Kamis, 22 Mei 2014

GADIS TIYINGTALI: On The Air

At Sindo-Trijaya FM 104.7

Saya diapit Nunung Bakhtiar dan Vika Wisnu




Satu jam bersama Vika Wisnu dalam acara, "Penulis Bicara". 

+ Apakah kisah dalam Gadis Tiyngtali ini pengalaman Anda?
- Memang ada sebagian dari pengalaman, namun kisah-kisah itu dirangkai sedemikian rupa menjadi sebuah cerita yang tak lagi sepenuhnya non-fiksi. Justru fiksinya yang lebih kental.
+ Bagaimana Anda bisa disiplin menyelesaikan novel-novel ini?
- Saya melakukan ini semua dengan disiplin tinggi. Saya selalu menulis pada pagi hari, dan pada saat-saat saya sangat bernafsu menulis. Kadang saya bisa menulis di coffee shop, atau kalau kebetulan tidak membawa notebook dan ingat sesuatu yang harus ditulis, maka saya berhenti sejenak dan mencatatnya pada notepad di gadget.
+ Dalam novel ini, Anda menyebut seorang pelukis bernama Soedibio. Mengapa?
- Saya mengenal pelukis itu, seorang yang sangat terkenal dengan karya yang terbatas. Hanyalah kolektor sejati yang mengoleksi lukisan Soedibio. Orang awam hanya tahu pelukis-pelukis yang kerap disebut media, seperti Affandi, Basoeki Abdullah, atau Hendra Gunawan. Saya ingin menunjukkan, Novie dalam kisah itu seorang kolektor berkelas.
+ Apakah benar lukisan bisa menghadirkan misteri?
- Saya mempercayai itu. Saya pernah membeli lukisan di pameran (1974) seharga Rp 20 ribu. Objeknya dua naga yang berhadapan. Suatu ketika lukisan itu saya hadiahkan kepada seorang teman. Ternyata teman itu mengembalikan dengan catatan, "Sebaiknya lukisan ini Bapak yang simpan". Sekitar tahun '90-an, si pelukis (Amang Rahman) akan menukar karya tersebut dengan dua lukisannya yang terbaru, yang ukurannya jauh lebih besar. Saya menolak karena telanjur sayang. Dan kebetulan pada tahun yang sama, saya baru sadar kalau shio saya dan istri sama-sama naga!
+ Kembali ke novel, lokasi yang Anda ambil di Bali?
- Tiyingtali memang di Karangasem, suatu tempat indah dengan sawah teraseringnya. Tapi Gadis Tiyingtali tidak melulu Bali. Novel ini mengambil lokasi di banyak tempat, di antaranya Surabaya, lereng Argopuro, dan Kwanyar. Nah... Kwanyar ini tanah impianku sejak belum ada jembatan Suramadu. Suatu bukit di Madura, menghadap kota Surabaya. Dari tempat ini, saya membayangkan jembatan Suramadu kelak seperti Golden Gate di San Fransisco. Bisa melihat hilir mudik kapal di perairan Pelabuhan Tanjung Perak, juga indahnya bulan purnama muncul di ujung langit. Saya selalu merindukan Kwanyar. Rumah mungil Novie di ujung bukit selalu muncul dalam ingatan saya. I love it!
+ Masih berkecimpung di dunia jurnalistik?
- Kadang-kadang saja. Kadang menulis artikel, kadang opini/tajuk.
+ Mengapa sekarang berpindah menjadi book writer?
- Saya menjadi wartawan sejak usia muda. Saya bosan menghadapi deadline! Sedang pada penulisan novel, saya bebas berekspresi, bebas menentukan waktu, dan tentunya terbebas dari deadline (walau nanti ada buku saya yang berjudul Deadline, yakni sebuah novel-biografi dari seorang wanita-wartawan).

Catatan: Ada beberapa tanya jawab yang tidak saya ingat. Apa yang saya tulis ini adalah kurang lebihnya, mungkin kurang, mungkin lebih. Yang jelas, cukup asyik bincang-bincang kali ini, dengan tiga empat pertanyaan/komentar lewat SMS/BBM.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar