mengejar dengan bersepeda motor, apa yang bisa dilakukan di
jalan yang cukup padat itu? Salah-salah dianggap anak urakan. Itu sebabnya Bono
mengajak mereka cepat-cepat berlalu.
Namun kembali tiga lawan satu. Mereka mengemudi
perlahan di samping para gadis yang melenggang di trotoar. Ada lima orang,
tinggi badan hampir sama, berambut sama panjang, kelihatan sepantaran, dan tak
ada yang jelek. Karena selambat-lambatnya jalan motor masih lebih lambat jalan
para gadis, maka beberapa kali teman Bono menghentikan kendaraan. Yang membuat
Bono kesal adalah sikap cengengesan kawan-kawannya. Tidak ada komunikasi, hanya
senyum-senyum, dan sekali melontar pertanyaan tanpa mendapat jawaban: “Mau ke
mana?”
“Kamu kenal?” tanya Bono. Temannya menggeleng.
“Lha ngapain
ngikuti mereka?” ujar Bono ketus.
“Siapa tahu bisa kenalan,” jawab temannya lagi.
“Kalau mau kenalan, nggak begitu caranya...,” tambah Bono sambil turun dari sepeda
motor. Tentu temannya kaget. Mau apa nih anak, pikirnya. Belum sempat
menghalangi, Bono sudah berada persis di depan gadis-gadis itu. Sambil berkacak
pinggang –yang membuat kelima gadis itu menghentikan langkah– Bono bertanya tegas, “Kalian... kalian kenal
sama Bono?”
Gadis yang dituding menggeleng. Dari raut mukanya
terlihat tegang. Tidak tertawa-tawa seperti tigapuluh detik sebelumnya.
Demikian pula gadis yang kedua ketika mendapat giliran tudingan. Berturut-turut
kemudian, gadis ketiga dan keempat. Hanya yang kelima memberanikan diri
bertanya, “Bono siapa?”
“Bono... Bono aja,” ujar Bono sekenanya. Kemudian ia
menjulurkan tangan kepada gadis kelima, yang entah karena kaget menerima saja
uluran tangan Bono.
“Bono itu aku. Kenalkan... aku Bono.” Sambil
mengucapkan itu, ia melirik ke gadis-gadis yang lain. Wajah-wajah tegang mereka
memudar. Senyuman sudah berada di masing-masing ujung bibir. Berhasil, pikir
Bono. Ia tak perlu lama-lama menggenggam tangan gadis nomor lima. Telapaknya
segera berpindah dari satu ke satu yang lain. Lany, Maya, Desi, Nora, dan
Lisye. Lengkaplah kelimanya, dalam urusan yang hanya memakan waktu 50 detik.
Malah mungkin lebih singkat dari itu.
Ketika hendak membalikkan tubuh, Bono berujar
singkat. “Nanti malam ada pesta di Jl. Diponegoro. Mudah-mudahan kalian bisa
hadir bersama kami.”
“Sayang Broer...
Justru aku berharap kamu gabung ke pesta kami di Jalan Musi. Pesta sekolah,
Santa Maria...” ujar Lany.
“See you...,”
ujar Bono sambil melompat ke jok sepeda motor.
“Kemana?” tanya teman Bono.
“Pulang...” jawab.
“Lha anak-anak itu?” tanyanya lagi penasaran.
“Emang mau kamu naikkan motor semua tuh anak?” ujar Bono sambil tertawa....
Catatan: Ikuti kisah-kisah unik lainnya di Cinta Retro...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus